Kedelapan • Tinggal Seatap
"Jadi kalian beneran mau tinggal berdua aja?"
Jenaka melirik sembari sedikit menyenggol lengan Jaya. Ya, Jenaka sepakat pindah ke rumah yang ditinggali Jaya. Ada banyak keuntungan yang Jenaka dapatkan. Salah satunya adalah bebas dari bapaknya.
Bertahun-tahun Jenaka merasa hidupnya monoton. Ketemu bapaknya lagi, bapaknya lagi. Ya, mending kalau ada obrolan, dianggap ada saja Jenaka sudah bersyukur sekali. Apalagi sejak jarang bekerja, bapaknya itu selalu minta uang dan kerap bertengkar kalau Jenaka tidak memberikan. Jenaka sendiri sudah lelah dimanfaatkan oleh bapaknya sendiri.
Selain bebas dari bapaknya, manfaat lainnya adalah Jenaka bisa mengambil banyak ilmu dari Jaya. Dia tahu seperti apa pengalaman laki-laki itu. Busana rancangan Jaya kerap dipakai tokoh-tokoh terkenal. Tadi juga Jenaka sempat melihat ada mesin jahit di rumah Jaya. Semakin terang jalan Jenaka untuk menjadi perancang busana yang hebat.
Ya, soal tidur di mana dan bagaimana nantinya itu urusan belakangan. Jenaka yakin Jaya tidak akan macam-macam padanya. Namun, ia tetap waspada.
"Betul, Pak. Kami sudah sepakat ingin hidup mandiri. Supaya Bapak juga punya waktu untuk santai-santai. Kalau ada kami, kan, jadi nggak leluasa. Terus kami juga susah untuk bergerak." Jaya yang menjelaskan, sesuai kesepakatan tadi.
"Ya sudah kalau kalian maunya begitu. Nggak apa-apa kalau kamu mau bawa Jenaka pergi. Lagian, Jenaka bebas mau kamu bawa ke mana pun."
"Rencananya juga kami akan segera mengesahkan pernikahan kami supaya kelak kalau ingin mengurus sesuatu jadi mudah. Status Jenaka juga jelas."
Harun manggut-manggut. "Ya, ya, terserah kalian. Bagus itu, biar kalau anak kalian lahir nanti nggak ribet nanti."
"Anak?" Jenaka mengulang ucapan bapaknya. Bagaimana mau punya anak? Disentuh saja belum pernah!
"Lha, kalian nikah, kan, gara-gara melakukan itu. Udah pasti bakal hamil, kan?"
Jenaka ingin marah, tetapi Jaya berhasil mencegahnya. Dengan gerakan mata, Jaya menyuruh Jenaka mengendalikan amarahnya. Jenaka mengembuskan napas.
Malam itu juga, Jenaka mengemasi pakaian serta merapikan barang-barang yang akan diangkut ke rumah Jaya. Sekitar satu jam kemudian, barulah mereka berangkat ke rumah Jaya. Harun resmi tinggal sendirian. Semoga saja bapaknya itu tidak berulah.
Sesampainya di sana, Jenaka meletakkan tas besar berisi pakaian dan kardus besar berisi barang-barang di lantai ruang tamu. Ia masih menunggu Jaya yang sedang memasukkan motor. Jenaka mengedarkan pandangannya. Rumah ini hanya memiliki satu kamar, ruang tamu merangkap dapur dan kamar mandi. Lantas, dirinya tidur di mana? Tidak mungkin satu kamar dengan Jaya, kan?
Jenaka spontan menggeleng kuat. Tidak bisa membayangkan dirinya tidur bersama dengan mantan pacar.
"Kamu kesambet apa geleng-geleng gitu?" Jaya rupanya sudah berdiri di sebelahnya. "Lagi mikir tidur bareng sama saya, ya?"
Jenaka melotot dan langsung mendorong tubuh Jaya hingga terhuyung. "Nggak sudi tidur sama Anda!"
"Lha, kenapa begitu? Kamu, kan, istri saya sekarang. Udah boleh, lho, tidur bareng, apalagi melakukan lebih dari itu."
Kesal, Jenaka hendak mendorong Jaya lagi, tetapi laki-laki itu berhasil menghindar.
"Kamu tidur di kamar saya, terus saya tidur di sini," kata Jaya. "Saya tahu kamu nggak mau tidur bareng saya. Jadi, silakan pakai kamar itu."
"Oke."
"Besok setelah kelas selesai kamu ikut saya ngurus berkas pernikahan kita."
"Oke."
"Kalau sekarang udah mau dengerin penjelasan saya?"
Mata Jenaka menyipit. "Oh, nggak. Makasih," ucapnya, kemudian mengangkat tas pakaiannya memasuki kamar. Ruangan tersebut tidak cukup luas. Terdapat ambalan yang masih kosong, jam dinding, satu buah lemari, dan kasur berukuran kira-kira 180x90 cm. Tidak ada pajangan selain ambalan itu. Dinding berwarna putih itu dibiarkan polos.
Jenaka membuka lemari. Di dalamnya kosong. Sepertinya Jaya sudah memindahkan pakaiannya ke tempat lain. Jenaka tersenyum lebar. Malam ini dirinya bisa merapikan pakaiannya. Sebelum itu, Jenaka beranjak mencari sapu. Namun, ketika akan menanyakan Jaya, ia justru menemukan lelaki itu berdiri di depan pintu luar dan sedang mengobrol dengan seseorang di telepon.
"Iya, Bunda. Jenaka udah pindah ke sini. Yasmin udah tidur? Dia mau sekolah, kan?"
Yasmin? Jenaka menajamkan pendengarannya. Ia jadi penasaran dengan obrolan itu. Seingatnya, Jaya tidak punya adik perempuan. Jenaka tidak ingat pasti Jaya ini anak tunggal atau memiliki seorang kakak perempuan. Kalau masih sekolah, kan, berarti usianya di bawah Jaya.
"Kalau urusan aku udah selesai, aku bakal pulang, Bun. Aku juga kangen sama Yasmin. Anak itu pasti ngambek aku nggak pulang-pulang."
Jenaka kian tertarik. Jadi Yasmin masih anak-anak? Apa mungkin tahun-tahun sebelumnya Jaya sudah menikah dan punya anak? Atau jangan-jangan status Jaya saat ini masih suami orang dan orang yang dari tadi dipanggil Bunda itu ternyata istrinya.
Ya ampun, jangan katakan kalau dirinya ini istri kedua. Jenaka tidak suka dimadu, apalagi jadi madu.
"Dilanjut besok, ya, kalau Yasmin udah bangun."
Jenaka terkesiap saat Jaya mematikan telepon dan memasukkan ponselnya ke saku celana. Jantung perempuan itu jumpalitan ketika Jaya melangkah mendekatinya. Hawa dingin dalam sekejap menerpa tubuhnya kala mata Jaya menatapnya dengan intens. Lelaki itu begitu tenang, sepertinya tidak tersinggung sama sekali mengetahui Jenaka menguping pembicaraannya.
"Kamu pasti penasaran, ya, saya ngobrol sama siapa?" tanya pria itu dengan alis terangkat sebelah.
"Nggak!" Jenaka berkilah, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan gugupnya.
"Yakin? Kalau nggak penasaran kamu pasti nggak berdiri di sini."
"Saya lagi nyari sapu."
"Sapu ada di belakang, bukan di sini. Kamu harusnya ke arah sana."
Jenaka mendengkus. Sial. Kenapa susah sekali mengelabui Jaya? "Ya, kan saya mau tanya, tapi Bapak lagi teleponan sama orang."
"Kamu sendiri, kan, yang nggak mau dengerin saya. Giliran sekarang kamu malah nguping orang telepon."
"Kan, saya nggak sengaja." Jenaka masih membela diri. "Emang kenapa kalau saya tahu soal Yasmin itu? Takut kalau Yasmin itu tahu di sini Bapak nikah diam-diam sama saya?"
Selanjutnya, Jenaka melihat Jaya memicing, tak lama bibirnya bergetar dan tawa terdengar.
"Jadi, kamu mikir Yasmin itu istri saya?"
Jenaka berkedip. "Antara pacar atau istri. Kalau adik, kan, nggak mungkin. Waktu kenalan di kelas itu, Bapak bilang masih single. Jangan-jangan itu kedok, ya?"
Jaya menahan senyum, memasukkan salah satu tangannya ke kantung celana. "Ternyata kamu polos, ya."
Bukannya memperjelas, Jaya justru menggerakkan kakinya menuju kamar mandi, meninggalkan Jenaka beserta tanda tanya besar di kepala. Jenaka mengepalkan tangan untuk menahan kesal. Ah, sial! Kenapa dirinya harus mendengar percakapan itu? Siapa Yasmin sebenarnya?
Tujuh tahun yang lalu, Jenaka kian gencar mendekati Jaya. Setiap kali pulang sekolah, Jenaka tidak langsung pulang, melainkan pergi ke pos KKN. Alasan apa saja ia buat supaya bisa mendekati laki-laki itu. Kadang-kadang Jenaka bisa sampai magrib di sana sampai bapaknya marah-marah.
"Kak Jaya anak tunggal?"
Jaya yang pada saat itu sedang membaca tulisan Jenaka spontan menoleh. "Kakak punya Kakak perempuan di Surabaya. Dia udah nikah sekarang."
Jenaka mengangguk. "Kalau pacar, Kakak udah punya?"
"Belum."
"Kalau jadi pacar aku mau nggak?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro