Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 44

Selamat datang di chapter 44

Makasih banget yang masih setia menunggu Jayden up

Jangan lupa tinggalakan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka hinggap sana-sini)

Happy reading everyone

Hope you like it


❤❤❤

______________________________________________

Nightmare by Avenged Sevenfold

______________________________________________

Hidup di jalanan memang keras
Namun, apabila usaha untuk mendapatkan wanita sehebat dirimu jauh lebih keras
Aku rasa itu sepadan untuk dilakukan

Jayden Wilder

______________________________________________

Jakarta, 2 Juni
16.45 WIB

Matahari sudah berubah menjadi jingga di ufuk barat ketika aku diantar Tito kembali ke pak Man untuk mengambil lima bungkus mie ayam bakso lalu membawanya ke rumah Berlian Melody.

Tiba di tujuan, tidak lupa berterima kasih pada pria itu, aku menenteng seplastik makanan tersebut di tangan kiri lalu menyapa penjaga rumah seraya memindah bobot tubuh menaiku undakan pintu utama rumah megah ini.

Maksud hati ingin langsung beremu Melody dan suatu kebodohan tidak meneleponnya lebih dulu. Hasilnya, om Baldwin alias calon mertuaku yang kujumpai pertama kali. Beliau duduk di kursi santai sambil membaca koran dengan kacamata plus yang bertengger di hidung mbangir bak prosotan TK. Ada juga secangkir kopi yang asapnya masih mengepul di meja tengah antara kursi santai tersebut.

Sebagai calon menantu idaman yang baik, kusapa, “Selamat sore, Om.”

Koran dari tangan om Baldwin dan kacamata baca tersebut serempak diturunkan beliau. Alih-alih menyambutku dengan semyum hangat, pria itu malah memicingkan mata sipit beliau mirip anak kecil yang curigai mainanannya akan direbut oleh temannya yang lain. Sebenarnya ini menggelikan sekaligus menjengkelkan, tetapi ... ya .... Memang begitulah beliau terlihat.

Om Baldwin pun bertanya, “Ngapain kamu ke sini, Jay? Kamu itu nggak ngerti ya yang namanya dipingit?”

“Saya nyari Om kok. Nggak nyari Mel,” jawabku enteng. Berhenti tepat di depan beliau, aku menunduk, mengurulurkan tangan untuk menjabat tangan beliau.

Biar pun statusku sebagai pemimpin mafia yang tidak suka mematuhi adab apa pun, pengecualian untuk orang-orang yang patut dihormati, disegani, dan diperlakukan sopan santun. Apalagi ini calon mertuaku. Wajib hukumnya untuk bersalaman ala anak baik-baik begini.

Menyambut uluran tanganku, om Baldwin kembali melayangkan pertanyaan curiga pada calon menantu kesayangannya ini. “Ngapain kamu nyari saya?” Setelahnya melipat warta tersebut menjadi empat serta meletakkannya di meja.

“Kangen Om. Sama mau ngasih mie ayam bakso,” jawabku, lantas mengangkat plastik di tangan kiriku untuk mempertegas kata-kataku.

Om Baldwin mencibir. “Kamu pikir, saya bisa disokok pakai itu? Bilang aja terus terang kalau pengin ketemu Mel."

Sabar, Jay, calon mertuamu memang agak kamvretos. Harus sabar ya, Jay.

Hatiku berteriak demikian. Mendoktrin otak agar tidak terpengaruh oleh om Baldwin yang belakang ini mengembangkan hobi memancing emosiku.

“Emangnya kalau saya ngomong pengin ketemu Mel, Om bakalan ngizinin Mel nemuin saya?” Aku bertanya. Sebisa mungkin menggunakan wajah dan nada polos. Agar om Baldwin sedikit bersimpati padaku kemudian mengizinkanku menemui anak gadis beliau.

“Oh tentu.”

Di luar ekspektasi, cara memalukan bagi berandalan berwajah garang sepertiku ternyata lumayan ampuh. Diam-diam, aku mencatatnya dalam hati untuk menggunakan jurus ini lagi apabila diperlukan untuk berhadapan dengan om Baldwin.

“Makasih, Om,” pungkasku datar, tetapi jelas mengandung unsur kebahagiaan.

Tanpa menunda waktu barang sedikit pun, aku mengambil langkah, nyelonong hendak masuk rumah. Namun, baru saja kedua kaki yang menyangga bobotku mencapai ambang pintu, Om Baldwin menghentikanku.

“Eh mau ke mana kamu?” tanya beliau sembari memegangi pundkaku.

Aku terpaksa berputar sembilan puluh derajat untuk menghadap om Baldwin yang kemudian merebut tentengan plastik di tangan kiriku sambil berucap, “Tunggu sini, biar saya yang manggil.”

Dengkusan baru busa keluar dari mulut dan hidungku ketika sosok calon mertua tercintaku ini menghilang ke rumah. Aku memilih mengambil rokok dari saku celana dan membakar ujungnya menggunakan pematik.

Seperti kebiasaan rutinku beberapa tahun lalu. Kalau sedang mampir ke sini untuk bertemu Brian, undakan adalah tempat favoritku untuk duduk sambil merokok. Kali ini bedanya, bukan Brian yang kucari dan kutunggu, melainkan adiknya.

Aku jadi teringat masa-masa itu. Suasana dan kegiatan yang kujalani sama persis. Pun benakku yang melukis wajah, sifat, serta berbagai lembar demi lembar kenangan tentang adiknya Brian. Walau sudah lama, rasanya masih sangat segar dalam ingatanku kala tiba-tiba gadis manis dengan rambut dikepang menyerupai bando itu baru turun dari mobil temannya dan bertemu denganku di undakan yang sudah direnovasi menjadi apik ini.

Dasar imut!

“Jayden.”

Nah ... sepertinya imaninasiku terlalu nyata sampai-sampai suara Melody membelai-belai daun telingaku. Sialan! Kalau sudah begini, bagaimana bisa aku tidak semakin mencintainya? Walau tadi sempat mendapat kasih sayang berupa bogem-bogem.

Aku menggeleng pelan sambil menghembuskan asap rokok dari mulut dan hidung. Kepalaku menuntun pandanganku ke bawah dan senyumanku muncul tanpa bisa kucegah. Aku jadi mirip orang gila yang senyam-senyum sendirian di teras. Diperkuat dengan suara selembut beledu Melody yang menggema kembali.

“Jayden ....” Kali ini lebih keras dengan intonasi agak panjang.

“Jayden, Oon!”

“Astaga!” Aku terlonjak lantaran kaget mendapati sosok dalam benakku tengah memegang punggungku dan berteriak tepat di sebelahku. Beruntungnya rokok ini tidak sampai tertelan. Bayangkan kalau terjadi. Aku yakin seribu persen Melody mungkin mengira aku lulusan debus.

“Ngapain geleng-geleng sambil senyum-senyum kayak gitu?” tuntut Melody heran sembari menata pantatnya duduk di undakan sebelah kananku.

“Lagi mikirin kamu aja,” jawabku jujur lalu mematikan rokok yang baru saja terbakar sedikit.

Bagaimanapun juga, aku sadar diri kalau Melody tidak begitu menyukai asap rokok. Terlebih, hasil dari lintingan tembakau yang kuhirup di dekatnya. Kendati tidak pernah mengatakannya secara langsung, tetapi aku dapat melihat dari getsture-nya yang sepeti kurang nyaman.

Tidak hanya itu, beberapa kali ia juga memperingatkanku tentang seberapa buruknya kondisi paru-paru seorang perokok. Yah, memang dasar aku saja yang masih sering-sering mencuri kesempatan untuk merokok. Padahal dalam hati aku terus mewanti-wanti harus bisa mengubah kebiasaan buruk ini pasca menjadi suami Melody.

Wanita di sebelahku kini membawaku ke alam nyata dengan bertanya, “Aku? Kenapa aku?” Ia mempertegas kata-katanya dengan menunjuk dirinya sendiri.

Setelah menghembuskan sisa asap rokok ke udara, aku menjawab, “Kamu imut.”

“Ih! Apaan sih, udah dewasa gini masa masih dibilang imut? Berapa kali kubilang kalau aku nggak mau disebut imut? Entar dikiranya masih bocah!” terang Melody dengan wajah sedikit cemberut yang menambah kadar imutnya.

Seperti biasa, ia sangat menggemaskan. Aku jadi tidak bisa membendung luapan rinduku lagi. Kurangkul pundaknya dan mengarahkan kepalanya agar menempel pada dadaku. Ia pun balas melingkarkan tangan ke seluruh tubuhku. Aku menunduk, sementara tanganku meraih dagu Melody yang kudongakkan. Ketika secara perlahan wajahku sudah mendekati wajah calon istriku yang memejam, suara dehaman kencang milik seorang pria dewasa menghentikan niatku mencuri cecapan bibir Melody.

“Ekhm! Ekhm!”

Kami spontan menoleh ke arah sumber suara tersebut dan mendapati om Baldwin sudah kembali duduk di kursi sambil membawa semangkok mie ayam bakso yang kubawa tadi. Sesekali pandangannya melirik ke arah kami. Tidak selang beberapa lama kemudian, munculah tante Amanda dengan cangkir teh keramik tuska kombinasi emas, ikut duduk di sebelah om Baldwin. Saat akan menyesap teh tersebut, gerakan beliau berhenti karena melihatku.

“Eh, ada si Jay. Tante ngeteh dulu ya? Ambil minum sendiri kalau haus,” ucap wanita paruh baya berkebangsaan Texas itu kemudian melanjutkan acara menyesap teh.

“Beres, Tan,” jawabku. Bonus jempol yang terangkat tinggi-tinggi.

“Kolam ikan itu juga nganggur, Jay!” sahut om Baldwin sengak.

Eh maksudnya? Aku disuruh minum air kolam ikan? Begitu?

“Dad ...,” desis Melody yang jelas mengendus bau kebakaran jenggot.

“Itu tangan bisa nggak, nggak usah nempel-nempel gitu?” Lagi-lagi om Baldwin sewot.

Heran! Kenapa orang tua satu ini jadi sensitif? Macem merk test peck saja.

Cih! Dengan terpaksa, aku melepas rangkulan tanganku. Selaras dengan Melody yang juga melepas lilitan tangannya. Itu pun tidak serta merta menjadikan om Baldwin cukup puas akan tindakan yang kami lakukan berdasarkan perintah tersebut. Beliau malah melanjutkan kalimat yang tampaknya memang belum diniati rampung. “Waktu kalian pacaran tinggal lima menit lagi!”

Ck! Rasanya aku ingin mendengkus keras-keras. Namun, itu tidaklah sopan. Sedangkan aku memerlukan kesopanan ekstra di depan calon mertuaku. Atau ide-ide kreatif om Baldwin menghambat pernikahanku dengan Melody akan bermunculan dan dideklarasikan satu per satu. Wah ... jangan sampai ini terjadi. Bisa makin repot urusannya. Kasihan Jayjun.

“Maaf ya, Baby. Daddy cuma lagi sensitif aja soalnya kan aku mau nikah sama kamu, bentar lagi anak ceweknya mau digondol kamu,” bisik Melody. Tangan kanannya menyentuh lenganku. Sontak saja meleburkan rasa kekesalan yang baru saja menyerang seluruh saraf-saraf di kepalaku.

Namun, mestinya aku tak harus tenang semudah itu lantaran lagi-lagi ....

“Ekhem, Sweety. Bisa nggak, tangannya nggak usah pegang-pegang Jay gitu?”

Ck! Godverdomme!

Siapa suruh membangkitkan kekesalanku lagi?

Seringai licik terbentuk di sepanjang garis bibirku. Secepat kilat menyambar di langit mendung, kuraih dagu Melody dan kukecup bibirnya sampai om Baldwin semakin murka. Bukan hanya pria paruh baya itu, tetapi juga tante Amanda yang sudah beranjak dari kursi dan menerjang telingaku dengan jeweran kasih sayang seorang calon mertua.

Mulut wanita paruh baya berambut pendek tersebut juga mengomel. “Berani-beraninya kamu nyium anak Tante di depan Tante? Dulu waktu Mel masih SMA, bulan-bulan lalu di masion papamu, sekarang juga, lagi? Tinggal dua minggu aja masa nggak bisa nahan diri sih? Hah?”

“Mi ... jangan dong Mi ....” Melody panik dan berusaha mencegah maminya. Sayang seribu sayang, om Baldwin menghadang putri kesayangan beliau.

Raut wajah pria paruh baya itu menerangkan kalau tak akan meloloskanku begitu saja. Beliau juga ikut mengomel. Bukan hanya padaku, tetapi juga Melody.

“Mulai sekarang kamu nggak boleh keluar rumah sampai dua minggu ke depan! Segala urusan nikah, biar mami dan WO yang ngurusin. Pokoknya, kamu bener-bener harus dipingit!” tatapan mata beliau lantas berpindah padaku. “Dan kamu, Jay! Nggak usah pakai alibi mie ayam-mie ayaman segala buat dateng lagi ke sini sebelum pesta pernikahan kalian! Paham kamu?”

“Aduh, iya, iya ... paham, Om,” jawabku sambil memegangi telinga yang masih dijewer tante Amanda.

Demi Neptunus! Jeweran beliau tidak tanggung-tangguh cuy. Rasanya telingaku panas-dingin, trecep-trecep, pedas nampol.

“Ya udah, pulang sana kamu!”

“Yah ..., Dad. Itu beneran aku yang pengin mie ayam. Bukan alibi. Lagian masih kangen juga sama Jayden,” sahut Melody dengan wajah cemberutnya.

“Nggak,” sergah om Baldwin tegas. Kemudian memutar kepala dan melayangkan tatapan mata elang mengintai mangsa padaku. “Sana! Pulang kamu!”

Cih!

“Iya, Om ..., iya ....” Berhubung aku mengalah, tante Amanda melepas jeweran di telingaku yang kuyakini tengah memerah.

Beruntungnya telingaku ini telinga manusia. Bukan telinga kaum elf yang berbentuk panjang. Bisa banyangkan kalau itu dijewer tante Amanda lima menit lagi. Bisa-Bisa telingaku berubah jadi seperti telinga kaum elf sungguhan.

Sembari memegangi telinga bekas jeweran calon ibu mertuaku yang super itu, aku melihat om Baldwin berkacak pinggang dengan tatapan mata yang seakan aku bisa babak belur kalau tidak segera melipir pulang detik ini juga.

Aku juga melirik Melody yang berwajah khawatir padaku. Kukatakan dalam hati bahwa aku tidak apa-apa kalau hanya mendapat jeweran kasih sayang dengan hasil bisa mendapatkannya.

Hidup di jalanan memang keras. Namun, apabila usaha untuk mendapatkan wanita sehebat dirinya jauh lebih keras, aku rasa itu sepadan untuk dilakukan.

“Pulang dulu ya, Om.” Aku berpamitan. Tangan kiriku masih memegangi telinga sedangkan tangan kananku terulur untuk bersalaman dengan calon mertuaku secara bergantian. Kala ingin berpamitan pada Melody, kedua calon mertuaku memperhatikanku secara saksama.

“Pulang dulu ya, nih salim dulu sama calon suami,” pamitku sambil mengulurkan tangan pada Melody dan calon istriku itu menyambutnya dengan riang. Detik berikutnya mencium tanganku dengan tulus.

Argh ... aku melayang gaeeess ....

“Hati-hati, kabarin ya kalau udah sampai apartemen atau masion,” tukas Melody sambil melambaikan tangan. Sedangkan kedua calon mertuaku? Meskipun mereka berubah jadi lebih beringas, tetapi juga tetap memintaku agar hati-hati.

Beberapa langkah meniggalkan mereka, aku baru mengingat sesuau kalau tujuanku ke sini selain mengantar mie ayam bakso dan bertemu Melody, juga mengambil mobil klasik hitamku. Jadi, aku berbalik sambil mengacungkan telunjuk.

“Kunci mobilku?”

Melody melebarkan mata dan membuka mulut membentuk huruf O tanpa suara. Ia lantas bergegas kembali ke dalam dan beberapa saat yang singkat membawa kunci mobilku.

“Kok bisa kunci mobilnya Jay di kamu?” tanya om Baldwin.

“Iya, aku bawa mobil Jayden tadi ehehe. Tuh, yang di situ itu mobilnya Jayden,” jawab Melody sembari menunjuk mobilku yang terparkir tidak jauh dari kolam ikan di pekarangan rumah.

Om Baldwin hanya mengangguk. Aku lantas pamitan lagi. “Pulang dulu ya?”

Namun, lagi-lagi baru saja beberapa langkah, aku berbalik seratus delapan puluh derajat sambil merogoh saku celana jinku. Berlian Melody pun bertanya yang kuyakini mewakili kedua calon mertuaku. “Ada yang ketinggalankah lagi, Jayden?"

“Ada,” jawabku datar masih sambil menelusuri seluruh saku jin dan memindah berat tubuh mendekati mereka.

“Apa yang ketinggalan emang?”

Aku lantas menunduk di depan Melody, menelusuri lantai marmer untuk mencari sesuatu.

“Apa sih yang ketinggalan? HP?” Tante Amanda ikut penasaran dan menunduk, mencari-cari sesuatu. Sama seperti om Baldwin.

Ketika semua atensi teralihkan. Aku menjawab, “Ini.” Sambil memencuri kecupan super kilat pada bibir Melody dan bergegas berlari sebelum om Baldwin melemparku dengan sandal baliau.

“Heh! Calon mantu kurang ajar kamu Jay!”

Dan sandal yang melayang tepat di atas kepalaku itu pun masuk kolam ikan.

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah kasih vote dan komen

Bonus Mel nya bang Jay

juga bang Jay nya Chacha (permen cokelat, susu dan kacang warna warni)

Bonus photo Chacha juga (gak penting banget, sebaiknya di skip aja)

See you next chapter

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Post : 10 Juli 2020
13 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro