Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 33

Selamat datang di chapter 33

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan kek mbak kunti nyari paku di kepalanya)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you kike this

❤❤❤

______________________________________________

The Number of the Beast by Iron Maiden

______________________________________________

Your only enemy you can’t live without

—Sibling’s rule
_____________________________________________

Musim dingin
Hounslow, 29 Januari
19.05 p.m.

Bandara Heatrow malam ini menyambut kedatangan kami dengan mendung. Bulan dan bintang malu-malu muncul. Salju memang sudah mulai berkurang. Namun, udaranya masih dingin, masih bisa membuat tubuh menggigil. Akibat cuaca itulah perjalanan kami sempat tertunda selama beberapa saat.

“Pakai syal sama sarung tangannya, biar nggak dingin,” ucapku pada Melody sebelum kami turun dari pesawat. Aku merangkul bahunya yang menuruti usulku lalu ia mengaktifkan ponsel untuk menelepon om Baldwin ; memberi kabar alasan kedatangannya yang molor.

Ketika kami mengurus imigrasi, petugas yang sangat mengenalku—lantaran selalu kujadikan sasaran tinju—tersenyum miring, sinis, seolah mengejek. Kutatap pria gendut itu, meneliti setiap kegiatan yang dikerjakannya. Bersikap siaga, berjaga-jaga, barangkali ia akan menyindir atau sejenisnya untuk memancing amarahku selayaknya setiap komunikasi yang kami bangun selama ini. Dan aku berjanji tidak akan meladeni agar citraku di depan Melody tidak lebih buruk.

Sangat beruntung, itu terbukti hanya menjadi kekhawatiranku belaka. Bagian terpenting, pria itu tidak bisa mencekalku lagi sebab orang yang ada di balik perintahnya sudah kubereskan.

Tito dan beberapa anggota klan Davidde menjemput kami di bandara dengan tiga mobil SUV hitam. Mobil pertama yang berisi beberapa orang jalan lebih dulu untuk mengawasi situasi depan, sama dengan mobil ketiga. Bedanya, mobil dengan posisi paling belakang itu mengamati dari tempatnya. Sedangkan yang kutumpangi bersama Melody, Tito sebagai sopir dan Alfred, berada di tengah. Jarak antar mobil pun diatur sedikit jauh supaya tidak ada yang curiga mobil-mobil kami saling mengikuti dan tidak mengganggu jalannya lalu lintas.

“Kamu nggak ada cita-cita ngajak aku ke tempat tongkrongan kamu gitu? Maksudku, salah satu tempat bisnismu, Jayden. Kita bisa makan malam di sana,” tanya Melody saat Tito mengusulkan makan malam dulu sebelum kami mengantar wanita itu ke apartemennya.

Sebenarnya aku ingin meminta Melody menginap di penthouse-ku. Sayang sekali, walau jet leg melandaku tak tanggung-tanggung, malam ini aku harus mengecek kasino dan besoknya aku berencana tidur pasca mengecek kantin gratis. Sebelum harus bertemu hari Senin di hari lusa yang disibukkan oleh rapat di gedung The Black Casino and Pub.

Sedangkan Senin pagi yang seharusnya kugunakan untuk rapat di Heratl, sudah kualihkan pada Jameka. Sebelum berangkat ke sini, aku sudah mengobrol dengannya untuk bahasan agenda rapat tersebut, tentang bagian yang harus dibenahi lebih dulu sebelum lanjut ke bagian-bagian lain. Syukurlah, kakakku tidak protes dan mau membantu dengan suka rela serta memberi dukungan dalam bentuk moral padaku. Agar aku lebih semangat menjalankan misi sebagai syarat menikahi Melody.

Kadang-kadang, aku bisa sesayang itu pada Jemeka. Hahaha ....

Namun, tunggu sebentar ..., kenapa otak dan hatiku jadi gatal-gatal setelah memikirkan hal itu? Jangan-jangan aku alergi dengan kata sayang pada kakakku.

Ngomong-ngomong, kendati bisnis tongkrongan semi legalku tergolong dalam bentuk hiburan, tetapi kami memiliki pengelolaan bin menejemen yang baik berupa kantor pusat di Manchester. Gedung berlantai sepuluh tempat para pekerja mengelola bisnis tersebut dalam lingkup dunia bawah tanah, tanpa campur aduk dunia hiburan-hiburan malam.

Jadi, aku tak ingin mengambil risiko Melody akan kesepian lantaran kutinggal kerja. Lebih baik, ia berkutat dengan penelitiannya yang katanya sempat tertunda, pasca cutinya bisa dicabut. Atau, ia bisa hang out bersama teman-teman kampusnya—selama tidak ada pria yang berpotensi merebut calon istriku.

Sebelum menjawab permintaan Melody, aku melirik Tito dan Alfred yang menatapku sekilas dari spion tengah. Lampu-lampu jalan membantu menerangi wajah mereka walau temaram. “Di sana nggak ada makanan berat. Kamu tahu sendiri aku nggak bakalan kenyang kalau nggak makan berat,” jawabku jujur.

“Oh gitu?” respons Melody, mengangguk tanda setuju dengan kedua mata besarnya yang imut menatapku.

“Ada resto yang lagi pengin kamu kunjungi nggak? Kita bisa ke sana,” gagasku agar ia tidak terlalu kecewa.

Melody mengarahkan pandangan ke jalan raya. Pupilnya bergerak mengikuti setiap bangunan yang berderet di sepanjang kiri dan kanan. Pernak-pernik Natal dan tahun baru sebagian sudah dilepas. Menyisakan pohon-pohon kurus dan gundul yang tertutup salju tipis. Keberadaannya tak menghalangi tulisan-tulisan nama restoran dan pertokoan di sekitar.

“Nggak ada keinginan khusus. Yang sejalan aja nggak apa-apa,” jawab wanita itu.

Alfred yang menyimak pun menanggapi. “Di Beaconaflied ada Miller and Carter. Aku dengar steak mereka lezat.”

Tentu saja, mendengar makanan kesukaannya disebut-sebut, Melody menjadi semangat. Ya, let’s go.”

Musim dingin
Summertown, 29 Januari
20.50 p.m.

“Makasih udah dianterin sampai sini,” ucap Melody ketika aku dan wanita itu sudah berdiri di depan pintu unit apartemennya. Pasca mengenyangkan diri dengan steak dan minuman hangat.

Tito dan Alfred menungguku di parkiran. Sementara satu mobil lainnya sudah kutitahkan kembali ke kasino. Sedangkan mobil satunya menunggu di seberang jalan gedung apartemen Melody.

Aku mengangguk dan menyelipkan senyum kecil sambil mengusap puncak kepalanya. “Ya udah, aku pergi dulu. Ada beberapa hal yang harus kuurus.”

“Kamu nggak capek, Jayden? Nggak pengin istirahat dulu gitu?” tanyanya. Kekhawatiran dalam nadanya membuatku melayang.

“Capek, tapi harus ngecek tempat tongkrongan. Udah lama aku absen. Kamu sendiri nggak capek?”

Kedua mata Melody kontan membola. “Boleh aku ikut? Pesaran banget di mana itu. Aku nggak capek kok. Toh tadi di pesawat cuma tiduran sambil nonton film. Justru kamu yang diskusi terus sama Alfred.”

Aku menggaruk pelipis menggunakan jari kelingking. Masalahnya kalau Melody ikut, aku yakin seribu persen tidak akan bisa bekerja. Mataku harus terus mengawasi calon istriku agar tidak disambar buaya-buaya buntung yang hobi datang ke kelab malamku dan suka berburu mangsa. Terlebih kalau ada pengunjung baru.

Lagi pula, aku tidak hanya mendatangi satu tempat, tetapi beberapa kasino yang ketaknya tidak jauh dari sini. Lalu mampir ke pelabuhan Northumberland untuk mengecek penyelundupan miras dan senjata api yang baru dikirim dari Skotlandia bersama Fayard dan anggota yardiesnya.

“Sebenernya kamu udah pernah ke sana.” Akhirnya aku memilih jawaban aman.

“Oh ya?” Ia bertanya kembali dengan wajah semringah.

“Iya, The Black Casino and Pub.”

“Are you serious? Kelab itu punyamu? Pantesan waktu itu kamu bisa nemu aku. Kirain kamu nguntit aku. Yah, tapi aku nggak masalah. Pengin aja gitu ... lihat kamu kerjannya ngapain. Boleh ikut ya?” rajuknya, manja. Menggemaskan dari sisi mana pun.

Ingin rasanya kubuka pintu di belakangnya lalu membawanya masuk dan ... ya ... oke, aku harus berhenti berkhayal. Bukan saatnya berpikir mesum tentang betapa seksinya suara desahan Melody ketika ... oke. Sialan! Aku akan berhenti memikirkannya!

Aku mengembuskan karbon dioksida ke udara. Uap dingin keluar menyertainya. “Baby, malem ini aku harus diskusi lagi sama orang-orang sebelum persiapan rapat Senin pagi. Kalau kamu ikut, aku nggak bisa ngawasin kamu. Aku nggak pengin kamu sendirian atau ditemeni pegawaiku. Dan diskusi kerjaan jelas nggak bisa ngajak kamu. Maaf ya. Lain kali, aku bakalan ngajak kamu.”

Senyum hambar terakit di bibir Melody dan embusan napas berat ia keluarkan. “Ya udah, kalau gitu hati-hati, Jayden.”

“Nggak ngambek ‘kan?” tanyaku, memastikan. Aku berdoa tidak ada acara ngambek-ngambekan. Sekarang, bukan saatnya pikiranku dipusingkan denga hal kekanakan seperti itu.

Lalu, siapa yang kemarin ngambek? Memangnya Melody harus menerima pikiran kekanakan seperti itu? Egois betul, Jay.

Suara dalam kepalaku pun mengolok-olokku.

“Enggaklah. Emang kamu? Ngambekan?” ejeknya sembari menjulurkan lidah.

Tentu, aku tak akan terpengaruh. Jadi, kukatakan, “Then prove it by kissing me.”

“Dasar tukang pencari kesempatan dalam kesempitan!” Mulut Melody memang menggerutu dan lenganku pun tak luput dari sasaran pukulan ringannya. Namun, setelahnya ia mengumbar senyum geli sebelum mendekat, berjinjit dan mencium bibirku dengan lembut.

Ingin rasanya berlama-lama dengannya. Namun, aku harus bekerja. Jadi, aku mengakhirnya dengan pelukan erat dan ciuman kening, barulah pergi setelah Melody menutup apartemennya.

Musim dingin
Manchester, 1 Februari
08.00 WIB

Alfred Grisham memang selalu cekatan dan bisa diandalkan. Ketika masuk ruang rapat di gedung kantor The Black Casino and Pub, ia sudah menyiapkan segalanya. Mulai dari menyebar undangan rapat pagi ini kepada seluruh petinggi-petinggi dari Jum’at lalu, hingga membuat power point untuk presentasi yang akan kusampaikan sebentar lagi. Jadi, aku tinggal berdiri di depan para petinggi dengan laser pen guna menunjuk bagan-bagan atau kalimat-kalimat penting pada power point tersebut.

“Selamat pagi,” sapaku dalam bahasa dan aksen Inggris saat mengawali presentasi. Secara garis besar, aku menyampaikan tujuan rapat hari ini mengenai perusahaan perabot Heratl yang ingin bekerja sama dengan The Black Casino and Pub untuk membuat apartemen, hotel, vila, atau cottage.

Ada yang menyetujui dan ada yang menolak gagasan tersebut. Kepala divisi keuangan yang menolak pun bertanya, “Bukankah dibutuhkan dana besar untuk membuat sebuah hunian sementara atau tetap? Sedangkan proyek hanya dilaksanakan dalam waktu enam bulan. Kita belum survei lokasi mana yang cocok, juga belum menyebar pamflet yang harus dibuat secantik mungkin untuk menarik minat orang-orang supaya mau berinvestasi dulu. Agar dana kita tidak berat nantinya.”

“Saya setuju dengan Mr. Steve, Sir. Kita harus merancangnya agar matang. Dan rancangan matang relatif butuh waktu lumayan lama. Belum lagi keuntungan kita baru akan terlihat dua atau tiga tahun setelah bangunan-bangunan itu beroperasi. Itu pun, kalau pasar sedang ramai terus,” sahut ketua divisi yang lain.

“Jangan khawatir soal dana. Saya akan menggunakan uang pribadi untuk modal awal. Saya hanya ingin meminta bantuan rekan-rekan sekalian supaya proses ini berjalan lancar dan selesai tepat waktu. Tapi, bonus untuk proyek ini akan mengalir ke setiap divisi yang ikut membantu. Bagaimana? Apakah masih ada yang keberatan?” terangku sekaligus bertanya.

Aku menatap satu per satu wajah-wajah serius di hadapanku. Mereka masih tampak berpikir, ada juga yang berdiskusi sambil bisik-bisik dengan orang di sebelahnya.

“Apa ada yang masih tidak setuju dengan usulan kerja sama ini?” Aku mengulangi pertanyaanku dan kali ini semua petinggi mengangguk.

Jadi, aku pun melanjutkan rapat dengan membagi job desk. Mulai dari membuka dan menerima usulan atau saran lokasi-lokasi strategis yang masih menjadi wilayah bisnis klan Davidde. Hingga ke ranah negara ekonomi gendut seperti Amerika.

“Kalau begitu, tolong lakukan survei lokasi usulan-usulan tadi. Semuanya, tanpa terkecuali, karena kita tidak tahu lokasi itu bisa didirikan bangunan atau tidak. Semakin banyak usulan, maka semakin banyak peluang. Saya ingin selambat-lambatnya satu minggu, supaya proyek bisa cepat selesai. Surveinya juga harus rampung dan lengkap dengan perhitungan segala aspeknya,” paparku.

“Setelahnya, kita akan rapat soal bangunan apa yang cocok didirikan di tempat-tempat itu dengan arsitek. Berhubung proyek besar ini bekerja sama dengan perusahaan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia kita, jadi, saya ingin semuanya legal alias sah di mata hukum. Baik soal perizinan, dan lain-lain. Kalau bisa, tidak perlu menggunakan pazzo untuk meloloskan izin pendirian tanah atau bangunan. Dengan demikian, rapat pagi ini, saya akhiri. Selamat bekerja,” imbuhku.

Seluruh jajaran petinggi sudah meninggalkan ruang rapat, tetapi aku dan Alfred masih bertahan di kursi masing-masing. Sebab aku masih memikirkan segala keperluan kerja sama ini.

Sebenarnya aku bisa saja meminta bantuan tante Amanda sebagai arsitek bangungan-bangunan yang akan didirikan nantinya. Namun, setelah kupikir-pikir lagi, sebaiknya tidak. Lebih baik mencari arsitek lain daripada maminya Melody menjewerku lagi.

“Yang harus kita pikirkan sekarang, selain mulai mencari arsitek, juga berpikir bagaimana caranya kita mendapat bahan baku cepat untuk Heratl dalam waktu kurang dari enam bulan, Alfred.” Aku mulai membuka obrolan dengan Alfred yang sedang menulis notulensi rapat.

Pria itu berhenti sejenak untuk menatapku. “Kita harus menghubungi Mr. Zafi, suami Mrs. Karina untuk berdiskusi soal Hutan Tanam Industri di Kalimantan atau Sulawesi. Atau kita cari tahu bahan baku sampingan yang kualitasnya bagus, tetapi pengadaanya cepat,” usul Alfred.

“Kalau begitu, bisa tolong hubungi Jameka untuk mengurus hal ini? Untuk sementara, aku akan fokus pada bisnis kita yang ada di sini. Setelah ada kabar dari Jameka soal bahan baku, aku akan kembali ke Indonesia untuk memastikannya.”

***

Hari ini terasa berat tetapi waktu seolah berjalan cepat tanpa bisa kurasakan. Setelah seharian berkutat dengan kerjaan kantor, malam harinya aku pergi ke The Black Casino and Pub. Duduk dengan kaki-kaki terjulur ke meja dan dengan badan bersandar di kursi. Menatap langit-langit sambil merokok.

“Apa Boss tidak lelah?” tanya Alfred yang duduk di sofa seberang sembari mengecek tabletnya.

“Harusnya aku yang bertanya itu padamu,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

“Sudah biasa,” balas Alfred.

Kali ini ia berhasil mendapat perhatianku. “Terima kasih, berkat kau, aku jadi bisa melakukan semuanya,” ucapku tulus. Setelah melihatnya tersenyum dan mengangguk, aku lanjut bertanya, “Di mana Tito? Tolong panggilkan dan suruh ke ruanganku sekarang.”

“Sedang bermain dengan salah satu wanitanya.”

Ck! Dasar playboy cap kadal buntung!

Kerjaannya hanya menanam benih saja! Apa tugas dariku untuk mengawasi kasino, sisa kantin gratis yang tidak sempat kukunjungi dan menyelidiki anak buah Caves terlalu ringan? Lain kali akan kusuruh pria itu mengangkat paku bumi dan memindahkannya ke laut menggunakan giginya!

Aku berdecak sebal lalu teringat sesuatu yang jauh lebih penting untuk persiapan beberapa bulan ke depan daripada merutuki si Playboy cap kadal buntung yang sedang main itu. “Ada satu lagi tugas untukmu, Alfred.”

Pria yang seolah siap mencatat di tablet dalam genggamannya pun bertanya, “Apa itu, Boss?”

“Tolong urus dan siapkan perizinan tanah serta pendirian bangunan di Indonesia dan satu gedung lagi di sini. Luasnya lebih kecil dari bangunan-bangunan yang akan kita bangun. Sekitar tujuh lantai,” terangku. “Tabunganku masih cukup ‘kan untuk mendirikan dua bangunan itu?”

Aku menunggu keheningan sesaat ketika Alfred mengutak-atik tablet yang kuduga sedang mengecek tabungankan. “Tergantung gedung apa dan berapa jumlah yang akan kita bangun untuk misi Mr. Baldwin. Kalau itu apartemen, saranku jangan lebih dari lima agar bisa mendirikan dua gedung lain.”

“Lima pun tidak masalah, selama itu memenuhi provit sepuluh persen. Karena dua bangunan istimewa ini wajib, Alfred. Tolong urus saja, toh nanti setelah gedung-gedung jadi, semua uang akan mengalir lagi walau jangka waktunya tidak singkat,” kataku logis. Tahu betul bahwa pengembalian modal pembuatan apartemen, hotel, vila, atau cottage membutuhkan waktu bertahun-tahun. Namun, bagiku tidak masalah. Dua bangunan itu benar-benar penting.

“Baik, Boss.”

“Apa jadwalku besok? Ada waktu senggangkah selain jam makan siang?” Aku bertanya setelah mengembuskan asap rokok.

“Hanya rutin mengecek kantin gratis dan menunggu hasil survei lokasi."

“Baik, ingat Alfred, aku ingin semuanya legal. Dan kau boleh istirahat sekarang. Terima kasih.”

______________________________________________

Well, thank for reading this chapter

Thanks juga yang uda vote, komen, dan masih bertahan baca bang Jay sampe sini

Kelen membuatku semangat, makasih yes

Jangan bosen-bosen nungguin abang Jay ya? Karena rencananya saya akan membuat 4 serinya. Dan ini adalah seri ke-2. Kemungkinan besar, seri ke-3 akan saya tulis tahun depan. Semoga tanggungan revisi dan work-work lain yang sedang hiatus segera selesai dan work Jaydem seri ke-3 berjudul : La Cosa Nostra : Britain (eh, terspoiler) bisa segera saya tulis

(Sekalian spoiler sampulnya ya 😂)

Bonus foto Mel-nya bang Jay

Bang Jay juga dong ya

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Post : 11 Februari 2020
Repost : 28 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro