Kesembilan - Belajar dari Kesalahan
Tidak disangka, Jaya menerimanya sebagai pacar. Jenaka senang bukan kepalang. Dia tidak berhenti menceritakan itu ke teman-temannya. Namun, tidak ada satu dari mereka yang percaya.
"Halah, paling kamu lagi ngarang cerita. Ngarep pengen jadi pacarnya Mas Jaya. Nggak percaya aku kalau dia mau sama kamu."
"Eh, beneran! Kak Jaya sekarang pacar aku. Aku nembak terus dia terima." Jenaka terus berusaha menjelaskan ke mereka. Ya, meskipun akhirnya mendapatkan tatapan sinis. Jenaka yang kesal itu akhirnya memilih pulang.
Sampai di rumah, Jenaka merasa terhibur dengan SMS-SMS dari Jaya. Setiap malam gadis itu tidak kesepian lagi. Mereka kerap berkirim SMS, saling menandai postingan di akun Facebook, hingga sesekali bertemu di saat Jaya selesai kegiatan. Dari situlah teman-teman Jenaka mulai percaya dan merasa iri karena berhasil dekat bahkan menjadi pacar salah satu mahasiswa KKN. Jenaka jadi senang dirinya jadi pusat perhatian.
Sampai akhirnya tibalah hari yang Jenaka benci. Perpisahan KKN. Para mahasiswa telah selesai mengabdi di kampungnya dan malam ini sedang mengadakan pagelaran wayang sebagai serangkaian acara perpisahan. Tadi siang sampai sore, mereka mengadakan acara perlombaan untuk anak SD dan SMP.
Berakhirnya KKN, berakhir pula kebersamaan Jenaka dan Jaya, tetapi sepasang kekasih beda usia itu tidak memutuskan hubungannya. Mereka berdua memilih berhubungan jarak jauh.
"Kakak janji kalau liburan nanti bakal ke sini nengokin kamu," kata Jaya sebelum pergi.
"Janji, ya?"
"Iya."
Jaya sudah pergi. Namun, Jenaka tidak kesepian. Setiap malam, Jaya menyempatkan diri untuk menelepon Jenaka sampai Jenaka diomeli bapaknya. Mereka juga masih aktif membagikan postingan di akun Facebook masing-masing, bedanya kini Jenaka membuat status berisi kerinduan kepada Jaya.
Berbulan-bulan berlalu, saat Jenaka sedang sibuk ujian nasional dan mendaftar SMA, hubungannya dengan Jaya merenggang. Laki-laki itu juga mengaku sedang sibuk menyusun laporan. Telepon intens setiap malam perlahan memudar. Pernah Jenaka iseng menelepon, tetapi tidak diangkat oleh Jaya. Jenaka kesal karena ini pertama kalinya Jaya mengabaikannya. Untuk menumpahkan emosi itu, Jenaka mengirim banyak SMS, menyindir Jaya lewat status Facebook, dan menelepon sampai berkali-kali.
Seminggu Jenaka melakukan itu, Jaya membalas teleponnya. Namun, kabar buruk justru yang menghantam Jenaka.
"Jena, maaf ya, kayaknya kita udahan aja."
Tentu saja Jenaka marah mendengar itu. Dirinya sudah lama menunggu kabar, giliran muncul malah membuatnya kesal. "Kenapa tiba-tiba Kakak mutusin aku? Kenapa Kakak nggak pernah telepon aku sama nggak pernah bales SMS aku? Kok, Kakak berubah, sih?"
"Aku nggak berubah, Jen. Aku masih sama kayak dulu."
"Ya kalau nggak berubah, kenapa Kakak mutusin aku tiba-tiba? Oh, apa jangan di sana Kakak udah punya cewek baru, ya? Kakak selingkuh?"
"Jen, aku nggak bisa kasih alasannya sekarang, tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku masih sayang sama kamu."
"Kalau masih sayang kenapa harus pisah?" Suara Jenaka bergetar. Bola matanya mulai panas dan siap menumpahkan hujan deras. Kenapa harus seperti ini akhirnya? Padahal, Jenaka sudah membayangkan dirinya dan Jaya akan terus bersama sampai menikah.
"Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan dan itu nggak ada hubungannya sama kamu, terus kamu juga mau lanjut sekolah, kan? Nah, lebih baik kita jalan masing-masing aja. Kamu raih cita-cita kamu, aku selesaiin urusan aku. Setelah ini, aku nggak akan ganggu kamu lagi."
Jenaka langsung mematikan telepon dan menangis kencang. Sejak saat itu, Jenaka melenyapkan semua kenangan yang menyangkut Jaya. Jenaka mengganti nomornya, menutup akun Facebook-nya, dan menghapus foto-fotonya bersama Jaya.
Kembali ke masa kini. Jenaka melebarkan mata ketika menemukan cahaya di balik gorden jendela. Perempuan itu mengubah posisi menjadi duduk, mencoba mengumpulkan nyawa. Hidungnya menghirup aroma masakan dari arah dapur. Karena penasaran, Jenaka memutuskan berdiri dan bergerak keluar kamar.
Sampai di dapur, Jenaka menemukan Jaya sedang memindahkan nasi goreng ke dua piring putih. Jenaka terhenyak. Jaya membuatkannya sarapan? Ya, Jenaka yakin satu piring itu untuknya karena di sini hanya dua orang.
"Udah bangun?" Jaya sudah menyadari keberadaan Jenaka. Lelaki itu memutar tubuhnya sembari membawa dua piring dan diletakkan di meja kotak berukuran kecil.
"Pak Jaya masak?" tanya Jenaka dengan mata berkedip sekali, kemudian menatap nasi goreng di piring itu. Kalau dilihat dari bentuknya, sih, sepertinya tidak mengecewakan.
"Kenapa? Nggak pernah liat cowok masak?"
Jenaka menggeleng sebagai jawaban. Jelas, di rumah bapaknya tidak pernah masak, bahkan untuk sekadar goreng telur pun harus Jenaka yang melakukan.
"Dulu saya tinggal di kos-kosan, terus terpaksa, deh, saya belajar masak biar pengeluaran nggak banyak."
"Nggak ada yang nanya." Jenaka melengos, mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Ia teguk minuman itu sampai habis. Tenggorokannya kembali segar setelah dibasahi.
Jenaka duduk di salah satu kursi, memandangi nasi goreng yang masih mengepul. Ia ingin menyantap, apalagi ini makanan kesukaannya, tetapi entah kenapa gengsi masih menutupi.
"Kamu udah nggak suka nasi goreng?"
Perempuan itu tersentak setelah mendengar suara Jaya begitu dekat. Padahal sudah tujuh tahun yang lalu, kenapa Jaya masih ingat?
"Masih, tapi saya mau bikin sendiri."
Mata Jenaka dengan mata Jaya bertemu. Tanpa butuh waktu lama, Jenaka bisa menyelami mata teduh milik pria itu. Masih sama seperti dulu. Jenaka menyadari itu. Jaya berusaha masuk kembali. Berusaha membobol dinding yang sudah ia bangun bertahun-tahun.
Tidak. Jenaka tidak mau terjebak untuk kedua kalinya. Jenaka tidak mau mengulang kesalahan tujuh tahun yang lalu. Jenaka tidak mau seperti dulu. Jaya adalah bagian dari masa lalunya. Dan, masa lalu itu harusnya tidak perlu dipelajari ulang, kan?
"Saya tahu apa yang saya lakukan tujuh tahun—"
"Bisa nggak usah dibahas lagi?" Jenaka memotong ucapan Jaya. "Kayaknya kita nggak perlu ungkit-ungkit masa lalu. Buat saya, masa lalu itu udah nggak ada. Jadi, Pak Jaya nggak perlu bahas atau jelasin alasan sebenarnya. Udah percuma. Saya udah nggak punya perasaan apa-apa."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Jenaka berdiri supaya berjarak dengan Jaya. "Saya udah belajar dari kesalahan tujuh tahun yang lalu. Harusnya saat itu saya nggak ngejar Anda. Harusnya saat itu saya nggak bilang suka. Harusnya saat itu kita nggak pacaran. Saya sadar, kok. Saya ini masih kecil di mata Pak Jaya. Ya, apa, sih, yang diharapkan dari gadis 23 tahun seperti saya? Nggak ada."
Jenaka menggerakkan kaki, hendak masuk ke kamar mandi. Namun, suara Jaya lagi-lagi menghentikan langkahnya.
"Saya juga belajar dari kesalahan. Harusnya dulu saya percaya sama kamu. Harusnya dulu saya nggak mutusin kamu. Kalau itu tidak terjadi, bukannya kita masih sama-sama sampai sekarang? Mungkin sekarang ... kamu nggak benci sama saya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro