Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 47

Selamat datang di chapter 47

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (bertebaran layaknya serbuk sari yang ditaburkan lebah 😎)

Thanks

Btw, part ini bikin saya mewek gaesss
Siapin Happy weekend

Happy reading everyone

Hope you like this

❤❤❤

______________________________________________

So far away by Avenged Sevenfold

______________________________________________

The loss of a friend is like that of a limb ; time may heal the anguish of the wound, but the loss cannot be repaired

—Robert Southey

______________________________________________

Jakarta, 3 Juni
05.40 WIB

Melody melepas gandengan tangan kami dan segera berlari ke arah wanita buncit yang masih tercengang. Ia lantas meminta dengan suara berbisik, “Kak Bel, please ... please ... jangan bilang siapa-siapa.”

“Bentar, kenapa dia bisa di sini?” tanya Bella tak kalah berbisik sambil menunjukku dengan raut wajah bingung.

Melody meringis. “Em ... Hehe ....”

Ia baru akan mulai menggigiti kukunya ketika aku ikut andil menjawab, “Nginep.”

“Jayden!” hardik Melody, tetapi masih tidak dapat berteriak. Ia juga memberi bonus pukulan pelan di lenganku.

Bella membelalak. Mulutnya yang membuka membentuk huruf O tanpa suara mengiringi kepalanya yang mengangguk. Aku pun mangangkat kedua bahu.

Kami berdiskusi singkat tentang cara mengeluarkanku dari rumah om Baldwin tanpa sepengetahuan siapa pun. Mengawalinya dengan berjalan mengendap-endap menuruni tangga, Melody memegangi Bella sementara aku di belakang mereka. Saat tiba di samping dapur, mereka memintaku bersembunyi di balik pilar.

Celingukan sekali lagi untuk memastikan hanya ada mak Rami di sana, mereka mengodeku untuk segera keluar. Jadi, aku melipir menuju pintu utama rumah, menderap menuruni undakan ke taman, melewati kolam ikan dan Max malah berlari ke arahku.

“Hei Buddy, you can go home. I have to leave. Bye.” Pasca mengusap bulu hitam kombinasi putih Max aku meneruskan langkah ke pagar tempat semalam melompat. Kemudian memanjatnya dan sampai di Hummer hitamku dengan selamat.

Helaan napas lega kontan lolos dari paru-paruku. Tanpa menunggu jeda, segera kuketik pesan singkat pada Melody lantas menginjak gas menuju apartemen.

Musim panas
Standford Upon Avon, 3 Juni
22.10 p.m.

Sudah pukul sepuluh malam lebih ketika aku dan Alfred tiba di Negeri Ratu Elizabeth. Aku lantas menghitung maju tujuh jam untuk menentukan waktu Indonesia sehingga tidak menggangu kalau menghubungi Melody.

Menemukan hasil bahwa sudah pukul lima pagi di sana, aku menelepon wanita beraroma vanila tersebut. Pada dering keempat ia baru mengaktifkan sambungan.

“Al ... lo ...,” sapa suara di seberang. Masih serak. Kutebak ia pasti menguap sambil mengucek matanya yang masih enggan terbuka. Jangan lupa iler yang menyapu pipinya.

“Aku udah sampai di Summertown, sekarang lagi on the way ke Standford,” ucapku tanpa basa-basi. Tanpa memecah fokus ke jalanan sementara Alfred menyetir di sebelahku. Ada juga dua SUV hitam klan Davidde yang mengapit mobil kami.

“Syukurlah,” jawab Melody lega walau masih dengan suara seraknya. “What are you doing today, Baby?”

“Not today, this is ten past ten p.m. here, Baby.”

Terdengar jeda beberapa saat. Mungkin Melody sedang mengamati sekeliling untuk melihat jam, sebelum akhirnya menjawab, “Oh, kalau gitu istirahat dulu aja.”

“Iya,” jawabku bersamaan mobil yang kutumpangi sudah berenti di penthouse. “See you soon. Bye.”

Musim panas
Summertown, 7 Juni
(H-8 wedding day)
22.10 p.m.

Beberapa hari ini, aku sibuk mencari penyebab proyek-proyekku yang macet dan bagimana nominal laporan keuangan itu bisa jauh berbeda dari yang disetor. Sebagai permulaan, aku menanyai kepala divisi keuangan tentang hal tersebut. Namun, wajah polos pria itu jelas menyatakan tidak tahu-menahu. Jadi, aku dan Alfred terpaksa pergi ke kantor bea cukai dan bertanya tentang perabot Heratl yang tidak bisa masuk ke negara ini.

Petugas yang ada di sana membeberkan penyebabnya. Dan itu berkaitan dengan pelunasan uang yang harus dibayar. Persis seperti kata Alfred beberapa hari lalu.

Sekali lagi kami menelusuri kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Siapa tahu bisa dilacak melalui CCTV jalan. Bagian ini yang membuatku malas sebab harus melibatkan polisi. Harus ada izin pihak mereka untuk melihatnya.

“Apa tidak ada jalan lain? Semacam meretas CCTV lokasi itu?” Aku bertanya pada Alfred sewaktu kami berdiskusi di ruang kerja The Black Casino and Pub.

Alfred yang masih fokus pada laptop mengambil jeda sejenak untuk menatapku.

“Kau tahu, aku sangat malas melibatkan polisi.” Aku kembali bersuara.

Alfred menjawab, “Akan kuusahakan.”

Baru saja aku mengembuskan asap rokok ke udara yang bebas, ada yang mengetuk pintu. Setelah kupersilakan masuk, Spencter datang membawa berita mengejutkan. “Ada yang menyerang Kasino lagi,” akunya.

Alisku naik salah satu. “Apa maksudmu lagi?”

“Kemarin dan sekarang di tempat tempat yang sama, Boss. Di Manchester, aku juga baru tahu.”

Keningku berkerut samar. Rokok yang masih panjang kini sudah kutancapkan pada asbak. Kaki-kakiku yang terjulur di meja meluncur turun. Aku juga meraih revolver lengkap dengan kaliber dan memasukkannya dalam kantong anti detector, yang kuselipkan di suit serta memerintah, “Alfred, tolong terus cari cara meretas CCTV daerah itu dan jaga kasino ini. Aku akan pergi dengan Spencter ke Manchester.”

Musim panas
Manchester, 8 Juni
(H-7 wedding day)
00.06 a.m.

Setibanya di The Balck Casino and Pub Manchester, aku dan Spencter sangat terkejut dengan keadaan sekitar. Tidak ada pengunjung yang datang. Padahal tengah malam biasanya sedang ramai-ramainya orang berjudi.

Meja-meja permainan judi di lantai satu sebagian rusak. Ada banyak pecahan botol minuman keras yang berserakan dan sedang dibersihkan oleh pegawai yang tidak terluka. Sementara sisanya membantu mengobati luka-luka pegawai lain.

Menaiki lift ke lantai paling atas, aku dan Spencter mendapati kursi-kursi tinggi bar koyak ke sana-kemari. Beberapa bercak darah di lantai. Pemandangan yang tak jauh beda di tiap lantai. Yakni beberapa pegawai dan anggota klan Davidde yang sedang mengobati luka pada diri mereka dan teman lain.

Mendapati kedatanganku, mereka menghentikan akivitas tersebut untuk serempak memberi salam hormat.

For your information, dari beberapa kasino yang tersebar di Inggris, aku menunjuk salah satu dari anggota klan Davidde yang dapat dipercaya untuk menjadi penanggung jawab tiap-tiap kasino. Contohnya di Summertown, aku menyerahkan tanggung jawab tersebut pada Spencter yang merangkap sebagai bartender jempolanku.

Aku berjalan tidak sabaran dan berhenti di tengah ruangan. Menyapu pandangan ke sekeliling yang berantakan serta berteriak, “Siapa penanggung jawab di kasino ini?”

Para anggota klan beralih fokus dariku ke salah satu dari mereka yang bergerak menuju diriku. Menyeret langkahnya yang tertatih serta wajahnya yang penuh darah.

“Aku, Boss,” jawab pria pirang bernama Liam, mengambil alih fokusku.

“Kenapa kau tidak melapor padaku kalau kemarin juga diserang?” Aku bertanya. Nada yang kugunakan tenang dan datar, tetapi berat dan dalam.

Liam menunduk sambil menjawab, “Kupikir, kami bisa mengatasinya kemarin.”

“Kau pikir?” Aku mengulang jawabannya. “Kenyataannya?”

Liam semakin menunduk. “Maafkan aku, Boss.”

Kedua tanganku yang semula bersembunyi di balik setelan, kini meraih revolver dari kantongnya dan mengarahkannya pada Liam pasca memompa senjata tersebut. Aku tidak melihat sekitar lagi, tetapi bisa merasakan aura ketakutan yang terpancar dari beberapa anggota klan yang melihatku.

“Bukankah itu gunanya kau punya mulut yang bisa bersuara dan alat komunikasi? Untuk memberi kabar? Apa aku harus membuatmu bisu dulu agar lebih mencerminkan kelalaianmu, Liam?”

Sesekali Liam yang menunduk memberanikan diri menatapku. “Ampun, Boss. Itu salahku. Tapi sebelum kau menembak mulutku, aku akan mengatakan sesuatu yang penting lebih dulu.”

“Katakan.”

“Anak buah Mr. Cavez yang dulu merusuh di kantin gratis kita ternyata hanya sebuah umpan, Boss. Sementara kita disibukkan dengan menggali informasi soal pria keparat itu, klan Cavez Donzalo memata-matai klan kita selama beberapa bulan ini untuk mepersiapkan penyerangan. Mr. Cavez juga yang membuat proyek-proyekmu terhambat di bea cukai,” terang Liam. Tanpa sadar aku menurunkan tanganku yang memegang revolver.

“Dari mana kau tahu ini?” Lagi-lagi nadaku datar, dengan pikiran kontan bercabang ke mana-mana. Mengembara pada kemungkinan-kemungkinan yang—demi Neptunus—tidak ingin kupikirkan.

“Saat kau memerintahkan untuk menyelidiki klan Donzalo, aku baru mendapat informasinya tadi. Tapi aku belum selesai mendengarkan, mereka tiba-tiba menyerang tempat ini. Jadi, aku cepat-cepat kembali ke sini.”

“Sialan!”

Rahangku mengeras dan peganganku pada revolver bertambah erat. Tanpa sadar mengarahkan satu tembakan pada botol di belakang meja bartender. Bunyi ledakan kecil hasil peredam moncong revolver dan kaca pecah berserakan membuat beberapa anggota klan terjingkat, tetapi dengan cepat mengatasi rasa keterkejutan pada diri mereka masing-masing.

“Bagaimana menurutmu kalau aku memberi kejutan pada mereka?”

Musim panas
Summertown, 8 Juni
(H-7 Wedding day)
02.00 a.m.

Aku dan Spencter kembali ke Summertown secepat yang kami bisa. Membelah kota Manchester di malam hari, di tengah musim panas dan rasa lelah. Akan tetapi tubuhku tidak boleh disetel demikian.

Aku ingin memilah, menata, dan menyusun rencana dengan Alfred secepat yang kubisa agar semua permasalahan ini gegas terselesaikan sebelum hari di mana aku menikahi Melody datang.

Setengah jam kemudian, kami tiba di The Balck Casino and Pub dan betapa aku harus mengumpat untuk ke-sekian kalinya ketika mendapati tempat ini dari luar sudah porak-poranda. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Manchester.

Aku telat selangkah!

Begitu mobil yang kami tumpangi berhenti, aku kontan meluncur, berlari melewati meja-meja kasino yang hancur berantakan. Aku tidak peduli. Pun mengabaikan beberapa anggota klan yang menyapa dan lebih memilih fokus menaiki lift menuju ruang kerjaku sebab pikiranku tertuju pada Alfred dan semua data di laptop.

Sekali lagi, gelombang kejut menyerangku tak kira-kira kala mendapati Alfred bersandar di bagian bawah sofa sambil memegangi perut yang tertembak—mungkin kalibernya menembus lambung—sehingga banyak sekali mengeluarkan darah. Ia masih bernapas, akan tetapi jenis pernapasan perut ; pendek dan cepat.

Sialan bedebah Cavez itu!

Mataku sempat menangkap sekeliling ruang kerjaku. Tidak seberapa berantakan. Namun, alat elektronik paling penting bernama laptop layarnya pecah dan sudah terbelah dua kini menjadi penghuni lantai.

“A-Alfred!” Aku bereriak dengan suara yang bergetar. Yakin seribu persen raut mukaku sudah berkerut sana-sini. Tanganku mengepal erat tanda berbagai emosi tumpah-ruah. Berkecambuk menjadi satu dalam waktu bersamaan. Akan tetapi masih berusaha menahannya demi Alfred.

“Spencter!” Aku berteriak dengan suara aneh. “SPENCTER!”

Aku kebingungan. Dengan gemetar mencari ponsel di saku, tetapi Alfred yang matanya setengah terpejam dan mulutnya yang setengah terbuka kini bicara, “Boss, ambil saja hard disk laptopnya.”

Godverdomme!” Walaupun keduanya penting, tetapi Alfred jauh lebih penting sekarang. Data itu, aku bisa mengurusnya nanti. “SEPENCTER!” Aku berteriak lagi sambil berusaha memapah Alfred.

“Boss, aku sudah pernah cerita kalau memiliki putra berumur dua tahun, kan?”

Entah kenapa di saat seperti ini, untuk pertama kalinya aku tidak menyukai logat British Alfred.

“Apa yang kau bicarakan, Alfred? Jangan meracau! Bertahanlah!” Aku memaki pria itu.

Namun, Alfred tidak menggubris semua kalimatku dan melanjutkan kalimatnya sendiri. “Dia bersama ibuku yang sudah tua renta sekarang. Mantan istriku tidak mengurusnya dengan baik, kalau—”

“SPENCTER! SIALAN KAU! CEPAT KEMARI!” Aku berteriak lantang sembari berusaha mengangkat Alfred, tetapi tidak kuat. Aku juga tidak tahu kenapa bisa selemah ini dalam keadaan seperti sekarang.

Sekitar lima detik kemudian, Spencter datang tergopoh dengan wajah yang sama kagetnya denganku.

“Kita bawa Alfred ke rumah sakit! Sekarang!”

Tanpa membantah, Spencter segera membantuku menggotong Alfred dan memasukkannya ke mobil. Lalu tanpa babibu melaju ke rumah sakit terdekat.

“Tolong jaga ibu dan anakku ya, Boss?” Alfred bicara seolah-olah waktu hidupnya sudah tidak lama lagi.

“Godverdomme, Alfred! Siapa yang menginzinkanmu bicara seperti itu? Kau akan selamat! Sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit.” Aku mengalihkan pandangan dari Alfred yang kupangku, mengarah ke Spencter yang mengemudi. “Spencter! Kenapa kau lamban sekali?”

“Aku berusaha secepat yang kubisa, Boss,” jawabnya sembari menekan klakson beberapa kali. Aku juga mendengar balasan klakson dari beberapa kendaraan yang melintasi kami.

“Nama putraku Ace. Ace Grissham.” Setelah mengucapkan nama anaknya, napas Alfred yang tersengal pun hilang. Aku kontan roboh, memukuli jok mobil sambil menggigit bibir bawahku keras-keras lalu mengumpat kasar usai menutup mata Alfred menggunakan tanganku yang gemetar.

Sialan! Cavez Donzalo sialan! Akan kubunuh bajingan keparat itu dengan menyiksanya lebih dulu sampai ia memohon sendiri padaku untuk mati!

Pagi dini hari ini, aku benar-benar hancur. Merasa gagal sebagai adik laki-laki yang tidak bisa menjaga Jameka, merasa gagal karena tidak kunjung bisa mengatasi masalah bea cukai Heralt, merasa gagal karena kasinoku dirusak yang mengakibatkan para pegawaiku luka-luka, dan sekarang aku merasa gagal sebagai sahabat Alfred. Aku tidak ada di saat consegliere-ku kesulitan menghadapi anak buah bedebah Cavez.

Tanpa sepengatahuan Melody, aku menghubungi Tito dan Lih melalui telepon daring. Mereka kontan kacau sama sepertiku.

“Gue sama Lih mau ke sana sekarang!” cetus Tito yang kulihat berwajah tegang. Beberapa urat di dahinya bermunculan. Sementara Lih sendiri mengangguk di belakang Tito. Mengepalkan tangannya dengan wajah tak kalah tegang.

“Nggak usah,” ucapku singkat. Nadaku jelas berat. “Entar Mel curiga.”

“Gue pengin ngabisin si Bedebah itu, Boss!” Tito mengeram dengan suara yang terdengar parau. Kentara menahan begitu banyak emosi.

“Tolong, To. Lo dengerin gue. Dan gue minta tolong lo sama Lih dan semua anak basecamp jagain Jameka ama Mel dari semua orang yang mencurigakan. Curut-curut kayak gitu boleh lo habisin, tapi tetep pakai cara aman! Nggak perlu ngelibatin polisi! Cukup lo cari kesalahannya yang fatal terus bunuh karakternya! Di sini, gue ama semuanya yang ngurus Alfred.”

Aku tidak tahu tindakan apa yang lebih bijaksana dari semua ini. Semuanya menyayangi Alfred. Pria paling patuh, teratur dan jenius dalam hidupnya. Oleh karena itu semuanya emosi ketika sahabatku  meninggal.

Well, dini hari ini juga, aku bersikeras membawa jenazah Alfred ke jasa perias mayat. Meminta orang-orang itu mengambil kaliber yang menancap pada lambungnya, kemudian menjahit lukanya layaknya orang hidup.

Ketika mentari sudah muncul di ufuk timur dan sinarnya menyapa, aku mencari alamat tempat tinggal ibu Alfred.

Jujur saja aku tidak tahu dan mungkin tak akan pernah sanggup memberitakan kematian Alfred pada ibunya.

Aku tidak tahu ini bisa disebut keberuntunganku atau tidak sebab ambulan dari rumah jasa perias mayat tersebut datang lebih dulu untuk bercerita. Sehingga aku tidak perlu mengatakan berita duka itu.

Wanita tua renta yang menggendong Ace Grissham bersimpuh di pelukanku saat tahu peti mati Alfred diturunkan dari mobil tersebut.

“Aku tidak tahu apa yang dia kerjakan selama ini sebab jarang pulang. Tapi aku selalu yakin dia selalu mengawasiku dan Ace dari jauh, juga selalu mengirimi kami uang dengan jumlah yang lebih dari cukup. Dan sekalinya putraku pulang, dia sudah tidak bernyawa.” Ibunya menangis sejadi-jadinya, sementara anak laki-laki Alfred yang berusia dua tahun hanya mentapa jenazah ayahnya dengan mata polos.

Dengan senyum cerah, Ace Grissham memanggil, “Dha ... dhaa ....” (maksudnya daddy) Sebab bocah itu masih belum lancar bicara.

Aku yakin, apabila kau bersamaku di sini, kau pasti kontan menangisi keadaan ini. Apalagi melihat Ace yang mengusap wajah jenazah kaku dan dingin ayahnya. Berkat orang-orang dari jasa perias mayat, Alfred didandani sangat tampan. Mengenakan suit hitam berdasi, berpantofel, dengan rambut yang disisir rapi. Mereka menambahkan perona pipi tipis agar Alfred terlihat sedang tidur dan sewaktu-waktu akan bangun ketika ada suara berisik. Bukan tidur untuk selamanya.

Tatapan polos tanpa dosa Ace serasa merobek hatiku.

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

Bonus photo Mel lagi minum booba, biar nggak deg degan buat next chapter gaes

Bang Jay juga makan kembang dulu, biar next chapter nggak di ganggu temen temen setannya

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

22 Agustus 2020
Repost : 16 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro