Chapter 46
Selamat datang di chapter 46
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasnya nempel sana sini)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Enemy by Disturbed
______________________________________________
As soon as, you’re be mine completely
—Jayden Wilder
______________________________________________
Jakarta, 3 Juni
22.00 WIB
Aku mengendarai Hummer hitamku menuju rumah Melody hanya dalam kurun waktu beberapa menit. Selain sudah malam, jalanan sudah tidak macet dan jarak antara mansion papa tidak terlalu jauh dari kediamannya.
Biasanya, kala mobilku mencapai gerbang rumah megah Melody, pak Jono—keamanan rumah—otomatis membukakan pagar untukku. Namun, kali ini tidak. Saat kutanyakan alasannya, pak Jono mengatakan ini perintah dari calon mertua tercinta. Kata beliau, orang yang bernama Jayden Wilder tidak boleh masuk rumah selama masa pingitan.
Cih! Menyebalkan sekali. Padahal aku hanya ingin berpamitan pada Melody karena besok pagi harus ke Inggris mengurusi masalah proyek-proyekku yang macet.
Ya sudah. Aku lantas membawa Hummer-ku pergi dari depan gerbang menuju sisi gerbang yang lain. Posisinya jauh dari sana, tetapi pos satpam rumah Melody masih bisa terlihat melalui spion kiriku.
Sebagai manusia tidak kurang akal, aku membuka kaca jendela, mematikan mesin mobil dan merokok untuk menunggu pak Jono tidur karena kedua mata beliau tadi sudah tampak mengantuk. Sehingga bisa dipastikan tidak tahu kalau aku masih belum pergi sepenuhnya.
Lintingan tembakauku masih seperdelapan ketika pak Jono sudah tidur pulas. Aku menyalakan mesin mobil untuk menutup kaca, lalu mematikan rokokku dan mulai beraksi dengan memanjat pagar rumah Melody yang tingginya hampir dua meter.
Dengan sangat hati-hati, aku berjalan mengendap-ngendap bak pencuri. Beberapa langkah mengusuri taman dan melewati kolam ikan—duh sial—Max menggonggongiku.
“Sssttt .... Hei, Budy this is me.” Aku menuju rumah Max dan mengelus bulu-bulu panjangnya yang tebal.
Umur Max hampir sepuluh tahun dan golongan ras besar membuat tubuhnya bagai anjing raksasa. Ketika duduk, tingginya hampir sebahuku yang berdiri. Berhubung Max sudah didomestikasi dari habitat aslinya yang bersuhu dingin, jadi anjing ini tidak masalah ditempatkan di luar rumah. Namun, tetap diberi rumah-rumahan mirip rumah Spike di kartun Tom and Jerry.
Pasca menenangkan Max, aku mencari ingatan di mana letak kamar Melody. Dulu saat menggendongnya untuk meletakkannya yang tengah tertidur, kamar wanita itu berada di lantai dua. Ada balkon yang mengarah ke kolam renang lantai satu. Itu berati aku harus menuju kolam renang di belakang rumah ini.
Setibanya di sana, aku kembali mencari-cari kamar Melody. Begitu menemukannya, aku mengamati sekeliling untuk mencari sesuatu yang dapat kupanjat agar bisa mencapai balkon kamar tersebut.
Kepaleku menoleh ke kiri dan kakan, tetapi tidak menemukan benda yang mumpuni. Lalu kuputuskan memanjat salah satu pilar yang mengapit balkon. Tingginya dari lantai satu hingga lantai tiga. Namun, sedikit susah, karena pilar ini terbuat dari marmer, jadi licin. Sehingga butuh tenaga ektra untuk memanjat.
Beberapa waktu yang tidak terlalu singkat, kelegaan segera menyusupiku kala sudah menemukan diriku di balkon kamar Melody—semiga masih sama. Tanganku pun secara pelan dan hati-hati menggeser pintu kaca slide-nya yang tertutup tirai. Sayang sekali terkunci.
Jadi, aku lantas mengirimi Melody pesan.
Jayden Wilder:
Udah tidur?
Beruntungnya tak lama kemudian Melody membalas pesanku.
My Baby 🎶
Belum, masih di kamarnya kak Bella. Lagi ngerumpi aja. Kenapa, Baby?
Jayden Wilder:
Buruan balik kamar.
Bukannya menjalankan apa yang kuminta, calon istriku malah menelepon.
“Halo?” sapaku setengah berbisik begitu sambungan terhubung.
“Tumben kamu nyuruh aku balik kamar. Kenapa, Baby?” tanya Melody.
“Balik kamar aja, penting.” Aku masih berbisik, juga menebak-nebak bagaimana raut wajah Melody saat ini. Mungkin alisnya sedang mengernyit, kemudian menatap ponsel sekilas seraya bangkit dari duduk lalu berpamitan ; bagian ini aku bisa mendengarnya.
“Mi, Kak Bel, aku balik kamar dulu ya?” pamitnya pada mami—oh ternyata ada camer—serta Bella, tanpa memutus sambungan telepon. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu dibuka dan ditutup.
“Halo?” sapanya lagi.
“Ya?”
“Apa yang penting?” tanya Melody penasaran. Aku bisa mendengar langkah kaki di seberang telepon. Pasti sedang menuju kamarnya. “Kok dari tadi ngomongnya bisik-bisik, Baby?”
“Balik kamar dulu,” jawabku masih setia berbisik. Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu terbuka dan tertutup dari kamar Melody.
“Ini udah,” ucapnya.
“Kamar kamu masih sama kayak yang dulu ’kan?”
Tidak lucu kalau sampai aku salah kamar. Apalagi kamar om Baldwin. Duh!
“Iya sama. Kenapa sih?”
“Nah sekarang tolong bukain pintu balkon.”
“Ha? Ngapain?”
“Udah buka aja.”
Tidak butuh waktu lama, Melody membuka pintu balkon kamarnya dan memekik, “Astaga!”
“Sssttt ....” Aku memberinya peringatan untuk tidak berisik. Aku bahkan membekap mulutnya menggunakan tanganku, sambil mendorong tubuh kurus itu masuk kamar serta penutup pintu.
Setelah resmi menguncinya, aku melepas dekapan tanganku serta meletakkan ponsel di meja belajar Melody.
Ia mengikutiku meletakkan ponsel sembari bertanya, “Kamu tuh gimana ceritanya sih bisa sampai kamarku?”
Jangan lupa pukulan pela pada lenganku. Anggap saja so sweet and so cute.
“Manjat pager ama pilar,” jawabku jujur.
Melody melihat di balik tirainya sembari celingukan. “Kok bisa sih? Pak Jono ke mana coba?” Setelahnya menutup tirai tersebut rapat-rapat untuk menatapku yang sedang mengamati sekeliling kamarnya.
Kamar Melody sudah berubah. Ini merpakan kali kedua aku berada di ruangan ini. Dulu saat mengantarnya ke sini pasca pesta pernikahan tante Amanda, kamar ini bernuasa feminin. Warna kuning lebih mendominasi, karena warna tersebut merupakan kesukaan Melody ; sprei warna kuning motif kartun lucu, ada beberapa bantal bulu dan boneka. Karpet pollar bear yang terletak di bawah kasurnya masih sama. Namun, ukuran kasur ini jauh lebih besar dari yang dulu. Dulu ada satu lemari etalase yang memajang boneka-boneka Melody. Sekarang sudah tidak ada. Cermin besarnya juga masih ada. Meja belajar serta meja rias sudah ganti.
Aku melihat rak setinggi setengah meter yang memajang fotonya bersama Brian dalam pigura. Mereka berpose ala duck face. Mungkin foto ini diambil sewaktu Melody masih SMA dan belum mengenalku. Terbukti pada kaus tanpa lengan yang dikenakannya. Mengingat setelah menjadi pacarku, aku melarangnya mengenakan kaus kurang bahan seperti ini.
Oh, ada juga fotonya bersama Karina, Bella dan kakakku. Ada juga foto bersama Tito, Lih dan semua yang memberi surprise sewaktu ulang tahunku dulu, penuh cat dan yang satunya lagi penuh timpukan kue. Foto di waktu pernikahan om Baldwin dan tante Amanda juga dipajang. Dan tentu saja dia lebih banyak memajang foto bersamaku dari berbagai pose. Namun, aku paling menyukai saat kami memakai pakaian resmi.
(Maapkeun editannya masih kasar, harap maklum, amatir soalnya 😅)
“Udah? Jadi pengamat kamarnya?” usik Melody. “Pak Jono ke mana emang?” ulangnya membuyarkan aktivitas kepoku. Begitu melirik Melody, ternyata ia sudah berada di belakangku sambil menyilangkan tangan ke dada.
Aku pun mengikuti gerakannya. Bedanya aku bersandar di kuris meja belajarnya. “Lagi tidur, makanya bisa manjat pager ama pilar.”
“Astaga,” gumamnya diselingi senyuman. “Kamu tuh kayak di sinetron-sinetron tahu nggak? Manjat kamar ceweknya. Emangnya kamu masih muda? Main manjat-manjat kayak cicak?”
Eh kok kamvretoz? Ya tahu aku lebih tua hampir lima taun darimu, my Baby, Berlian Melody on the way Wilder.
“Kepaksa,” jawabku singkat. Detik berikutnya memaksakan senyum.
Secara praktis menular ke calon istriku yang terbukti ikut tersenyum. Walau jenis senyum yang menandakan geli yang kutebak akibat melihat tingkah konyolku. Aku suka melihatnya tersenyum. Matanya yang besar jadi kelihatan sipit seperti om Baldwin.
“So, apa yang bikin kamu sampai manjat kamarku?” Rupanya Melody masih penasaran, gaeeessss.
“Gimana kalau jelasinnya sambil ekhm ... tiduran di kasur.” Aku melipir dan menjatuhkan diri di kasur dengan posisi telungkup dan melepas sepatu ketsku asal-asalan menggunakan kaki. Badanku tidak sengaja menimpa salah satu bantal Melody yang bentuknya mirip lego, kotak. Atau mirip manusia? Entahlah.
“Dasar!” hardik Melody, tetapi mengikutiku rebahan di kasurnya yang dibalut sprei putih. “Itu, bonekaku kamu tindihin,” protesnya sambil berusaha meraih boneka yang kupikir bantal bentuk lego warna putih tersebut.
Aku terpaksa mengangkat tubuh sedikit sehingga Melody bisa mengambil serta meletakkan boneka itu di antara kami. Saat hendak protes, aku lebih dulu terkejut mendapati boneka itu dibalik, memperlihatkan fotoku serta sebuah tulisan.
“Lho, kok? Itu ... ini ... aku?” Aku kebingungan memilih kata-kata.
Melody tersenyum malu. Wajahnya mulai memerah. Sampai-sampai ia harus menutupinya menggunakan tangan boneka. Lantas membasahi bibirnya sebelum berbicara, “Obat kalau kangen kamu, aku meluk ini. Aku pesen boneka ini khusus. Yah ... meski bentuknya cuman kayak gini, tapi lumayan mirip kamu ‘kan?”
Mirip apanya? Bentuknya hanya kotak.
Aku menepuk fotoku pada boneka tersebut. “Ini emang aku, maksudku, fotoku. Lagian kamu bisa nelepon atau video call kalau kangen. Ngapain malah meluk gumpalan kapas yang dijahit ini?”
“What? Gumpalan kapas yang dijahit? Eh, tapi bener juga sih.” Melody hampir menggigiti kukunya, tetapi tidak jadi. “Kalau bisa nelepon atau video call, aku pasti lakuin itu. Dulu ‘kan nggak bisa. Aku juga nahan diri buat nggak main sosmed, nahan banget nggak kepo kamu di sosmed pokoknya. Soalnya aku takut banget kamu kenapa-kenapa waktu itu ....”
Aku melihat Melody memainkan tangan boneka tersebut sambil bercerita tentang bagaimana ia survive kala dulu. Termasuk saat ia hanya bisa bertanya lewat Tito secara diam-diam. Menanyakan bagaimana kabarku. Namun, kala bertemu denganku di taman Summertown dan melihatku bersama seorang wanita, ia menyerah. Memutuskan untuk tidak bertanya pada Tito lagi karena yakin aku sudah baik-baik saja dan punya pacar baru ; wanita tersebut.
Matanya memang menatap tangan boneka, tetapi aku bisa merasakan semua kesedihan yang ia ungkapkan melalui iris tersebut.
“Hei, cewek itu bukan siapa-siapa kok. Aku aja nggak kenal dia siapa. Dia cuma butuh duitku. Aku juga nggak main sosmed,” akuku untuk menghentikan ceritanya. Bahkan sampai beberapa saat lalu, aku baru memiliki ponsel pribadi.
“I’m here now. Aku juga calon suamimu. As soon as, you’re be mine completely,” imbuhku.
Melody mengangguk tegas. Memindahkan boneka Jayden-nya ke samping lalu berguling untuk memelukku.
“Feel so right,” gumamku sambil mengecup puncak kepalanya yang ia tenggelamkan pada dadaku.
Pada detik yang lain ia mendongak, “Ekhm, jadi hal penting apa yang pengin kamu omongin?”
Aku menunduk untuk menatap Melody. “Besok pagi aku harus balik ke Summertown. Ada beberapa kerjaan yang garus dikelarin,” jawabku jujur.
“Padahal kamu bisa ngabari lewat telepon soalnya kan nggak boleh ketemu ....”
“Nggak bisa meluk kayak gini.”
“Kalau ketahuan Daddy gimana?”
“Paling juga dilempar sendal kayak tadi siang.”
Melody cecikian. Sedangkan tiba-tiba mataku berat karena mengantuk. Lupa bahwa betapa nyamannya pelukan Melody sampai bisa membuatku cepat tertidur.
Jakarta, 3 Juni
05.30 WIB
Keningku berkerut samar ketika mendengar degung getaran fan nada dering ponsel.
“Baby, HP-mu bunyi,” ucap suara serak tepat di sebelah telingaku. Aku pun terpaksa mencari-cari alat komunikasi tersebut di seluruh tempat yang bisa kugapai, tetapi tidak ketemu. Dan benda kotak itu masih terus meneriakkan eksistensinya.
Akhirnya aku terpaksa membuka mata dan mendapati Melody masih memelukku. Ya Tuhan, ia masih ngiler seperti biasa.
Aku bisa terus puas memandangi wajah manis di dekapanku seharian apabila bunyi ponsel tersebut tidak serta-merta diam. “Bentar, aku ambil HP dulu di meja belajarmu,” ucapku tak kalah serak sambil perlahan menggeser posisi tubuhnya.
Ketika berhasil meraih benda yang masih berkedap-kedip tersebut, aku mengumpat dalam hati.
“Halo?” Aku baru akan menyalurkan hardikan lewat verbal ketika pintu kamar Melody tiba-tiba diketuk.
Sial! Bagaimana caranya aku keluar dari sini?
“Mel ...?”
Suara Bella di luar pintu secara praktis membuatku panik. Ponselku yang memamerkan telepon masuk dari Alfred kontan kumatikan lalu kulempar ke kasur untuk segera mengguncang tubuh Melody.
“Baby, wake up,” bisikku. Bersamaan dengan ketukan pintu yang kian terdengar lagi dan lagi.
“Mel ....” Suara Bella kembali berkoar.
Sedangkan yang dipanggil masih meringkuk dengan Jayden-nya. Maksudku, gumpalan kapas yang dijahit membentuk kotak putih berwajah fotoku. Alias, boneka.
Berhubung tidak kunjung bangun, aku mencium pipinya yang tidak terkena iler. “Baby, wake up.”
Beberapa detik kemudian, ia baru mengerjap dan ... oh! Aku terpana melihat wajah bangun tidurnya. Aku tahu ini sangat cheesy. Namun, aku tidak bisa mencegah diriku sendiri untuk menerima kenyataan bahwa sebentar lagi wajah imut di hadapanku ini akan menjadi milikku.
Jadi, berbekal menulikan pendengaran, aku malah ikut bergulir di samping Melody dan memeluk tubuh feminin itu.
Dan Bella kembali berteriak, “Mel, ayo turun, katanya mau belajar masak sama aku sama mami juga buat Jayden?”
“Kamu mau belajar masak?” Aku bertanya dalam pelukannya, mengirup aroma vanila tubuhnya dalam-dalam. Sangat manis, cocok sekali dengan karakter Melody.
Oh God, bangun tidur saja wangi! Hasrat ingin koprolku jadi meronta-tonta.
Melody on the way Wilder pun segera menjauhkan diri dan membuka mata lebar-lebar. “Astaga!” desisnya kemudian menutupi kefua netranya menggunakan lengan kanan. Aku melihat seulas senyum di bibir merah mudanya. “Padahal aku mau bikin surprise, tapi kamunya udah tahu duluan.”
“Aku bisa pura-pura nggak tau,” jawabku.
“Mel, mami udah nungguin di bawah, mau berangkat ke pasar sama mak Rami, yuk,” teriak Bella.
Melody tersentak duduk lantas panik. “Aduh! Kamu ke kamar mandiku dulu deh, biar aku bukain pintunya.”
Aku yang masih berbaring pun meraih pinggang Melody dan mengeratkan pelukan.
“Jayden ...,” rengek Melody.
“Mel?” Suara Bella menginterupsi.
“Dengerin aku,” kata Melody serius. Aku malah tersenyum mirip Max yang menunggu diberi makan. Melihatnya panik seperti ini sangat menggemaskan. Maksudku, ia memang menggemaskan sepanjang waktu. Hehe ....
“Ih, Jayden! Aku serius! Buruan ke kamar mandiku sekarang!” titah Melody yang tidak berani menyuarakannya secara lantang. Kita tentu tahu ia takut Bella mendengarnya.
Astaga wajah imutnya ingin kugigit.
“You forget something.” Aku menyeringai kala mengatakan hal itu.
Melody tahu arti kalimatku. Maka dari itu, ia mengecup bibirku kilat, tangannya terulur untuk menarik tanganku agar bangkit. Lalu mendorongku ke kamar mandi pribadinya.
Well, aku malah mengamati isi kamar mandi ini. Ada jacuzzi, shower, toilet duduk, wastafel dan kabinet yang dilengkapi cermin. Kamar mandi ini memiliki dua pintu. Ketika kubuka, satu pintu terhubung ke kamar, satu pintu lagi penghubung ke closet.
Menutup pintu closet secara hati-hati, terbukalah pintu yang lain dan aku mendapati Melody telah masuk sepenuhnya.
“Baby,” bisiknya sembari memegangi pintu yang menghubung ke kamarnya. “Aku mau ngalihin perhatian Daddy sama semua orang yang ada di rumah, entar kamu langsung keluar ya?”
Aku tersenyum dan mengusap puncak kepalanya. “Oke.”
Sebagai permulaan, Melody mengganti baju. Tentu saja aku ingin melihatnya. Jayjun pasti akan girang mendapati pemandangan segar pagi-pagi seperti ini. Sayang seribu sayang, wanita itu sungguh keras kepala ingin memiliki privasi dan ganti di closet. Yah ... tenang saja, sebentar lagi .... Hehe ....
Aku bersiul dan mengecek ponsel untuk mengirim pesan pada Alfred dan memintanya menungguku di apartemen. Selewat beberapa detik, Melody muncul dari closet dengan kaus oblong kuning, celana santai biru tua selutut dan topi serta sandal jepit. Jadi, itu gayanya ketika akan pergi ke pasar.
Oke, pakaian yang ia kenakan memang biasa saja. Namun, aku masih takut ia dilirik begundal-begundal. Sayangnya, aku harus menyerahkan urusan itu pada tante Amanda yang memiliki gobem paling mematikan bak bisa ular mamba hitam.
Saat tengah asyik membayangkan bagaimana tante Amanda mengurusi begundal-begundal yang menggoda Melody di pasar, aku dikejutkan suara calon istriku.
“Baby, ikutin aku.”
Ia membuka pintu kamar secara perlahan dan sangat hati-hati. Kepalanya melongok lalu celingukan untuk mengintai sekitar. Seletelah mungkin dirasa aman, ia menggandengku yang berada di belakangnya. Saat akan mencapai tangga, tiba-tiba ada yang berucap, “Udah siap Mel—loh, kok ada Jayden?”
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
Kelen ngenten pun 👍
Bonus foto Melody-nya Abang Jay
Bonus foto Abang Jay nya Chacha (nggak apa-apa nggak di akui, masih ada bang Erlang kok)
See you next chapter
Siap-siap ya buat adegan selanjutnya ....
Siapin hatinya ....
With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻
Post : 16 Agustus 2020
Repost : 15 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro