Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Dia Cantik

"Saya harap di pertemuan terakhir ini, kalian sudah membuat satu karya ilmiah mengenai mata kuliah manajemen bisnis!"

Kelas dibubarkan, helaan napas lega menguar. Kepala tertunduk di atas meja dengan bantalan yang dibuat di lengannya. Jellion merasa malas mengerjakan berbagai tugas yang kian menumpuk. Seharusnya dulu dia tidak mengiakan keinginan sang papa yang meminta kuliah kembali.

Jellion bukan anak pintar yang bisa menyerap semua materi ataupun bahan bacaan. Otak dia pas-pasan, tak kuasa mengingat apa yang baru saja dipelajari. Naik semester 6 saja dia sudah syukur, meskipun selalu berakhiran dengan pukulan dari papanya, karena tak mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.

"Li, makan yuk. Lapar nih!"

William menyenggol lengan Jellion. Kebetulan sekali tempat duduk mereka bersisian, memudahkan dia membangunkan sahabatnya itu. 

Sagara yang baru dari kursi belakang, menempati kursi samping William. Tubuh mencondong ke samping, lebih tepatnya agar mendekat di samping telinga William. "Iam, si Jellion lagi sakit tahu. Tadi pagi, badan dia banyak luka memar," ucapnya.

William menaikkan satu alis menatap ke arah Sagara seakan menodong suatu kebenaran; bahwa apa yang dikatakan oleh Sagara bukanlah suatu kebohongan.

Anggukan kepala Sagara membuat William menoleh ke arah Jellion.

"Li, lo enggak dipukulin lagi, 'kan?" William bertanya, menatap penasaran ke arah Jellion—masih menenggelamkan wajah di bantalan lengannya.

"Menurut lo, gue dapet luka memar ini, karena main bola gitu?" Jellion membalas sekena. Merasa tak penting membahas soal luka yang didapat itu.

William dan Sagara saling pandang. Suara Jellion terdengar tak bersahabat, seperti tak ingin membahas lebih lanjut perihal luka yang didapat. Mau tak mau, William mengatupkan mulut dengan rapat, memilih diam daripada membuat Jellion marah nanti. Kedua laki-laki itu sama-sama diam sambil memainkan ponsel di tangan.

Satu menit berlalu, dua menit, dan satu jam berlalu. Jellion membuka mata perlahan, merasa kram di otot tubuhnya. Dia merenggangkan tubuh, menoleh ke arah samping dimana William dan Sagara masih setia menunggunya. Beruntung sekali kelas yang menjadi tempat istirahat Jellion masih kosong, biasanya akan dipakai oleh anak-anak kelas lain.

"Lo belum pergi? Nungguin?" Jellion menatap penuh tanya. Tangan menutup mulutnya yang sempat menguap.

"Iyalah. Gue enggak rela ninggalin lo," balas Sagara dengan sorot mata prihatin.

Jellion tersenyum sinis. Enggan dikasihani apalagi mendapati tatapan seperti itu. "Balik aja yuk. Dugem kayaknya enak," katanya beranjak dari kursi, berjalan menjauhi kelas.

William dan Sagara mengikuti dari belakang. Menyamakan langkahnya agar bersisian dengan Jellion. Dengan posisi Jellion di tengah, William di samping kanan, sedangkan Sagara di kiri.

Atensi anak-anak lain yang berada di lorong, hingga koridor selalu tertuju ke arah ketiga mahasiswa yang dikenal sebagai berandal serta pemilik wajah tampan di kampus. Padahal ketiganya bukan anak organisasi, malah seperti mahasiswa kupu-kupu a.k.a kuliah-pulang-kuliah-pulang. Ternyata meski dikenal sebagai mahasiswa kupu-kupu, popularitas mereka sangat melesat, jauh lebih dikenal. Dibandingkan dengan ketua BEM sendiri.

"Yakin mau dugem? Masih sore, jir," ujar Sagara menengadah langit yang masih terdapat sinar matahari.

Jellion tidak menjawab, dia malah menatap ke seberang parkiran. Memerhatikan seorang gadis berambut hitam panjang tengah menggerutu kesal mencoba mengeluarkan motornya. Tanpa sadar, senyum tipis terbingkai di wajah Jellion kala melihat raut wajah kesal dari gadis itu. Tanpa sadar, kaki pun melangkah mendekati dengan rasa penasaran yang menyelimuti.

"Mau kemana dia?" tanya William menyadari bahwa Jellion malah pergi begitu saja. Pandangan William mengikuti kemana perginya Jellion.

Mata sipitnya kian menyipit, melihat Jellion sedang membantu mengeluarkan motor seorang gadis dari parkiran. William melirik sekilas ke arah Sagara dengan tatapan tanya. Ini kali pertama dia melihat sosok Jelion peduli kepada orang di sekitarnya.

Bukan, bukan Jellion tidak pernah peduli pada sekitarnya. Melainkan, laki-laki itu lebih menjaga jarak dengan mereka. Jellion memilih masa bodoh dengan hal-hal kecil di sekitar demi melindungi hatinya agar tak sakit mendengar hinaan dari mereka tentang latar belakangnya.

"Makasih banyak, ya. Kalau enggak ada kamu, mungkin aku enggak bisa pulang. Mana Pak Satpam dipanggil, enggak nongol-nongol lagi," ucap gadis itu sambil tersenyum ke arah Jellion.

Jellion pun membalas senyuman dengan kaku. Mata masih tertuju ke arah gadis itu, seakan terpesona oleh senyuman manisnya. Rambut hitam panjang, memakai rok lipit midi berwarna cokelat sampai mata kaki, dipadukan dengan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam rok. Untuk pertama kalinya, Jellion merasakan rasa aneh yang menyeruak dalam benak kala menatap gadis itu.

"Aku duluan, ya. Sekali lagi makasih banyak, nanti kapan-kapan aku traktir deh ya," ujar gadis itu setelah menyalakan mesin motor matic sekaligus menekan klakson. Dia sendiri pun tidak yakin, apakah akan bertemu lagi dengan laki-laki itu atau tidak.

Jellion tidak menjawab, dia hanya menatap kemana perginya gadis itu. Aneh rasanya kalau diperlakukan baik oleh teman satu angkatannya. Biasanya dari mereka selalu menjauh dan menganggap dia tidak ada.

William menghampiri Jellion, mengikuti arah pandang sahabatnya itu. "Suka lo sama tuh cewek?"

"Dia cantik," komentar Jellion tanpa sadar.

Sagara membulatkan mata terkejut, mencoba mengingat kembali suara Jellion memuji gadis itu. Dia tidak salah dengar, 'kan? Rasanya menggelikan mendengar Jellion memuji orang lain. Terlebih itu seorang perempuan.

"Mulai ada rasa lo?" Sagara meledek. Pasalnya, setiap kali mereka bermalam di luar, dia selalu menjajalkan Jellion perempuan-perempuan cantik pilihannya. Akan tetapi, tidak ada satu pun perempuan yang Sagara bawa itu dipilih oleh Jellion.

Jellion menatap malas, senyum kaku terbingkai di wajah. Tanpa menjawab lagi, dia berjalan ke arah motornya yang terparkir.

"Kalau lo suka, ya enggak salah sih. Lo kan cowok, normal-normal aja kalau suka sama cewek," sahut Sagara merangkul bahu Jellion.

"Eh btw, lo bawa motor? Luka lo emang udah enggak apa-apa?" William penasaran, bagaimana caranya Jellion membawa kendaraan sendiri di saat kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja.

Jellion sudah menaiki motor matic kesayangannya. Menoleh sekilas ke arah dua sahabatnya itu. "Lo pikir setelah gue digebukkin, si Kailos mau ngasih sopirnya ke gue? Enggak-lah. Dia mana peduli sama gue," timpalnya sekena.

William menelan ludahnya sendiri, tidak bisa membayangkan seberapa menderitanya Jellion tinggal satu atap dengan mereka—serakah dan seperti saudara tiri saja.

"Lo itu anak orang kaya, bahkan sultan. Tapi kenapa hidup lo berantakan gini?" William bertanya, sesaat bergeming menyusun kata-kata yang tepat. Pada akhirnya pertanyaan itu terlontar, masih penasaran dengan latar belakang keluarga Jellion.

Dilihat dari kacamata publik, Jellion itu beruntung, memiliki seorang papa pebisnis yang sebentar lagi akan mencalonkan diri sebagai walikota. Bahkan keluarganya terlihat cemara bila di kacamata media. Namun, sejujurnya... yang William tahu, Jellion sangat berantakan, terutama di hati serta hidupnya.

Keheningan mengambil alih, Jellion merenung mencari kata yang tepat untuk membalas William. Dia sendiri bingung, bahkan sempat mempertanyakan hal yang sama. Mengapa hidupnya yang terlihat sangat sempurna di mata orang lain, justru malah terasa bagaikan neraka dan pada kenyataannya hanya kepalsuan saja.

"Ya mungkin... udah jalan takdir gue begini ya." Suara Jellion bergetar, menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan. "Enggak ada yang mau hidupnya berantakan, Bro. Kalau gue bisa milih, gue enggak mau dilahirin ke dunia ini, ataupun ke keluarga itu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro