Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kedelapan Belas • Bukan Modus, Kan?

Jaya terus di kamar sampai hujan benar-benar berhenti. Kalau duduk saja, mungkin Jenaka akan maklum. Namun, kenyataannya setiap kali petir datang, Jaya selalu memeluknya. Mana durasinya cukup lama.

"Ini diminum." Jenaka meletakkan gelas berisi teh manis hangat di meja. Katanya teh hangat bisa menenangkan pikiran. Maka dari itu Jenaka berinisiatif membuatkan minuman itu. Manjur atau tidak urusan nanti.

Jaya langsung menangkup gelas tersebut, menyeruputnya sedikit demi sedikit. Sementara itu, Jenaka sibuk membersihkan sisa air hujan di depan rumah. Di luar juga banyak tetangga yang melakukan hal yang sama. Jenaka tidak bisa menghindari mereka.

"Jena, udah berapa bulan sekarang? Kok, masih kecil perutnya?" tanya seorang ibu-ibu.

Jenaka memegang gagang alat pel erat-erat. Dia sudah tahu arahnya ke mana. Menikah dadakan begini, ya, udah pasti tidak jauh-jauh dari hamil duluan.

"Ya jelas nggak keliatan, lah, Bu. Wong saya belum hamil." Jenaka membela dirinya sendiri. Kalau bukan dirinya, siapa lagi? Orang lain tidak ada yang peduli dengan perasaannya. Mereka hanya mementingkan pemikirannya sendiri. Tidak mau mendengar pendapatnya. 

"Lho, buktinya kamu nikah buru-buru, pasti takut perutmu cepet besar, kan?" 

Jenaka mendengkus. Mau dijelaskan pakai bahasa alien pun, orang tua ini tidak akan paham. 

"Jangan keseringan pulang malam, to, Mbak Jena. Kasian dedenya. Masa, lagi hamil keluyuran terus."

Ini siapa, sih, yang membuat narasi dirinya sedang hamil? Jenaka tidak habis pikir kenapa ada orang yang berani membuat fitnah seperti itu. Kalau tersebar ke mana-mana, kan, dosanya juga ikut ke mana-mana. 

"Bu, ngerasa nyium bau nggak?" Jenaka mendekat, kemudian mengendus-endus ke dekat ibu-ibu itu.

Ibu-ibu itu lantas memundurkan kepalanya. Matanya menyipit saat menatap Jenaka. "Bau apa, to?"

"Bau bangkai. Katanya kalau ngomongin orang itu ibarat makan bangkai saudara sendiri. Hiii." 

Jenaka mengatakan itu sembari mengibas tangannya di depan hidung. Sontak saja mata ibu itu terbelalak sempurna.

"Anak setan! Berani ngomong kayak gitu sama orang tua!" 

Jenaka tidak takut sama sekali. Ia justru melenggang masuk membawa sapu serta alat pel yang barusan digunakan. Celotehan ibu-ibu itu ia abaikan. Jenaka sudah tidak peduli lagi dirinya dicap anak setan. Malas berurusan dengan orang stipe ibu-ibu tadi. Lagi pula, dirinya begini sampai enam bulan ke depan. Setelah itu bebas. 

Setelah menutup pintu, Jenaka mendapati Jaya masih duduk menikmati teh hangat. Laki-laki itu langsung menoleh begitu mendengar suaranya. 

"Kamu ngomong sama siapa?" tanya Jaya. 

"Kepo." Jenaka enggan membalas. Ia meletakkan peralatan kebersihan tadi di belakang. Tak lama kembali lagi ke tempat semula. 

"Kakak nggak mandi?" 

Jaya menoleh, matanya mengerjap. Cukup terkejut mendengar pertanyaan Jenaka barusan. "Kamu tanya saya?" tanya pria itu seraya menunjuk dirinya sendiri. 

"Lha, iya. Siapa lagi di sini yang dipanggil kakak?" 

"Dingin, Jena. Saya nggak mau mandi."

"Eh, nggak bisa gitu. Saya paling nggak suka sama orang jorok. Dingin bukan alasan. Kan, bisa hidupin kompor buat manasin air."

"Jen, saya takut kalau petir itu datang lagi. Mendingan saya nggak ke mana-mana. Kamu juga jangan ke mana-mana."

Jenaka melipat kedua tangannya. Meneliti Jaya dari atas sampai bawah, lalu dari bawah ke atas. Begitu seterusnya sampai lehernya pegal. "Kak Jaya sejak kapan takut sama petir?" 

"Sejak kecil."

"Masa? Dulu nggak keliatan, tuh. Ini bukan modus, kan?" 

"Kalau bisa, saya mau ini rekayasa, Jena. Buktinya saya nggak bisa mengendalikan ketakutan itu." 

Jenaka tertegun. Tampak jelas perbedaannya, kok. Jenaka bisa merasakan cengkeraman Jaya saat memeluknya, bahkan tubuh pria itu sempat gemetaran. Kalau modus tidak mungkin begitu. 

"Tapi, Kakak harus tetep mandi. Kalau dingin saya bisa panasin air."

"Temenin, ya?" 

Refleks Jenaka melotot. "Nggak mau! Kakak udah gede. Masa mandi masih ditemenin."

"Jen, serius saya takut ada petir lagi."

"Nggak akan ada petir lagi! Hujannya juga udah berhenti."

"Jen, kita nggak tahu pasti kapan hujan itu datang. Yang tadinya panas, semenit kemudian berubah gelap. Lagian, saya mintanya ditemenin di depan pintu aja, Jena. Nggak sampai di dalam kamar mandi juga."

Benar juga. Jenaka, kan, bisa menunggu di luar, bukan di dalam. Astaga pikirannya sudah ke mana-mana. Wajahnya langsung memanas karena malu. Semoga saja Jaya tidak menyadari itu.

"Ini beneran harus ditemenin?" 

"Iya. Cuma di depan pintu, Jen."

"Ya udah, deh. Ini mau sekalian panasin air juga?" 

"Boleh."

Tanpa bicara lagi, Jenaka beranjak ke dapur. Mengisi teko dengan air, meletakkannya di atas kompor, lalu menyalakan apinya. Sementara itu, Jaya mengikuti di belakang. Ada handuk dan baju ganti di bahunya. 

Beberapa menit kemudian, teko berbunyi nyaring, pertanda air sudah mendidih. Jenaka lantas mundur selangkah, menyodorkan lap ke arah Jaya. 

"Ambil dan tuang sendiri. Saya bakal di sini terus."

Jaya menerima lap itu. "Makasih, Jena."

Jenaka tidak membalas.

Saat Jaya masuk ke kamar mandi, Jenaka menghidupkan kompor lagi. Kali ini mengambil panci rebus, diisi dengan air, lalu diletakkan di atas api. Setelah itu, Jenaka membuka wadah berisi mi instan. Jenaka mengambil satu bungkus rasa ayam bawang. Begitu airnya mendidih, Jenaka memasukkan mi sekaligus telur.

Sekitar lima belas menit kemudian, Jaya keluar. Kalau tadi laki-laki itu mengenakan kemeja polos berwarna biru, sekarang kaus polos berwarna hitam dan celana pendek melekat di tubuhnya. 

Jaya bertanya usai menengok panci yang baru saja ditutup Jenaka, "Kamu masak mi?" 

"Iya," jawab Jenaka. "Kakak mau juga?"

"Mau. Nggak pakai telur, ya."

"Oke. Mau rasa apa?" 

"Soto aja, Jen."

Jenaka mengambil satu bungkus mi instan sesuai permintaan Jaya, baru dieksekusi setelah mi untuknya matang. Melihat mi mengapung di air mendidih, Jenaka terpaku. Ini aneh. Kenapa dirinya mudah sekali berinteraksi dengan Jaya? Seharusnya seperti orang asing saja karena hanya sampai enam bulan. Jenaka tidak mau meninggalkan jejak sedikit pun di sini.

Kepala gadis itu menoleh ke arah Jaya yang masih berdiri di belakangnya. Setelah hujan badai itu, tingkah Jaya benar-benar aneh. Apa sebelumnya Jaya seperti ini kalau ketakutan?

"Nggak capek berdiri terus, Kak?" Jenaka mulai basa-basi. 

"Nggak."

"Udah nggak ada apa-apa, Kak. Kakak nggak usah takut lagi."

"Kamu bisa bilang begitu, tapi saya nyamannya kalau deket-deket sama kamu."

Jenaka spontan mendengkus. Dasar gombal. Dikira akan luluh? Oh, terima kasih!

"Nanti saya tidur di kamar, ya? Bareng kamu."

Jenaka yang mendengar itu sedang meminum air putih tiba-tiba tersedak. Ia segera meletakkan gelas di meja dan menatap tajam ke arah Jaya. Ini laki dikasih hati sekalian minta jantung dan ampelanya. "Nggak bisa, ya. Nggak ada tidur bareng!"

"Jen, saya—"

"Apa? Takut? Saya nggak peduli! Saya nggak mau tidur sekamar apa lagi tidur bareng sama Kakak!"

Setelah mengucapkan itu, Jenaka mengangkat mangkuk mi-nya. Bersiap meninggalkan Jaya. "Angkat sendiri mi-nya! Saya mau makan di kamar!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro