Motinggo Busye - 7 Manusia Harimau
Ane inget masa kecil kurang bahagia ane. Ane inget selalu "pindah-pindah rumah" alias dititipin di rumah orang. Saat itu, TV jadi temen ane.
Ane biasa nonton apapun gak peduli anime, seri "Jejak Rasul" yang selalu tayang tiap bulan puasa, "Aroma" dengan jargon kentel khas Bu Sisca (dan itu yang membuat ane jatuh cinta sama dunia kuliner sampe sekarang), bahkan kekocakan "Wiro Sableng".
Tontonan pada masa itu memang beragam. Ane pun sering ngehalu sambil senyam-senyum sendiri di depan TV. Salah satu kebiasaan yang membekas dari kecil, di samping seneng masak, ya menikmati cerita silat.
Memangnya salah kalau perempuan suka cerita silat?
Kali ini, ane bakalan bicara soal salah satu cerita silat: 7 Manusia Harimau.
Cerita ini sebenarnya sudah diadaptasi jadi film dan sinetron. Lucunya, ane jauh lebih tertarik sama bukunya daripada versi adaptasi. Itulah hal yang pertama ane cari ketika ada sebuah sinetron/film yang diadaptasi dari buku.
Kesan Pertama
Jujur aja, ane nyari buku ini sewaktu sinetron ini pertama tayang. Nyarinya itu gak gampang. Mo ubek-ubek internet (sut) atau cari di perpustakaan pun susah. Sayang banget sih.
Akhirnya ane bisa ketemu buku ini dari flash sale Mizan kemaren. Alhamdulillah bisa peluk di rumah. Ane pun habiskan buku ini dalam waktu 3 hari (1 hari buku pertama, 2 hari buku kedua).
Ane pernah baca kalo penulisnya, Motinggo Busye, itu salah satu penulis ternama Tanah Air. Harusnya pemerintah dan penggemar buku peduli dengan karya-karyanya, bahkan penulis kenamaan Indonesia lainnya yang kurang terkenal di kalangan generasi muda, dengan setidaknya menyumbang koleksi bukunya ke perpustakaan. Bisa berbentuk buku fisik atau buku digital yang bisa diakses lewat iPusnas.
Buku ini merupakan salah satu novel fantasi rasa lokal dengan kemasan khas cerita silat. Ceritanya berpusat di sebuah perbukitan, kawasan Pulau Sumatra. Kalo feeling ane sih terinspirasi dari daerah di sekitar Bukit Barisan mengingat banyak bagian cerita yang berfokus di sana.
Cerita bermula dari Gumara, seorang guru biasa yang ditugaskan di Desa Kumayan untuk mengajar Matematika. Seiring kepindahannya ke desa tersebut, banyak hal aneh yang muncul di sekitarnya. Salah satunya soal keberadaan para manusia harimau (yang disebut inye oleh penduduk setempat). Awal cerita bermula dari rasa penasaran Gumara akan fenomena tersebut di samping mencari informasi soal bapaknya di sana.
Cerita pun bertambah rumit ketika sang guru terjebak cinta segitiga dengan kedua muridnya: Harwati (kalo versi sinetron jadi Karina) dan Pita Loka. Konflik di antara ketiganya yang menggerakkan cerita di samping unsur silat dan mistik rasa lokal yang banyak membungkus cerita.
Sedikit Cerita
Awal cerita dimulai dengan bagus. Ada kesan misteri dari cerita yang bisa membuat pembaca membuka lembaran berikutnya. Bahasanya pun mengalir untuk ukuran novel lama. Itu tak lepas dari campur tangan editor yang bisa membuat buku ini pun mudah dipahami generasi muda.
Ada beberapa hal yang membuat ane kebingungan soal membacanya. Pasalnya, novel ini memiliki fokus cerita yang berbeda-beda di setiap bagiannya. Salah satunya soal Aji Mlati. Itu karakter pendukung di buku pertama, tapi memiliki arc tersendiri di buku kedua. Meskipun begitu, karakter utama tetap Gumara, Harwati, dan Pita Loka.
Semua konflik dalam cerita bermula dari cinta segitiga, tapi ... ada hal yang terkuak seiring berjalannya cerita. Harwati ternyata adik kandung beda ibu Gumara. Hal itu membuat konflik semakin rumit mengingat Harwati yang dibutakan cinta malah berakhir terjebak dalam nafsu dan membuatnya menjadi pendekar hitam.
Karakter Harwati dan Pita Loka banyak dikupas di sini. Sayangnya, karakter Gumara sendiri yang menjadi pembuka cerita kurang tereksplorasi oleh penulisnya. Pengembangan karakter Harwati dan Pita Loka justru sangat terasa di sini. Karakter Harwati yang semula baik berubah menjadi buruk. Begitupun dengan Pita Loka yang semula "bad girl tapi pintar di sekolah" menjadi lebih bijak dan dewasa.
Ada yang menarik dari cerita ini: unsur realisme. Ane langsung keinget komik Yu Yu Hakusho kalo bicara soal realisme kehidupan anak sekolah.
sumber foto: NEOSiAM, Pexels
Seri Yu Yu Hakusho sendiri memiliki karakter yang berusia remaja, khas komik genre shonen. Meskipun begitu, kehidupan sekolah berkaitan dengan tokoh dan plotnya. Ane inget ending dari arc turnamen: Yusuke dikeluarkan dari sekolah. Sekolah mana yang mengizinkan muridnya absen terlalu lama tanpa kabar? Pada akhirnya, ibunya Yusuke menggoda kepala sekolah (jangan ditiru ya gengs, ini di versi komik lho!) demi Yusuke bisa sekolah lagi sampai tamat SMP.
Hal ini juga berlaku pada seri 7 Manusia Harimau. Sekolah mana yang membiarkan guru dan muridnya absen terlalu lama?
Pada pertengahan cerita, Gumara dipecat dari sekolah lamanya karena menuntut ilmu harimau warisan Lebai Karat. Gumara terpaksa harus mengurusi izin mengajarnya lagi ke Kanwil dan akhirnya menjadi guru SMA di Kumayan. Begitupun dengan Harwati dan Pitaloka. Keduanya kabur dari rumah dan menuntut ilmu di dunia persilatan dalam jangka waktu panjang. Bahkan di awal buku kedua dijelaskan Pita Loka lebih memilih belajar untuk persiapan masuk SMA daripada harus berkelahi.
Jarang sekali ada novel yang seperti ini di Indonesia. Novelnya masih realistis meskipun karakternya anak sekolah.
Apa kabarnya dengan novel SMA yang melegalkan geng motor di sekolah, tapi guru dan kepala sekolahnya diam saja tanpa membimbing geng motor itu agar jauh lebih baik?
Kembali ke cerita. Ada beberapa hal yang membuat ane bingung saat membacanya.
Pertama, soal fokus karakter yang seakan berat sebelah seperti ane ceritain sebelumnya.
Kedua, soal 7 manusia harimau yang kurang bikin penasaran. Siapa sebenarnya mereka? Apa kedudukan mereka di antara para guru dalam dunia persilatan? Peran mereka di masyarakat Kumayan (selain Lebai Karat dan Putih Kelabu) sebesar apa?
Harusnya peran dan misteri soal ketujuh manusia harimau itu lebih digali lagi. Judul ceritanya saja menyiratkan "wah keknya bakal nyeritain 7 manusia harimau kek Gotei 13" eh tahunya malah fokus ke konflik cinta segitiga sama ego Harwati-Pita Loka yang emang sering ribut dari awal cerita.
Ketiga, (awas spoiler) ending-nya gantung. Ane udah sering lihat cerita silat, meskipun versi film/serialnya, seperti Jaka Sembung dan Kwee Cheng. Ada beberapa ending yang bisa muncul dari cerita. Kebanyakan cuman terpatok pada sad ending, happy ending, sama ending terbuka.
Kalo cerita silat itu biasanya ada hal baru yang dipelajari si karakter, lawannya kalah, ato kehidupan penduduk kembali damai. Sementara ending dari cerita ini ... bener-bener menyisakan pertanyaan di benak ane banget.
Konflik antara Harwati dan Pita Loka memang mengerucut di akhir cerita. Harwati gila karena ilmu pendekar hitam sementara Pita Loka jadi pendekar lurus, tapi dengan ego bad girl yang sedikit melunak dibandingkan dengan awal cerita. Ane ngerasa penulisnya pengen nyampain pesan gini ke pembaca.
Jangan termakan dengan ego semata. Ketika seseorang mengikuti ego, hal itu bisa menjadi masalah bagi diri sendiri bahkan orang lain. Apalagi kalau ego tersebut bermula dari cinta buta. Kacaulah dunia persilatan.
Konflik bermula dari cinta lalu berujung ego. Konon Harwati yang gila bisa disembuhkan dengan bantuan Pita Loka. Namun, Pita Loka lebih memilih untuk tidak menyembuhkannya berkat sifat keras kepala ditambah sedikit cemburu. Coba kalo Pita Loka sedikit menurunkan egonya demi keselamatan penduduk Kumayan. Harwati bisa diselamatkan dan gak ngamuk sampe ke desa lain.
Yup, itu cerita ane soal pengalaman membaca buku ini. Apa temen-temen pernah baca buku ini juga?
Gimana soal flash sale 12.12 kemarin? Apa temen-temen juga manfaatin flash sale buat beli buku inceran?
Makasih karena udah baca, vote, dan komentar di sini.
Kira-kira, buku apa lagi yang bakalan diobrolin di sini ya? 🤔
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro