Chapter 3
Welcome to Chapter 3
Masih tentang curhatan bang Jay saat pertama kali ketemu Melody
Buat detailnya yang belum paham bisa baca buku BBIM (Bad Boy in the Mask) [Melody’s POV]
Buat yang uda paham dan males baca, boleh di-skip
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Happy reading
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________
Feint by Epica
_____________________________________________
Everything she has make me believe that I’m falling in love with her
—Jayden Wilder
_____________________________________________
Jakarta, 28 Agustus
08.00 WIB.
Bulan Agustus, musim penerimaan mahasiswa baru, musim ospek, musim senioritas di seluruh penjuru negara ini termasuk kampusku. Dan beruntungnya lagi aku merupakan salah satu mahasiswa baru Universitas bergengsi di Jakarta Pusat.
Sebenarnya aku sangat malas perihal ospek dan segala tetek bengeknya. Jadi, kuputuskan untuk merokok di kantin. Mengabaikan para mahasiwa senior yang bukan anggota BEM bergosip tentang tampangku.
Tidak ada senior yang berani menegur perilaku aroganku, karena jelas wajahku yang menakutkan ini. Itulah yang kudengar dari orang-orang yang bertatap muka atau tidak sengaja berpapasan denganku. Jadi, tidak ada yang berani juga saat aku mencoba menyela salah satu senior yang sedang mengintimidasi maba alias mahasiswa baru yang kebetulan kujumpai ketika sedang berjalan ke selasar kampus menuju toilet.
Dengan nada datar dan rokok yang terselip di antara mulut, aku mulai membuka suara. “Dapet apa kalau dia hormat sama lo?” tanyaku saat senior anggota BEM yang mengospek kami ketika menghukum maba itu karena tidak menyapanya.
Senior ini ada-ada saja, bagaimana mahasiswa baru akan menghormatinya jika disapa ia tidak peduli? Lalu ketika salah satu maba tidak menyapa, ia malah dihukum? Kan lucu.
“Eh, nggak gitu kok,” jawab senior itu yang jelas takut kelihatan melihat wajah seramku.
“Terus?” Aku lanjut brtanya.
“Ya dia kan nggak nyapa seniornya, namanya nggak sopan,” terang senior itu sambil menunjuk maba yang menunduk.
“Lo aja nggak peduli disapa, ngapain maba harus nyapa lo? Gila hormat lo?” sarkasku tanpa menghiraukan ekspresi senior itu yang membelalak tak kaget. Pandanganku beralih ke maba yang sedang menunduk takut. “Dan lo, jangan mau disenioritasin.” Lalu aku meneruskan langkah ke toilet.
Keesokan paginya maba yang kemarin mencariku saat asyik nongkrong di kantin sambil merokok dan bermain ponsel. Tiba-tiba ia duduk di depan kursi yang kududuki. Ada meja yang menjadi penghalangi kami.
Laki-laki potongan rambut rapi, bermata agak sipit, berkulit putih bersih dan berwajah sudah tidak setegang kemarin itu berkata, “Bro, gue nyari lo dari kemarin. Mau ngucapin terima kasih.”
Rampung ngenyedot rokokku dan mengembuskan asapnya ke udara, aku menjawab singkat, “Santai.” Sambil mengulurkan sekotak rokok.
“Hehe gue nggak ngerokok. Kalau bokap gue paling cuma ngingetin, tapi adek gue bakalan ngomel abis-abisan,” akunya.
Satu alisku terangkat. Takut adiknya?
“Emang adek lo galak?” Aku menemukan diriku bertanya.
“Nggak juga sebenernya. Cuma kadang suka protes aja. Gue pusing kalau udah denger protes dia atau debat sama dia.”
“Oh,” jawabku ringkas, acuh tak acuh.
“Eh btw nama gue Brian. Lo?”
“Jayden.” Melanjutkan hisapan rokokku.
Sejak saat itu aku bersahabat dengan Brian sebab ia satu-satunya teman yang tidak takut padaku. Menerima bagaimana rupa seram dan sikap cuekku. Aku tentu sangat senang. Namun, kadang kala ia membuatku kesal ketika sedang berbicara dengan adiknya melalui telepon. Sungguh berisik bin bising!
“Ck, lo ngapain sih pengin ke Pingoo Pinguin? Nggak baca ulasannya kalau di sana makanannya rasanya standar? Mending ke La Vue at the Hermintage,” celoteh Brian pada adiknya sewaktu telepon daring. Sedangkan aku duduk berhadapan dengannya, merokok santai di smoking area kantin fakultas.
“Ih lo tuh nggak tahu sensasinya aja, Kak! Seru kali makan sambil nontonin pinguin renang!” sahut adik Brian.
Untuk pertama kalinya, gelobang kejut menyerangku sebab mendengar suara merdu jenis alto gadis itu. Benakku lantaran terserempet ingatan tentang perkataan Brian yang menyebutkan adiknya tidsklah begitu galak, tetapi suka protes. Dan, dari cara gadis itu berkomunikasi dengan kakakknya yang terkesan hangat menjadikanku diam-diam memberi penilaian angka 70.
Beberapa hari kemudian, pada jeda pergantian jam mata pelajaran, gadis itu menelepon daring Brian lagi. “Kaaakkk gara-gara lo tadi, gue jadi telat dan kena hukuman! Gue nggak mau tahu! Besok pokoknya gue bawa mobil sendiri! Nggak mau lo anterin lagi!” teriak gadis itu. Kebetulan posisiku duduk di sebelah Brian.
“Berisik lo! Kaki lo pendek. Mana sampai nginjek gas! Gue anter aja!” protes Brian.
“Kakak nyebeliinnn! Awas saja kalau gue uda tinggi!”
“Lagian umur lo belum boleh nyetir mobil! Daddy itu terlalu manjain lo sampai kurang update berapa umur yang boleh bikin SIM A dan nyetir mobil di jalan raya!”
Dan hari-hari berikutnya aku semakin sering mendengarkan percakapan mereka yang kurasa kian seru.
“Over protective banget sama adek lo,” ungkapku basa-basi. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka melakukan awal pembicaraan untuk menggiring ke topik inti. Namun, entah kenapa aku menanyakannya. Ada sesuatu dalam benakku yang ingin tahu tentang gadis itu.
“Ck, kalau lo punya saudara cantik, imut, plus gemesin gimana perasaan lo?” Brian malah berbalik tanya. Dan aku juga tidak tahu kenapa harus memikirkan pertanyaan itu dalam benakku serta menghubungkannya pada Jameka.
Kata orang, kakakku sangat luar biasa cantik. Memiliki rahang tegas sama sepertiku dan bentuknya V, juga tubuh ideal yang diidam-idamkan wanita. Namun, ia sama sekali tidak imut. Apalagi menggemaskan. Jameka adalah tipe wanita yang tegas dan bisa menjaga dirinya sendiri. Jadi, aku tidak pernah khawatir.
Asyik memikirkan kakakku oleh pengaruh perkataan Brian, sahabatku itu kembali bersuara sambil menunjukkan foto adiknya.
“Coba bayangin aja lo punya adek kayak gini,”
Lalu, aku melihatnya. Seorang gadis berbalut dress selutut tanpa lengan warna kuning cerah. Rambut hitam berkilau kecokelatannya tergerai hingga punggung. Ada beberapa helaian lurus itu yang berkibar akibat tertiup angin. Ia sedang memegangi setangkai Dandelion dengan mulut mengerucut seperti bersiap meniupnya. Dari kilatan matanya yang menyipit, tampak sangat bahagia.
Tanpa menunggu sedetik waktu bergulir, jantungku mengentak keras. Kupikir waktu juga berhenti, suara percakapan mahasiswa-mahasiswi lain pun mendadak senyap. Anehnya, aku hanya mampu mendengar suara detak jantungku sendiri yang seolah-olah menumbuk-numbuk gendang telingaku. Entah apa yang ada pada gadis ini. Aku seperti ingin memandanginya lama-lama. Wajah cerianya menimbulkan suatu kehangatan dalam rongga dadaku.
Mungkin terlalu lama menatap foto adiknya, Brian menarikku dari kenyataan dengan meraih ponselnya kembali lalu protes. “Ngapain lo lama-lama lihatin adek gue? Naksir lo?”
Naksir itu jenis sayuran apa?
Aku menyangkal omongan Brian.
Suatu hari ketika bertandang ke rumah Brian untuk membicarakan futsal fakultas untuk persiapan piala Rektor, saat itu juga aku tidak sengaja melihat adiknya secara langung. Kemudian hantaman-hantaman degup jantungku kembali meyerang secara membabi buta dan kehangatan dalam rongga dadaku membuat perasaanku nyaman sekaligus gelisah.
Benar kata Brian. Adiknya sangat cantik, ada unsur manis, imut dan menggemaskan.
Beberapa hari kemudian aku ke rumah Brian lagi. Duduk di undakan depan pintu utama rumahnya untuk merokok sambil memikirkan adiknya. Baru saja benakku memunculkan bayangan sosoknya, kedatangan gadis itu secara praktis mengejutkanku.
Tanpa ada komando dari otak, aku secara otomatis memperahatikan gadis berbalut dress selutut dengan rambut yang dikepang menyerupai bando yang membuatnya semakin manis. Ia tampak bingung. Kepalanya bergerak dan matanya menelusuri pintu belakang punggungku. Tampaknya ia ingin masuk rumah tetapi tidak berani mengatakannya.
Oleh sebab itulah aku mempersilakan, tetapi gadis itu malah memandangiku dengan mata besarnya. Jantungku malah semakin jumpalitan.
Aneh, ini benar-benar aneh. Aku mulai mempertanyakan omongan Brian waktu itu. Apa benar aku naksir pada gadis ini?
Bulan-bulan berikutnya, Brian ada pengganti kuliah dari asisten dosen. Berhubung kami tidak sekelompok, jadi aku tidak mengikuti mata kuliah yang diajarkan asdos tersebut sebab jadwal asdosku sudah lewat. Dan aku memiliki waktu senggang selama dua jam sebelum jadwal kuliah berikutnya.
Mungkin itulah letak keberuntunganku datang ketika Brian memintaku menjemput adiknya di sekolah.
“Gue bawa motor. Nggak apa-apa adek lo naik motor?” Aku bertanya untuk memastikan. Menilik dari Brian yang over protective terhadap adiknya dan tidak memperbolehkan mengendarai mobil sendiri, sangat mungkin Brian tidak ingin aku menjemput adiknya naik motor.
Rupanya, itu hanyalah pikiranku yang berlebihan. Respons Brian jelas tidak seperti itu. Malah kupikir di luar dugaanku.
“Nggak masalah. Naik cikar aja dia mau,” jawab Brian dengan tampang cengengesan. Lalu secepat kilat berbubah serius. “Nggak, dia nggak masalah kok naik motor. Inget! Jangan sampai dia lecet!” imbuhnya sambil menunjuk-nunjuk wajahku sebelum masuk kelas.
Aku lantaran kembali dikejutkan oleh hal itu. Nilai gadis itu pun bertambah bertambah menjadi 75 sebab ia tidak semanja kelihatannya.
Tanpa menunda-nunda lagi, aku segera menyalakan motor dan melajukan kendaraan itu ke toko helm terdekat. Barulah ke alamat sokolah yang sudah Brian berikan.
Tiba di sana, tempat itu sudah sepi. Mulanya aku sempat khawatir gadis itu sudah pulang atau aku tidak bisa menemukannya karena tidak memiliki nomor teleponnya untuk menghubungi gadis itu. Namun, sekali lagi keberuntungan berpihak padaku sebab bisa menemukan wajah manis itu dengan mudah.
Dari kejauhan ia tampak berdiri di depan gerbang sambil merapikan rambut dan menendangi kerikil. Ketika mendapati motorku berhenti di depannya, aku membuka helm serta mengatakan bahwa Brian tidak bisa menjemputnya dan tugas itu dialihkan padaku. Ia tampak sangat terkejut.
Gadis itu lantas tidak mudah percaya begitu saja. Sikap yang aku senangi. Semakin menaikkan nilainya yang menjadi 80.
Tangan lentiknya mengambil ponsel dalam tas, mengetik sesuatu—mungkin memastikan pada Brian—menunggu balasan, setelah membacanya baru mengambil helm yang dari tadi kuulurkan. Rupanya, ia kesulitan mengaitankan pengait helm kala akan mengenakannya.
Saat membantu gadis itu, ia malah menatap wajahku. Tidak hanya itu, ia juga mencoba menyentuh punggungku ketika kubonceng. Aku dapat melihat wajahnya memerah melalui spion.
Kebiusan membungkam mulutku karena hal itu. Aku sama sekali tidak bisa berkata-kata setelah berhenti di pom bensin, dan melanjutkan perjalanan kami hingga tiba di depan pagar rumahnya.
Kala ia memberiku helm yang kubeli dadakan tadi, aku tidak sengaja melihat lengan putih mulusnya yang membiru. Mengingat pesan Brian bahwa adiknya tidak boleh sampai lecet sedikit pun, aku lantas menyuruh gadis itu mengobati memar tersebut karena tidak ingin mematahkan kepercayaan Brian.
Aneh bukan? Padahal aku sudah menjadi orang paling cuek sejak keluar dari rumah Allecio. Entah kenapa gadis itu selalu berhasil membuatku memperhatikannya.
Ngomong-ngomong untuk memudahkanku supaya tidak telat kuliah, aku tinggal di apartemen sebab jaraknya dekat dengan kampus. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati Gamelita bertandang ke apartemenku. Membentuk segudang pertanyaan yang pasti ; dari mana wanita itu tahu tempat tinggalku sekarang?
Sangat disayangkan pertanyaan yang beecokol dalam benakku secepat kilat berganti dengan sesuatu yang lebih mengejutkan. Wanita itu berkata Allecio sedang sakit dan kemungkinan tidak bisa berpidato dalam acara pesta topeng penggalangan dana Desember ini sebab harus banyak istirahat. Sehingga pria itu memintaku menggantikan beliau berpidato untuk menyambut tamu.
Awalnya aku menolak. Banyak spekulasi yang kupikirkan jikalau aku datang ke sana. Mulai dari penyakit apa yang diderita Allecio hingga harus istirahat dalam kurun waktu lama—padahal seingatku pria itu selalu menjaga kesehatannya, walau tentu saja kondisi kesehatan seseorang bisa saja berubah dalam hitungan detik. Timbul juga pemikiran apakah beliau sakit gara-gara memikirkanku sehingga tidak menjaga pola makan serta memperhatikan kesehatannya? Apakah beliau juga terlalu keras bekerja dalam menangani bisnis gendutnya? Dan apakah aku akan mendapat kesempatan untuk berbaikan dengannya ketika menjadi anak berbakti yang menurut untuk mewakili beliau berpidato akhir Desember nanti?
Dan segudang pikiran-pikiran lain.
Namun …. Lagi-lagi aku harus menambahkan segala bentuk kata pengecualian. Entah kenapa semenjak melihat serta berjumpa dengan gadis itu, hatiku gampang luluh akan sesuatu. Jadi, aku datang ke pesta topeng itu dengan maksud dapat membantu Allecio mengurus acara serta besar harapanku bisa memperbaiki hubunganku dengan pria tua itu.
Sangat disayangkan. Rupanya aku keliru. Rupanya aku terlalu naif dan terlalu dilambungkan harapan sewaktu aku datang ke pesta itu. Allecio jelas tampak sehat. Meski sebagian wajah beliau tertutup topeng, aku bisa mengenali tubuh pria itu berdarah Italy itu yang masih berdiri tegak, dengan guratan-guratan senyum bangga ketika menepuk punggung salah seorang laki-laki yang kuyakini saudara tiriku. Lalu, tahu-tahu Jordan-lah—yang entah sejak kapan mengganti nama belakangnya menjadi Michelle—yang mewakili beliau dalam pidato penyambutan.
Harapanku runtuh di hadapanku. Aku nyaris meninju orang-orang yang yang bersliweran di sekitarku. Padahal aku sudah meminjam mobil SUV Lih yang lebih wajar untuk dikendarai ke pesta itu daripada Hammer-ku. Dan melatih pidatoku, juga segenap perasaan serta persiapan lain yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari.
Berhubung masih memiliki martabat di tempat itu, aku tidak ingin menimbulkan kekacauan. Sehingga kuputuskan pergi ke mini bar untuk merokok dan mungkin menenggak beberapa sloki minuman keras. Aku berpikir lebih baik mabuk dan menelepon Tito untuk mengurus keadaanku.
Ketika aku baru akan memesan minuman berkadar alkohol paling tinggi bernama Long Island Tea, aku kembali dikejutkan oleh sesuatu. Namun, bisa kupastikan kejutan kali ini 100 kali lipat jauh lebih baik dari kejutan-kejutan memuakkan yang akhir-akhir ini menerjangku.
Meski suara dentingan musik klasik memenuhi seluruh penjuru ballroom, tetapi sayup-sayup aku bisa mendengar suara gadis itu memanggilku. Dan yang paling mengejutkan adalah ia menyatakan perasaannya padaku.
Gadis berani ini langsung kuberi nilai seratus.
Tanpa ia sadari, ia seperti menyelamatkanku saat terpuruk dari tua bangka Allecio maupun minuman beralkohol yang batal kupesan.
Berlian Melody tidak tahu bahwasanya aku sangat bahagia. Dadaku seperti dipenuhi sesuatu yang kehangatannya meletup-letup. Sebab selama aku menjadi berandalan bermuka seram, tidak ada yang seberani dirinya untuk menyampaikan perasaan padaku.
Gadis itu sungguh ajaib. Everything she has make me believe that I’m falling in love with her. (Segala sesuatu yang ia miliki membuatku percaya bahwa aku jatuh cinta padanya) Jadi, tidak ada alasan atau keraguan apa pun untuk menolaknya.
I will give my all heart to her. (Aku akan memberikan seluruh hatiku untuknya)
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Makasih juga yang uda vote dan komen
Sabar ya, kurang satu-dua chapter lagi kita lanjutin the real time mereka di UK
Bonus photo Melody nya bang Jay
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 2 Oktober 2019
Repost : 19 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro