Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 42

Selamat datang di chapter 42

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (biasanya suka nempel sana sini)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________________

This is my favorite song

Number by Sky eats airplane

______________________________________________

Even brother and sister are acting like ten years old every they sit together, love and hate each other at the same time,
But the truly is: they care each other
in their way

Jayden Wilder

______________________________________________

Jakarta, 2 Juni
11.00 WIB

Kejutan yang kurencanakan gagal total. Harapan besar Melody membalikkan tubuh 180 derajat untuk memelukku, lalu kami saling mencuri bibir dalam badai panas dan ia akan berterima kasih pada semesta karena aku telah pulang ke Indonesia, kini sudah menguap dalam benakku. Hanya mencapai tujuan angan-angan kosong yang perwujudannya tak kasat mata. Digantikan jenis kasih sayang lain ; bogem-bogem Melody.

Calon istri siapa itu?

Jayden Wilder.

Lain halnya dengan otak, hati nurani ini selalu berupaya mencari hikmah di balik suatu peristiwa bahwa calon istriku sangatlah pintar menjaga diri tanpa diriku.

Pasca undangan gaduh dari kami, orang-orang yang datang melihat sekarang sudah beraktivitas seperti semula. Melody menggandengku menuju meja kasir—tempat di mana seorang remaja perempuan berdiri sedang membungkus tanaman mint.

“Kenalin, ini calon suamiku. Namanya Jayden,” ucap calon istriku pada remaja tersebut, masih melilitkan tangan di lenganku kemudian menatapku. “Baby kenalin, namanya Bulan, yang bakalan dekor bunga di acara kita entar.”

“Hai,” sapaku datar pada remaja yang namanya si Fulan Fulan tadi. Entahlah aku tidak begitu peduli tentang namanya. Yang kulihat hanya ekpresinya yang tampak takut padaku—sudah biasa, siapa yang tidak takut dengan Jayden Wilder saat pertama kali bertemu? Melody yang notabennya gadis pemberani—that’s true story, bukan karena aku membanggakannya sebagai calon istri—saja takut, apa lagi remaja itu. Maka dari itu aku hanya mengucapkan ‘hai’ tanpa mengulurkan tangan.

Bukannya sombong, tetapi itu untuk mencegah hal-hal yang tidak seharusnya terjadi.

Si Fulan hanya mengangguk sambil membalas, “Hai juga.”

“Jayden, bentar ya aku ke rak situ sama kak Jame, kamu tunggu tanaman mint ini kelar dibungkus ya?” pinta Melody kemudian menyusul Jameka di rak sebelah. Tempat bunga-bunga mawar dan matahari dipajang begitu rupa.

Sedangkan aku—yang berusaha jadi calon suami-suami takut istri alias bucin—duduk di salah satu meja pengunjung tidak jauh dari meja kasir. Sembari menunggu tanaman mint selesai dibungkus, aku mengecek ponsel. Menilik beberapa surel yang masuk lalu berdecak pelan.

Lagi-lagi ada masalah konstruksi yang menghambat pembangunan gedungku. Dulu saat membangun apartemen, sekarang kelab malam baruku di Brooklyn yang sudah hampir sembilan puluh persen jadi. Ini jelas sesuatu yang jauh lebih dari biasa dari yang tampak.

Demi neptunus! Aku tidak suka jadi CEO!

Sebelum membalas surel-surel tersebut, aku menghubungi Alfred lebih dulu untuk berdiskusi masalah ini.

“Alfred,” panggilku tepat ketika sambungan telepon di seberang sudah aktif. “Tolong cari penyebab masalah konstruksi kelab baruku di Brooklyn dan masalah konstruksi pembangunan apartemen beberapa minggu lalu, laporkan padaku secepatnya.”

Baik, Boss. Aku akan segera menghubungi Spencter untuk menanyakan masalah ini.”

“Oke. Oh ya, sebaiknya kau memulainya dengan anak buah bedebah Caves yang sudah kalian anggap tidak ada masalah itu. Lalu, tolong katakan juga pada semua anggota klan Davidde agar tetap berlatih dan waspada.”

“Apa Boss curiga konstruksi yang terhambat ada kaitannya dengan anak buah Mr. Caves?” tanya Alfred.

“Untuk sementara kita belum tahu pastinya. Maka dari itu, kita harus menyelidiki ini lebih jauh lagi. Semakin cepat, semakin baik. Kau masih ingat, bukan, pernikahanku akan dilaksanakan dua minggu lagi? Aku ingin semuanya beres sebelum acaraku itu.”

“Baik, Boss,” balas Alfred, patuh seperti biasa.

“Terima kasih.”

Tepat sedetik sambungan telepon kuputus tanpa perlu mendengar jawaban dari Alfred, si Fulan yang sudah berdiri tidak jauh dari tempatku duduk mengulurkan tanaman mint, “Om, ini tanaman mint-nya udah kelar dibungkus.”

Kampret! Aku dipanggil om? Wajah masih unyu-unyu (kata Melody) ini dipanggil om?

Lain halnya dengan hati, wajahku yang kusetel datar hanya mengucapkan terima kasih kemudian menerima tanaman mint yang diulurkan si Fulan, lalu bangkit berdiri menyusul Melody dan Jameka yang tengah asyik mengobrol sambil tertawa.

“Ini tanamanmu, mau nyari apa lagi abis ini?” tanyaku sambil mengulurkan tanaman itu pada Melody, tetapi Jameka memukul tanganku pelan.

“Eh Bambang! Lo jadi cowok udah berapa tahun sih? Kagak peka banget. Ya bawainlah, masa Mel yang disuruh bawa? Lagian itu taneman kan buat lo,” hardik Jameka datar, sedatar ekspresiku sekarang. Mungkin jika kami berlomba siapa di antara kami yang berwajah paling datar, kami akan seri.

Oke, menunggu tanaman mint untuk diriku sendiri. Itu sama saja dengan aku membeli tanaman ini lalu minta dibungkuskan oleh penjualnya.

Kadang-kadang Melody dan Jameka itu cukup kreatif. Jika bukan karena tanaman mint—yang kata Melidy mirip aromaku—dan dua orang lady yang mengerjaiku saat ini, aku pasti akan menyeduh tanaman ini bersama teh manis.

Kulihat Jameka tertawa jemawa sambil marangkul Melody yang sedang tertawa geli, lalu keluar dari toko dan masuk mobilku. Sekadar informasi, mereka naik taksi daring ke sini, yang memang sengaja kuusulkan pada kakakku supaya aku bisa mengantar mereka ke mana-mana.

Begini, pasti dalam benakmu selalu bertanya-tanya, kenapa aku tampak seperti pria payah di hadapan kakakku? Tidak mampu membantah kata-katanya, atau marah karena kelakuannya seperti saat menyuruh Melody putus denganku dulu?

Semua itu ada alasannya. Selain ia merupakan satu-satunya wanita di keluargaku, wajahnya juga mirip sekali dengan mama. Jadi aku tidak akan tega marah padanya terlalu lama atau sekadar membentaknya—yang pernah kulakukan sekali saat ia mengakui tentang alasan Melody meninggalkanku tanpa sebab. Karena jika aku melakukannya, aku akan teringat mama. Membayangkan jika mama yang kubentak.

Ngomong-ngomong, besok pagi aku akan mengajak Melody, papa dan Jameka mengunjungi makam mama. Rasanya sudah lama sekali aku tidak ke sana. Yah, aku jadi mengingat kembali tentang penyebab mama meninggal. Kanker serviks menggerogoti tubuh mama tiap detik hingga kurus.

Karena dulu umurku masih lima belas tahun—masih remaja ingusan yang belum terlalu paham dinamika hidup—jadi aku tidak begitu mengerti. Belakangan ini ketika akan tidur, aku menceritakannya pada Melody, kemudian ia menjelaskan bagaimana sel kanker berkembang, bagaiamana pengobatannya yang pada akhirnya berujung sia-sia walau sudah dinyatakan sebagai penyitas selama bertahun-tahun.

Kata Melody, kanker itu mirip rumput liar. Kendatipun sudah berusaha mencabut sampai akarnya, kadang masih tetap bisa tumbuh karena faktor-faktor tertentu. Jadi, sebaiknya kita harus menjaga pola makan yang baik. Istilahnya, melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjangkit jejas (paparan) apa pun.

Ngomong-ngomong, keluar dari toko bunga D’Luke, kami berencana pergi makan ke mie ayam Pak Man—salah satu makanan favorit kami dulu. Kata Melody beliau sudah memiliki warung sendiri dan menetap di suatu daerah dekat kampusku dulu. Gerobak biru tua Pak Man juga masih ada. Melody, Brian dan Bella sering berkunjung ketika belum kuliah di Inggris, makanya tahu informasi ini. Sedangkan kakakku, tak keberatan meski tidak akan pernah ikut makan mie ayam karena vegetarian.

“Wah, mas Jayden lama ndak ke sini sampean, Mas,” sapa pak Man yang berdiri di depan gerobak biru seperti biasa. Sedangkan Melody dan Jameka sudah mengambil tempat duduk di bangku panjang.

“Iya, Pak. Tolong pesen kayak biasanya ya, Pak. Dua porsi,” kataku yang masih ngetem di sebelah pak Man sambil nyemil pangsit goreng. Melody memelototiku.  Memperingatkanku agar tidak memakan pangsit ini, tetapi aku menghiraukannya.

“Sampean sekarang kerja di mana mas? Kok ndak pernah kelihatan?” tanya pak Man basa-basi. Tanpa memutus kegiatan tangan beliau yang ulet dan telaten menyiapakan mie ayam pesananku dan pengunjung lain. Dulu Pak Man sendirian meladeni semua pesanan. Kini ada dua pegawai yang dipekerjakan. Satu, bagain mencatat pesanan. Dua, bagian membuat minum.

“Nggak kerja saya, Pak.” Tapi ngerjain orang, lanjutku dalam hati.

Tentu saja aku tak akan pernah mengumbar pekerjaanku. Aku tidak bisa membayangkan seandainya pak Man kuberitahu soal penyelundupan miras, senjata api, atau kelab-kelab malam yang kupelihara. Walau demikian, kali ini, aku ingin menggoda pak Man karena merindukan sosok beliau yang ramah.

“Loh, lha terus gimana toh? Katanya mau nikah sama mbak Melody dua minggu lagi? Kok ndak kerja?” tanya pak Man bingung, sekarang sudah menghentikan kegiatan meracik mie ayam untuk menatapku.

“Dari mana Pak Man tahu saya mau nikah?” tanyaku implusif.

“Saya kan diundang mbak Mel jadi pengisi katering di acaranya sampean sama Mbak Mel, Mas,” jawab pak Man. Aku hanya mengangguk, masih lanjut makan pangsit. “Gini loh, Mas. Laki-laki itu harus kerja untuk menghidupi keluarga di rumah tangganya. Lha terus mbak Melody mau sampean kasih makan apa kalau sampean ndak kerja?”

Inilah yang kusebut rindu pada Pak Man. Selain logat Jawa medoknya, beliau juga selalu memberiku petuah-petuah seperti semasa kuliah dulu yang kuanggap sebagai parenting jalanan.

“Saya jadi bapak rumah tangga aja, Pak. Biar Mbak Melody yang kerja,” jawabku asal. Pak man langsung memelototiku, menggeleng serta Mengelus dada. Aku sedikit terpicu ingin tertawa, tetapi kutahan karena melihat keluguan pria paruh baya ini.

Kualihakan dengan makan pangsit goreng banyak-banyak agar tawaku tidak mengudara di cuaca siang yang panas. Setelah berhasil mengendalikan ekspresi wajahku, Pak Man yang hendak bertukat dengan mie ayam kami lagi pun memberi petuah lagi.

“Haduh, Mas. Ya jangan gitu. Masa Mbak Mel yang disuruh kerja?”

“Kalau gitu saya kerja sama pak Man aja, ya? Bantuin cuci mangkok sama gelas.”

Aku melirik Melody yang menggeleng-geleng. Sedangkan Jameka tampak serius dengan ponselnya.

“Waduh mas, sampean kan lulusan kampus sini, ngapain malah nyuci mangkok sama gelas saya? Kayak zaman kuliah aja. Sampean iki ket biyen ono-ono wae (kamu ini dari dulu ada-ada aja),” jawab pak Man lalu melirik Melody yang masih memperhatikan kami. “Mbak Mel, sampean bejo tenan oleh calon bojo mas Jayden. (Mbak Mel, kamu beruntung banget dapet calon suami kayak mas Jayden) Wonge jenaka.” (orangnya jenaka).

Melody hanya mengernyitkan alis tanda tidak paham.

Aku yang sedikit tahu bahasa jawa karena dulu selalu berkumpul dengan pak Man—kadang ikut membantu mencuci mangkok atau gelas—pun membalas dalam bahasa Jawa, “Nggak, Pak. Aku sing bejo, wes oleh bojo ayu, apik pisan.” (Aku yang beruntung, selain cantik, juga baik)

Pak Man mengacungkan kedus jempolnya. “Pak Man, paham, Mas. kalau nyari kerja zaman sekarang itu susah walau pun lulusan kuliah, tapi ya masa mau kerja nyuci mangkok sama gelasnya pak Man?”

“Emang kenapa, Pak?”

Pak Man mendekat untuk berbisik, “Mbak Mel kan kelihatannya kaya. Kalau sampean cuma kerja nyuci mangkok sama gelas, mertuanya sampean apa ndak protes?”

“Mertua saya keren oranganya, Pak,” kataku dengan nada datar sambil mengacungkan kedua jempol. Secara praktis mengingat om Baldwin yang baru-baru ini nge-prank calon menantunya yang gemesin ini. (Kata Melody loh, bukan kataku)

Setelah cakap-cakap yang tidak terasa makan seperempat toples pangsit, aku membawa dua mangkok itu ke meja Melody dan Jameka.

“Ngobrol apa sih sama Pak Man? Kayaknya seru banget?” tanya Melody pasca menelan sesumpit mie ayam baksonya. Sedangkan Jameka, masih asyik menatap layar ponsel. What’s wrong with my sister? Apakah ada kaitannya dengan pria yang diceritakan oleh papa tempo hari? Ataukah karena Heratl yang sebagian besar tugasnya kualihkan pada Jameka?

Aku mengabaikannya sesaat untuk menjawab Melody. “Biasa, masalah cowok.”

“Kamu tuh kayak kak Brian, mesti bilang gitu.” Melody lantas beralih ke Jameka. “Bay the way, Kak Jame, nggak apa-apa ya gue makan ayam ini? Nggak bakalan nangis ‘kan?”

Jameka menjawab tanpa melihat calon adik iparnya. Sebab fokus pada ponsel. “Oh ya, makan aja, Mel. Udah nggak kelihatan bentuk ayam, gue nggak apa-apa.”

“Kenapa dia?” tanyaku pada Melody.

Calon istriku menjawab, “Nggak tahu. Dari jemput aku sampai ini tadi serius sama HP terus. Aku kadang dikacangin. Apa Heratl lagi ada masalah ya?”

“Enggak kok. Semua bahan baku lancar.”

Semakin hari kakakku semakin mencurigakan, sekarang bahkan sudah seperti kehilangan jati dirinya hanya karena ponsel. Jadi kurampas ponsel yang ia genggam dari tadi.

“Apaan sih lo Bambang!” protesnya berusaha merebut ponsel yang ada dalam tanganku.

“Lo, dimintai tolong Mel buat nemenin tapi malah lo kacangin?”

“Bentar doang, siniin HP gue!”

Saat kujauhkan tanganku dan menatap layar ponselnya yang masih menyala, rupanya bukan masalah kerjaan yang sedang diperhatikan Jameka. Melainkan foto seorang pria yang tersenyum pada ruang obrolan bernama River Devos.

Pria itu jelas orang asing. Mungkin benar kata papa, River Devos adalah pria Amerika yang pernah didengar beliau saat Jameka mengobrol di telepon.

Iris kedua mata River yang berkelopak tebal sayu berwarna cokelat gelap, sewarna dengan rambutnya yang agak ikal. Senyumnya hangat di bawah hidungnya yang mancung. Secara keseluruhan, pria ini tergolong tampan dan kelihatan mapan. Dengan setelan kerja yang mahal. Kelihatannya juga bukan jenis pria playboy seperti Tito.

Begini, aku sebenarnya tidak peduli bentuk hubungan apa pun yang dibangun Jameka dengan seorang pria mana pun. Sudah kukatakan selama ini kakakku selalu bisa mengontrol dirinya dengan baik. Namun, kali ini, apa yang terjadi? Kakakku hampir memiliki duanianya sendiri dengan ponselnya karena River Devos ini.

Lebih aneh lagi, aku mendapati foto River dikirim sejak Januari tahun ini. Namun, tak ada obrolan lagi sejak April. Dan isi obrolan terakhirnya berupa perhatian tentang Jameka yang haruslah menjaga diri dengan baik. Sedangkan kakakku membalas dengan singkat: I’m not sure I’ll fine without you, Riv.

Apa-apaan?

“Apaan sih, lo? Sini balikin HP gue, Bambang!”

Kukembalikan ponsel itu ke kakakku. Setidaknya, aku sudah mengantongi informasi nama dan wajah. Lalu diam-diam berencana mengumpulkan pasukan untuk mencari tahu tentang River Devos karena telah berani membuat kakakku jadi seperti mengemis-ngemis cinta kepadanya.

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

makasih juga yang uda vote, komen, dan masih nungguin Jayden up

well, bonus foto Melodynya abang Jay

bonus foto abang Jay-nya chacha

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Post : 14 Juni 2020
Repost : 10 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro