Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keenam Belas • Sisi Lain

Saat ikut berkumpul dengan anak-anak KKN, Jenaka selalu melihat beberapa bungkus rokok di meja. Ada beberapa mahasiswa yang menyalakan, kecuali Jaya. Jenaka mengiranya Jaya tidak merokok. Namun, saat laki-laki itu mengantarkannya ke pasar, di situlah pertama kalinya Jenaka melihat Jaya mengisap rokok.

"Lho, jadi, Kak Jaya ngerokok juga?"

Jaya membuang puntung rokok yang tersisa di tanah, diinjak agar apinya mati. "Iya, Jena. Kenapa?"

"Aku kira Kak Jaya bukan perokok. Soalnya selama ini aku nggak pernah lihat Kakak ngerokok."

Jaya mengambil alih tas belanja di tangan Jenaka. Spontan Jenaka tersenyum tipis. Tanpa diminta, Jaya selalu sigap membantunya. Inilah yang membuat Jenaka semakin kagum.

"Kamu ada masalah dengan perokok?" tanya Jaya.

"Nggak, sih, asalkan yang merokok itu tahu situasi. Misalnya, ada satu kelompok, salah satunya nggak bisa menghirup asap apa pun, tapi ada orang yang dengan sengaja merokok di depan dia, nah itu yang menurut aku bikin kesel. Sama satu lagi, kalau lagi duduk berdua, terus dia nyalain rokok tanpa tanya dulu, aku juga kesel, tuh."

"Jadi kamu nggak apa-apa kalau misalnya Kakak perokok?"

Jenaka terdiam cukup lama. Sebenarnya dia tidak suka, tetapi kalau Jaya yang bertanya, Jenaka jadi ragu untuk menjawabnya. Kalau setelah mendengar jawaban itu, Jaya tiba-tiba memutuskan hubungan ini, bagaimana? Baik, berarti jawabannya harus netral. "Tergantung, sih. Kalau bisa ya mendingan nggak usah ngerokok sekalian. Tapi, kan, itu urusan pribadi masing-masing. Toh, masih jadi pacar, belum jadi suami. Aku nggak mau ngatur-ngatur hidup Kakak. Kalau merokok bikin Kakak senang, ya masa aku larang."

Mereka terus berjalan menerobos hiruk pikuk di kanan-kirinya. Sesekali Jenaka melirik Jaya yang menatap lurus ke depan.

"Sebenarnya, Kakak ngerokok kalau lagi capek aja."

"Hah?" Jenaka mengernyit. "Capek kenapa? Ada masalah?" 

"Ya biasa, ada sesuatu yang bikin situasi jadi runyam. Cara satu-satunya biar pikiran tenang, ya, dengan merokok."

"Aneh. Kalau mau tenang ya cari angin, ini malah cari penyakit. Tapi, mau gimana lagi. Coba Kakak cari cara lain. Mungkin dengan nulis, gambar, atau jalan-jalan. Kan, lumayan nggak ngerusak tubuh." 

"Boleh juga saran kamu." Dengan satu tangannya, Jaya mengelus kepala Jenaka. "Makasih, ya."

Jenaka tersenyum lebar. Dalam hatinya ada sesuatu yang mendesak untuk keluar. Sebisa mungkin Jenaka menahan diri agar tidak berteriak kencang. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan, bahkan dari bapaknya sendiri. Jujur sejak dulu Jenaka memimpikan dirinya begitu disayang seorang laki-laki. Hanya saja Harun tidak pernah memberikan itu. Katanya, suami itu mencari nafkah, sedangkan mengurus anak tugas istri sepenuhnya. 

Maka tidak heran jika selama ini Jenaka lebih dekat dengan sang ibu ketimbang bapak. Jenaka merasa sangat kehilangan ketika ibunya meninggal akibat asap rokok itu. Ibunya merupakan seorang perokok aktif. Setiap hari ibunya mengisap benda itu, apalagi kalau habis bertengkar dengan bapaknya. Sampai akhirnya dokter memvonis ibunya sakit kanker paru-paru. Jenaka berusaha keras agar ibunya tetap hidup. Sayangnya Allah lebih memilih mengambil nyawa wanita kesayangan Jenaka. 

Setelah ibunya pergi, Jenaka jadi benci dengan asap rokok. Namun, dirinya tidak bisa melarang orang lain untuk berhenti merokok. Yang bisa ia lakukan hanya menghindar. Melihat Jaya merokok tadi, jujur saja Jenaka sedikit takut. Jenaka takut kehilangan laki-laki itu.

"Kita mulai belajarnya sekarang!" 

Setelah mengatakan itu, Jaya meminta Jenaka menyiapkan pita meteran, buku, dan pulpen. Tanpa menunggu lama, semua barang tersebut telah siap karena dari semalam Jenaka belum menyingkirkannya. 

"Kita mulai dari cara mengukur badan dulu. Kamu harus paham dulu bagian tubuh mana saja yang harus diukur sebelum membuat pakaian." Jaya mengambil pita meteran di meja, lalu menyuruh Jenaka berdiri tegak. "Berhubung di sini nggak ada maneken, kamu yang jadi objeknya."

Jenaka terbelalak. "Nggak mau! Kenapa nggak Kakak aja, terus saya yang ukur?" 

"Lah, yang mau dibuat itu baju perempuan. Bentuk tubuh perempuan dan laki-laki itu beda. Ya, aneh kalau kamu ukur badan saya."

Jenaka menggaruk kepalanya. Kalau Jaya yang melakukan, berarti nanti tubuhnya bakal disentuh, dong. Kalau menolak, ujungnya tidak jadi belajar. Serba salah. 

"Kamu ganti pakaian dulu sana! Pakai kaus biar gampang."

Jenaka makin tidak mengerti. "Kenapa harus ganti baju? Ini bukan modus, kan?" 

"Bukan, Jena. Saya serius."

"Kalau di tukang jahit nggak disuruh ganti baju, tuh."

"Itu beda lagi. Sekarang, kan, kamu di rumah, cuma ada saya. Biar mudah mendingan kamu pakai kaus."

Jenaka mendengkus, tetapi kakinya bergerak menuju kamar, lagi-lagi menuruti perintah Jaya. Kini, Jenaka mengenakan kaus lengan pendek warna biru muda. Celananya tidak ganti.

"Udah ganti, nih. Habis itu ngapain lagi?" 

"Kamu berdiri di sini." Jaya menarik bahu Jenaka supaya berdiri di hadapannya. "Yang harus kamu cari sebelum bikin pola adalah ukuran lingkar badan, lingkar pinggang, dan lingkar pinggul kalau bajunya panjang. Nah dalam pola pakaian, dibagi jadi dua, bagian muka dan belakang."

Jaya mulai meletakkan pita meteran di sekeliling leher Jenaka. "Sebenarnya mau dimulai dari bagian mana itu terserah penjahitnya. Nah, saya biasanya mulainya mengukur lingkar leher. Karena sekarang yang mau kamu pelajari adalah pola dasar, jadi kita ambil ukuran standar aja. Tambah satu senti kalau mau longgar."

Jenaka mengangguk. Sementara itu, Jaya mencatat angka di kertas. 

"Yang kedua mengukur lingkar badan. Caranya lingkarkan meteran ke sekeliling badan, di bawah ketiak, ya, jangan sama tangan-tangannya."

Jenaka mengangguk lagi. Matanya memperhatikan Jaya yang memasukkan empat jarinya ke lilitan meteran di badan.

"Tambah empat senti atau empat jari kalau mau longgar."

"Habis itu apa lagi?" tanya Jenaka.

"Ukur lingkar pinggang. Caranya sama kayak lingkar badan tadi, tinggal lingkar meterannya di bagian pinggang yang biasanya untuk tempat kolor celana. Tambah dua senti biar agak longgar. Habis itu, ukur lingkar pinggulnya. Pinggul letaknya sepuluh senti dari pinggang." 

Jaya membungkuk untuk mengambil ukuran lingkar pinggul. Tak lupa Jaya mencatatnya. "Pokoknya kalau habis ngukur, jangan lupa dicatat biar nggak salah. Syukur kalau kebesaran, kalau kekecilan susah benerinnya."

Jenaka manggut-manggut. "Apa lagi sekarang?" 

"Panjang muka. Diukur dari tulang yang menonjol di bawah leher sampai batas ikat pinggang. Terus ukur lebarnya. Cara ukurnya dari tengah kerung lengan sebelah kanan sampai kerung lengan sebelah kiri."

Usai mencatat hasilnya, Jaya kembali meletakkan pita meteran. Kali ini di bahu kiri Jenaka. "Sekarang kita cari lebar bahunya. Diukur dari lekukan leher sampai ujung bahu. Habis itu cari panjang bajunya. Diukur dari tengkuk bagian bawah sampai ukuran yang diinginkan."

Jenaka menggerakkan kepalanya ke atas-bawah, memahami penjelasan Jaya. Ia cukup kagum dengan pria itu. Memang, ya, garis hidup manusia tidak ada yang tahu. Yang Jenaka tahu, Jaya tidak mengambil jurusan tata busana saat kuliah. Anehnya, Jaya yang paling tahu segalanya. Jenaka melihat sisi lain dari Jaya hari ini. 

"Kakak belajar dari siapa?" tanya Jenaka. 

"Dari Bunda."

Jenaka terdiam setelah itu. Sepertinya Bunda mengajarkan banyak hal kepada Jaya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro