Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keenam - Devaju

Kala itu, Jenaka sedang belajar mengendarai sepeda motor bersama salah satu temannya, namanya Asih. Sebelumnya, Asih sudah mengajari bagaimana cara memegang pedal dan gas dan giliran Jenaka menunggangi motornya di jalan.

"Pokoknya kalau kamu mau belok dan masih takut, kamu berhenti aja dulu. Nanti aku ikutin di belakang, ya." Asih memberikan instruksi dan Jenaka mengangguk paham.

Motor dihidupkan, Jenaka duduk di atasnya. Setelah berhasil menguasai tubuh, ia menggerakkan gas sedikit demi sedikit. Asih mengikuti di belakang menggunakan motor lain.

Jantung Jenaka berdebar kencang hingga tangannya berkeringat, apalagi saat melintasi jalanan yang masih berupa bebatuan. Pada putaran pertama, kedua, dan ketiga, Jenaka berhasil belok dengan mulus. Jenaka mulai tenang dan kembali ke putaran selanjutnya. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama sebab saat akan berbalik arah, ada sebuah sepeda motor yang melintas dari arah berlawanan. 

Refleks Jenaka menggerakkan pedal, tetapi yang dipegang justru gas, bukan rem. Sontak saja kecepatan motornya bertambah dan Jenaka kehilangan keseimbangan. Teriakan Asih semakin membuat Jenaka panik hingga kehilangan konsentrasi. Motor akhirnya tidak terkendali dan baru berhenti saat bertubrukan dengan batang pohon. Jenaka tersungkur di jalan. 

Dalam sekejap, orang-orang yang melihat kejadian itu langsung menolong Jenaka. Paling banyak dari para mahasiswa KKN yang pada saat kejadian itu sedang duduk semua di pos ronda. Ada yang menegakkan sepeda motor dan ada satu laki-laki yang menarik tangan Jenaka. 

"Aduh!" rintih Jenaka saat mencoba berdiri. Ia merasakan perih pada bagian lututnya.

"Kamu duduk sini dulu." 

Laki-laki itu memapah Jenaka sampai di sebuah pos ronda. Jarak keduanya sangat dekat hingga Jenaka bisa mencium aroma parfum yang dikenakan pria itu. Sejenak, Jenaka kehilangan fokusnya, sebelum akhirnya kembali merintih kesakitan ketika laki-laki tersebut menyentuh kakinya. 

"Lutut kamu berdarah. Ini harus diobati," kata laki-laki itu. 

"Motornya?" Jujur saja keadaan motor jauh lebih penting daripada kakinya. Motor tersebut milik Asih. Kalau ada yang rusak, kan, berarti harus memberikan ganti rugi. 

"Kamu nggak usah khawatir, motornya udah diambil sama temen kamu. Dia kayaknya juga yang lagi obat buat kaki kamu."

Jenaka mengembuskan napas lega. Syukurlah kalau motor itu sudah diambil oleh Asih. Semoga saja tidak ada yang rusak supaya Asih tidak dimarahi ibunya. 

Rupanya benar, Asih datang membawa kotak berisi obat-obatan. Jenaka pikir temannya itu yang akan membersihkan lukanya, ternyata malah laki-laki ini. Jenaka tidak bisa berkutik kala laki-laki itu mengeluarkan kapas, lalu diberi tetesan obat merah, dan diusap pelan-pelan ke kulit yang lecet-lecet. Jenaka menggigit bibirnya menahan perih.

"Udah selesai!" kata laki-laki itu dan matanya menatap wajah Jenaka. Seketika Jenaka terpana. Jika dilihat dari dekat, laki-laki ini cukup tampan. Memiliki garis rahang yang tegas, sedikit kumis, mata bulat, hidung mancung, kulit putih bersih, serta rambut hitam kecokelatan, sepertinya disemir. 

"Rumahmu di mana? Biar saya antar kamu pulang."

Jenaka tergagap. Laki-laki itu ingin mengantarkannya pulang? Sungguh? 

"Aku bisa pulang sama temenku, Kak. Jadi Kakak nggak usah nganterin. Lagian ngerepotin Kakak nanti."

"Nggak ngerepotin, kok. Temen kamu juga bisa langsung istirahat. Sekarang kamu kasih tau aja letak rumahmu."

"Rumahku di dekat masjid Istikomah, Kak."

"Oke, ayo saya antar. Mau jalan kaki atau naik motor?"

"Jalan kaki saja, Kak. Soalnya deket."

Laki-laki itu benar-benar mengantarkan Jenaka sampai rumah. Untuk pertama kalinya Jenaka merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Laki-laki ini tampan, baik, dan perhatian. Tidak seperti bapaknya yang bersikap datar.

"Sampai sini aja, Kak. Terima kasih," kata Jenaka. 

"Sama-sama. Langsung istirahat, ya. Kalau makin parah lukanya, harus pergi ke dokter."

Jenaka tersenyum kikuk. Merasakan hangat di sekujur tubuhnya. "Makasih, Kak."

"Nama kamu siapa?" 

"Jenaka," jawab Jenaka dengan wajah bersemu merah. Tidak percaya kalau laki-laki ini mengajaknya berkenalan. "Kalau nama Kakak siapa?" 

"Jaya."

Jenaka menarik paksa tangannya yang digenggam Jaya, lalu melangkah cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan luka. Perlakuan Jaya tadi mengingatkannya pada saat pertama kali bertemu. Jenaka seperti dejavu.

Jaya masih sama seperti dulu. Masih perhatian dan peka. Namun, kenapa yang Jenaka ingat hanya keputusan sepihak laki-laki itu?

Setelah tangannya bersih, Jenaka kembali masuk ke kelas. Jenaka melihat sebagian temannya ada yang sudah mencoba memasang jarum dan sepatu mesin jahit. Ada juga yang sudah mulai menjahit dengan media kertas. Jenaka menghela napas berat. Lagi-lagi dirinya tertinggal. Dia masih harus menguasai pedal dinamo dan fokus pada gerakan jarum. 

"Kamu mau coba lepas pasang jarum?" 

Suara Jaya di belakang berhasil mengejutkan Jenaka, tetapi perempuan itu tidak melakukan kesalahan yang sama. Ia bisa mengendalikan kakinya. 

Belum mendapat persetujuan, Jaya sudah mengendurkan sekrup yang menjepit jarum dengan dudukannya pada mesin jahit Jenaka. Jarum pun terlepas. 

"Kamu perhatikan bentuk jarum ini. Yang pipih ini nanti menempel sama dudukannya, terus cara pasangnya kamu masukin ke lubang dudukan ini, harus mentok sampai atas. Pastikan jarumnya nggak geser, baru kamu kencangkan lagi sekrupnya."

Jenaka mengangguk mengerti. Ia mulai memasang jarum sesuai arahan Jaya. Wajahnya tersenyum cerah begitu jarum terpasang dengan semestinya. 

"Nah, sekarang kamu latihan pakai kertas ini, pastikan jarumnya nggak keluar dari garis. Kertasnya kamu jepit pakai sepatu. Cara naikin sepatunya gimana? Kamu tarik tuas di belakang ini, terus kalau kertasnya udah pas, kamu turunin lagi tuasnya pelan-pelan."

Mata Jenaka terus memperhatikan Jaya yang sedang menggerakkan tuas yang terhubung dengan sepatu. Fokusnya teralihkan akibat pesona Jaya yang terlalu kuat.

"Jen, paham nggak?" 

Suara berat pria itu lagi-lagi mengejutkan Jenaka. Ia tertangkap basah sedang memperhatikan Jaya. Ini tidak bisa dibiarkan! Jenaka tidak boleh jatuh lagi. Perasaannya sudah terkubur dalam-dalam sejak tujuh tahun yang lalu. 

"Paham, Pak," jawab Jenaka, kemudian mulai menirukan apa yang diajarkan Jaya. Saat kakinya menekan pedal, Jenaka dilanda panik karena kertasnya tidak mau lurus. Alhasil jarum tidak sesuai dengan garis. Kertasnya juga koyak. 

Jaya memberikan kertas yang utuh. "Ulang."

Jenaka mengangguk. Ia mulai memasang kertas di bawah sepatu dan mulai menjahit lagi. Namun, kertasnya terus keluar jalur. Jenaka mencobanya terus-menerus sampai kertas yang sobek terkumpul banyak.

"Kok gini terus, sih?" Jenaka menyalurkan kekesalannya dengan melempar kertas.

"Nggak ada yang instan, Jenaka. Semuanya butuh proses. Kamu kira Didiet Maulana yang kamu jadikan role model itu langsung jadi perancang busana? Nggak, Jena. Masa gini aja kamu udah nyerah."

Ucapan Jaya berhasil menohok hati Jenaka. Jaya benar. Baru segini saja masa sudah mau menyerah? Katanya untuk menggapai cita-cita itu harus berdarah dulu. Apa yang dirasakannya sekarang belum sebanding dengan para pendahulunya yang sudah memakan banyak pengalaman.

Namun, lagi-lagi Jenaka merasa dejavu karena tujuh tahun yang lalu, Jaya pernah memotivasinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro