Chapter 41
Selamat datang di chapter 41
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
_____________________________________________
Unless sacrifice by Death Decline
_____________________________________________
Orang tua memang seharusnya mengawasi anak-anaknya
Walau tanpa sepengetahuan mereka
—Jayden Wilder
_____________________________________________
Musim semi
Summertown, 25 April
05.30 a.m.
Lima hari sebelum Melody menyelesaikan penelitian dan pulang ke Indonesia, aku terbang ke Brooklyn untuk bertemu Erlang Eclipster dan Gideon Ford. Kami berdiskusi sekaligus melihat perkembangan pembangunan proyek-proyek di Amerika yang sudah mencapai angka delapan puluh persen.
Kuakui kehebatan dan bakat jenius Gideon dalam hal ini. Meski usianya sebaya denganku, tetapi keahliannya tidak kalah dengan tante Amanda yang sudah berpengalaman dalam bidang arsitektur. Sehingga bisa menghasilkan ide-ide cemerlang yang tak pasaran, tetapi juga nyaman bagi segala kalangan.
Selepas kesibukan tersebut, tiga hari kemudian—dua hari sebelum Melody pulang ke Indonesia—aku kembali ke Summertown dalam keadaan tumbang alias tidak enak badan. Rasanya badanku seperti dipukuli orang se-Indonesia Raya. Padahal Melody sudah meresepkanku jus buah kombinasi sayur yang mengandung banyak vitamin. Yang tentunya mampu menjaga daya tahan tubuh. Sayangnya, aku selalu lupa membuatnya karena tidak praktis dan dikejar jadwal yang padat.
Selama perjalanan dari bandara menuju penthouse, aku hanya tiduran di mobil. Mendengar Tito dan Alfred berencana menelepon Melody untuk mengabarinya soal kondisiku, kukatakan, “Nggak usah. Dua hari ini penelitian Mel kelar. Gue nggak mau ganggu dia. Makanya kagak nyuruh dia nginep tempat gue soalnya biar dia lebih deket ke kampus. Hemat tenaga.”
Jadi, setibanya di penthouse dan melakukan ritual membersikan badan, aku langsung limbung di kasur. Saat terbangun, kaca yang menjadi dinding kamar tepat di depan kasur—yang sebagian tirainya tidak ditutup—menampilkan langit malam.
Aku mengernyit mendapati kompres di dahiku. Pun suara Melody yang berbicara dengan seseorang di seberang telepon menggunakan bahasa serta aksen Inggris.
“Iya, mungkin beberapa hari aku baru bisa ke sana. Maafkan aku karena sudah membatalkannya. Aku harap kau mengerti, sampai jumpa.”
Siapa yang memberitahunya tentang keadaanku yang sakit sehingga Melody bisa ke sini dan merawatku?
Tengah asyik mereka-reka si Tukang pengadu tersebut, Melody yang sudah menurunkan ponsel dari telinganya menelengkan kepala ke arahku. Tubuh kurus tersebut lantas dibawa duduk di tepi ranjang usai meletakkan ponsel di nakas. Ia pun bertanya, “Hi, how is your feeling?”
Tangannya bergerak mengambil kompres di dahiku dan mengelap bagian basahnya menggunakan handuk kering lain yang terletak bersebelahan dengan ponselnya. Kemudian menempekkan punggung tangannya di sana, dan bergerak turun menelusuri pipiku.
“Baik,” jawabku dengan suara serak dan pelan karena masih lemas serta pusing. Lantas bertanya, “Siapa yang ngasih tahu kamu kalau aku sakit?”
“Aku ke sini soalnya kamu nggak angkat teleponku. Padahal katanya tadi udah sampai Heathrow.”
Bagaimana aku bisa lupa soal itu? Dan syukurlah bukan Tito atau Alfred yang memberitahu keadaanku. Kalau sampai benar demikian, berarti mereka tidak mematuhi perintaanku. Jadi, aku bertanya, “Telepon siapa barusan?”
“Oh, tadi dokternya Max. Aku cancel janji buat meriksa kesehatan Max. Aku juga cancel tiket pulang, biar bisa ngerawat kamu,” jawabnya. Berputar beberapa derajat untuk mengambil thermo gun di nakas guna mengukur suhu tubuhku.
“Nggak apa-apa, pulang aja. Om Baldwin sama tante Amanda pasti kangen. Kamu juga butuh istirahat.”
“Udah aku kabarin kok kalau batal pulang soalnya kamu lagi sakit. Lagian, coba lihat ini, suhunya hampir tiga puluh sembilan. Masih belum turun. Itu artinya belum baik-baik aja, Baby,” ucapnya pelan. Telunjuknya digunakan menowel ujung hidungku. Di bawah sana Jayjun sedikit protes karena tidak disapa juga.
Melody melanjutkan acara pemeriksaan dengan menempelkan bagian bundar stetoskop—yang sudah terpasang di kedua telinganya—ke dada dan perutku. Di saat serius seperti ini sempat-sempatnya benakku berdemo lagi lantaran Jayjun tidak ikut diperiksa. Mengambil kesimpulan seenak jidat: mungkin saja yang di sana bengkak dan butuh penanganan lebih.
Di sisi lain, pikiranku mengolok-olok: Jay, otaknya tolong dijaga ya! Mata baru melek, kenapa lihat Melody sudah omes seperti itu? Apakah ini yang disebut sindrom kangen?
“Tapi tenang, semua bakalan baik, ayo makan dulu terus minum obat penurun panas biar cepet sembuh.”
“Serius. I’m oke, Baby.”
Baru saja berdiri tegak, Melody melihatku sembari bertolak pinggang. “Jayden, mungkin kamu bisa bohongin Tito, Alfred atau Lih kalau kamu baik-baik aja. Tapi kamu nggak bisa bohongin dokter dari gejala klinis yang udah muncul secara realistis di badanmu,” ucapnya sebelum menghilang keluar kamar. Beberapa saat kemudian kembali membawa makanan dan beberapa obat tablet.
Di samping tempat tidur, ia menyuapiku yang dituntun setengah duduk.
Demi Neptunus, dirawat Melody seperti ini dijamin bisa cepat sembuh. Apa lagi obatnya buat Jayjun.
Astaga, rupanya otakku ini benar-benar kotor. Butuh dibersihkan dengan belaian Melody. Hihihi ....
“Besok nggak usah masuk kerja. Istrahat dulu aja. Kamu tuh terlalu capek, Bapak Jayden yang workaholic,” perintah Melody dengan nada setengah mengejek.
“Gini-gini kerja buat calon bini loh,” sangkalku setelah menelan makanan. “Nggak sayang itu tiketnya di-cancel?”
“Aku lebih sayang kamu daripada tiketnya.” Deklarasi Melody sangat mampu membuat dadaku menghangat. Sampai-sampai kehangatan tersebut menyebar ke telingaku. Dan aku yakin seandainya terdapat cermin raksasa di depanku, pasti keduanya kelihatan merah.
“Kan calon suamiku milyuner. Jadi, ngapain mikirin harga tiket? Mau cancel padahal udah dibayar lunas kek, beli pulau pribadi kek. Nggak masalah, iya kan?”
Yah, Melody memang tidak tahu kalau uangku semakin menipis walau penghasilan bulanan masih rutin masuk. Namun, tidak apa-apa. Tidak akan kubiarkan wanita ini mengetahuinya.
“Gemesin ya kamu.” Aku mengucapkannya dengan nada datar diselingi cibiran. Itu membuat Melody terkekeh geli.
“Bercanda Jayden. Kan bisa refund. Cepet sembuh, Baby.”
Musim semi
Summertown, 27 April
09.32 a.m.
Selama sakit, semua proses pekerjaan jadi melambat, termasuk proyek. Dan itu pun tidak benar-benar membuatku istirahat. Aku tetap bekerja di tempat tidur didampingi Alfred, Tito dan Lih.
Sementara Melody menyelesaian penelitiannya di hari terakhir, aku pun melaporkan semua perkembangan kenaikan provit Heratl pada calon mertua. Terhitung sejak tantangan itu berlangsung hingga beberapa bulan ini yang belum masuk jadwal tenggat.
Berhubung masih sakit dan belum bisa pulang ke Indonesia untuk bertatap muka dengan om Baldwin, aku terpaksa mengirimkan data-data valid ke surel. Pasca mendapat balasan, aku menggunakan jasa telepon daring sebagai media perantara bertemu.
Dan apa kau tahu bagaimana respons om Baldwin?
Seperti orang santai tanpa dosa, beliau mengatakan, “Sebenernya Om sama papamu lagi nge-prank kamu, Jay.”
“Gimana, Om?” tanyaku sedikit menaikkan oktaf nada dalam suaraku. Sontak duduk sambil memelototi layar ponsel.
Tidak hanya om Baldwin yang ditampilkan layar alat komunikasi tersebut. Ada papa juga yang tampak menahan tawa. Pundak beliau naik-turun lalu menyembunyikan wajah di balik kerah kaos polo hitam yang beliau kenakan—kebiasaan papa.
Tito, Alfred dan Lih yang duduk berhimpitan si sofa kamarku pun ikut kaget. Dari ekor mataku, mereka terlihat sama mendeliknya denganku.
“Nge-prank?” ulangku dengan nada datar. Menahan diri untuk tidak melempar ponsel ini ke dinding atau merusak perdamaian dunia dengan Big Bang buatan mirip di film-film laga.
Bagaimana tidak? Aku bekerja keras, memutar otak dan mendapat sumbangan ide dari Melody yang kuwujudkan hingga hampir menguras semua uangku dalam waktu enam bulan—bahkan kurang—sampai sakit-sakitan seperti ini karena terlalu lelah, tetapi sepadan dengan hasilnya yang di atas ekspektasi. Kemudian dengan entengnya beliau mengatakan ‘nge-prank?’
“Iya. Nge-prank. Besok kamu mau nikahin anak Om juga nggak apa-apa. Tapi kamu beneran hebat banget, Jay. Bisa naikin provit lebih dari sepuluh persen dalam waktu kurang dari enam bulan. Secara pribadi, Om sama papamu bangga sama kamu.”
Aku tersenyum masam. Om Baldwin bukan sengaja memujiku seperti itu untuk membesarkan hatiku karena berhasil dikerjai, bukan?
“Makasih, Om. Ngomong-ngomong, Saya sama Mel udah sepakat mau nikah tiga minggu lagi di Jakarta,” ucapku dengan dada kembang kempis. Berusaha untuk tidak terlalu bernada emosi. Bagaimanapun juga mereka adalah orang tua yang harus kuhormati.
Om Baldwin yang melihat wajah datarku pun menanggapi, “Dengerin Om, ya, Jay. Jangan pikir Om nggak tahu kamu udah ngapain aja sama anak Om di sana ya! Kalau kamu di sini, udah Om bejek-bejek kamu sampai gepeng! Apalagi kalau sampai maminya Mel tahu. Beuh ..., bisa jadi tongseng beneran kamu! Tapi baguslah Om bisa bikin kamu sibuk selama hampir enam bulan ini. Jadi, kalian nggak sampai ngelewatin bates gara-gara udah pede mau naik pelaminan!” Beliau mengatakannya sambil menunjuk-nunjuk wajahku di layar ponsel.
Sama halnya denganku, dada om Baldwin juga kembang kempis yang kuduga karena menahan emosi. Sedangkan papa yang berdiri di belakang calon mertuaku itu hanya menggeleng-geleng. Seolah tak percaya dan menyesali kenakalan anak laki-laki beliau.
Sumpah, aku syok dan langsung speechless, gaeess . Segala rasa emosi yang sudah menggerogoti tubuhku seakan menguap begitu saja. Pikiranku berusaha menggali dari mana calon bapak mertuaku ini tahu kalau aku sudah main basah-basahan dengan anak gadis beliau?
Tiba-tiba aku merinding lantaran membayangkan kalau om Baldwin punya ilmu hitam yag dipelajari khusus untuk memata-matai Melody dan aku. Atau meletakkan kamera tersembunyi di rumah ini.
Namun, pikiran ngawur bin tak masuk akal tersebut seketika mulai mengarah pada seseorang yang tengah berusaha melarikan diri saat ini.
“Bos, gue cabut dulu ya, kebelet boker.”
Hmmm ... rasanya aku langsung sembuh dari sakitku! Senyum masamku pun berubah menjadi smirk smile yang kuyakini mengerikan. Semua jari-jari kutautkan hingga menciptakan bunyi gemelutuk. Setelah memutus telepon daring, aku beranjak dari tempat tidur sambil berteriak mengejar Tito. “Heh! Kadal buntung! Mau ke mana lo?”
“Ampun, Boss. Gue cuma jalanain tugas negara!”
Musim semi
Summertown, 30 Arpil
10.30 a.m.
Aku benar-benar sembuh dan kembali sibuk, tetapi masih menyisihkan waktu luang untuk mengantar Melody ke dokter hewan yang beberapa hari lalu telah ia rescheduled. Untuk memeriksaan Max agar mendapat surat keterangan sehat saat dibawa ke terbang ke Indonesia keesokan harinya.
Astaga Melody sangat menyayangi Max. Apa aku harus cemburu? Rasanya itu terlalu kekanankan, berlebihan dan tidak perlu, mengingat Max adalah kado pemberianku sendiri. Memang kedengarannya seperti bumerang. Namun, tidak. Aku tidak akan cemburu pada Max. Tidak akan pernah.
Well, keesokan harinya, aku mengantar Melody dan Max ke bandara untuk terbang ke Indonesia. Berhubung masih harus mengurus beberapa kerjaan di sini—termasuk The Black Casino and Pub, kantin gratis, miras dan senjata api ilegal di pelabuhan, aku belum bisa ikut pulang. Padahal tujuan Melody pulang tidak hanya liburan. Namun, juga mengurusi segala keperluan untuk pernikahan kami yang akan dilaksanakan kurang dari tiga minggu lagi.
Cihuy!
Melody sibuk mengurus berkas untuk pernikahan serta mencari vendor wedding terbaik. Beberapa kali kami telepon daring untuk memutuskan sesuatu, seperti: bunga apa yang cocok digunakan untuk hiasan, baju pengantin, makanan, dan lain sebagainya.
Ngomong-ngomong, tidak hanya calon istriku yang rempong mengurusi semua tetek bengek dalam hal ini. Ia dibantu kakakku, Bella yang perutnya sudah mulai kelihatan buncit dan tante Amanda. Hingga tak terasa berselang dua minggu sebelum hari pernikahan, aku yang akhirnya memeliki waktu luang memutuskan membuat kejutan kepulanganku pada Melody.
Dan tentunya aku tidak pulang sendiri. Playboy cap kadal buntung yang ternyata memang benar menjalankan tugas sebagai mata-mata om Baldwin—yang wajahnya masih babak belur karena kuhadiahi bogem—serta Lih dan Alfred pun ikut kembali ke Indonesia.
Jangan khawatir, memang begitulah kami. Aku memang memukul Tito. Namun, setelahnya kami baik-baik saja. Entah bagaimana ceritanya si Playboy cap kadal buntung itu sampai bisa menyetujui ide om Baldwin. Terlepas dari hal tersebut, aku menyadari kalau orang tua memang seharusnya berlaku demikian. Walau begitu, tetap saja aku merasa ingin melempar Tito ke kolam buaya agar ia menyatu dengan spesiesnya!
Sebelum menemui Melody, aku sudah memastikan lebih dulu di mana lokasi calon istriku berada. Seperti biasa, aku memakai riped jeans, dokmart hitam dengan bantalan karet, kaos hitam dilapisi jumper ber-hoodie yang kupakai di kepalaku yang bertopi.
Khusus di Indonesia, aku tidak memerlukan penjagaan ketat. Aku lebih nyaman berkendara sendiri ke toko bunga bernama D’Lule. Tempat di mana Melody sedang memastikan kelengkapan bunganya bersama Jameka.
Sementara kakakku merokok di luar toko dan aku sudah memintanya untuk tidak menceritakan perihal kepulanganku ini, dengan langkah pelan, aku menghampiri dan berdiri tepat di belakang Melody yang sedang mengamati bunga daisy.
Dengan mengubah sedikit bentuk suara, aku berdeham. “Ekhm, cewek, sendirian aja nih,” godaku.
Astaga, aku merasa konyol karena menjelma jadi buaya darat mirip Tito.
Tanpa menoleh, Melody membalas, “Minggir. Jauh-jauh dari gue. Jangan sampai laki gue tahu dan jadiin lo sarden kaleng.”
Aku sedikit menahan tawa. Tak menyangka Melody bisa sesadis ini pada pria yang pasti dipikirnya adalah orang asing.
“Hi ..., serem banget lakinya. Mending sama gue aja,” pungkasku, masih dengan nada suara yang sama. Kali ini melengkapinya denga menjumput bagian ujung rambut Melody yang diikal.
Detik berikutnya, wanita itu berbalik sambil berteriak, “Heh! Jangan kurang ajar ya! Nggak usah nunggu laki gue yang jadiin lo sarden kaleng! Gue sendiri yang bakalan jadiin lo kornet! Rasain ini! Kambing congek!”
Dan Melody tak main-main dengan ucapannya. Terbukti dari bogemnya yang berhasil di sasarkan ke pipi kiriku sampai-sampai aku harus mendunduk dan menggunakan kedua tanganku sebagai bentuk sikap difensif dari bogem-gem itu.
“Aduh, berhenti, Baby,” pintaku sambil mundur-mundur sampai punggungku membentur pot-pot bunga di rak. Beruntungnya tidak jatuh.
Detik di mana hoodie dan topiku terlepas serta mendengar suara asliku, Melody langsung berhenti.
“Jayden!” pekiknya. Tangan Melody membekap mulutnya sendiri dan beralih memegangi pipiku. “Ya ampun ... maaf ....”
Melody tidak hanya meminta maaf padaku, tetapi juga pada beberapa orang yang melihat ke arah kami, termasuk pemilik D’Lule. Jameka yang mendengar suara ribut-ribut pun mematikan rokok dan ikut masuk untuk melihat apa yang sedang terjadi.
“Maaf, kirain tadi kamu cowok iseng, Jayden.” Sekarang Melody mengusap-usap bagian tubuhku yang terkena bogem-bogemnya.
“Rasain, makanya nggak usah pakai acara godain Mel,” ledek kakak kampretku.
“Mana yang sakit?” tanya Melody.
Aku menunjuk bagian dada. “Jayjun juga, dia kangen.”
“Jayden ...! Kamu itu ... ih ...!” Dari acara mengelus-ekus, Melody menggantinya dengan memukul lenganku.
Sedangkan Jameka berwajah bingung. “Jayjun siapa?”
“Bukan siapa-siapa kok, Kak. Jangan dengerin Jayden,” sambar Melody cepat. Kemudian beralih padaku. “Kamu kok tiba-tiba dateng? Padahal kata dad, aku harus dipingit.”
“What?”
That old man!
______________________________________________
Makasih temen-temen semua yang udah nyempetin baca, vote dan komen di work ini
Pean ngeten pun 👍
Bonus photo Melnya bang Jay
Bonus photo bang Jaynya Chacha
See you next chapter teman temin
#keephealty
#stayathome
#socialdistance
#washyourhand
#alwaysprayforUs
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 14 Mei 2020
Repost : 9 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro