Kesembilan Belas • Kedatangan Keluarga
"Biar saya yang tidur di sini. Kamu tetep di kasur."
Jenaka diam saja ketika Jaya meletakkan karpet, bantal, dan selimut di dekat ranjang. Ia terpaksa menuruti Jaya yang ingin tidur sekamar dengannya. Daripada nanti saat tidur, hujan petir ada lagi, terus Jaya mengganggunya, malah merepotkan. Jenaka masih punya hati.
"Jangan pernah berani menyentuh area ini!" Jenaka membuat pembatas menggunakan guling.
"Saya janji nggak akan naik ke kasur. Sekalipun saya ngigau," ucap Jaya sembari menata tempat tidurnya. Jenaka berusaha percaya. Ya, semoga saja Jaya itu terus memegang ucapannya.
Jenaka pun melakukan hal yang sama. Ia menyapu kasur, kemudian meletakkan bantal dan gulingnya. Setelah itu, Jenaka merebahkan tubuhnya, lalu menarik selimut hingga atas perut.
Tidak ada pembicaraan di antara sepasang suami istri itu. Bahkan, Jenaka memiringkan kepala membelakangi Jaya. Sebisa mungkin dirinya menghindari interaksi dengan lelaki itu. Pokoknya hanya malam ini mereka tidur di satu ruangan.
"Jen, kamu udah tidur?"
Jenaka mendengarnya, tetapi ia memilih berpura-pura tidur. Malas menanggapi Jaya.
"Besok atau lusa Bunda sama Yasmin mau ke sini. Kayaknya bakal nginep beberapa hari."
Mata yang semula tertutup seketika terbuka lebar setelah mendengar perkataan Jaya selanjutnya. Jenaka sontak membalikkan tubuhnya dan pandangan mereka bertemu. Jenaka bisa melihat dengan jelas wajah Jaya. Posisi tangan laki-laki itu terlipat di bawah kepala.
"Ke sini?" ulang Jenaka.
"Iya."
"Dalam rangka apa?"
"Nengokin saya sama mau ketemu kamu. Habis kata Bunda kelamaan nunggu kita yang ke sana."
"Oh." Jenaka berhenti. Tubuhnya yang semula miring sekarang lurus.
"Kalau Bunda ada di sini, ya, kita bakal kayak gini setiap malam."
"Apa?" Jenaka kembali menegakkan tubuhnya. "Ya, nggak bisa, dong! Saya nggak mau!"
"Kita nggak mungkin pisah ranjang, Jena. Apa kata Bunda kalau ngeliat saya tidur di luar?"
"Ya, itu lebih baik daripada bohong sama orang tua, Kak! Nggak masalah, kan, kalau kita apa adanya? Lagian, saya yakin Bunda bakal mengerti kalau kita ini nggak saling cinta."
"Terus kamu lebih memilih Bunda melihat semuanya? Kamu lebih tega nyakitin hatinya daripada bikin Bunda senang? Lagian, kita cuma sekamar, Jena. Nggak sekasur."
Jenaka ingin membalas, tetapi tersangkut di lehernya. Jujur saja dia lemah mendengar semua perkataan Jaya. Dia lemah jika menyangkut hati seorang ibu, wanita yang rela bertaruh nyawa demi menghadirkan seorang manusia. Lagi pula, hanya beberapa hari, bukan selamanya.
"Ya udah, terserah Anda," ucap Jenaka akhirnya. Wajah perempuan itu mengeras. Jenaka kembali membelakangi Jaya. Berusaha memejamkan matanya.
"Bunda pasti seneng ketemu kamu. Dari dulu Bunda pengen banget ketemu sama kamu."
Jenaka diam. Dulu, Jaya memang kerap menceritakan tentang dirinya saat menghubungi bundanya. Apa saja diceritakan, seperti Jenaka bisa mengupas jagung dari kulitnya, Jenaka habis membuat wedang jahe, Jenaka menang lomba lari, dan hal random lainnya yang berhubungan dengan Jenaka. Tidak hanya itu, Jenaka juga pernah bicara sekali dengan bundanya Jaya, meskipun hanya sebentar lantaran pulsa Jaya habis.
Besok atau lusa Jenaka akan bertemu dengan wanita itu, bersama keponakan Jaya yang bernama Yasmin itu. Jujur saja Jenaka penasaran dengan anak itu. Apakah anak itu pendiam? Atau justru lincah seperti anak pada umumnya? Jenaka tidak ada masalah dengan tingkah anak kecil. Hanya saja, apakah Yasmin mau menerima kehadirannya?
Untuk apa Jenaka memusingkan perasaan Yasmin dan Bunda? Toh, dirinya hanya sampai enam bulan menjadi istrinya Jaya. Jenaka tidak mau terbawa perasaan.
Di kelas, Jaya memberikan bagaimana cara mengukur badan sebelum menjahit pakaian. Satu per satu peserta maju ke depan, memperagakan caranya sesuai dengan arahan Jaya di manekin. Jenaka menyimak sekali lagi, barangkali kemarin ada yang terlewatkan. Namun, apa yang disampaikan hari ini dan kemarin sama saja.
"Untuk bulan ini, kita fokus ke busana wanita dulu, ya. Kalian harus tahu bagaimana cara membuat pola dasarnya sehingga nanti bisa pecah pola."
Kelas pun berakhir pada pukul dua siang. Semula Jenaka ingin pergi ke rumah jahit Malika. Namun, dia teringat jika hari ini Bunda dan Yasmin datang. Jaya tadi pagi sudah memastikan. Kira-kira antara pukul tiga atau empat mereka tiba.
"Ini nanti saya harus masak apa, Kak?" tanya Jenaka saat perjalanan menuju rumah.
"Masak biasanya aja. Paling nanti saya beliin permen yupi buat Yasmin. Dia suka banget."
Jenaka hanya membalas 'oh' setelah itu. Kalau begitu, mungkin nanti Jenaka akan membuat sayur bayam dan ayam goreng untuk Yasmin. Semoga saja rasanya tidak mengecewakan.
Setibanya di rumah, Jenaka mulai beres-beres rumah. Menyapu dan mengepel lantai, juga mengelap kaca jendela. Selanjutnya, Jenaka membersihkan dapur. Area ini yang sering berantakan, padahal tidak pernah masak berat. Sementara itu, Jaya kini sedang belanja.
Dari kamarnya, Jenaka mendengar deru mobil berhenti di depan rumah. Jenaka lantas keluar. Dari kejauhan, matanya menangkap seorang wanita dan anak kecil keluar dari mobil tersebut. Sepertinya itu Bunda dan Yasmin.
Jenaka gelagapan. Bagaimana ini? Jaya belum pulang. Dirinya harus apa?
Yang bisa Jenaka lakukan hanya menyambut mereka. Jenaka membukakan pintu, lalu tersenyum lebar untuk menyambut Bunda dan Yasmin.
"Kamu Jenaka, ya?" tanya wanita berjilbab putih yang Jenaka yakini adalah Bunda.
"Iya, saya Jenaka."
"Jenaka itu siapa, Bunda?" Kali ini anak perempuan berkepang dua yang bersuara. Jenaka mengernyit. Kenapa anak ini menyebut Bunda juga? Oh, mungkin karena sering mendengar Jaya, makanya jadi kebiasaan.
"Tante Jenaka ini istrinya Ayah Jaya. Ayo, salim!"
Jenaka makin bingung. Kenapa Jaya dipanggil ayah? Apa karena anak ini tidak punya orang tua?
Namun, Jenaka menyambut tangan kecil yang terulur ke arahnya. Bibirnya menyungging senyum. "Hai, nama kamu Yasmin, kan?"
"Iya. Kok, Tante tahu?"
"Tahu, dong. Sama Ayah Jaya udah dikasih tahu."
Selanjutnya, Jenaka mengajak Bunda dan Yasmin masuk. Untung saja rumah sudah bersih. Setidaknya keadaan tidak memalukan.
"Ayah ke mana, Tante?" tanya Yasmin.
"Ayah lagi belanja. Sebentar lagi pulang, kok," jawab Jenaka. "Yasmin suka minum apa? Tante buatin mau?"
"Nggak usah repot-repot, Jenaka. Kamu mendingan duduk aja di sini," sela Bunda.
"Nggak repot, kok, Bunda. Saya buatin minum dulu, ya. Kalian, kan, habis perjalanan jauh."
Yasmin kemudian berkata, "Aku mau sirup jeruk, Tante. Ada?"
"Ada. Sebentar, ya, Tante buatin."
Jenaka tetap masuk ke dapur meskipun Bunda sudah melarangnya. Ia membuat teh untuk Bunda dan sirup jeruk untuk Yasmin.
Yasmin menyambut kedatangannya dengan senyum riang. Anak itu langsung mengambil gelas berisi sirup. "Makasih, Tante!"
"Sama-sama."
Jenaka duduk lagi. Nampan yang tadi dipakai untuk membawa minuman ia letakkan di sampingnya. Matanya memperhatikan Yasmin yang langsung meminum sirupnya sampai habis. Setelah itu, Yasmin keluar saat melihat anak kecil seusianya melintas.
Ditinggal berdua saja membuat suasana berubah canggung. Jenaka bingung harus memulai percakapan dari mana.
"Kamu pasti bingung, ya, kenapa Yasmin manggil om-nya dengan sebutan ayah?" tanya Bunda.
Jenaka tersenyum kikuk mendengar itu. "Sebenarnya saya udah beberapa kali denger dari anak tetangga. Cuma emang rasanya aneh aja."
"Sejak kakaknya meninggal karena kecelakaan, Jaya yang mengambil alih pengasuhan Yasmin dan bisnis kakaknya. Kadang Bunda merasa bersalah. Harusnya begitu dia lulus kuliah bisa mencari pekerjaan sesuai bidangnya, tetapi dia malah mulai dari nol lagi demi bisnis kakaknya. Bunda juga yang bikin kalian putus."
Seketika telinga Jenaka tegak sempurna. Apa ini yang sebenarnya mau dijelaskan Jaya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro