Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ketujuh Belas • Hujan Badai

Pelajaran terus berlanjut. Saat ini, Jaya selesai mengukur badan Jenaka bagian depan dan belakang. Di kertas sudah terkumpul angka-angka di setiap bagian tubuh. Tadi Jaya juga mengajarkan bagaimana cara menemukan ukuran yang pas.

Jenaka tidak bisa berkata-kata lagi. Sejak dulu Jaya memang selalu jago memberikan arahan ke seseorang. Jaya memberikannya cukup detail dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Hanya saja kapasitas kepala Jenaka di bawah rata-rata. Kadang-kadang masih suka bertanya, padahal sudah dijelaskan.

"Harus di buku dulu, Kak? Nggak langsung di kertas pola aja?" tanya Jenaka saat Jaya menyuruhnya membuka buku kostum, menyiapkan penggaris skala, penggaris siku-siku, dan penggaris lengkung berukuran kecil. 

"Iya. Biar kamu tahu dulu cara-caranya. Ini kamu beruntung, lho, lebih cepet dari temen-temen kamu di kelas."

Jenaka tidak membalas.

"Kamu udah baca di buku ini, kan?" tanya Jaya seraya menunjukkan sebuah buku paket berwarna putih dengan judul 'Membuat Pola Dasar dengan Mudah'. 

"Udah, tapi saya nggak paham-paham. Kenapa banyak sekali huruf-hurufnya?"

"Ya itu buat penanda. Makanya saya minta kamu belajar di buku kostum dulu karena ini. Kalau langsung pola sesungguhnya kamu belum tentu paham."

Oh, benar juga. Banyak melakukan kesalahan juga kurang baik. Jenaka saja belum berani melangkah ke sana. Dia ingin belajar secara bertahap.

"Kamu sudah tahu penggaris skala, jadi kita langsung mulai, ya. Kamu bisa pakai pensil dulu buat gambar polanya, baru nanti kalau udah selesai ditebalkan pakai spidol atau pulpen merah. Kamu udah tahu, kan, warna apa yang membedakan pola bagian depan dan belakang? 

Jenaka mengangguk. "Warna merah untuk pola bagian depan, biru untuk belakang."

"Nah, bagus. Kamu udah tahu arti garis ini?" Jaya menunjukkan strip titik pada sebuah gambar.

"Tahu. Strip titik menandakan garis lipatan kain. Kan, nanti kainnya dilipat jadi dua. Jadi kalau garisnya warna merah namanya tengah muka. Kalau warna biru tengah belakang."

"Kalau garis ini?" Jaya menunjuk garis titik putus-putus.

"Ini untuk garis bantu, Kak. Biar nanti antara kiri dan kanan sama panjangnya," jawab Jenaka. "Ini, kan, materi dasar yang udah pernah diajarin sama Mbak Malika, kenapa sekarang nggak langsung ke bikin polanya aja?"

Setelah itu, Jenaka melihat Jaya tersenyum tipis sembari memutar pulpen yang sejak tadi digenggam. Jujur saja Jenaka kesal diulur-ulur begini. Dia sudah paham bagian itu, kenapa tidak langsung kepada intinya?

"Oke kita langsung ke materi selanjutnya. Saya akan bantu kamu bikin pola dasar baju wanita. Pertama kamu buat garis lurus dulu di semua sisi. Saya nggak suka berantakan."

Jenaka menurut saja. Ia buat garis di semua sisi kertas. "Apa lagi?"

"Sekarang dari garis ini, kamu hitung dulu seperenam dari lingkar leher di tambah dua senti, terus bikin garis lurus ke bawah. Kamu kasih nama yang atas titik A, yang bawah titik B. Di titik atas ini bikin garis horizontal sesuai dengan ukuran lingkar badan. Jangan lupa dibagi empat dulu. Terus pakai skala 1/4."

"Jadi kalau lingkar badannya 86, di polanya 21,5 ya, Kak?"

"Iya, terus tambah satu senti."

"Oke." Jenaka membuat garis vertikal dan horizontal menggunakan penggaris skala. Vertikal untuk lingkar leher tadi, sedangkan garis horizontal untuk bantuan menentukan lingkar badan. "Udah."

"Dari titik A ini, kamu ukur lagi seperenam lingkar leher, tapi ditambah 0.5 senti. Kamu kasih nama titik A1. Dari titik A1 ke B, kamu bikin kerung leher pakai penggaris siku-siku."

Untuk kesekian kalinya, Jenaka mengikuti instruksi Jaya. Matanya berbinar saat melihat garis kerung. Baru permulaan. Jenaka tidak sabar menyelesaikan pekerjaan ini.

"Dari garis B, kamu bikin garis ke bawah sesuai ukuran panjang muka. Tadi dapet berapa?"

"Tiga puluh senti, Kak."

"Nah, berarti buat garis kayak gimana?"

"Garis titik strip, Kak, soalnya ini garis lipatan."

"Oke, silakan dibuat. Nanti dikasih tanda titik C."

Jenaka membuat garis itu menggunakan penggaris skala. "Udah, Kak. Apa lagi?"

"Dari titik C, kamu ikuti garis lingkar badan tadi. Kasih nama titik D. Habis itu dari titik C, kamu buat garis lingkar pinggang. Rumusannya 1/4 lingkar pinggang ditambah 1 ditambah 3."

"Habis itu?" 

"Dari titik B dan C kamu bagi dua, kasih nama titik M. Titik M ini kamu tarik garis horizontal lingkar badan ditambah satu senti. Kasih nama titik K. Pakai garis putus-putus."

Jenaka menurut lagi membuat garis. 

"Dari titik B, turun lima senti, terus buat garis horizontal untuk setengah lebar muka. Habis itu dari titik A1 kamu buat garis horizontal sesuai ukuran panjang bahu, terus turun sekitar 3 senti dan buat garis bahu. Habis itu, dari B1 kamu tarik garis bantu untuk setengah lebar muka. Nah, dari titik K, kamu masuk 8 senti, kamu tarik garis lurus dari bahu sampai garis ini, terus bentuk kerung lengannya pakai penggaris siku-siku. Kamu pastikan lagi ukuran kerung lengannya sudah sesuai apa belum."

"Kalau belum sesuai gimana, Kak?" 

"Kamu tambahin lagi garis kerungnya."

Jenaka membuat garis sesuai arahan Jaya. Matanya kembali berbinar saat pola bajunya sebentar lagi akan terbentuk.

"Sekarang kamu buat garis kupnatnya. Sudah tahu kupnat, kan?"

"Udah, Kak."

"Nah, caranya dari titik C, kamu buat garis dari sepersepuluh lingkar pinggang ditambah satu. Kamu kasih nama C2. Dari C2, tambah 3 senti. Di antara garis ini, kamu tarik ke atas sebanyak 12 senti."

Garis kupnat tadi menjadi akhir proses pembuatan pola bagian depan. Jenaka benar-benar berhasil membuatnya. Tinggal bagian belakang.

"Susah nggak?" tanya Jaya setelah Jenaka selesai menebalkan garis pola itu menggunakan pulpen merah.

"Susah, tapi saya coba buat memahaminya lagi nanti."

"Mau langsung ke pola bagian belakang?" 

"Istirahat dulu boleh nggak, Kak? Kepala saya ngebul, nih!" 

Jaya terkekeh. Tangannya terulur mengacak rambut Jenaka. Seketika Jenaka tertegun. Secara tidak sadar ia dan Jaya menjadi orang yang akrab, tanpa teringat status yang mengekang mereka. Bahkan, Jenaka baru sadar dirinya dan Jaya duduk begitu dekat. Tidak ada jarak sama sekali. 

"Kamu mau makan sesuatu? Saya belikan kalau mau," tawar Jaya. 

Dalam sekejap, raut wajah Jenaka berubah. Kembali datar. Sekali lagi, ia tidak mau terjebak dalam pesona sang mantan. "Nggak usah. Saya nggak laper. Saya cuma mau rebahan di kamar aja."

Sebelum Jaya membalas, Jenaka sudah beranjak masuk ke kamarnya. Dia langsung duduk di pinggir ranjang untuk mengistirahatkan kaki yang sejak tadi ditekuk. Matanya melirik ke jendela kecil yang tidak tertutup tirai. Awan hitam menggumpal di langit. Angin sesekali menyapa. Dalam waktu singkat, cahaya matahari tertutup sempurna. Petir mulai terdengar. 

Tak lama hujan turun. Awalnya ringan, tetapi lama-lama deras dan suasana berubah mencekam. Situasi ini membuat Jenaka yakin untuk menarik selimut dan tidur dengan tenang. Namun, baru saja akan merebahkan diri, Jenaka mendengar ketukan pintu yang keras dari arah luar. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Jaya. 

"Jen! Buka pintunya!" 

Jenaka mengernyit. Dari suaranya, Jaya seperti sedang ketakutan. Apa mungkin di luar sedang ada perampokan? 

Sontak saja Jenaka bangkit dan langsung membuka pintu. Selanjutnya, ia merasakan tubuhnya didekap erat, apalagi saat petir menggelegar. Jenaka gelagapan dan ingin melepas, tetapi ia merasakan tubuh Jaya gemetaran.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro