Chapter 30
Selamat datang di chapter 30
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai juga kalau ada typo ya, maklum, jarinya jempol semua
Thanks
Happy reading
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
The Panthom of the Opera
______________________________________________
Lebih baik diam dan menjauh
Dari ada melakukan sesuatu di luar batas kendali karena rasa cemburu yang sebenarnya tidak perlu
—Jayden Wilder
______________________________________________
Jakarta, 28 Januari
08.00 WIB
Brian ini memang jelmaan srigala berbulu domba sejati, tanpa perlu diragukan lagi. Bukan tanpa alasan aku bisa mengatainya demikian. Mengingat kemarin, saat keluarga Melody hendak pulang dari mansion papa, calon kakak iparku itu berkata, “Kasihan banget lo, Jay. Padahal dulu si Onoh kagak perlu tantang-tantangan langsung dapet restu dari bokap nyokap. Lo aja pas ketiban apes.”
Efeknya? Iri, dengki, dan sifat setan yang lainnya menggerogoti sel-sel tubuhku dalam kurun waktu seminggu ini. Bertepatan dengan kesibukan baruku di Heratl.
Dan dari efek itu tadi, aku jadi ikut ngambek pada Melody. Padahal ia tidak salah apa-apa. Namun, malah terkena dampak dari emosionalku yang tak kenal waktu, tempat, dan situasi. Setiap kali ia mengirimkan pesan, aku selalu mengabaikannya.
Isi-isi pesan tersebut sebagai berikut :
Jakarta, 24 Januari
08.00 WIB
From My baby 🎼 :
Selamat, Baby, you’re good ❤
Aku denger dari kak Jame hari ini kamu resmi gantiin Pak Alle
Seharusnya, aku yang memberitahu Melody tentang jabatan baruku di Heratl. Namun, egoku yang tinggi masih memenangi pertempuran logisku.
Jakarta, 24 Januari
12.00 WIB
From My Baby 🎼 :
Udah jam istirahat, kayaknya kamu masih sibuk. Maaf ya, gara-gara aku nggak bisa ngerayu Daddy, jadinya kamu harus bersibuk-sibuk ria.
Jakarta, 25 Januari
12.30 WIB
From My Baby 🎼 :
Sibuk banget ya? Aku mulai bosen di sini. Tapi, aku ngerti kok. Semuanya demi aku ‘kan? Semangat, jangan lupa makan siang ❤
Khusus pesan ini, aku membayangkan Melody duduk di meja belajar yang menghadap jendela. Sinar matahari tanpa ragu menembus kaca, menerpa wajah manisnya yang cemberut dan diletakkan meja sambil menggerakkan jempol-jempolnya pada layar ponsel.
Mungkin ia semakin cemberut kala mendapati pesan tersebut sudah tercentang biru dua tanpa mendapat balasan. Mungkin ia akan meletakkan gawai itu secara kasar, lalu menggigiti kuku. Sedetik berikutnya baru menyadari bahwa kegiatan itu tidaklah memberikan manfaat selain membunuh waktu dan membuat kukunya tak berbentuk. Pada akhirnya, ia memilih bermain bersama Max, atau sibuk dengan buku-buku tebal untuk teman kencan daripada meratapi pesannya yang tak kubalas.
Jakarta, 26 Januari
14.05 WIB
From My Baby 🎼 :
Kata Alfred kamu sibuk banget
Semangat, Baby ❤
Jakarta, 27 Januari
19.07 WIB
From My Baby 🎼 :
Selamat istirahat ❤❤
Jakarta, 28 Januari
10.15 WIB
From My Baby 🎼 :
Miss you already ❤
Aku meletakkan gawai di meja setelah membaca pesan yang baru saja dikirim Melody, tentu saja tanpa membalasya. Aku tahu ini sudah lewat dan sangat kekanakan. Namun, bisakah kau mengerti perasaanku? Bagaimana jika seandainya kau berada di posisiku yang harus menerima banyak rintangan untuk menikahi Berlian Melody sementara mantan tunangan pecundangnya itu bisa langsung direstui tanpa melalui rintangan apa pun?
Tidak hanya menolak pesan yang dikirim Melody, aku pun mengabaikan semua panggilan teleponnya. Aku takut jika menghubungi atau berurusan dengan wanita itu, tangan-tanganku tidak akan tinggal diam. Sangat takut emosi yang masih mengalahkan segala bentuk kelogisan otakku ini akan bertindak tidak sesuai aturan moral. Seperti dulu ketika pertama kali kami bertemu sejak bertahun-tahun dan mendapati ia sudah bertunangan. Aku yang terlalu emosional sampai berniat merusaknya agar ia menjadi milikku.
Pada intinya, aku takut menyakiti Melody baik dengan kata-kata atau pun tindakan. Kecuali, rasa cemburu yang membakar tubuhku sudah bisa kupadamkan, aku diam-diam berjanji akan menghubungi atau menemuinya langsung.
Jadi, selama seminggu ini, ditemani Alfred sebagai sekretaris dan Jameka sebagai COO—sementara Tito kuperintah kembali ke Inggris untuk mengawasi semua bisnis kami dengan Spencer dan Liam, aku yang sementara menjadi CEO terus memikirkan cara-cara jitu untuk menaikkan provit perusahaan.
Kendati masih marah, aku menjalani semua ini demi wanita yang kucintai. Rapalku dalam hati berkali-kali agar lebih semangat lagi ketika kepala dan mataku sudah mulai memanas membaca semua berkas di meja. Berkas-berkas yang perwujudannya masih harus banyak dibenahi. Yah, minggu ini aku memulainya dengan mempelajari struktur berkas Heratl.
Berhubung Heratl Company bergerak dalam bidang pembuatan smart furniture, aku harus mempelajari bagian keuangan, bahan baku yang digunakan untuk membuat produk tersebut, papan reklame, model yang disewa, promosi, mengecek daftar kerjasama dengan perusahaan lain dalam bidang apa pun yang berkaitan dengan bisnis ini, HTI, dan lain sebagainya.
Harapanku setelah matang dengan informasi-informasi penting ini, aku bisa mulai membenahi Heratl dari titik yang tepat. Yang pasti, harus meminimalisir pengeluaran dan memaksimalkan kinerja para pegawai agar dapat menaikkan provit secepat mungkin dalam jumlah besar hingga mencapai angka persentase sepuluh persen.
Pertanyaannya: apabila semua pegawai dipacu sampai ambang batas tanpa mendapat intensif lembur, akankah mereka mau lanjut bekerja? Well, tentu saja tidak. Lalu apakah aku harus mengurangi beberapa pegawai demi kestabilan Heratl? Well, entahlah masih kupikirkan. Bagaimana juga dengan pabrik-pabrik lini yang benar-benar tidak bisa diselamatkan? Haruskan aku membabat habis dan fokus pada pabrik yang masih bisa dipertahankan saja? Entahlah.
Aku berhenti sejenak menatap berkas-berkas itu lalu melirik jam tangan yang menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah masuk jam makan siang, tetapi kerjaanku belum benar-benar beres. Bagaimana bisa beres, kalau sejak sepuluh menit lalu aku hanya memandangi layar ponsel dan memelototi pesan dari Melody? Pikirku, mengolok-olok diri sendiri.
Karbon dioksida dalam paru-paruku kukeluarkan melalui napas berat yang panjang. Ibu jari dan telunjuk kujepitkan di antara hidung yang sejajar dengan mata. Aku memijit bagian tersebut secara perlahan sementara tangan yang bebas menekan interkom untuk menghubungi Alfred.
“Ya, Boss?” tanya pria itu dengan logat dan aksen Inggris yang kental.
“Apa jadwalku selanjutnya?”
“Setelah istirahat nanti, tidak ada jadwal khusus. Kita masih harus meninjau semua berkas dan menemukan letak kecacatannya. Tapi hari ini terakhir kita melakukannya. Senin depan, kita akan rapat internal untuk memulai pembenahan, seperti yang Boss katakan.”
“Baiklah. Seperti biasa, jangan beritahu siapa pun tentang agendaku dan jangan terima tamu pada jam istirahat atau setelahnya. Aku tidak ingin diganggu, terima kasih.” Tanpa menunggu jawaban dari Alfred, aku segera memutus sambungan interkom.
Namun, tidak lama kemudian tiba-tiba pintu dibuka. Aku yang masih memejamkan mata sambil memijit pangkal hidung pun berdecak. “Sudah kubilang tidak menerima tamu waktu jam istirahat. Bagian mana dari bahasa Inggris-ku yang tidak kau mengerti, Alfred?”
“Termasuk aku?”
Mendengar suara tersebut bukanlah milik Alfred, aku membuka mata dan tatapanku kontan bersirobok dengan Berlian Melody. Kepalaku yang semula sudah pening kini bertambah nyut-nyutan.
Sialan! Apa Alfred tidak mengerti dengan kalimat ‘aku tidak ingin diganggu siapa pun?’
“Apa kabar, Jayden? Segitu workaholic-nya kamu sampai lupa ngabarin aku seminggu ini?”
Jantungku berdebar ketika menyaksikan wanita itu berjalan dari pintu yang telah ditutupnya menuju meja kerjaku sambil memamerkan wajah geram. Kuteliti lebih dalam, seperti campuran antara ingin menangis dan marah. Bertolak belakang dengan penampilannya yang rapi. Berkemeja dan bercelana bahan ala wanita kantoran. Bersepatu tumit tinggi, dengan mekap natural dan rambut lurus yang digerai. Tas jinjing milik brand Chanel juga dapat kulihat di tangan kanannya. Over all, she’s elegant.
“Kayak yang kamu lihat sendiri,” balasku berusaha menahan diri untuk tidak bernada tinggi dan memilih memutus pandangan. Tanganku menunjuk berkas-berkas di meja untuk mepertegas kata-kataku.
“Sesibuk apa pun, kamu pasti hubungin aku.” Melody membela diri sembari terus mendekat. Langkahnya berhenti ketika mencapai sebelah kursiku.
“Can you just ... leave? I’m busy right now,” kataku datar tanpa melihat wajahnya dan berpura-pura berkutat dengan berkas-berkas itu lagi. Berkas-berkas yang seujujurnya membuatku sedikit mual.
“Di jam istirahat juga?” tanya Melody seakan tidak percaya pada kegiatanku.
“Ya gitulah. Now, can you just leave?”
“Jayden,” panggilnya lalu memutar kursiku dengan susah payah supaya badanku menghadapnya dan ia bisa menatapku. “What’s wrong with you?”
“I’ve told you, I’m busy.” Tidak melihat adanya pilihan lain, jadi aku mendongak untuk membalas tatapan Melody.
“Aku tahu. Aku juga udah tanya Alfred jadwalmu seminggu ini, dan emang katanya sibuk banget. Tapi ya kali di jam istirahat juga? Aku cuma mau ngajak kamu makan siang loh, emang kamu nggak makan?” tanyanya masih ngotot dan tidak ingin pergi.
Alfred sialan!
“Nggak ada waktu.”
“Nggak ada waktu buat makan siang?” Ia bertanya dan aku menjawab dengan gumaman. “Mustahil! Aku pikir kamu emang sibuk banget, makanya aku nggak pengin protes pas kamu nggak bales WA-ku. Aku berusaha ngerti, Jayden. Tapi kenapa kamu malah ngusir aku? Kayaknya kamu hindarin aku.”
Aku tahu ....
Bukannya merespon Melody, aku malah membalik kursiku menghadap meja lagi dan menekan interkom untuk bicara dengan Alfred. “Alfred, tolong ke ruanganku sekarang.”
“Jayden!” teriak Melody. Tidak perlu ahli penafsir suara untuk tahu wanita di sampingku sedang geram.
Ia menyelinap di antara meja dan kursi, tepat di depanku. Tangan-tangannya mencengkram bagian depan setelan suit hitam yang kugunakan. Kepalanya menunduk, sengaja menerobos kedua manik mataku dengan tatapannya. Ada urat-urat yang bermunculan di pelipisnya, tanda ia menahan diri dari amarah, sama sepertiku. “Look—”
Ucapan Melody berhenti akibat suara ketukan pintu. Ia memejamkan mata dan mendesah pelan. Sedangkan aku memerintah sang Pengetuk yang kuduga adalah Alfred untuk masuk.
“Oh, apa sebaiknya aku keluar?” tanya Alfred ketika melihat posisiku dengan Melody yang rupanya membuat pria itu salah paham.
“Tidak,” kataku. Lantas melepas cengkraman tangan Melody dan bangkit. “Tolong antarkan Nona Berlian Melody ke mobilnya—kalau dia ke sini naik mobil. Tapi kalau naik taksi, pastikan sopirnya mengantarnya sampai rumah.”
“Apa? Kamu apa-apaan sih, Jayden? Kamu beneran ngusir aku?”
“Just go home,” kataku datar. “Aku sibuk,” imbuhku pelan, lalu mengadap Alfred. “Tolong, Alfred.”
Melody menggeleng. Dengan nada tegas, ia berkata, “Maaf, udah ganggu waktumu yang sibuk, Jayden. Aku permisi.” Ia menghadap Alfred dan berucap, “Aku mengemudikan mobil sendiri. Jadi, tidak perlu mengantarku. Lagi pula, aku tahu letak pintu keluarnya. Terima kasih, Alfred.” Dan Melody membanting pintu tepat di depan wajah Alfred.
Pria itu lantas menoleh padaku dengan tangan membuka lebar. Sebuah isyarat ia bertanya tanpa perlu mengungkapkannya lewat verbal. Sayanganya, aku tidak ingin membaginya dengan Alfred dan mengibas tangan sebagai kode ia harus keluar ruangan. Dan seperti biasa, ia menuruti perinthaku.
Aku menjatuhkan diri di kursi kerja dan menempelkan punggungku di sandarannya. Dalam hati aku hanya mampu berkata: sorry, I just want to protect you from my self, My Melody.
Hari ini sebenarnya jadwalku sedikit longgar dan tidak harus lembur seperti kemarin-kemarin sebab berkas yang kupejari tersisa sedikit. Namun, entah kenapa aku masih betah di ruanganku hingga pukul delapan malam baru beranjak dari kursi dan memutuskan pulang ke apartemen. Tempat tinggalku selama seminggu ini karena jaraknya lumayan dekat dengan kantor. Sehingga lima belas menit kemudian, aku sudah tiba di depan pintu unit lamaku.
Aku mengeluarkan kartu kunci untuk membukanya. Ketika baru selangkah masuk, betapa aku terkejut mendapati Melody yang melipat kedua tangan di dada, tengah duduk di sofa ruang tamu mungilku dengan kaki disilangkan. Pakaiannya masih sama seperti tadi siang. Mungkin ia belum pulang.
“Bukannya aku nyuruh kamu pulang? Kenapa malah ke sini? Dari mana kamu tahu aku di sini? Gimana bisa masuk?” Aku menemukan diriku bertanya pada Melody.
Bukannya menjawab semua perranyaanku, ia malah membahas topik lain. “Kita butuh ngobrol, Jayden. Kamu udah nggak sibuk ‘kan?”
Aku memejamkan mata sejenak. Berusaha untuk tidak mengeluarkan nada tinggi. “Iya, tapi aku capek. Pengin istirahat.”
Melody tersenyum getir. “Seminggu ini sibuk. Tadi siang waktu istirahat sibuk juga, dan sekarang capek, mau istirahat. Oke, emang kayaknya kamu nggak butuh ngobrol sama aku. Percuma aku nebak-nebak kekhawatirkanku sendiri kalau kamu emang sibuk dan capek.
“Percuma juga aku dandan cantik sesuai cewek kantoran buat kamu terus ke kantormu dengan niatan lihat keadaanmu sambil ngajak makan siang. Percuma juga aku ngekori kak Jameka ke mana-mana yang juga sibuk buat minta key card apartemenmu, terus nunggu kamu dari sore sampai malem, tapi akhirnya kamu nggak pengin ngobrol sama aku.”
Setelah mengekuarkan unek-uneknya, Melody berdiri. “Ngapain juga aku ngomong panjang lebar, lebih baik aku pulang. Jaga kesehatan, makan yang teratur dong. Inget, kamu ‘kan bukan robot dan baru beberapa hari lalu keluar rumah sakit. Selamat istirahat. Jangan terlalu workaholic, Jayden,” tambahnya.
“Jangan terlalu workcaholic? Dan jadiin misi ini gagal? Terus kita gagal nikah? Itu yang kamu pengin?” tanyaku dengan nada penuh penekanan. “Aku kayak gini juga demi kita. Aku bukan mantan tunanganmu yang gampang banget dan nggak perlu tantangan atau misi buat dapetin restu om Baldwin biar bisa nikahin kamu.”
“Oh, jadi gara-gara itu? Siapa sih yang cerita sama kamu? Pasti kak Brian.” Melody berucap dengan wajah yang mungkin bila ditambah sedikit saja tekanan, air matanya akan langsung jatuh.
Apa aku terlalu keterlaluan?
“Apa pun yang diomongin kak Brian, atau siapa pun yang ngasih tahu kamu soal itu, tolong jangan dimasukin hati. Itu udah jadi masa laluku. Kamu tahu sendiri aku sama dia udah kelar. Sekarang, bahasannya kita, bukan dia. Dan aku, minta maaf atas nama orang yang ngasih tahu soal tanpa tantangan itu ke kamu,” tukas Melody panjang kali lebar.
Prediksiku salah. Walaupun wajah manis tersebut sudah sangat ingin menangis, kenyataannya ia menahannya dan bersikap dewasa.
“Kayaknya, kamu emang butuh istirahat, nggak tepat ngomongin masalah ini di waktu kamu capek. Harusnya aku nggak kekanakan kayak gini. Alright, aku pulang dulu. Take a rest,” tambahnya.
Sedangkan aku masih bergeming dengan sekujur tubuh kaku sebab berusaha untuk tidak melakukan sesuatu di luar batas kendaliku, atau mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaaannya lagi. Dan membiarkannya berjalan melewatiku begitu saja.
“Oh ya, aku sampai lupa mau bilang kalau besok aku ke Inggris. Di sini kamu sibuk. Dari pada aku kayak orang tolol yang kerjaannya cuma nunggu kabar dari kamu doang. Lebih baik aku cabut cuti kuliahku buat lanjutin penelitianku yang sempet ketunda biar bisa cepet ngelarin tesisku. Kalau bisa sih. Well, good night, Jayden.”
Aku merasa tertohok, lalu mempertanyakan tindakanku yang tidak punya akal ini. Dan secara implusif, aku meminta, “Then, stay here tonight.”
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Melody
Foto Jayden
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 22 Januari 2020
Repost : 25 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro