Chapter 48
Selamat datang di chapter 48
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (suka berterbangan)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤️❤️❤️
______________________________________________
Run free by Asking Alexandria
______________________________________________
Friendship is everything
Friendship is more than talent
It is more than the goverment
It is almost the equal of family
—Don Vito Corleone (The Godfather)
______________________________________________
Musim panas
Billing Road Cemetery, Northampon
8 Juni (H-7 Wedding Day)
08.30 a.m.
Semuanya terasa begitu cepat dan menyakitkan. Ini mirip sekali saat aku kehilangan mama. Bila dulu aku menangis sangat keras di pelukan kakakku yang juga menangis sepertiku, sekarang tidak. Aku sama sekali tidak bisa menangis. Aku bahkan berusaha keras untuk melakukannya, tetapi tidak berhasil.
Seluruh anggota klan Davidde berkumpul ke pemakaman kota tempat tinggal ibu dan anak Alfred. Fayard dan anggota yardies-nya juga datang, memberi karangan bunga super besar bertuliskan bela sungkawa.
Mantan istri mendiang juga hadir dan menangis setelah salah seorang anggota klan kami berhasil menghubunginya. Namun, tidak mendekati Ace Grissham yang kugendong dengan dot di mulutnya dan ibu Alfred yang masih setia bersandar padaku untuk menangis.
Usai Alfred dikebumikan dan orang-orang sudah mulai pergi, aku, Spencter, Liam, Fayard, serta mantan istri Alfred masih tinggal.
Ketika akhirnya anggota yardies berpamitan, Fayard menepuk pundakku sembari berkata lirih. “Kalau kau membutuhkan sesuatu, katakan saja. Kami selalu siap.”
“Thanks,” jawabku singkat dan lirih.
Kemudian mantan istri Alfred berbincang denganku. “Mr. Wilder, aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana,” ucap wanita berambut cokelat terang itu. Tampak jujur, sesekali menyeka air matanya.
“Alfred memintaku mengurus putra kalian,” balasku. Bagaimanapun juga, hak asuh anak ada aturannya. Aku tidak ingin langsung membawa Ace tanpa persetujuan mantan istri atau ibunya yang kurasa jauh lebih berhak. Lagi pula aku juga belum menceritakannya pada Melody.
“Aku tentu akan sangat berterima kasih, karena aku tidak bisa mengurusnya.”
Aku ingin meneriaki wanita itu: bagaimana mungkin ia tidak bisa mengurus Ace yang notabenenya anak kandungnya sendiri? Sayangnya, aku tidak ingin tahu apapun alasannya. Aku hanya ingin menceritakan yang sebenarnya agar suatu saat ia tidak datang kemudian menuntutku di pengadilan karena telah mengasuh putra mereka.
Sepeninggalan wanita itu, aku kembali ke kediaman ibu Alfred dan mengobrol dengan beliau. “Sebelum Alfred pergi bekerja denganmu, dia meminta maaf padaku karena sekali lagi akan merepotkan aku dengan Ace. Aku mengatakan padanya, itu tidak apa-apa. Aku merestuinya pergi bekerja karena selain rumah tangganya hancur—mungkin butuh suasana baru—dia juga tulang punggung keluarga.”
Aku mengamati seraut wajah dipenuhi garis bukti tergerusnya usia. Menimang Ace yang tengah terlelap. “Ma’am, apakah Anda dan Ace bersedia tinggal beramaku di Indonesia?”
Wanita tua renta yang telah selesai menidurkan dan meletakkan Ace di boks bayi, kini menyeka air mata menggunakan selendang hitam yang terselempang asal. Sangat kontras dengan kulit beliau yang pucat. Kemudian menggiringku ke salah satu sofa panjang berlengan yang terletak di ruang tamu untuk duduk.
“Tidak, Nak. Aku hanya ingin dekat pemakaman anakku dan tinggal bersama cucuku. Dia sudah memberiku uang cukup banyak, aku sudah menabungnya untuk keperluan sehari-hari.”
“Aku ... maksudku, apa temanku yang bekerja sebagai baby sitter boleh bekerja dengan Anda, Ma’am?”
Tentu saja aku tidak memiliki teman baby sitter. Meski demikian, setidaknya akan kuusahakan mencari orang yang menggeluti bidang itu untuk menjaga ibu Alfred dan Ace.
Aku lantas berkata jujur. “Alfred memintaku merawat Anda dan Ace.”
“Nak, aku sangat menghargai ketulusanmu. Tapi ..., aku benar-benar tidak ingin jauh dari pemakaman putraku. Aku ingin sewaktu-waktu bisa mengunjungi pemakamannya kalau aku merindukannya. Tapi kalau Alfred yang memintamu, aku hanya bisa menerima teman baby sitter-mu.”
Lagi-lagi aku mengangguk. Tidak ingin memaksa dan menghargai keputusan ibu Alfred. Juga diam-diam memasukkan daftar rencanaku ke depan ; mencari baby sitter untuk mereka.
Rasanya hari ini begitu melelahkan. Aku sampai beralasan pada Melody kalau sedang sangat sibuk mengurusi pekerjaan. Tidak bisa jujur dengan apa yang terjadi. Bukan hanya terikat omerta, aku juga membayangkan reaksi wanita itu.
Pun seandainya tahu dengan caranya sendiri tanpa ada yang bercerita, apakah ia akan mengerti bagaiamana keadaan ini? Atau egois dengan memintaku pulang ke Indonesia detik itu juga agar tidak terlibat bahaya, sementara keadaan di sini sangat kacau? Ataukah ia akan meninggalkanku ketika tahu persis apa pekerjaanku yang sebenarnya? Pengimpor miras dan senjata api ilegal. Oh! Aku benar-benar tidak bisa melewati itu. Aku tidak siap kehilangan wanita itu lagi.
Pikiranku benar-benar kalut dengan kondisi badan yang luar biasa letih.
Aku kembali ke penthouse Summertown diantar Liam dan Spencter dengan maksud ingin istirahat.
Tubuhku benar-benar membutuhkannya sebab sejak terakhir kali meninggalkan Jakarta, aku belum memiliki kualitas tidur yang baik lantaran sibuk. Pun, sejak semalam, mata dan pikiranku tak kunjung memejam.
Anehnya, aku sama sekali tidak mengantuk. Tubuhku rasanya seperti melayang dengan beban kepala yang berat. Namun, aku harus benar-benar istirahat, barulah menyusun ulang rencanaku.
Aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Alfred perlu keadilan dan aku sendiri yang akan mengadili si Penembak itu. Alfred sudah berkorban banyak untukku, keluargaku, dan juga klan Davidde di saat kondisi keluarganya juga berantakan. Aku ingin membalas semua yang diberikan Alfred.
Musim panas
Summertown,
9 Juni (H-6 Wedding day)
08.01 a.m.
Spencter meneleponku menggunakan ponsel bisnis yang biasa dipegang Alfred dan mengatakan berhasil mengambil hard disk internal di laptop yang rusak. Kemudian mengutak-atiknya bersama Liam dan menemukan beberapa folder berisi file rekaman CCTV yang telah berhasil diretas Alfred.
Aku menyempatkan diri sarapan kilat dengan roti panggang nutella seperti biasa, lantas menginjak pedal gas menuju The Black Casino and Pub yang baru sempat dibersihkan. Lantas bersama Spencter dan Liam melihat rekaman CCTV yang memperlihatkan kecurangan-kecurangan beberapa anak buah bedebah Cavez.
“Bagaimana kalau kali ini kita minta bantuan polisi, Boss?” usul Liam.
Aku sedang berpikir untuk mempertimbangkannya. Bagaimana kedepannya atau dampak yang ditimbulkan bila merencanakan ini-itu.
“Tapi ini sedikit berbahaya untuk klan kita,” tanggap Spencter, “aku hanya memikirkan bagaimana bisnis-bisnis ilegal kita, Boss. Kalau kita melibatkan polisi dan mengendus bisnis-bisnis itu, bukankah akan sangat merugikan?”
“Kurasa tidak masalah, karena semua The Black Casino and Pub legal. Polisi hanya akan fokus pada bangunan-bangunan baru. Tidak akan mengusik bisnis-bisnis lain yang tidak berkaitan dengan itu.” Liam kembali bersuara.
“Aku ingin menyiksa Cavez Donzalo tanpa melibatkan polisi.” Aku berkomentar setelah berpikir masak-masak tentang konsekuensi mendatang.
Liam jelas terlihat tidak setuju. “Tapi, Boss ... bagaimana kalau terjadi apa-ap—”
“Keputusanku sudah bulat, siapkan saja semua anggota klan untuk rapat, sekarang juga. Jangan lupa tinggalkan beberapa anggota untuk berjaga di tiap-tiap kasino.”
Usai mencari baby sitter untuk menemani sekaligus menjaga ibunya Alfred dan Ace, sekitar satu jam setengah kemudian, aku berdiskusi mengenai rencana penyerangan klan Donzalo di ruang rapat kasinoku. Tidak hanya anggota yang berada di Inggris yang ikut, tetapi Tito, Lih, dan semua anak basecamp yang berada di Indonesia juga ikut berdiskusi melalui zoom meeting.
Aku pun membagi-bagi tugas. Di antarannya:
1. Dahlia mencari tahu kelemahan bedebah Cavez.
2. Tito menjaga Jameka supaya tidak terus-menerus memandangi foto River Devoss yang berpotensi membuat kakakku terpuruk atau melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri. Bisa saja aku meminta tolong pada Melody atau Bella untuk menemani Jameka, tetapi kondisii mereka tak memungkinkan. Sedangkan aku tidak tahu teman atau sahabat wanita kakakku yang lain.
3. Lih dan penghuni basecamp lain memastikan Melody tak mencium permasalahan ini.
4. Spencter mengikutiku melunasi bea cukai.
5. Liam memastikan seluruh keadaan supaya tidak ada seorang pun yang mencurigai misi ini. Termasuk Fayard dan yardies-nya.
6. Kantin gratis kami tetap berjalan normal.
7. Penjagaan tiap-tiap kasino diperketat.
Pengintaian bedebah Cavez membutuhkan waktu hampir dua hari. Setelahnya, Dahlia datang ke ruang kerja kasino Summertown membawa informasi yang sangat berguna.
“Dia lemah dengan wanita cantik dan seksi,” terangnya sembari mengirim video pria itu ke tabletku ; dua malam berturut-turut, bedebah Cavez mendatangi kelab malam Phonox dan menyewa wanita penghibur, lalu membawa ke kediamannya—yang ternyata merupakan markas klan Donzalo.
Dahlia mendapatkan informasi dari salah seorang pegawai Phonox kalau bedebah itu merupakan pelanggan tetap.
Rencana selanjutnya, Dahlia memancing bedebah itu dengan menyamar menjadi wanita patah hati berpakaian mengundang dan semenonjol mungkin. Agar mata pria sialan itu melihat serta tertarik padanya.
Sementara semua berada di posisi untuk tugas masing-masing, ditemani Spencter, aku melunasi biaya bea cukai menggunakan uang pribadiku. Juga menghubungi Erlang Eclipster untuk mengabari beberapa kendala yang kami alami.
Memang sudah kesepakatan untuk melaporkan setiap permembangan kerja sama sebab berkaitan dengan keuntungan Utama Raya. Aku baru melapor karena beberapa hari lalu baru mendapatkan informasi yang valid mengenai siapa pengacau tersebut.
Pria bercambang itu menawarkan bantuan, tetapi karena pria sepertiku memiliki harga diri, aku hanya berterima kasih. Kulihat ia seperti pria baik-baik dan mungkin masih awam dengan dunia kotor yang menjadi tempatku menopang hidup.
Uang pribadi yang kugunakan hanyalah untuk sementara. Selebihnya nanti, usai semuanya rampung, akan kucekik atau kupatahkan leher bedebah-bedebah Donzalo satu per satu kalau tidak mau membayar tagihan bea cukai. Lalu kusiksa mereka sampai memohon sendiri padaku untuk mati. Berani-beraninya mereka membuat kekacauan denganku—Jayden Wilder.
Ha! Sekarang aku terlihat mirip deb kolektor bukan? Sebenarnya ini bukan perkara uang, melainkan perkara kecuarangan yang mereka lakukan walau uang masih menjadi alasan terkuat manusia untuk saling berkelahi.
Waktu yang kubutuhkan untuk melakukan rencana ini sangat sempit dan berisiko. Hanya lima hari sebelum pernikahanku dengan Melody. Itu berarti aku harus kembali dua hari sebelum hari H lantaran perjalanan dari Inggris ke Indonesia membutuhkan waktu lebih dari tiga belas jam. Artinya, aku hanya memiliki waktu tiga hari untuk mengurus perusahaan papa dan keadilan untuk Alfred.
Musim panas
Summertown, 11 Juni
(H-4 Wedding day)
11.00 p.m.
Sebelum berangkat ke London—lokasi Cavez terkini yang kudapat dari Dahlia—aku mengingtakan semua klan Davidde yang bertugas untuk memperlengkap penjagaan diri dengan beberapa senjata ilegal dibalut kantong anti detector dan menggunakannya dengan sangat hati-hati.
Kuangkat tangan sebagai isyarat agar semua meninggalkan ruang kerjaku. Untuk alasan yang tidak kumengerti, aku menelepon Melody. Mungkin aku membutuhkan seyumannya sebagai energi positif, penyemangat serta bentuk keyakinan diri bahwa klan kami akan berhasil melakukan misi ini meski tidak menceritakannya.
“Hai, Baby,” sapa Melody dengan senyum seribu wattnya. Terlihat mengenakan kaus oblong santai dengan celemek di dapur yang kelihatan sibuk.
“Kamu lagi masak?” Aku mencoba menebak, “masih usaha belajar masak buat aku?”
Aku berani bersumpah, ia tidak menyadari betapa jantungku berdebar ribuan kali lebih cepat akibat gugup setengah mati.
Melody mengarahkan ponsel ke suasana dapur. Di dekat pantri yang penuh aneka masakan setengah jadi, tante Amanda yang berdiri melambai ringan, diikuti Bella yang duduk. Bedanya wanita hamil itu tersenyum geli. Aku menebak, pasti ia menertawakan kejadian beberapa hari lalu saat menemukanku keluar kamar Melody pagi-pagi di rumah om Baldwin.
Ada juga mak Rami yang tengah menenteng panci besar di dekat tante Amanda. Aku tidak bisa mendengar calon mertua yang kelihatan memberi perintah pada mak Rami karena posisi mereka cukup jauh.
“Cuma bantuin bikin selai strowberry buat kue acara baby shower-nya kak Bella entar malem. Makanya kita semua yang cewek-cewek pada sibuk dari pagi nih. Eh, kenapa kamu nelepon?”
Kenapa ya?
Ingin memberitakan kematian Alfred, tetapi belum menemukan alasan yang pas. Apalagi mengatakan akan menghakimi si Penembak. Melody pasti khawatir, marah, melarang atau bahkan yang lebih parah lagi, memutuskan tidak akan menikah denganku. Lalu meninggalkanku seperti dulu.
Jadi, aku menjawab sekenanya. “Kangen, nggak boleh ya?”
Tiba-tiba tante Amanda menyahut. “Kurang empat hari lagi, Jay. Sabar kenapa?”
Aku ber-cih, tetapi diam-diam berterima kasih pada calon ibu mertuaku yang super itu sebab dapat mengurangi rasa gugup yang sedari tadi menggerogoti seluruh sendi dan tulang-tulangku.
“Iya, Mi,” jawabku sengaja menggoda beliau dengan memanggil mami.
“Uwu ... kamu manggil Mami?” celetuk Melody. Bella kontan tertawa kecil. Sementara calon ibu mertuaku berhenti beraktivitas dan meraih ponsel Melody-ku. Kini wajah sedikit keriput dengan senyum jemawa itu memenuhi layar.
“Latihan, Mi.” Aku kembali bersuara sebelum beliau mengomel. Ini bukan saatnya mendengar omelan. Kau tahu kan, ini sedang genting.
“Coba kamu bilang gitu ke suamiku.”
“Mana berani, Mi.”
“Kok sama Mami berani loh?” Melody kembali menyahut, juga berusaha menampilkan wajah manisnya ke layar untuk melihatku.
“Mami kan orangnya lembut, penyayang.”
Tante Amanda kontan tertawa keras mendengar jawabanku. Setelahnya berkata pada Melody. “Calon suamimu ngerayu Mami.” Kemudian melihatku. “Kalau suamiku gimana, Jay?”
Astaga, malah ditanggap.
“Lebih lembut dan lebih penyayang.” Sampai sandal melayang, cuy. Saking sayangnya padaku. Aku segera melanjutkan dalam hati. Jangan sampai om Baldwin tahu. Bisa-bisa aku madesu.
Semua kontan tertawa termasuk mak Rami, sebab kami tahu om Baldwin tidak begitu. Terlebih mendekati hari H pernikahan anak kesayangannya.
“Mel mana, Mi?”
“Nih ....” Tante Amanda mengembalikan ponsel Melody. Wajah manis itu kini hadir memenuhi layar.
“Kamu itu ... ih!” gumam Melody. Wajahnya memerah yang kuyakini akibat tertawa berlebihan. Sesekali ia menutupi mulutnya menggunakan tangan.
Aku hanya diam mengaguminya. Saat ini hanya senyum dan tertawanya yang kubutuhkan. Entah kenapa tiba-tiba kegugupan merayap naik ke tubuhku lagi.
“Kamu bisa ke tempat tenang?” Aku meminta. Usai melepas celemek, Melody berjalan menaiki tangga dan memasuki kamarnya, duduk di kasur kemudian meraih serta memeluk boneka Jayden-nya.
Hmm ... sekarang aku sedikit iri dengan buntalan kapas yang dijahit dengan fotoku itu.
“Kapan kamu balik sini?” Suara feminin Melody membelai daun telingaku.
“Mungkin lusa baru berangkat.”
“Kamu mesti tenang-tenang aja, Alfred pasti udah nyiapin semuanya.”
Jantungku kembali bekerja lebih giat, memompa darah ke seluruh tubuh ketika nama sahabatku disebut Melody.
“Bay the way, mana Alfred? Biasanya dia sama kamu tuh. Kayak ekor kamu. Kok nggak keliatan sekarang?” lanjut Melody yang tampak heran bin penasaran. Memang begitulah keadaannya. Alfred selalu menjadi bayanganku di mana pun, kecuali di penthouse-ku.
“Dia lagi tidur.” Di pusara.
Melody tidak menyadari keanehan suaraku. Seperti menahan sesuatu yang bercokol di tenggorokan.
“Tumben banget dia tidur, biasanya dia on dua puluh empat jam,” gumamnya.
Biasanya, aku akan marah ketika ia membahas pria lain sebab aku cemburu. Tidak terkecuali Alfred, Tito, Lih, dan teman-temanku yang lain. Pengecuakian untuk kali ini, aku lebih memilih membelokkan topik untuk menyudahi percapakan tentang Alfred.
Maka, aku melirik jam yang melingkari pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh malam. Berikutnya menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan untuk mengatur tubuhku supaya bisa bersikap normal.
“Baby,” panggilku secara perlahan. Diam-diam aku bersyukur suaraku telah normal. Tidak seaneh ketika menahan bongkahan pahit di tenggorokanku seperti tadi. Kulihat, Melody senantiasa menungguku melanjutkan omongan. “Ada beberapa kendala di kelab, aku mau ngurusin itu. Doain lancar ya?”
Aku bisa melihat wajah manis itu sedikit mengernyit. “Pasti, aku doain, Baby. Masalahnya parahkah?”
“Enggak, cuma masalah kecil. Aku tutup dulu ya, udah ditungguin orang-orang.”
“Iya, hati-hati, Baby. Cepet pulang, bentar lagi kita nikah.” Melody mengingatkan dengan senyum malu-malu.
“Ya ... I love you to the moon and back.”
Aku bisa melihat keterkejutan wajah manis di layar ponselku sebab tidak biasanya aku mengungkapkan kata-kata seperti ini. Selama bertahun-tahun, aku bahkan baru mengatakan kalimat cinta sebanyak tiga kali. Pertama, kala dulu kutulis disurat yang kuikutkan sebagai bentuk hadiah ulang tahun Melody yang ketujuh belas di lakung Max. Kedua, kala melamarnya beberapa bulan lalu, dan ketiga sekarang. Jadi tidak heran bila ia bertanya, “Tumben kamu ngomong cinta sama aku?”
“Nggak boleh?”
“Boleh, aku cuma seneng aja Jayden ... anyway, I love you to the moon and back too.”
_______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
Bonus photo istrinya abang Jay
Dan abang Jay sendiri
Nb : Bang Jay, tolong kalo pake baju yg bener, entar kalo kilaf gimana?
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
1 September 2020
Repost : 17 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro