Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ketiga • Keputusan Sepihak


Sial, sial, sial! 

Jenaka sungguh menyesal menolak ajakan pulang dari Aiman. Andai saja pulang sebelum hujan tadi, pasti tidak akan bertemu dengan Jaya dan berakhir seperti ini. Kini, ia hanya bisa pasrah saat dua bapak ini membawanya dan Jaya ke rumah Pak Fuad selaku RT. Apalagi, Jaya sama sekali tidak melakukan perlawanan. Entah apa yang dipikirkan laki-laki ini. Kenapa sama sekali tidak mengeluarkan pembelaan?

Sesampainya di rumah Pak Fuad, Jenaka benar-benar tidak bisa berkutik lagi saat dua bapak ini menjelaskan kronologi kejadian sesuai apa yang mereka lihat. Saat Pak Fuad memberikan kesempatan kepada Jenaka untuk menjelaskan, dua bapak ini kembali memotong ucapannya.

"Halah, dia ini cuma mengada-ada, Pak. Wong tadi jelas-jelas mereka ada di pos ronda, baju perempuan ini juga terbuka," kata salah satu bapak.

"Harus berapa kali saya jelasin, sih, Pak? Itu tadi nggak sengaja gara-gara baju saya ada uletnya. Yang Bapak lihat itu nggak selalu sesuai dengan kenyataan. Saya udah jelasin berkali-kali, lho." Jenaka membalas.

"Tetap saja namanya laki-laki dan perempuan berduaan di tempat sepi itu nggak baik. Apalagi, di desa kita nggak boleh ada pemuda yang berbuat zina. Kalau ada yang berani ngelakuin itu harus dinikahkan!" sela bapak satu lagi.

"Ya ampun, Pak. Emang buktinya apa kalau kami berbuat zina? Yang tadi dijelasin sama Jenaka itu memang benar adanya." Kali ini Jaya bersuara. "Seperti yang dibilang Jenaka, yang kalian itu nggak selalu sesuai sama kenyataannya. Kenapa kalian cepat sekali berasumsi bahwa kami melakukan sesuatu yang bukan-bukan?"

Namun, sepertinya dua bapak itu tidak mau mendengarkan. Wajah mereka masih mengeras. Pak Fuad sampai melerai mereka. 

"Begini saja, Pak Fuad. Sebaiknya dua anak ini langsung dinikahkan saja. Kalau kejadian ini sampai menyebar luas, desa kita bisa tercoreng," ucap Pak Sobri. 

Jenaka kehilangan kesabaran. Bisa-bisanya mereka tidak percaya dan tetap pada pendiriannya. Jenaka tidak habis pikir mereka semudah itu menyimpulkan masalah padahal sudah dijelaskan yang sebenarnya.

"Sebaiknya kita diskusikan dulu sama orang tua perempuan ini." Pak Fuad bicara. "Kamu anaknya Pak Harun, kan?" tanya pria itu pada Jenaka. 

"Iya, Pak," jawab Jenaka. 

"Oke, saya hubungi bapak kamu, ya." Selanjutnya, Pak Fuad beralih menatap Jaya. "Kalau kamu orang baru, ya? Ada kerabat di sini?" 

"Nggak ada, Pak. Saya sendiri di sini."

"Oh, berarti kamu telepon keluargamu, ya. Kita harus secepatnya mengambil keputusan sebelum warga lain tahu."

Jenaka menggeleng, masih berusaha untuk membela diri. "Keputusan yang kayak gimana lagi, sih, Pak? Kami udah jelas-jelas ngasih tahu yang sebenarnya, kalian nggak percaya."

"Mbak sebaiknya tenang dulu. Kita pikirkan baik-baik jalan keluarnya."

Jenaka mendengkus. Mau tenang bagaimana kalau sebentar lagi bapaknya datang terus dicuci otaknya oleh dua bapak tukang fitnah ini! Kalau bapaknya sampai percaya dengan ucapan mereka, Jenaka tidak tahu lagi harus bagaimana lagi. Apa mungkin menyusul ibunya ke surga adalah solusi yang bagus? 

Ah, tidak-tidak. Masih ada Jaya di sini. Pasti laki-laki itu mau mengeluarkannya dari lingkaran setan ini. 

"Pak Jaya, ngomong lagi, dong!" Jenaka menyenggol lengan Jaya. Sungguh dirinya buntu sekarang. Jaya merupakan harapan satu-satunya. 

"Kamu yang jelasin aja nggak percaya, gimana dengan saya?"

"Terus, Anda mau pasrah gitu aja? Pak Jaya mau biarin mereka nikahin kita?" 

"Ya, mau gimana lagi. Mungkin masalah ini bisa selesai kalau kita nurutin kemauan mereka."

Jenaka terbelalak. Apa katanya? Menurut saja? Benar-benar di luar nalarnya. "Pak Jaya ini aneh, masa mau nikah dadakan kayak gini? Sama mantan pula." 

"Emang kenapa? Kamu nggak mau nikah sama saya?" 

"Ya, jelas nggak, lah! Mati aja saya kalo harus nikah sama Bapak!" 

"Tapi, kalau ini jalan satu-satunya yang bikin saya bisa jelasin semuanya ke kamu, mungkin saya mau aja nikahin kamu."

Jenaka semakin tidak mengerti. Kenapa kesialan menimpanya dengan beruntun? Kenapa pula dirinya harus tinggal di desa ini? Desa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Sekali ada celah, yang membicarakan bisa sampai berjilid-jilid. Para orang tua di sini masih banyak yang berpikiran sempit dan warga sekitar masih mudah terprovokasi. Lengkap sudah. 

Lihat saja, kan, sejak tadi penjelasannya tidak berguna. Para tetua ini lebih memilih bicara berdasarkan kesimpulannya sendiri. Wajar karena mereka cukup disegani di desa ini. Ucapannya pasti akan dipercaya. Ya, tidak heran kalau Pak Fuad sampai kebingungan. Belum lagi kalau bapaknya juga ikut percaya. Habis sudah hidup Jenaka. 

Sekitar sepuluh menit kemudian, Harun, bapaknya Jenaka, datang. Jenaka ingin segera menjelaskan semuanya, tetapi dua orang bapak tadi lagi-lagi menghalanginya untuk bicara. 

"Begini, Pak Harun. Tadi pas lagi hujan, saya sama Pak Sobri ngeliat anak Bapak sama laki-laki ini di pos ronda, mau berbuat mesum. Jadi, kami sama Pak Fuad sudah sepakat untuk menikahkan mereka supaya nggak bikin malu desa ini."

"Pak, itu semua nggak bener!" seru Jenaka. "Kejadian sebenarnya nggak kayak gini!" 

"Pak Harun, sebaiknya anak Bapak ini dinasihati biar nggak membohongi orang tua."

"Ya Allah, Pak, saya itu nggak bohong!" Jenaka kian jengkel.

"Jena, ayo ikut Bapak!" 

Harun menarik lengan Jenaka menjauh dari keramaian itu. Ini kesempatan bagus untuk Jenaka menjelaskan semuanya. 

"Kamu ini bener-bener bikin bapak malu," kata Harun. 

"Pak, aku jelasin yang sebenarnya. Jadi, tadi itu hujan. Aku berteduh di pos ronda. Terus tiba-tiba Pak Jaya datang, berteduh juga. Terus pas mau pulang di baju aku ada ulet. Nah, Pak Jaya niat mau ngambilin, tapi aku malah kepeleset. Kami jatuh, deh."

"Bapak heran siapa yang ngajarin kamu jadi pembohong begini? Pak Sobri dan Pak Diman nggak mungkin bohong."

Sudah diduga akhirnya akan menjadi seperti ini. Harun lebih percaya pada mereka daripada anaknya sendiri. 

"Ya Allah, Pak. Aku nggak mungkin kayak gitu sama laki-laki. Bapak tahu sendiri, kan, aku ini nggak pernah punya pacar. Ya, nggak mungkin aku berani ngelakuin hal memalukan kayak gitu."

"Justru itu, Jena, karena kamu nggak punya pacar, kamu selalu jadi bahan omongan. Kamu harus sadar udah waktunya kamu nikah. Lihat teman-teman kamu, mereka semua udah nikah bahkan udah punya anak."

"Pak, aku akan menikah, tapi nggak sekarang. Aku masih 23 tahun. Bapak lebih rela aku nikah sama laki-laki itu daripada nunggu beberapa tahun lagi?" Suara Jenaka mulai berat. Bola matanya memanas. Kenapa hidupnya harus seperti ini? Kenapa nasib sial selalu menimpanya? 

"Nggak ada jalan lain, Jena. Kamu tahu sendiri, kan, Pak Sobri dan Pak Diman seperti apa orangnya. Nggak ada yang nggak percaya sama omongan mereka. Mendingan kamu turuti saja kemauannya, nikah sama laki-laki itu."

"Pak!" Jenaka kehabisan kalimat. Hilang sudah tenaganya. Yang ada sekarang hanya air mata yang satu per satu jatuh membasahi pipinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro