Kedua • Salah Paham
"Jen, kamu beneran nggak kenal sama Pak Jaya?"
Jenaka sudah memprediksi Aiman dan teman-teman di kelasnya pasti akan menanyakan ini. Siapa yang mengira hari ini akan bertemu mantan? Mimpi apa semalam sampai paginya bertemu dengan laki-laki yang meninggalkannya secara tiba-tiba? Kalau boleh memilih, sih, si Jaya itu tenggelamkan saja hingga tidak muncul ke permukaan.
"Nggak. Aku nggak kenal sama dia." Jenaka memilih berbohong. Malas mengungkit masa lalu yang kelam itu.
Namun, sepertinya Aiman tidak puas dengan jawaban Jenaka. Lelaki berambut ikal itu menautkan alis tebalnya. "Tapi, kok, keliatannya Pak Jaya kayak kenal sama kamu. Masa iya nggak pernah ketemu?"
"Ya, bisa aja dia udah biasa SKSD ke cewek-cewek cantik kayak aku."
"Dari mana cantiknya, sih? Kamu mandi aja lima hari sekali."
Wajah bulat Jenaka seketika mengeras. Matanya melebar sempurna. "Heh, enak aja! Aku tadi mandi, kok!"
Aiman tergelak. Tangannya bergerak mengacak rambut hitam lurus milik Jenaka. Selang beberapa detik, Jenaka menjauhkan tubuhnya, lalu merapikan anak rambut di pipi akibat ulah Aiman.
"Pulang bareng nggak, Jen? Kayaknya mau hujan."
Jenaka otomatis mendongak. Memang gumpalan awan hitam mulai bersatu menutupi langit yang semula biru. Sepertinya hari ini akan turun hujan deras. Akan tetapi, kalau pulang cepat, Jenaka akan bertemu dengan bapaknya dan itu sangatlah menguras kesabaran. Satu manusia di muka bumi yang ucapannya paling malas Jenaka dengar adalah bapaknya.
Kebetulan juga rumahnya dan rumah Aiman memang searah. Hanya berjarak tiga rumah. Namun, Jenaka kadangkala menumpang motor Aiman. Gara-gara itu tadi, Jenaka malas pulang cepat dan bertemu bapaknya. Untuk mengisi waktu biasanya Jenaka mendatangi rumah jahit milik Malika, membantu sebisanya. Hitung-hitung menambah isi dompet.
"Nggak, ah, Man. Aku mau jalan-jalan dulu."
"Oh ya udah, aku duluan, ya. Aku udah janji mau nganterin Ibuk kondangan."
Jenaka mengiakan.
Aiman memacu motor supranya meninggalkan Jenaka. Kini, perempuan yang memiliki tinggi badan 154 sentimeter itu sendirian. Telapak kaki berlapis flat shoes itu mulai bergerak di atas aspal. Kepalanya menoleh ke kanan-kiri memperhatikan rumah-rumah. Tak lama terdengar gemuruh dari kejauhan. Belum ada jeda lama, tiba-tiba saja rintik-rintik hujan jatuh.
Jenaka setengah berlari menerjang hujan, lalu ia mendatangi sebuah pos ronda untuk menjadi tempat berlindung. Setelah itu ia mengibas lengan serta rambut yang terkena percikan air. Untung saja tasnya selamat. Di dalamnya terdapat catatan-catatan penting terkait kelas yang selama ini ia ikuti.
Langit terus menumpahkan tangisnya hingga menggenang di jalan, berduet dengan petir dan angin. Jenaka mengusap badannya. Sudah dipastikan dirinya akan mendekam di sini dalam waktu yang lama. Ia pun menyesal karena menolak ajakan pulang dari Aiman.
"Kalau tadi mau, pasti nggak kehujanan begini," gumam Jenaka, menghela napas. Mau main HP pun takut. Kalau tersambar petir bagaimana? Jenaka belum mau menyusul ibunya ke surga secepat ini.
Akhirnya, Jenaka menarik ritsleting tas, mengambil sebuah buku belajar pola dasar pakaian wanita dari sana. Saat melihat gambar dengan huruf-huruf sebagai penanda, kepala Jenaka serasa dipukul palu. Ah, isi otaknya di bawah rata-rata, tetapi nekat menghafal rumus-rumus jlimet ini. Mana sanggup?
Jenaka hanya membolak-balikkan halaman bukunya hingga tidak sadar ada orang lain berdiri di sampingnya. Jenaka berusaha tidak peduli, maunya, sih, tidak menyapa sekalian. Namun, suara orang itu berhasil mengalihkan wajahnya dari buku.
"Ngapain Pak Jaya di sini? Ngikutin saya, ya?"
Lelaki yang tak lain adalah Jaya langsung menoleh. "Ngarep banget diikutin sama saya?"
Jenaka mendengkus. "Ya, terus kenapa Pak Jaya ada di sini? Ganggu pemandangan tau!"
"Ini, kan, tempat umum, jadi bebas, dong, kalau saya ada di sini. Terus, kamu nggak liat hujan masih turun?"
"Ya, kalau mau berteduh di tempat lain, kek! Kenapa harus di sini coba?"
"Karena cuma tempat ini yang terdekat, Jenaka. Kamu kayak anti banget sama saya. Takut move on-nya gagal?"
"Nggak! Siapa yang takut?" balas Jenaka cepat.
"Nah, kalau kamu nggak takut, harusnya biasa aja kalau saya ada di sini. Anggap aja kita itu baru aja ketemu tadi pagi pas di kelas. Itu yang kamu mau, kan?"
Jenaka bungkam. Ya sudahlah, mau diusir secara kasar pun percuma. Sekarang masih hujan dan sepertinya laki-laki ini tidak membawa jas hujan. Makanya berhenti di sini, membiarkan motornya basah kuyup.
"Kamu apa kabar?"
Jenaka memiringkan kepala setelah mendengar pertanyaan itu, memandang visual sang mantan dari samping. Tidak ada yang berubah. Jaya masih memiliki garis wajah yang tegas, terdapat rambut halus di sana, bulu mata pendek, memiliki kantung mata, hidung mancung, dan bibir merah kehitaman akibat rokok. Suaranya yang berat dulu menjadi favorit Jenaka, apalagi ketika sedang menyanyi. Yang Jenaka ingat, dulu rambut Jaya berwarna hitam kecokelatan. Kalau sekarang warnanya hitam legam.
Untuk sejenak, Jenaka tersihir. Namun, perempuan itu langsung teringat dengan telepon terakhir yang ia terima sebelum akhirnya Jaya menghilang dari peradaban. Kalau ingat bagian itu, rasa kesalnya langsung mencuat. Malah sekarang laki-laki ini bertanya bagaimana kabarnya? Ah, dunia kalau sedang bercanda suka tidak kira-kira.
"Menurut Pak Jaya gimana?" Jenaka justru melempar pertanyaan. Biarkan saja si Jaya menebak sendiri.
"Harus 'pak' banget panggilannya?"
"Ya, kan, Anda sudah tua. Pantas aja kalau dipanggil 'pak'."
"Ah, tua-tua begini dulu kamu mau, kok."
Jenaka terbelalak. Salah bicara lagi. "Ya, itu, kan, masa lalu. Saya sekarang menyesal kenapa dulu ngejar-ngejar Anda."
"Kamu beneran benci banget, ya, sama saya?"
Udah tahu pakai tanya, batin Jenaka.
"Jen, tujuh tahun yang lalu, saya punya alasan dan pada saat itu saya nggak bisa langsung jelasin ke kamu. Makanya saya ke sini lagi buat membayar semuanya. Saya pengen kamu dengerin saya."
"Mau alasannya gimana saya nggak minat dengernya, Pak. Kita udah selesai tujuh tahun yang lalu. Jadi, Pak Jaya nggak usah repot-repot jelasin alasannya. Mendingan disimpen aja."
Ya, Jenaka sudah mantap. Apa pun alasannya, ia tidak mau mendengarkan. Masa bodo kalau sekarang dianggap balas dendam. Intinya, Jenaka tidak mau ada urusan lagi dengan pria ini, kecuali urusan kursus.
Maka dari itu, Jenaka mengangkat tasnya, bersiap untuk pergi karena hujan sudah mereda. Namun, sepertinya Jaya belum mau menyerah. Laki-laki itu menangkap lengannya.
"Heh, lepasin!" seru Jenaka. Ia memberontak.
"Bentar, Jen. Di baju kamu ada uletnya."
"Hah! Mana, mana!" Jenaka refleks menjatuhkan tasnya ke dipan bambu yang tadi dipakai duduk, lalu berteriak kencang seraya mengibas kemeja polosnya.
"Sini, saya bantu ambilin."
"Nggak mau!"
Jaya tidak menggubris. Lelaki itu menarik kerah baju Jenaka hingga perempuan itu kehilangan keseimbangan. Tubuh Jenaka ambruk menubruknya di dipan bambu itu.
"Ih, udah dibilangin nggak mau. Sekarang tau akibatnya, kan!"
Jenaka berusaha berdiri, tetapi telinganya justru mendengar teriakan dari seorang bapak-bapak.
"Hei, kalian lagi mesum, ya!"
Jenaka dan Jaya spontan berdiri tegak. Matanya mereka melebar sempurna saat menemukan dua orang bapak-bapak mengenakan jas hujan berdiri tepat di depan.
"Enggak, Pak. Tadi saya jatuh." Jenaka membela diri.
Jaya menimpali, "Dia bener, Pak. Terus, di baju dia tadi ada uletnya. Saya mau bantu ambilin."
"Halah, nggak usah banyak alasan! Kalau kalian nggak berbuat mesum, kenapa kancing baju mbaknya bisa lepas?"
Jenaka langsung menunduk dan matanya membulat saat melihat dua kancing kemeja sudah keluar dari lubangnya. Mungkin gara-gara ditarik Jaya terus jatuh, makanya bisa lepas.
"Pak, ini beneran nggak ada apa-apa. Saya sama dia murni berteduh di sini, terus pas saya mau pulang, dia bilang ada ulet di baju saya. Udah cuma gitu, nggak ada bumbu yang lain. Lagian kalau mau mesum ngapain di tempat terbuka begini? Mendingan langsung ke hotel sekalian." Jenaka mencoba menjelaskan. Semoga saja kedua bapak ini percaya. Sungguh, dia malas kalau berurusan dengan warga.
"Nggak usah dengerin dia, Pak Sobri. Mendingan langsung dibawa ke Pak RT aja biar langsung dinikahkan."
Ucapan itu lantas membuat Jenaka tersentak. Apa? Menikah? Dengan Jaya? Sungguh, ini tidak lucu!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro