Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kelima Belas • Kenapa Peduli?


Hari ini Jenaka dan Jaya menghadiri undangan sidang pertama isbat nikahnya. Namun, sepanjang jalan, juga saat tiba di kantor pengadilan agama, Jenaka sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Kepalanya terus memikirkan kejadian tadi pagi. Benar-benar memalukan.

"Tolong yang tadi lupain aja. Anggap aja tadi nggak ada kejadian itu atau anggap aja Jenaka itu nggak ada." Jenaka memberikan ultimatum. Namun, mulutnya justru dijepit menggunakan jari oleh Jaya. Tentu saja Jenaka berontak. Jaya sudah lancang. 

"Saya tahu kamu benci sama saya, tapi bisa kalau ngomong jangan sembarangan? Kalau malaikat denger gimana? Emang kamu udah siap mati sekarang?" 

"Ya, nggak mati juga, Pak! Intinya lupain kejadian tadi."

"Iya, Jenaka. Saya bakalan lupain kejadian itu, kalau bisa."

Jenaka melirik tajam, tetapi hanya sebentar. Kakinya bergerak memasuki ruang sidang. Dalam sidang pertama hakim memeriksa berkas-berkas permohonan juga menanyakan kepada Jaya dan Jenaka terkait permohonan tersebut. Jadi, di sana tidak memakan waktu lama. Mereka kembali lagi pada minggu depan.

"Itu tadi katanya di sidang kedua kita harus menghadirkan saksi-saksi. Kita harus menghadirkan siapa?" tanya Jenaka saat melangkah meninggalkan ruang sidang.

"Ya, yang ada di pernikahan kita waktu itu. Kayak Pak Sobri, Pak Fuad, Pak Diman, istrinya Pak Fuad, sama Bapak kamu. Masa orang lain."

Jenaka mengembuskan napas. "Duh, kenapa harus ada mereka, sih? Nggak bisa orang lain gitu, ya?"

"Ya, nggak bisa, Jena. Yang nanti datang ke sini ya, yang tahu pernikahan kita. Kalau orang lain, hakim nggak akan percaya."

Setelah itu Jenaka berhenti bicara. Jujur saja dirinya masih enggan bertemu dengan orang-orang yang disebutkan itu. Karena merekalah dirinya dan Jaya terjebak di situasi yang aneh ini. Sampai sekarang saja Jenaka malas bertemu dengan dua bapak itu. Demi kewarasannya, Jenaka tidak masalah jika dirinya dicap anak yang kurang ajar. 

"Kalau nanti Pak Diman sama Pak Sobri ngomong yang nggak-nggak kayak kemarin itu, terus Pak Hakim-nya percaya, bukannya malah bikin susah, ya? Kalau permohonan ini ditolak gimana?" Jenaka mengeluarkan suara setelah beberapa saat tenggelam dalam pikiran. Sebenarnya Jenaka sendiri tidak masalah jika usaha Jaya yang ini gagal. Toh, nanti kalau berpisah, tinggal pergi. Tidak perlu mengurus surat ini-itu. 

"Saya nanti bicara sama mereka untuk nggak bilang kayak gitu saat datang ke persidangan nanti. Kamu tenang aja."

Jenaka sangsi. Memangnya bisa Jaya membuat mereka percaya?

"Emang bisa?" Jenaka mengeluarkan isi kepalanya. 

"Ya dicoba dulu. Semoga aja bisa. Lagian, kita udah nurutin kemauan mereka, sekarang giliran mereka yang harus nurut sama kita."

Mendengar itu, dalam hati Jenaka sepakat. Semoga saja usaha Jaya berhasil. Pak Sobri dan Pak Diman mau mendengarkannya. 

"Sekarang ke toko kain batik, ya. Beli kain batiknya," kata Jaya, lalu menyerahkan helm kepada Jenaka.

Jenaka menerima helm itu, memasangnya di kepala. Di sisi lain, Jaya sedang menyalakan motor bebeknya. Setelah motor menyala, Jenaka duduk di belakang. Tas miliknya menjadi pembatasnya dengan Jaya.

"Nggak mau pegangan?" tanya Jaya.

"Bisa pegangan di belakang," jawab Jenaka.

 "Yakin? Peluk pinggang saya nggak masalah, lho."

"Makasih tawarannya. Saya lebih memilih pegangan di belakang."

"Ya udah."

Jaya mulai mencengkeram tuas rem agak dalam sehingga Jenaka tersentak dan refleks memeluk pinggangnya. Setelah tersadar, Jenaka melepas pelukan itu dan memukul keras punggung laki-laki itu dengan keras.

"Pelan-pelan!" seru Jenaka. "Bikin kaget tau!" 

Bukannya takut, Jaya justru tertawa. "Ayo, peluk lagi."

"Ora sudi!"

Jenaka meletakkan salah satu tangannya di belakang, sedangkan tangan satu lagi mencengkeram tasnya. Pokoknya jangan sampai bersentuhan fisik lagi. Jenaka tidak mau terlalu jauh berurusan dengan Jaya. 

Sesampainya di toko kain, Jenaka turun dari motor, melangkah masuk tanpa menunggu Jaya. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kain-kain batik dengan motif yang berbeda. Jenaka mulai meraba salah satunya. Halus. Warna serta motifnya juga cantik. Pasti harganya mahal. 

Jenaka beralih ke rak lain. Ia membuka beberapa kain di sana, mengeluarkan aroma yang khas. Batik ini pasti masih dibuat manual.

"Kamu mau pilih yang mana?" Jaya muncul dan berdiri di belakang Jenaka. Ia juga ikut memegang salah satu kain. 

Jenaka meletakkan kain batik di rak. "Saya masih bingung sebenarnya. Ada saran?" 

"Menurut saya, kamu harus cari kain katun. Kain katun cocok buat pemula kayak kamu karena mudah diatur dan dibentuk, terus jahitnya juga gampang."

"Iya, sih. Mbak Malika pernah bilang begitu."

"Toko ini juga rekomendasi dari Mbak Malika."

Jenaka manggut-manggut. 

Setelah beberapa menit memilih, akhirnya Jenaka membeli kain batik motif tujuh rupa sebanyak lima meter serta kain polos berwarna merah muda sebanyak tiga meter. Rencananya nanti akan dikombinasi dengan kain batiknya.

"Habis ini kita mau ke mana lagi, Kak?" Jenaka bertanya karena yang menyetir motornya, kan, Jaya. Untuk kali ini saja Jenaka menurut kepada laki-laki itu.

"Ya langsung pulang."

"Lho, nggak ke Mbak Malika dulu?"

"Kita, kan, udah izin. Lagian, kelasnya belum selesai."

"Terus saya belajarnya kapan?"

"Hari ini, tapi di rumah."

"Ya udah, deh, terserah."

Mereka melanjutkan perjalanan. Sebelum tiba di rumah, Jaya menepi sejenak di warung makan. Lelaki itu membeli dua bungkus nasi untuk makan siang. Kali ini Jenaka tidak protes karena perutnya sudah lapar.

"Makan dulu, Jen. Kamu pasti udah laper, kan?" Jaya meletakkan bungkusan itu di meja ketika tiba di rumah.

Jenaka mengangguk. "Iya, udah laper banget."

Jaya pamit keluar, membiarkan Jenaka menyantap makanannya. Jenaka langsung membuka karet yang melilit kertas nasi. Nasi hangat serta ayam laos menyapa perempuan itu setelah terbuka. Jenaka tidak mau menundanya lagi, segera saja makanan itu masuk ke perutnya. 

Beberapa menit kemudian, Jaya kembali dengan membawa dua gelas es cokelat. Jenaka tahu laki-laki itu pasti beli di warung seberang.

"Saya belajarnya mulai dari mana, Kak?" tanya Jenaka di sela-sela makan. 

"Kemarin saya udah bilang, kamu belajar bikin pola dasar dulu. Kalau kamu udah paham, baru belajar caranya pecah pola."

Jenaka menelan makanannya. "Waktunya cukup nggak, ya?" 

"Cukup, kok. Asalkan kamu nggak malas aja."

"Saya ini udah semangat, lho. Anda aja yang dari semalam aneh."

Jaya tidak membalas. Ia justru mengeluarkan sebungkus rokok dan korek. Saat Jaya akan mengapit satu puntung ke mulutnya, Jenaka langsung merebut benda itu dan membuangnya ke lantai.

"Bisa nggak kalo lagi ngomong sama saya nggak usah nyalain rokok? Saya lagi makan." Jenaka ingat sekali dulu Jaya tidak seperti ini. Jaya memang perokok, tetapi tidak pernah menyalakannya ketika sedang bersamanya. "Lagian rokok itu nggak sehat. Kenapa masih aja dilakuin?" 

Jaya memungut puntung rokok yang sudah patah akibat ulah Jenaka. Benda itu dibuang karena sudah tidak bisa diisap. "Nggak ngerokok pun saya udah nggak sehat. Lagian, kenapa kamu peduli sama saya? Bukannya kamu yang bilang pernikahan ini sampai kelas selesai?" 

Jenaka tertegun sejenak mendengar ucapan Jaya. "Ya, tapi saya juga berhak buat protes. Asap rokoknya itu mengganggu. Kalau mau ngerokok ya di luar, jangan di sini." 

"Oke, kamu menang. Saya nggak akan merokok di depan kamu lagi."

Jenaka tidak membalas lagi. Ia justru teringat saat pertama kali menemukan Jaya sedang merokok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro