7. Melawan
Napas Jellion terasa berat. Rasa sesak menyelimuti benak, wajah, dan tubuh terasa remuk mendapati berbagai pukulan dari Kailos. Lelaki paruh baya itu sudah gila, bertindak seperti orang kesetanan menyakiti anaknya sendiri. Jellion pasrah, melawan pun percuma, tenaga yang ada dalam diri sudah terkikis oleh alkohol.
"Dasar anak tidak berguna! Kenapa kamu selalu membuat masalah, hah?" Kailos menarik kerah kemeja Jellion, sampai kemeja itu tampak sangat kusut.
Wajah Jellion sudah babak belur, dari mulai pukulan Rayjen tadi. Kini ditambah pukulan sang ayah. Tatapan Jellion menajam, menatap jijik ke arah Kailos. Lalu mendorong secara kasar tubuh Kailos.
"Lepas!" Jellion menatap tajam, napasnya memburu menahan emosi yang sudah meledak. "Kenapa Anda bertindak seperti ini, hah? Kenapa tidak langsung bunuh saya saja!"
Napas Jellion berderu seperti mesin yang hampir rusak, kasar dan tak beraturan. Dadanya naik turun, bukan hanya karena rasa sakit yang merajai tubuh, tetapi juga amarah yang mendidih di bawah kulitnya. Cahaya redup dari lampu gantung di ruangan itu memantulkan bayangan suram di dinding, seolah-olah ikut menjadi saksi bisu kekejian yang sedang berlangsung.
Kailos mendekat lagi, langkahnya berat penuh amarah. Wajah pria paruh baya itu memerah, urat-urat di lehernya menegang seperti tali yang siap putus. "Berani sekali kamu bicara seperti itu!" Suaranya meledak. Dia mencengkeram kemeja Jellion lebih erat, hingga suara kain yang hampir robek terdengar samar.
Jellion menggertakkan giginya, tubuhnya goyah, tetapi mata tak berpaling. Ada api di sana, meskipun tubuhnya hampir tak mampu berdiri.
"Anda pikir saya takut?" Suara Jellion serak, setiap kata yang terlontar mengandung racun. "Hidup saya sudah seperti neraka, kenapa tidak Anda percepat saja agar saya sampai di neraka?!"
Satu detik, dua detik, lalu Kailos melayangkan tinju lagi, keras dan menghantam rahang Jellion. Denting samar terdengar saat kepala Jellion membentur dinding. Namun, Jellion tidak jatuh. la tertawa, tawa yang dingin dan menyeramkan. Darah mengalir dari sudut bibirnya, tetapi dia sama sekali tidak peduli.
"DASAR GILA!" Rayjen melangkah maju, wajahnya bercampur marah dan panik. "Berhenti, Pa! Papa bisa membunuh Jellion!"
Namun Kailos tidak mendengarkan. Tangannya sudah terangkat lagi, bersiap melayangkan pukulan berikutnya. Namun kali ini, Jellion bergerak cepat. Dengan sisa tenaga yang laki-laki muda itu punya, Jellion menepis tangan ayahnya dan mendorong tubuh besar itu ke belakang.
"Ah, sial! Saya benci disentuh oleh sampah seperti Anda!" Jellion berteriak dengan suara parau dan penuh dendam. Napas memburu, kemejanya koyak, wajah tampak penuh luka.
"Anda benar-benar sampah, Kailos. Padahal Anda hanya tinggal membunuh saja, kalau memang itu kemauan Anda! Tapi kalau tidak, berhenti bersikap seperti pengecut yang hanya bisa melampiaskan amarah pada orang yang lebih lemah!"
Suasana menjadi hening sejenak, hanya suara napas berat mereka yang terdengar. Kailos, Rayjen, dan bahkan ibu tirinya yang sejak tadi hanya menonton di sudut ruangan tampak membeku.
Wajah Jellion memerah, mata berkilat seperti bara api yang tak kunjung padam. "Ayo, Kailos. Anda ini pengecut atau pembunuh?" tantangnya.
"Jellion cukup!" Rayjen menyahut sambil berteriak, mencoba menggapai lengan sang adik. Namun, Jellion lebih dulu menepis lengan Rayjen.
Tangan Kailos bergetar. Tangan yang besar itu mengepal keras, tetapi entah kenapa, dia tak bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Ingatan pria paruh baya itu tiba-tiba tertuju pada masa lalu, di mana dia selalu saja menyakiti anak itu, dibandingkan dengan Rayjen.
Harumi meremas lengan Kailos dengan kedua tangannya, jemari tampak sedikit gemetar meski dia mencoba tetap tenang. "Mas, sudah cukup. Kalau anak itu sampai mati, kau yang akan mendapatkan masalah," katanya dengan suara yang sengaja dilunakkan, seperti membujuk seorang anak yang sedang merajuk. Namun, mata wanita itu berbinar cemas, melirik sekilas ke arah Jellion yang setengah terhuyung, darah mengalir dari sudut bibir laki-laki itu.
Jellion tertawa kecil, sebuah suara yang nyaris seperti batuk karena napasnya masih tersengal. Jellion menatap Harumi dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan penuh penghinaan.
"Cukup? Hah," gumam Jellion dengan nada suara terdengar dingin. Dia menyeka darah di bibir dengan punggung tangannya. "Seharusnya kata itu cocok untukmu, wanita ular. Semuanya bermula pada saat pertama kali kau masuk ke rumah ini, dasar wanita ular tidak tahu diri!"
Kata terakhir yang Jellion lontarkan sengaja ditekan, penuh sarkasme. Kailos menoleh tajam ke arah Jellion, tetapi belum sempat pria paruh baya itu berbicara, Jellion sudah melanjutkan dengan suara lantang.
"Sungguh, saya sangat jijik melihat si wanita ular bertindak sok baik di sini," tukas Jellion, memasang raut penuh kebencian. "Bahkan dia pandai sekali menipu orang lain dengan wajah sok manisnya! Wajah yang bagaikan racun yang merusak rumah tangga orang lain!"
Harumi mengerjapkan mata, mulut wanita paruh baya itu terbuka seakan ingin membalas, tetapi kata-kata Jellion menyerang terlalu cepat, terlalu keras. Kailos menoleh ke arah Jellion, kali ini dia tak bicara, tak juga bergerak. Mungkin karena rasa bersalah, atau sekadar lelah.
"Jellion!" Suara Rayjen menggema di ruangan. Memecahkan suasana tegang di sekitar. "Diam!"
"Diam? Kenapa? Apa karena saya mengatakan sesuatu yang benar?" Jellion mendongak, meski rasa nyeri di rahangnya menyuruh dia untuk tetap diam saja.
Namun, Jellion tidak bisa diam begitu saja. Dia sudah terlalu muak, terlalu penuh dengan rasa benci yang lama dipendam. "Apa yang kalian semua takutkan? Bahwa saya akan membuka mulut ke orang-orang di luar sana? Tentang bagaimana keadaan rumah ini penuh dengan orang-orang palsu, yang hanya peduli dengan nama baik dan warisan!"
"Dan saya muak dengan itu. Maka dari itu, daripada membuang tenaga Anda terus memukuli saya. Bukankah lebih bagus jika Anda mengusir saya dari sini. Ya, usir saya, seperti Anda mengusir saya ke dalam penjara," lanjut Jellion penuh penekanan, juga emosi di balik sorot matanya.
"Kamu jangan macam-macam!" Kali ini suara Kailos melengking, lebih karena panik daripada marah. Tangan pria paruh baya itu terangkat, menunjuk ke arah Jellion. "Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu melangkah keluar dari sini, hah? Aku pastikan hidupmu akan hancur! Kamu pikir kamu bisa hidup tanpa dukunganku?"
"Oh, aku tahu, Papa," Jellion menyeringai, sebuah senyum yang lebih menyerupai luka terbuka. Dia sengaja menekan kata 'papa' dalam kalimat itu, "Apakah Anda takut. Takut orang-orang di perusahaan tahu, takut harta kakek jatuh ke tangan saya? Ah, atau-oh—takut kalau simpanan Anda itu jadi bahan gunjingan media kembali?"
Ruangan itu terasa membeku dan mencekik. Rayjen terlihat ingin menyela, tetapi dia tampak ragu-ragu. Sementara, Harumi melangkah mundur, mata wanita itu berkedip cepat seperti mencoba mengusir air mata yang tidak mau jatuh.
Kailos membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Sedangkan Jellion? Anak itu malah tertawa lagi, kali ini pelan dan rendah, seperti seseorang yang sudah menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.
"Dengar," kata Jellion mencoba mengatur nada bicaranya agar lebih tenang, terdengar sangat tajam. "Saya tidak akan pernah menuruti kemauan Anda lagi. Dan saya tidak akan menginjakkan kaki di sini lagi. Jadi, kalau kalian ingin membunuh saya. Maka lakukanlah sekarang. Sebelum saya berulah!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro