Dugaan dan Prasangka
Sesaat setelah dentingan bel terdengar, pintu lift otomatis terbuka. Sakura berjalan keluar, menjejakkan kaki di lantai 10 gedung apartemen. Sepanjang ia berjalan lorong sudah terlihat sepi, para penghuninya mungkin sudah terlelap bersama kasur, bantal, guling dan juga selimutnya. Sebulan ini rumah sakit tempatnya bekerja sangat ramai pasien. Profesinya sebagai dokter membuatnya kerap menerima panggilan darurat. Kali ini pun Sakura harus pulang larut malam, badannya yang super pegal serasa hancur di setiap langkah yang ia buat.
Sakura butuh kasurnya. Tapi lebih dari itu, dia butuh suaminya. Ya, untuk ukuran pengantin baru sepertinya Sakura nekat untuk tidak mengambil cuti. Banyak pasien dari lonjakan penyakit musiman saat ini yang mayoritas korbannya adalah anak-anak. Alhasil, dia harus mengorbankan kesempatan bulan madunya.
Ketika ia sampai di depan pintu apartemennya, tangannya langsung memutar kenop pintunya dan bergegas masuk dengan tak lupa melepas alas kakinya. Telapak kakinya serasa mengambang di atas lantai dingin. Matanya berpendar dan mendapati Sasuke, suaminya telah berpakaian santai. Suaminya pulang lebih awal darinya.
"Sasuke-kun," Sakura langsung saja menerjang tubuh tegap suaminya. Dengan kedua tangan yang memeluknya erat, indra Sakura mencium aroma yang begitu khas. Wangi tubuh Sasuke yang menenangkannya.
Sasuke membalas pelukan itu dengan lembut. Menggosok pelan surai halus milik istrinya. "Kenapa tidak mengabari? Aku bisa menjemputmu," Sakura menggeleng dan semakin menenggelamkan wajahnya pada baju yang tengah dipakai oleh suaminya.
Sasuke tersenyum kecil melihat tingkatnya. Sungguh tidak ada yang menandingi sifat menggemaskan Sakura.
"Maaf, aku pulang telat lagi," gumam Sakura.
"Tidak apa-apa, kau pasti lelah bukan?" Sakura mengangguk lemah.
Sasuke melepaskan pelukan. Wajah Sakura terlihat sendu. "Pasien anak kecil semakin banyak, aku semakin kewalahan menangani ini."
Sakura semakin mengeratkan pelukan, mengubur wajahnya. Sasuke hanya diam, tampaknya dia sedang berpikir. Jari-jarinya menyisir lembut helai rambut berwarna merah muda tersebut.
"Sakura, aku tahu kita sudah membicarakan ini sebelumnya. Tapi tidakkah lebih baik jika kau di rumah saja?" Obrolan ini lagi. Sakura mendongak, menatap wajah Sasuke. Dia juga terlihat sama lelahnya. Sebagai CEO perusahaan, tugas Sasuke juga sangat banyak dan tidak mudah.
Mereka sudah membicarakan dan memutuskan banyak hal. Penundaan bulan madu juga perihal pekerjaan. Sebelumnya Sasuke sempat menyuruh Sakura untuk berhenti bekerja dan fokus berada di rumah. Namun istri muda itu menolak, mengatakan jika dia mencintai pekerjaannya sebagai dokter.
"Maaf." Hanya itu yang dapat keluar dari bibir Sakura sekarang.
Hening beberapa saat, waktu seolah berjalan lebih lambat. Sasuke hanya diam dan menghela napas. Tangannya beralih mengelus pipi istrinya. "Setidaknya urus aku dengan benar."
Eh?
Sakura mendongak dengan wajah terkejut, dia menatap wajah suaminya dengan mata melebar. Apa maksud dari kalimat itu?
"Apa maksudnya?" Sakura bertanya ragu. Apakah dia melakukan kesalahan?
Namun Sasuke tak segera menjawab hal itu dan balik memeluk istrinya. Menyembunyikan wajahnya di bahu mungil Sakura. Menghisap aroma manis dari kulit halus itu.
Perkataan itu sedikit ambigu. Sakura terus bertanya-tanya dalam hatinya. Tangannya berusaha mendorong pelan Sasuke, kembali bertanya hal yang sama.
"Kau terlalu sibuk. Aku tahu, aku juga. Kadang kau pulang larut. Itu membuatku merindukanmu." Jelas Sasuke.
Sakura melongo.
Apakah pria yang sedang bersamanya adalah Sasuke? Sikap dan kalimatnya sungguh terasa berbeda. Apa suaminya baru saja tersambar petir? Terserang demam? Atau efek mabuk karena minuman beralkohol?
Hidung Sakura tidak mencium adanya alhokol di sekitar, Sasuke juga tidak tercium seperti habis mabuk. Tubuh pria itu tidak terasa panas seperti orang yang terserang demam.
"Sasuke-kun, apa kau baik-baik saja?" Tanya Sakura dengan polos.
Pria berklan Uchiha tersebut mengendurkan pelukannya. Menatap istrinya dengan mata hitam legam. Dia terdiam sesaat sebelum menghela napas. "Sakura, apa kau mencoba mengalihkan pembicaraan?"
Sakura mengerutkan alisnya. "T-Tidak! Aku tidak—" Sasuke menghela napas lagi dan mengubur wajahnya pada dada istrinya. Menghirup lebih dalam aroma parfum yang bercampur dengan aroma tubuh Sakura. Itu membuat Sakura terdiam dan tersipu malu.
Setelah sebulan menikah, Sakura masih saja belum terbiasa dengan kebiasaan Sasuke yang kerap kali berubah menjadi manja secara tiba-tiba dan spontan. Itu karena sebelum pernikahan ini, Sasuke tidak membiarkan seseorang mengetahui sikapnya yang seperti ini.
Sakura tersenyum tipis, merasa spesial karena mungkin saat ini hanya dirinya seorang yang mengetahui sisi lembut dari suaminya.
"Tsuma, aku lapar."
Suara itu terdengar sensual. Sedikit serak dan terdengar bariton. Mata Sakura terpaku pada wajah suaminya saat ini, wajah tegas seolah dipahat sempurna oleh para malaikat.
Pipi Sakura merona sempurna. Dia menelan ludah gugup. Tatapan mata yang saat ini mengarah padanya, terlihat seakan sanggup memakannya hidup-hidup.
"T-Tapi aku lelah. B-Bukankah tadi p-pagi.. Kita sudah m-melakukan 'i-itu'.." Gumam Sakura dengan lirih.
Krukk krukk
Suara perut Sasuke terdengar jelas. Namun itu membuat wajah Sakura semakin memerah hebat. Rona malu itu menjalar hingga ke telinganya. Sakura saat ini persis seperti tomat kesukaan Sasuke.
Sakura merasa dirinya mesum. Ia mengira lapar yang dimaksud oleh suaminya adalah 'lapar' yang berbeda.
Sasuke menyeringai melihat wajah Sakura yang merona. Seringai itu tampak seperti meledeknya. "Apa ada artian lain dari lapar di kepalamu?" Sasuke menyentil dahi Sakura.
Sakura menggeleng keras. Namun mulutnya terkunci rapat. Dia semakin malu. Sasuke tertawa.
Sekali lagi, perlu penegasan ulang, Sasuke sedang tertawa. Saat ini.
Sakura bersumpah ini kali pertamanya dia melihat suaminya tertawa. Dia tidak pernah melihat Sasuke tertawa sebelumnya. Itu bukan tawa yang meledak dan terbahak, terdengar seperti kekehan sederhana namun terdengar lembut dan hangat.
Wajah Sasuke terlihat bercahaya di mata Sakura. Tanpa sadar Sakura turut tersenyum dan terkekeh kaku dengan mata yang terus tertuju pada Sasuke. Jika saat ini ditanyakan kepadanya, apa judul lagu favoritnya saat ini, maka Sakura akan menjawab tegas—
—lagu favoritnya saat ini adalah tawa suaminya, nada tawa Sasuke.
"M-Maaf.. A-Aku pikir sebelumnya kau.. Umm.. Kupikir kau.." Sakura menjawab dengan gagap karena masih menyimpan malu.
Sasuke menghentikan tawanya. Namun senyum simpul itu masih tersisa. Dia menatap kedua pipi istrinya yang masih memerah segar. Sasuke menangkup gemas pipinya.
"Mandilah, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu."
Untuk kesekian kalinya Sakura merasakan hatinya menghangat. Dia mengangguk patuh pada Sasuke sebelum pergi menuju kamar mandi. Saat akan menutup pintu kamar mandi, Sakura kembali menoleh ke belakang. Menatap pada suaminya dengan senyum manis.
"Terima kasih." Ucap terakhirnya sebelum menutup pintu kamar mandi dan mulai membersihkan tubuhnya.
Kamar menjadi hening kembali. Senyap dan sayup-sayup terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Sasuke akan membereskan tas kerja Sakura saat dering ponsel Sakura terdengar.
Itu notifikasi pesan masuk.
Sasuke dengan penasaran mencoba mengambil ponsel istrinya dari dalam tas kerjanya. Dua pesan dari seseorang muncul di notifikasi ponsel.
Pesan masuk
Lee: Apa kau sudah pulang, Sakura-san?
Lee: Terima kasih untuk hari ini, Sakura-san. Selamat malam, selamat beristirahat.
Kening Sasuke berkerut. Seorang pria mengirim pesan pada istrinya selarut ini? Siapa dia?
To be continue
Siapa yang kangen cerita ini? Wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro