Chapter 4
Selamat datang di chapter 4
Tinggalkan jejak dengam vote dan komen
Tolong tandai jika ada typo
Well, happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
WARNING!!! 18+ TERDAPAT KATA - KATA KASAR DAN ADEGAN EHEM EHEM.
______________________________________
The Unforgiven - Metallica
_____________________________________
Aku tidak akan setengah-setengah untuk menuangkan rasa cintaku
Jadi, bersiaplah Berlian Melody-ku
Kau akan menerima semuanya
—Jayden Wilder
______________________________________________
Jakarta, 31 Desember
10.00 WIB
Masih sangat segar dalam ingatan kencan pertamaku bersama Melody di Pinggo Restaurant—mengingat dulu ia pernah ingin pergi ke sana, sehingga aku mewujudkan impiannya itu. Juga jadwal pmsnya yang tiba-tiba datang dan mengharuskanku meminta bantuan janitor wanita untuk membeli berbagai macam pembalut, celana dalam serta pakaian ganti. Lalu malam harinya, aku, om Baldwin, juga Brian taruhan dalam permainan PES agar bisa ikut merayakan tahun baru di Paris bersama mereka. Dan di sanalah aku merebut ciuman pertamanya.
Hingga pada detik ini pun, semua yang ada pada diriku masih mampu menerjemahkan tentang bagaimana rasa bibir merah muda itu yang semanis madu. Juga aroma tubuh Melody yang membujuk tangan-tanganku untuk menjelajahi seluruh permukaan kulit gadis itu.
Mulanya, aku berhasil mengalahkan keinginan tersebut. Sayangnya, tidak untuk kesempatan lain yang tersedia di hadapanku. Kontrol atas diriku kian menipis. Egoku menjadi sedikit lebih mendominasi sehingga berhasil mendorongku untuk membuat tanda kepemilikan berupa hickey di seluruh lehernya. Hingga akhirnya, aku hampir kalah.
Oh, ayolah. Aku hanya laki-laki normal yang memiliki kebutuhan biologis. Dan ketika gadisku seolah mencoba menawarkan diri untuk memenuhi kebutuhan itu melalui serangan ciumannya di apartemenku, aku hampir menyerah dan membiarkan tubuhku mengambil alih pikiranku. Namun, ketika melihat binar mata dengan pancaran polos itu terhalang sejumlah butiran bening membentuk kaca-kaca di pelupuk mata oleh tindak tandukku, aku berhasil berhenti.
Well, yang namanya menjalin hubungan pasti ada saatnya bertengkar. Kupikir pertengkaran pertama kami hanya sebatas kesalahan pahaman yang disebabkan oleh kehadiran Jameka yang memelukku secara tiba-tiba dan menahanku dengan rasa rindunya. Namun, ada yang jauh menyakitkan. Yakni ketika mendapati kenyataan bahwa ternyata selama ini Melody salah menyatakan perasaan. Harusnya bukan aku, melainkan anak laki-laki Gamelita yang ambisius itu.
Apa kau tahu bagaimana rasanya? Ada sesuatu yang tak kasat mata seolah menghantam kepala serta hatiku berkali-kali. Dan, kenyataan yang aku temukan berama Jordan dalam waktu bersamaan membuat laki-laki itu tidak terima sehingga emosinya tersalurkan dalam bentuk verbal menghina gadisku. Jadi, tanpa ba-bi-bu, aku kontan melayangkan tinju-tinjuku pada wajah tampannya hingga babak belur.
Haha. Aku sungguh merasa mirip orang tolol yang dengan cuma-cuma memberikan seluruh hatiku untuk Melody. Namun, ternyata rasa cintanya bukan untukku. Menggelikan bukan?
Hei Berlian Melody, jangan pasrah begitu saja saat kucium dan jangan membalas ciumanku dengan intensitas sama. Itu membuatku salah paham, berpikir bahwasannya kau juga mencintaiku. Dan jangan pasang tampang menggemaskan kalau ternyata selama ini kau salah menyatakan perasaan. Katakan saja yang sejujurnya dari awal, itu lebih baik. Sehingga aku bisa segera mengambil keputusan, apakah harus melanjutkan hubungan dengan memaksamu mencintaiku, atau mundur demi kebahagianmu.
Aku membutuhkan raung dan waktu sendirian untuk berpikir. Setelah menentukan pilihan, that’s not like what I was expecting before. Rupanya, melihat orang yang kita cintai dan sayangi bahagia bukan bersama kita merupakan omong kosong belaka.
Aku jelas tidak merasakan demikian. Aku ingin Melody bahagia karena aku dan saat bersamaku. Namun, pada kala itu aku terlalu takut untuk berandai-andai terlalu tinggi atas harapan tersebut sehingga lebih memilih segera mengirimkan berkas persyaratan beasiswa universitas Cambridge, berharap diterima supaya bisa menjauh darinya.
Masalah hidupku tidak hanya hubunganku dengan Melody. Allecio yang untuk sementara kukesampingkan, dan Jameka yang masih ngotot ingin meminta maaf padaku soal tingkah kekanakannya yang kabur ke Belanda. Sampai-sampai memaksa tidur di apartemenku selama aku belum memaafkannya.
“Gue butuh privasi. Pulang sana ke kondo,” ucapku datar sambil menyesap rokokku di sofa yang menghadap balkon agar asap-asap rokok meyalang, berbaur ke udara dibantu angin.
“Tapi gimana? Lo udah maafin gue belom? Suer deh. Gue emang egois waktu itu …, gue—”
“Ck, udahlah. Nggak usah dipikirin. Udah kejadian juga,” potongku, “tapi mending kayak gini. Bisa bebas napas.” Jameka spontan memelukku dan aku sedikit mendorongnya karena risi. Yah, kadang begitulah kalau bersama saudara perempuan.
Napas berat terhela oleh Jameka. “Kenapa sih muka lo kucel banget? Masih berantem ya sama yang kemarin?” Ia pun mengambil duduk di sebelahku. Rokok di antara dua jariku kusesap sesaat tanpa perlu repot-repot menjawab pertanyaannya sehingga kakak perempuanku kembali bersuara. “Entar deh gue samperin terus gue jelasin. Heran banget. Kok bisa sih cewek imut gitu suka sama lo yang berandalan gini?” Kakak perempuanku berkomentar sambil menggerutu lagi.
Teruntuk kali ini, mulutku bergerak sendiri untuk menukas, “Dia nggak suka sama gue kok.”
“Ha? Masa? Jelas-jelas dia jealous sama gue waktu kapan hari ke sini. Itu tandanya dia suka ama lo, Bambang.”
Sering kali Jameka memanggilku Bambang jikalau sedang sebal.
“Sok tahu.”
“Kalau nggak percaya, tes aja dia. Mana sih alamatnya? Biar gue samper—”
Belum rampung berbicara, bunyi bel apartemenku berdentang menyela. Jameka menawarkan diri membuka pintu. Sebelumnya, ia mengintip dari balik lubang kecil berkaca cembung untuk memastikan siapa tamu tersebut.
“Tuh orangnya nongol nyamperin lo. Sini lo berdiri di balik pintu kalau lo belum percaya!”
Penasaran, aku pun menuruti kakak perempuanku yang berakting. Dan betapa leganya mendapati pengakuan Melody soal perasaannya padaku. Setelah Jameka pergi, aku meminta Melody kembali padaku. Berhari-hari tidak berkomunikasi maupun bertemu membuat perasaan rinduku membumbung tinggi. Sampai-sampai tidak rela ia pulang. Jujur, aku hanya ingin memeluknya saat tidur. Apakah tidak boleh?
Baru saja kami berbaikan, anak buah si Berengsek Jordan Michelle membuat ulah. Padahal tidak pernah terbersit sedikitpun dalam otakku bahwa laki-laki yang kupikir hanya berambisi bisa menyewa tukang pukul seperti itu untuk mengahajarku dan Tito.
Yah, kita tidak boleh menilai orang dari penampilannya. Lalu aku sadar, sifat ambisi dan sakit hati yang membuat Jordan seperti itu. Keinginannya mendapatkan hati Melody dan gadis itu yang melukainya membuatnya bertindak di luar logika, mungkin. Sampai-sampai laki-laki yang dibutakan oleh kebencianitu mengatakan akan berhenti menghajarku dengan syarat gadisku harus datang.
Si Berengsek ini lucu, tentu saja aku lebih rela dihajar habis-habisan tanpa harus melibatkan gadisku. Malah, dengan kurang ajarnya Tito menelepon Melody menggunakan ponselku—yang kebetulan lupa kuaktifkan sandi penguncinya yang sempat kunonaktifkan sebab berpikir sandi yang terdiri dari angka jadianku dengan Melody akan menghambar proses melupakannya—supaya datang.
Dan kau pasti tahu kejadian setelahnya. Melody hampir terkena tindakan pelecehan seksual oleh si Berengsek itu. Detik itu juga, aku bersumpah akan akan membunuhnya. Siapa ia yang telah berani-beraninya membuat gadisku ketakutan seperti itu? Aku tidak peduli pada rasa sakit akibat luka tusukan pisau anak buahnya di punggungku. Melihat gadisku ketakutan seperti itu jauh lebih menyakitiku.
Apabila bukan gadisku yang memintaku berhenti, aku pasti sudah mencabut nyawanya. Akan kucabik-cabik mayatnya dengan tanganku sendiri lalu kulempar ke jalanan agar dimakan anjing liar. Mati pun aku tidak akan membiarkan laki-laki itu tenang!
Ini tidak seberapa dibandingkan trauma yang bisa muncul apabila psikis Melody tidak didasari oleh pondasi yang kuat. Luka fisik dapat sembuh dengan cepat, tetapi trauma? Ada yang bisa ada yang tidak. Leganya, aku sungguh bersyukur karena gadisku perempuan yang kuat, tidak mudah trauma. Yang mengherankan ia justru mengkhawatirkan luka tusukku.
Ketika seorang dokter basecamp sedang mengobati luka tersebut, Melody bertanya, “Jayden, kenapa nggak mau dianastesi kalau lagi dijahit lukanya?”
“Biar ingat terus rasa sakitnya,” jawabku datar. Aku memang sengaja ingin luka yang sudah sembuh akan membekas. Dengan demikian, mungkin suatu hari nanti bisa membalas dendam pada orang-orang yang membuat luka-luka tersebut.
Well, ada satu hal yang membuatku benar-benar kalah. Yaitu raga Melody yang tanpa sehelai benang di kamar basecamp-ku. Tanpa sadar aku meneguk ludah dengan susah payah, merapalkan dalam hati bahwa ia masih terlalu kecil, badannya bahkan kerempeng dan tidak mempunyai aset, jauh dari kata seksi
Em. Baiklah …, aku akan mengaku. Aku memang belum pernah kencan dengan siapa pun sebelumnya, tetapi beberapa kali pernah menjalin friends with benefits dengan wanita-wanita seksi. Hal yang sudah lumrah dilakukan oleh sebagian besar laki-laki penghuni basecamp, tanpa didasari rasa saling suka.
Namun, setelah bertemu Melody, aku jadi beranggapan bahwasanya seksi tidak memulu tentang raga seseorang dengan tonjolan-tonjolan serta lekukan-lekukan tepat. Seksi juga bisa dinilai dari berbagai macam faktor ; kecerdasan, gaya bicara, bagaimana caranya menghadapi permasalahan, dan lain sebagainya.
Aku sama sekali tidak memiliki faktor penilaian Melody sangat seksi tanpa busana seperti itu sebab selalu menekan otakku dengan asumsi betapa polosnya gadis itu sehingga membuatku khawatir akan ada yang mengelabuhi atau membodohinya dalam urusan semacam ini. Dan muncul suatu godaan dalam benakku untuk menghapus kepolosan itu melalui cara-cara nikmat, yang jelas belum pernah diberikan oleh siapapun. Aku ingin menjadi yang pertama baginya.
Aku meneguk ludah dengan susah payah, tidak mengira bahwa pikiranku itu bisa membuatku merasa bergairah. Yang pada akhirnya menuntunku melakukan sesuatu yang dewasa—meski masih dalam batasan.
Aku membuatnya mengerang dan mendesah dengan memaksanya memanggil namaku. Mata bulatnya sayu, napasnya memburu, tubuhnya terpelanting kebelakang. Dan sejak saat itu hal tersebut menjadi semacam bohiku tanpa peduli tempat dan waktu. Tiap kali aku menginginkannya, aku akan memaksanya. Entah di mobil, tempat tato, rooftop apartemenku, hingga di atas motor yang terparkir di belakang basecamp pada suatu sore saat kebetulan tidak ada balapan dan aku sudah mengode beberapa teman agar menyingkir dari sana.
“Jayden, kita lagi di atas motor kalau kamu lupa.” Melody memperingatkan saat aku memerintahkan ia duduk di depan. Sudah hafal gelagatku bila sedang ingin mendengar suara merdu erotisnya yang khas.
“Sekali aja,” pintaku sambil mulai bekerja dan memegang kendali atas dirinya. “Mendesahlah, jangan ditahan,” titahku lagi.
“Tapi entar kedengaran orang,” kelitnya dengan napas memburu sambil berusaha sekuat tenaga agar tidak mendesah. Tangan lentiknya berusaha menyingkirkan tanganku tetapi tidak berhasil. Aku bahkan bisa melihat wajahnya bersemu merah melalui kaca spion. Pantulan warna jingga matahari yang hampir tenggelam membuatnya tampak cantik berkali-kali lipat.
“Nggak ada yang berani ke sini,” bisikku tepat di telinganya sebelum menyentuh bagian itu menggunakan indra pengecapku. Lalu bekerja untuk membuatnya mencapai pelepasan.
Jakarta, 18 Januari
16.55 WIB.
Seluruh manusia tentu senang diberi kado ulang tahun. Begitu pula aku. Walau itu hanya berupa tiga lembar Melody’s Magic Card[7]. Karu ajaib yang bisa kugunakan untuk meminta apapun dari Melody dalam konteks wajar dan masuk akal.
Sekelebat permintaan sesuatu darinya sebagai kado ulang tahunku muncul di otakku. Bukan tentang kebutuhan biologis, tetapi lebih mengarah pada sesuatu dalam jangka panjang. Namun, pengumuman diterimanya aku di universitas Cambridge sangat membebaninya. Jadi, keinginan itu terpaksa kutunda dan kuganti dengan permintaan lain.
Dengan satu Melody’s Magic Card, aku meminta Melody mengambil kelas akselerasi dan masuk fakuktas kedokteran universitas Oxford. Sesuai apa yang ia cita-citakan, dan supaya kami bisa terus bersama, pikirku.
Namun, bukankah ada hal-hal yang tidak dapat kita prediksi dan hindari? Aku merasa bawah takdir tidak ingin membiarkan kami bahagia terlalu mudah saat tiba-tiba tua bangka Allecio menampar pipiku tepat setelah aku melepas ciumanku dengan gadisku di pesta pernikahan orang tua Melody. Beruntungnya ada Jameka yang bisa kumintai tolong untuk membawa gadisku pergi suapaya aku bisa bicara empat mata dengan Allecio.
Sejumlah kalimat Allecio tertanam jelas di otakku. “Nggak di rumah, nggak di luar kelakuanmu buruk! Apa yang kamu lakuin sama Jordan?”
“Bukan urusan Bapak,” jawabku berusaha bersikap sopan.
“Apa masalahmu sampai hajar adikmu kayak gitu?” tanya Allecio bernada anatara marah khawatir.
“Sudah saya bilang, itu bukan urusan Bapak.” Aku masih berusaha menggunakan nada sopan.
“Urusanmu, urusan papa juga, Jay! Cepat minta maaf ke Jordan!”
Smirk smile terbentuk dengan sendirinya di wajahku. “Sejak Bapak mengusir saya dari rumah, semuanya yang menyangkut saya bukan lagi jadi urusan Bapak. Kalau tidak ada lagi yang ingin Bapak katakan, saya permisi, Pak Allecio Michelle.”
Beberapa langkah kutinggalkan, terdengar suara Allecio memanggilku. “Jay, balik kamu!”
Kukatakan pada diriku sendiri bahwa segalanya sudah terlambat. Segalanya sudah rampung, dimulai dari keberangkatanku ke Inggris sehingga aku tidak perlu berurusan dengan tua bangka bersama istri dan anak tirinya lagi. Aku sudah menentukan jalanku sendiri.
Aku kembali ke tengah ballroom dan suatu kebetulan melihat Melody sedang celingukan—mungkin—sedang mencariku. Tubuhku pun secara otomatis menghampirinya. Begitu melihatku, mata Melody berkaca-kaca dan bertanya apa yang sedang terjadi. Kuyakinkan bahwa tidak ada yang terjadi sama sekali. Bukannya tenang, Melody malah menangisiku. Aku berinisiatif mengantarnya pulang, tetapi ia bersikeras ingin menginap di apartemenku.
Aku? Tentu saja sangat senang. Namun, tidak pada saat momen ini. Aku sedang membutuhkan ruang dan waktu sendirian untuk menenangkan diri atas kejadian tadi yang ingin kusangkal-sangkal dalam ingatanku. Sehingga sewaktu Melody tidur, aku mengantarnya pulang.
Siang harinya kami bertemu untuk makan mie ayam langganan kami. Sewaktu akan menaiki Duccati Scramble-ku, tiba-tiba ada pengendara motor ugal-ugalan yang menyermepetku. Aku menenangkan Melody yang gemetaran lalu mengantarnya pulang.
Berhubung waktu yang kami habiskan semakin sempit—hanya tersisa dua hari sebelum aku berangkat ke Inggris, tidak kusangka sore harinya ia datang membawa tas ransel besar dan memaksa menginap di apartemenku sampai aku berangkat ke Inggris.
Mulanya aku tidak menyadari keanehan saat Melody terus menempel padaku, bermanja-manja, memintaku menggendongnya ke mana-mana, dan sama sekali tidak protes atau melawan kala aku menginginkan ia memenuhi kebutuhan biologis kami yang masih memiliki batasan. Bahkan gadisku menjadi lebih liar nan agresif, lalu memintaku memberikan serta mengajarinya bagaimana cara membuat hickey.
Melody juga memintaku menceritakan semua kisah hidup yang tidak lagi kututupi. Dan setelah aku melepas semua topeng yang melekat pada hati serta jiwaku hanya untuknya, keanehan semakin menjadi-jadi.
Begitu aku dan Tito mendarat di Inggris, ponselnya mati. Tidak hanya itu, beberapa hari kemudian nomorku diblokir. Dan ia pun menghilang.
_______________
7 Baca Bad Boy in the Mask
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Ini chapter terakhir flashback lkma taun yang lalu
Chapter berikutnya tentang kehidupan bang Jay ketemu Melody di Inggris
Siapkan hati guys
Bonus photo Melodynya bang Jay sebelum jadi punyanya Umar Al-Khareem 🤓🤓🤓
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 5 Oktober 2019
Repost : 20 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro