Chapter 26
Selamat datang di chapter 26
Tinggalkan jejak dengam vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan)
Thanks
Well, happy reading everyone
Hope you like this
❤❤❤
_____________________________________________
Slipknot - The Nameless
______________________________________________
Every good girl wants her bad boy being good only for her
And every bad boy wants his good girl being bad only for him
—Jayden Wilder
______________________________________________
Jakarta, 18 Januari
00.08 WIB
“Pakai ini biar nggak kedinginan dan nggak ketahuan,” bisik Melody sembari membenahi zipper jumper hitam yang dulu pernah kupinjamkan padanya, yang kini dipakaikan padaku. Lalu memasangkan tudungnya sebelum menyugar rambutku.
Sore tadi Jakarta memang hujan deras hingga mulai petang. Jadi, malam ini lumayan dingin. Meski bulan dan bintang sudah menggusur awan gelap yang sempat menahan kemunculan mereka.
Berada di posisi dengan sebagai pemimpin, Melody menggandeng tanganku. Ia melongokkan kepala di balik pintu ruang inapku dan menelenggkannya ke kanan, lalu kiri. Seperti pencuri yang mengendap-endap. Memastikan tidak ada dokter atau perawat berkeliaran di sekitar selasar. Tatapannya lantas berhenti pada Lih yang berjaga dan mengacungkan jempol sambil mengangguk pada pria itu.
Melody kembali beralih padaku, manarik tiang infus secara hati-hati dan menggandengku lagi. Lih hanya tersenyum pada kami saat kami melewatinya. Aku jadi penasarn ke mana wanita ini berani menculikku sampai melibatkan pria pendiam itu.
“Kamu kerja sama ama Lih?” tanyaku ketika kami berada di elevator. Sepertinya ini sesuai rencana Melody ; tidak ada orang lain di kotak besi ini selain kami.
Melody memencet nomor lantai paling atas. “Gitu deh,” jawabnya sambil mengapit kedua mulutnya sampai tipis. Sementara tangannya bergerak membenahi zipper dan tudung jumper-ku lagi seusai membenahi penampilan serupanya.
Dentingan elevator membawa kami menuju lantai yang dimaksud. Sebelum melangkah keluar, Melody celingukan lagi. Aku ikut mengintip dan menemukan sosok Tito berdiri tidak jauh dari selasar.
“Semua aman terkendali, Mel.” Suara pria yang mengacungkan jempol sepeti Lih tadi bisa menembus pendengaranku walau serupa bisikan. Membuat mataku menyipit.
“Kamu juga kerja sama ama Tito?” tanyaku, masih tidak percaya.
Melody mendongak, mengerutkan hidungnya hingga matanya tingfal,segaris. Juga menarik kedua sudut bibirnya ke atas untuk membentuk senyuman jahil. Lalu mengajakku menaiki tangga dan membuka pintu di puncaknya. Angin semilir sejuk cenderung dingin langsung menyambut kehadiran kami. Tidak ada siapa-siapa di sana kecuali kami. Padahal aku menduga ia membawa seribu pasukan untuk membuatku jadi samsak dadakan seperti dulu.
“Kamu nyulik aku ke rooftop?”
Sambil membenarkan tiang dan selang infusku, Melody yang membimbingku berjalan ke bagian pagar pembatas menjawab, “Exactly. Kita bakal ngelakuin sesuatu.”
Ia menggosok-gosok telapak tangannya mirip Plankton di serial kartun Spongebob Squarepants ketika memiliki sebuah rencana yang menurutnya brilian. Yah, kadang aku terpaksa menonton film itu karena bosan di rumah sakit.
Aku menggeleng heran sekaligus gemas sebagai tanggapan ketika Melody berkata, “Tunggu di sini. Aku mau ngambil keperluan kita.” Tanpa menunggu responsku, ia berjalan ke sebelah kanan bangunan kecil mirip gudang.
Lantai rooftop yang hanya berupa plester memang belum kering sempurna. Masih ada beberapa genangan air di sana-sini. Namun, gudang itu beratap sampai bagian tepinya yang condong bisa menangkal guyuran air. Sehingga plesternya tidak basah, cocok untuk meletkkan dua kotak kardus panjang tipis dan dua botol Cola besar serta beberapa permen mentos—a.k.a keperluan yang ia maksud dan yang sudah dipersiapkannya, entah melalui perantara siapa.
Aku semakin menggeleng saat Melody mengeluarkan dua kembang api daei kotak kardus yang kemudian salah satunya diberikan padaku. “Sebenernya lebih seru pakai petasan. Tapi aku nggak pengin bangunin seisi rumah sakit,” ugkapnya diselingi tawa geli.
Ia menyalakan korek api dari balik sakunya dann menutupinya menggunakan tangan supaya bara yang dihasilkan tidak mati akibat angin. Dan kami pun mulai menyalakan kembang api.
Aneh rasanya, hal absurd ini bisa menghangatkan hatiku, sekaligus membentangkan senyumku. Beberapa kali Melody menyenggolkan tubuh kurusnya ke samping tubuhku, kadang juga membentur-benturkan kembang apinya ke kembang apiku. Kami bermain-main seperti anak kecil sampai tidak terasa dua kotak kembang api kami ludes.
Berikutnya, wanita manis itu mengambil dua botol Cola besar serta permen mentos. Katanya, “Aku tuh pengin banget mainan ini.”
“Dasar!” hardikku gemas lantaran menerima sebuah botol di tangan yang tidak ditancapi infus, dan lima butir permen mentos.
“Yok kita hitung bareng-bareng, buka tutupnya terus celupin permennya!” serunya, dan kami mulai menghitung bersama. Setibanya di angka tiga, dengan gerakan cepat, kami membuka tutup botol lalu memasukkan permen tersebut.
Cairan soda itu langsung meluncur bebas ke udara malam. Melewati pagar pembatas rooftop. Aku harap orang yang berada di bawahnya tidak menganggap hujan Cola yang kami ciptakan sebagai salah satu keajaiban dunia.
“Kkkyaaa ....” Melody berteriak. Kedua tangannya memegang erat botol yang masih menyembur itu, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri, juga mengarah ke bawah. Dengan kepala menoleh, sambil memejamkan mata rapat-rapat.
Berhubung tidak ingin terkena semburan ekstra, aku sedikit memberi jarak untuk melakukan hal serupa. Beberapa saat setelah semburan Cola habis, Melody meneguknya sisa cairan cokelat dengan rasa khas itu ambil mengernyit.
Aku memperhatikan bibirnya lepas dari mulut botol. Membayangkan rasanya apabila kucecap. Namun, Melody mengartikan lain. Katanya, “Kamu nggak boleh minum ini. Soalnya masih minum obat sama injeksi antibiotik.”
“Curang.” Pura-pura protes sambil mundur supaya Cola-ku yang meluber tidak mengenai sandal dan celana pasienku.
“Biarin.” Ia menjulurkan lidah lalu meneguk Cola itu kembali dan mendesah keras. Seperti menyuarakan kelegaannya.
Botol-botol Cola sudah menghuni lantai. Melody mengeluarkan tisu basah dari tasnya untuk mengelap seluruh cipratan minuman itu di wajah dan bajunya. Sebelum melakukan hal serupa padaku.
“Kenapa kamu ngajak aku main kembang api sama main Cola campur mentos?” tanyaku. Menunduk, menelisikkan kedua irisku ke kedua iris wanita itu yang sedang mengelap pipi kiriku. Tidak ada penerangan di rooftop ini kecuali cahaya bulan. Namun, cukup membuat kita melihat seseorang atau benda dengan sangkaan tepat.
“Capek aja jadi orang dewasa. Jadi, aku pengin sekali-kali balik kecil lagi sama kamu. Main-main kembang api, ngelakuin hal norak kekanakan kayak gini,” jawabnya, diselingi kekehan.
“Tapi kalau nggak jadi fisik dan mental dewasa, aku nggak bisa ngapa-ngapain kamu. Entar dikiranya pedofil.”
“Ih! Ngaco banget. Dasar Jayden omes!” hardik Melody sembari meninju lennganku pelan. Dan melanjutkan mengelap daguku yang ditumbuhi bakal bulu janggut. Ia juga menukas, “Yah, sebenernya aku juga bingung mau kasih kamu kado apa, Jayden. Maaf ya kalau kadonya cuma hal remeh kayak gini.”
Bagaimana ia bisa menganggap hal ini remeh? Melody yang selalu patuh pada peraturan—dulu, mungkin juga sekarang—memilih melanggarnya demi aku. Itu sesuatu yang luar biasa.
Jadi, aku membalas, “Padahal, kamu bisa ngado aku pelukan beruang.”
Tepat pekerjaannya selesai, Melody mendongak sambil tersenyum. Kemudian lengannya dibuka lebar-lebar sebelum menghambur ke pelukanku secara hati-hati. Tisu yang dipegangnya praktis jatuh. Yah, akan kupastikan kami akan membuang sampah-sampah hasil kelakuan kami pada tempatnya setelah selesai.
“Maaf kalau bau Cola,” ungkapnya.
“Aku suka bau Cola campur Vanilla,” jawabku sembari membalas pelukan dengan kadar keeratan yang sama. Dan tentu saja menunduk, untuk nenggelamkan diri di ceruk lehernya walau masih disekat tudung jumper. Tubuh kami yang saling menempel membuatku bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang. Atau itu suara jantungku sendiri?
Pelukan Melody mengerat. Begitu juga denganku. “Aku juga suka bau Cola campur parfum mint-mu.”
“Oh ya?”
Ia bergumam sebagai jawaban dan kami sama-sama diam, khitmad dalam pelukan ini. Sempat terbersit dalam benakku untuk bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan yang bercokol dan lari ke sana-kemari sejak kejutan kedatangannya pada tengah malam. Namun, aku tidak ingin merusak momen kalau jawaban itu tidak sesuai keinginanku. Aku tidak ingin memaksanya. Akan tetapi, apakah rengkuhan ini terasa cukup sebagai kado ulang tahunku?
Ketika aku ingin mengucapkan sesuatu, Melody merenggangkan pelukan dan membuat jarak pendek untuk mendongak, lalu mendahuluiku bicara. “Kamu yakin cuma pengin pelukan beruang di hari ulang tahunmu?”
“Emang boleh minta lebih?” bisikku.
Melody meneguk ludah. “Selama aku bisa menuhin itu, kenapa enggak?”
Angin menerpa wajah kami dan membuat anak rambut yang menyebul dari tudung jumper Melody menyapa pipinya. Kuambil untaian hitam itu lalu kubawa ke belakang telinganya sampai-sampai membuat tudungnya jatuh ke leher dan punggungnya.
“Are you sure?” Sekali lagi aku berbisik, memastikan. Dan sekali lagi itu pula Melody mengiyakan, sehingga aku melanjutkan, “A hundred percent, I’m sure you know what I want.”
Ia berbalik tanya sekaligus terlihat menantang. “Iyakah?”
Detik-detik bergulir kuhabiskan untuk berpikir. Aku mengambil oksigen dan mengembuskan karbon dioksida lalu memutuskam mengaku. “I want you, Berlian Melody. All of you to myself. Tapi aku sadar diri, tahu kalau kamu masih ... ya ... kamu tahulah, ngelarin masalah antar keluargamu sama keluarganya. Gara-gara aku juga. Setelah kupikir-pikir lagi, jadi, aku bisa apa selain minta maaf dan nggak minta hal ngelampaui batas lebih dari pelukan?” Meski kita sempet tidur bareng, tambahku dalam hati.
Ia membasahi bibir sebelum menjawab, “Sebenernya aku cuma empat hari di Summertown. Aku nyari dia sampai ketemu di rumah sakit tempat kerja baru dia, terus ngobrol dengan kepala dingin. Kami sepakat pulang ke sini bareng sama Max.”
Aku langsung menyesal atas pengakuanku sebab tanggapan Melody jelas tidak sesuai keinginanku yang sudah mendapat dukungan dari Brian. Kakak wanita ini salah duga. Melody jelas masih ingin mempertahankan hubungannya dengan si Pecundang itu. Itulah sebabnya ia tidak membenarkan ketika aku menggodanya tentang perasaan sukanya padaku tempo hari.
Tanpa sadar pelukanku merenggang selaras sedengan napas beratku yang terbuang.
Kenapa ia memberiku kejutan ulang tahun seorang diri sampai melibatkan sahabat-sahabatku untuk membawaku ke sini? Apakah karena ingin mengatakan bahwa aku harus benar-benar menyerah—walau aku jelas pernah beberapa kali mencoba menyerah atas dirinya da hasilnya nol besar? Apa pula artinya ia memberi kesanggupan untuk memenuhi semua keinginanku?
Di saat aku menoleh ke lanskap kota Jakarta dengan titik-titik lampu yang menyala pada jajaran gedungnya, Melody menyentuh dadaku, menunduk, memainkan zipper jumper-ku dan melanjutkan, “Maaf, aku emang sengaja nggak jenguk kamu soalnya besoknya langsung janjian ketemu sama keluarganya. Ya, akhirnya, semua udah kelar. Kami batal nikah. Kedua belah pihak keluarga juga saling memaklumi.”
Aku sontak menatap Melody lagi. Satu ton beban berat yang bersarang di pundakku akhirna terangkat.
“Tapi sisa hari di Jakarta sebelum ulang tahunmu, aku butuh waktu juga buat nenangin diri, buat mikir etis atau enggak kalau aku langsung pengin balik sama kamu, Jayden. Ktu pun kalau kamunya mau ya.
“Sambil mikir, aku bikin kue di kondo kak Jameka. Nginep di sana, makanya sekarang bisa ke sini tanpa kena omel. Keluargaku kayak ngasih aku waktu buat sendirian, termasuk punya temen yang bisa menghibur kayak kak Jameka. Dan waktu kamu bilang semua keinginanmu itu aku, barusan, aku jadi bener-bener yakin dan nggak peduli lagi apa kata orang entar kalau aku juga penginnya sama kamu. All I want is you, to myself, Jayden.”
Sedetik wanita itu berhenti berucap, aku menyambar kepalanya lalu melepas kerinduan dan segala macam emosi rasa dengan menyecap bibir merah muda Melody. Manis, rasa Cola segera menjalari lidahku.
Ia berjinjit, membalas dengan melilitkan lengan-lengannya di leherku. Sampai-sampai, tudung jumper-ku jatuh. Dan ia menggunakan kesempatan itu untuk menelusupkan jari-jemarinya ke rambutku. Lalu mengusap-usapnya lembut. Bulu kudukku sontak berdiri.
Kuketuk pintu indra pengecapnya dengan cara menggigit bibir bawahnya. Melody mempersilakanku masuk dan menyambut dengan suka cita ketika aku mengajaknya berdansa. Pada saat berniat mengubah ritme pelanku menjadi cepat, gerimis mengguyur kami. Secara paksa merenggut pagutan kami. Melody pun tertawa geli, sedangkan aku mengeram sebal.
“Kita harus masuk. Entar biar kuurus sampah-sampah kita sama Lih atau Tito,” ajaknya.
Dengkusan kasar keluar dari mulutku. “What? Enggak. Entar aku aja yang minta tolong mereka buat bersihin.”
“Nggak tanggung jawab dong namanya. Tapi ya udahlah. Dipikirin entar, yang penting masuk dulu.” Satu tangan Melody memayungi kepalaku, sedangkan tangan yang lain menggamit lengaku untuk dibawa kembali ke kamar.
Sebelum kami mencapai pintu masuk gedung, kuraih kepalanya dengan cepat lalu kucecapi bibirnya yang bengkak akibat ulahku. Setelahnya, bagai kerbau yang dicocok hidungnya, aku menurut, kembali ke kamar.
Jakarta, 21 Januari
14.56 WIB
Sejujurnya, aku tidak benar-benar peduli soal hari ulang tahunku. Toh, tidak ada bedanya dengan hari-hari lain. Orang-orang klan Davidde jelas tidak akan pernah kuberitahuAku khawatir informasi maha penting itu akan menjadi serangan balik bagiku karena memanfaatkannya.
Sampai Melody datang memberi kejutan, disusul keluargaku, keluarganya, dan para sahabatku. Ya, begitulah hebatnya wanita itu. Bisa mempengaruhi semua orang untuk membuatku berkesan.
Hubungan kami berjalan baik. Ia rajin mengunjungiku bersama papa serta Jameka. Katanya, ia mengambil cuti kuliah selama satu semester. Jadi, dalam waktu dekat tidak kembali ke Oxford. Ia juga berkata apabila aku kembali ke Inggris, Melody akan ikut.
Namun, bukankah selalu ada pengecualian dalam hidup yang kosntan?
Sore ini contohnya, ketika aku sudah diizinkan pulang Melody tidak datang. Katanya, “Ternyata masih ada berkas yang belum kuurus, aku mau ngirim ke email. Deadline-nya hari ini jam tiga sore.”
Kubiarkan saja toh, hanya pulang. Rencananya, aku akan pulang ke rumah papa sesuai bujuk rayu beliau yang tak lekang oleh waktu. Jadi, aku terpaksa. Lagi pula, aku yakin mansion papa lumayan aman.
Selama perjalanan, mau tak mau pikiranku justru berkelana tentang mansion papa. Sudah berapa tahun aku tidak menginjakkan kakiku di sana? Banyak sekali kenangan dalam mansion itu. Hingga tak terasa mobil yang kami tumpangi memasuki gerbang yang terbuka secara otomatis berkat tekhnologi sensor mobil.
Ketika kendaraan ini menyusuri jalan menuju halaman utama, papa menunjuk air mancur. “Jay, inget nggak kamu pernah nyungsep di air mancur itu waktu masih TK?”
Apa pula? Kenapa harus diingatkan hal itu?
“Iya,” jawabku datar. Berbanding terbalik dengan raut papa yang masih menatap air mancur itu dengan tersenyum geli. “Jameka yang nyungsepin,” tambahku.
“Nggak sengaja itu, Nak. Kakakmu lagi belajar naik sepeda. Dia belum bisa jaga keseimbangan, terus nyenggol kamu yang lagi kasih makan ikan koi.”
Apakah sangat perlu diperjelas seperti itu? Hal tersebut adalah kejadian paling memalukan seumur hidupku.
Alih-alih menanggapi, aku memilih turun dari mobil. Papa mengikuti, tetapi mendahuli langkahku. Sebelum maid membuka pintu depan untuk kami, beliau memutar badan 180 derajat menghadapku dan mengatakan, “Welcome home, Son.”
Hatiku menghangat mendengarnya. “Makasih,” jawabku singkat.
Pimtu terbuka, aku melangkah masuk dan ....
“WELCOME HOME, JAY!”
Itu teriakan Jameka, Tito, Lih, Alfred, Brian, Bella, om Baldwin, tante Amanda dan tentu saja Berlian Melody-ku. Mereka berdiri di bawah tangga melingkar bagian depan, dengan tulisan selamat datang yang bergelantung di pagar tangga, balon-balon hitam dan putih serta party gun yang glitter-nya terbang ke mana-mana.
Melody lantas berlari dan menumbukku dengan pelukan. Tangan kanannya memegang tanaman mint yang dikemas mirip bucket bunga yang tertulis dari D’Lule. “Jayden, ini buat kamu. Aku beli ini soalnya inget aromamu. Mint.”
Kulihat pipinya merah merona. “Well, thanks, Baby.” Sembari menerima tanaman itu, aku meraih dagu dan berniat menciumnya.
Namun, Melody malah menggeleng dan berkata, “Jayden, semuanya lagi lihatin kita.”
“Kenapa emang?” Aku berbalik tanya tanpa rasa dosa ketika mengikuti jempol Melody yang menunjuk semua orang, yang memandangku dengan bersedekap tangan dan aura mengajak perang.
“Cih! Bilang dong kalo mau lihat kami ciuman!” dengkusku. Dan semua orang segera menyerbuku.
Ada yang menarik lenganku, kaosku, menjitak kepalaku, mengomeliku, dan macam-macam lainnya.
Anehnya, bukannya marah atau membalas, aku hanya diam dan mengembangkan tawa bahagia.
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks for your vote and comment
Bonus foto Melody
Bang Jay yang lagi galo juga nggak ketinggalan kok
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 2 Januari 2020
Repost : 16 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro