Keempat Belas • Kejadian Pagi
Tujuh tahun yang lalu, ponsel Jaya tercebur di sungai saat ikut anak-anak memancing ikan. Sudah dicari tidak ketemu. Alhasil, Jaya terpaksa membeli ponsel bekas supaya tidak ketinggalan informasi. Jenaka yang menemani Jaya pergi ke konter.
"Masih cukup uangnya buat beli kartu perdana, Kak?" tanya Jenaka saat Jaya menggeledah isi dompetnya.
Rupanya masih ada uang pecahan dua puluh ribuan di dalam dompet Jaya. "Nah, ada!"
"Aku juga mau beli, ah!" Jenaka mengeluarkan uang dari saku celananya. Lalu, Jenaka menukar kartu perdana milik Jaya dengan kartu perdana yang delapan digit angka yang sama seperti miliknya.
"Kamu mau ganti nomor?" tanya Jaya. Mereka kini sudah berjalan meninggalkan konter.
"Iya, Kak, biar nomor kita samaan. Cuma beda tiga angka aja. Kakak bisa dengan mudah hafalin nomor aku, begitu juga dengan aku."
Jaya mengangguk. "Wah, ide yang bagus, tuh. Kebetulan aku memang susah hafalin nomor orang."
"Aku pinter, kan? Jadi, Kak Jaya nggak perlu kesusahan cari nomor telepon aku, tinggal ganti tiga angka di belakang."
"Terus nomor kamu yang dulu mau diapain?"
"Mau aku buang. Soalnya nomor itu udah tersebar di mana-mana. Banyak orang aneh yang tiba-tiba telepon, Kak."
"Terus, guru-guru kamu gimana?"
"Itu gampang, Kak. Tinggal kasih aja nomor aku yang baru."
"Ya udah, kalau kamu nggak keberatan dan nggak ada masalah."
Sejak saat itu, nomor mereka hanya beda tiga digit. Hal itu memudahkan Jenaka untuk menghubungi Jaya, begitupun sebaliknya. Namun, setelah Jaya memutuskan hubungannya tanpa keterangan yang jelas, Jenaka mengganti nomor itu sebagai cara untuk melupakan Jaya.
"Saya pernah menghubungi kamu, tapi nggak bisa-bisa. Dan ternyata saya tahu sekarang, kamu udah ganti nomor itu."
Suara Jaya menarik Jenaka ke masa kini. Perempuan itu terdiam sesaat. Entah kenapa ia merasa ganjil. "Kenapa Kakak hubungi saya? Bukannya kita udah putus?"
"Saya mau jelasin semuanya ke kamu."
"Kenapa nggak waktu telepon itu? Kenapa ngomongnya setengah-setengah?"
"Saat itu saya merasa belum cukup mental buat jelasin ke kamu. Pas saya udah siap, kamu malah susah dihubungi. Ternyata kamu udah ganti nomor."
"Lho, kan, Anda udah mutusin saya, jadi saya berhak, dong, hapus semua yang menyangkut Anda biar cepet move on."
"Kenyataannya kita sekarang malah ketemu lagi dan jadi pasangan suami istri."
Jenaka mendengkus. Makin panas telinganya mendengar ocehan Jaya yang tidak bermutu. "Nggak usah bahas-bahas lagi. Kita cuma sampai enam bulan!"
"Kamu beneran nggak mau selamanya sama saya?"
"Iya! Menurut saya, pernikahan ini kayak jebakan buat saya dan saya pastikan enam bulan kemudian saya keluar dari jebakan ini. Saya nggak mau punya urusan sama Kakak!"
Setelah itu sunyi. Jenaka memungut piring bekas Jaya dan dirinya, lalu melangkah ke dapur. Rencananya dicuci besok pagi, tetapi biasanya sudah tidak ada karena Jaya yang membersihkannya.
Saat Jenaka balik ke ruang tamu, Jaya masih ada di sana dengan rokok di tangan. Jenaka kemudian memilih masuk saja ke kamar, tetapi Jaya justru memanggilnya.
"Apa lagi?" tanya Jenaka dengan nada ketus.
"Nggak jadi belajar?"
Mendengar kata 'belajar', sekaligus mengingat tujuan awalnya ke sini, membuat Jenaka urung menyentuh kenop pintu. Ia kembali menghampiri Jaya dan duduk sedikit berjauhan dengan lelaki itu.
Jenaka mengeluarkan alat tulisnya. Namun, melihat Jaya tidak bergerak juga, bahkan menyalakan satu puntung rokok lagi, Jenaka menjadi jengkel.
"Emang harus banget belajar sambil merokok?" sindir Jenaka.
Jaya melirik Jenaka sebentar, mengisap rokoknya lagi. Asapnya mengepul di udara. Lelaki itu tidak mengatakan apa pun. Jenaka mengernyit. Ini Jaya kenapa, sih?
"Kalau nggak jelas begini mendingan nggak usah belajar aja!"
Jenaka memungut alat tulisnya, kemudian beranjak menuju kamar. Jaya sama sekali tidak menahannya. Di depan pintu, Jenaka menunggu, barangkali Jaya akan memanggilnya. Namun, cukup lama Jenaka berdiri di sana, tidak terdengar suara Jaya.
"Nggak jelas banget jadi cowok!" gerutu Jenaka, duduk, dan memukul pinggiran ranjang untuk melampiaskan kekesalannya. Meskipun dirinya tidak tahu pasti kenapa harus marah. Bukankah harusnya senang Jaya bereaksi seperti itu? Tidak ada kesempatan kedua untuk laki-laki yang tega memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas.
Satu jam Jenaka bergumul dengan perasaannya sendiri. Padahal, dirinya sudah mencoba memejamkan mata dan berakhir gagal. Kepalanya masih berkelana ke sosok laki-laki di luar sana. Jaya masih merokok atau sudah tidur?
Untuk memastikannya, Jenaka bersiap untuk keluar. Ia buka pintu pelan-pelan, kepalanya melongok ke luar, dan matanya menemukan Jaya telah meringkuk di karpet serta selimut yang menutupi tubuhnya. Berarti laki-laki itu sudah tidur. Jenaka menutup pintunya kembali, tidak jadi keluar.
Jenaka kembali merebahkan tubuh dan mencoba menutup mata. Ia yakin besok baik-baik saja.
"Baru bangun?"
Jenaka yang mengucek matanya seketika berhenti begitu mendengar suara Jaya di depan kompor. Lagi-lagi pria itu membuatkan sarapan untuknya.
"Inget, kan, hari ini kita mau ke mana?" Jaya bersuara lagi. Jenaka jadi bingung sendiri. Jaya sudah lupa dengan percakapan semalam, kah?
"Inget," jawab Jenaka, lalu masuk ke kamar mandi. Di dalam perempuan itu mengguyur tubuhnya, memakai sabun, kemudian dibilas. Saat akan keluar, barulah Jenaka tersadar dirinya lupa membawa baju ganti dan handuk.
Di luar hanya ada Jaya. Otomatis Jenaka harus meminta tolong laki-laki itu. Jenaka terpaksa membuka sedikit pintu sampai kepalanya cukup.
"Kak!"
Tanpa dipanggil dua kali, Jaya sudah otomatis membalikkan tubuhnya. "Kenapa?"
"Tolong ambilin handuk sama baju, dong. Saya lupa."
"Di mana?"
"Ya, handuknya di belakang pintu, terus bajunya di lemari."
"Ya sudah, saya ambilin."
Jenaka menunggu dengan hati yang berkecamuk. Sebentar lagi, Jaya akan melihat isi lemarinya. Ya, memang tidak ada yang aneh, tetapi rasanya malu kalau Jaya melihat dalamannya yang terpampang jelas. Jenaka tidak punya pilihan lain. Mau menunggu Jaya keluar pun tidak mungkin, kan?
Jaya muncul dan langsung meletakkan handuk di telapak tangan Jenaka. Hanya handuk, tidak ada pakaian ganti.
"Lho, bajunya mana, Kak?" tanya Jenaka.
"Kamu ambil sendiri aja. Saya nggak tahu kamu suka pakai baju apa."
"Lah, ambil apa yang ada di lemari. Masa, saya keluar cuma pakai handuk!"
"Ya nggak apa-apa. Saya nggak akan liat kamu."
"Beneran, lho?"
"Iya. Saya tutup mata."
Tanpa berpikir panjang, Jenaka segera melingkarkan handuk ke seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati, Jenaka membuka pintu, sedangkan tangan satu lagi memegang ujung handuk agar tidak terlepas.
"Tutup mata!" perintah Jenaka pada Jaya.
"Iya. Ini saya udah tutup mata." Jaya meletakkan kedua telapak tangannya di wajah.
Jenaka mantap maju, berusaha mengabaikan Jaya yang memalingkan wajah saat dirinya keluar. Secepat mungkin Jenaka melangkah, tetapi karena tidak hati-hati, sandalnya licin, dan tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Namun, tubuh Jenaka tidak menyentuh lantai. Jaya menyentuh bahunya. Tubuhnya dan tubuh Jaya kini saling menempel. Jenaka sempat terpaku. Akan tetapi, dirinya langsung tersadar akan sesuatu. Ia merasakan tubuhnya dingin.
Rupanya lilitan handuknya terlepas dan ... Jaya melihatnya. Tanpa mengenakan sehelai kain pun.
Jenaka buru-buru menegakkan tubuhnya dan menggenggam handuknya kuat-kuat, lalu berlari kencang masuk ke kamar. Sesampainya di sana, Jenaka menguncinya dan menyandarkan punggungnya di daun pintu. Perempuan itu mengatur napas.
Ini gila! Jaya sudah melihat tubuh polosnya. Jenaka benar-benar buntu sekarang!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro