Chapter 24
Selamat datang di chapter 24
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tolong tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like this
❤❤❤
______________________________________________
Walk with me in Hell by Lamb of God
______________________________________________
Seolah-olah aku ini kambing congek yang hanya bisa mengembek ketika ia menyodorkan harapan kosong
—Jayden Wilder
______________________________________________
Jakarta, 9 Januari
22.30 WIB
“Intinya gitu.” Aku menamatkan ceritaku. Lengkap dengan respons kaget om Baldwin ketika mendengar Melody pingsan yang disampaikan oleh papa via telepon beserta karangan masuk akal penyebabnya. Dan tak kuasa menunggu, om Baldwin bersama tante Amanda pun bergegas ke rumah sakit. Sedangkan Brian sendiri belum sempat kemari karena selain sibuk bekerja, kondisi istrinya yang hamil muda juga kurang memungkinan untuk ditinggal-tinggal. Apalagi harus mencium bau obat yang tumpah ruah dan melekat di tempat ini. Kata tante Amanda, Bella pasti akan mual lalu muntah.
Namun, ada yang sengaja tidak kuceritakan pada Melody. Yakni bagian bahasan lamaran yang papa tanyakan kemarin. Terlalu rumit untuk dipikirkan sekarang.
Ragaku dan Melody boleh saja saling melekat satu sama lain. Bak bertukar aliran kasih sayang serta kerinduan, juga kuanggap sebagai bentuk usaha meluruhkan dinding-dinding pembuat jarak yang terbangun di antara kami beberapa waktu silam.
Kendati belum memiliki sebutan apa yang cocok untuk hubungan kami sekarang, bagaimanapun juga, menurutku ini sudah merupakan suatu kemajuan pesat yang melampaui ekspektasiku. Mungkin akan kupastikan bentuk perasaan apa yang sebenarnya ia miliki padaku pada waktu, tempat, dan suasana yang pas. Sehingga nantinya bisa kami putuskan mau dibawa ke mana hubungan ini. Dengan harapan ke arah lebih baik.
“Mel?” kupanggil wanita itu sebab tidak menanggapi ceritaku.
Aku mengangkat tubuhku sedikit untuk melihat wajah Melody. Bulu mata lentik yang mererangkai kelopak-kelopak netra itu terpejam. Diiringi napas teratur dengan mulut sedikit terbuka.
Bibirku pun merangkai senyum disusul sedikit dengkusan geli. Kulepas genggamanku untuk membenarkan selimut yang membalut tubuh kami. Kuusap rambut hitam lurus wanginya hingga bagian ujung. Selanjutnya, aku bermonolog dengan bisikan, “Heran. Kamu baru aja bangun dari tidur dua hari loh. Kok bisa udah tidur lagi? Mana ngiler juga. Kebiasaan.”
Kudaratkan satu ciuman di kening dan puncak kepala Melody sedikit lama. Sengaja memanjakan paru-paruku dengan harum tubuhnya. Kalau boleh jujur, itu belumlah cukup. Aku ingin mencuri ciuman bibirnya. Namun, akal sehatku memerintahkan untuk berhenti agar tidur Melody tidak terusik sebab terlihat lelah sekaligus lega.
“Selamat tidur. Jangan banyak-banyak ngilernya. Kasihan tanganku yang kamu jadiin bantal,” gumamku lantas ikut berusaha memejamkan mata.
Jakarta, 10 Januari
06.04 WIB
“Apa-apaan ini woi?”
Pekikan dan guncangan pada lenganku yang terasa kencang senada bertubi-tubi secara praktis membuat mataku terpaksa terjaga. Kusipitkan kedua netra untuk melihat lebih jelas siapa itu dan medapatkan Brian-lah yang melakukannya.
“Turun kagak lo?” semprotnya. Lantas berganti mengguncang lengan Melody yang berada dalam rengkuhaku. “Bangun juga lo, Dek!”
Dengkusan keras pun lolos dari bibirku. “Apaan sih? Ganggu orang tidur aja,” desisku, kembali berusaha merengkuh tubuh adiknya yang menggeliat.
Ketika hendak memejamkan mata kembali, Brian mengguncang lenganku lagi serta menarikku supaya menjauh dari tubuh Melody yang kini menoleh ke belakangan untuk melihatku sambil mengernyit. Pandangannya yang menyipit lantas disasarkan pada Brian, berlanjut ke tanganku yang melingkari perutnya. Lalu ke kakaknya lagi. Kelihatan sekali sedang mencerna kejadian tidak berbobot bin tidak elegan apa yang menimpanya sepagi ini.
Kerutan di kedua pangkal alis Melody semakin dalam, membuat matanya lebih penyipit. Ia berkedip-kedip sesaat lantas mendelik—kutebak sudah sadar dengan situasi yang sedang terjadi sekarang, sebelum akhirnya terburu-buru duduk sambil berusaha melepas tanganku. Berhubung masih mengantuk, jadi aku tidak bisa mencegah rengkuhanku terurai.
“Eh, Kakak udah dateng. Jam berapa ini? Kok nggak ada dokter atau perawat yang ngecek?” tanya Melody gelagapan sambil mengelap mulutnya yang liurnya sudah mengering—sama seperti lenganku—dan merapikan rambut berantakannya menggunakan tangan tanpa infus.
Dengan wajah berang, Brian berkacak pinggang mirip emak-emak cerewet yang mengeluh soal harga lonjakan cabai di pasar. Mungkin ia juga sedang berpikir untuk beralih profesi menjadi petani cabai agar mendapat keuntungan banyak. Dasar otak bisnis!
“Bisa-bisanya baru ditinggal semalem kalian udah tidur bareng!” omel sahabatku yang satu ini.
Sudah lama kami lost contact, sekalinya baru bertemu langsung disuguhi makian. Sesungguhnya, keberuntungan apa yang kudapat sekarang? Padahal kulihat dari balik jendela di belakang Brian berdiri, belum ada sinar matahari yang mengintip dan menunjukkan eksistensinya. Kenapa pula pria ini harus mengunjungi adiknya sepagi ini?
“Ganggu aja lo. Nggak ngerti orang lagi kangen apa?” balasku datar lalu kembali meraih tubuh Melody untuk kujadikan guling.
Namun, wanita itu menolak dengan desisan, “Jayden, lepas dan bangun dulu—”
“Woi! Ada gue aja lo mau macem-macemin adek gue! Apa kabar semalem? Udah lo ngapain aja?” potong dan todong Brian. Tangannya terulur lagi untuk memperrajin tarikan pada lenganku dan aku pun memperbebal kegigihan mengelakknya. “Dek, turun lo!” perintah lanjutannya pada Melody yang belum bisa wanita itu laksanakan sebab tertahan oleh rengkuhanku yang kian mengetat.
“Kepo banget lo. Adek lo sekarang udah dewasa ya, Bri. Terserah gue dong mau ngapa-ngapain dia,” jawabku masih sesantai tadi, dengan suara serak khas bangun tidur.
Teruntuk kali ini, Melody berhasil meloloskan diri dan turun dari ranjang. Lalu gantian Brian yang mendekat dan mengguncang-guncang lenganku. “Kurang ajar! Sini gue gorok lo!”
“Kayak berani aja,” jawab datar.
Yah, jadi begitulah. Pagi yang rusuh untuk memulai hari yang cerah. Brian memintaku keluar kamar inap adik manisnya dan kembali ke kamar inapku sendiri di sebelah. Katanya, selagi kesabarannya belum habis atau aku akan berakhir jadi umpan piranha di akuarium tetangganya.
“Cuci tuh muka lo yang ileran itu! Jorok tahu nggak? Abis itu kita ngobrol empat mata!” pinta Brian setelah Mel berhasil meredakan baku hantam di antara kami. Lalu beralih ke arahku. “Balik sono lo!”
Melody cemberut melihatku melambaikan singkat untuk pamit, sambil mendorong tiang infus berjalan keluar kamar inap ini menuju kamarku. Aku bertemu Lih dan yang berjaga di depan antara kamarku dan Melody. Sedangkan anggota basecamp lain menyebar di rumah sakit. Berjaga di setiap gerbang-gerbang yang ada. Kami pun terlibat obrolan singkat hingga dokter bersama perawat datang untuk memeriksa rutin kondisiku, membantuku membasuh badan lalu mengganti baju rumah sakitku yang bau iler Mel, disusul sarapanku.
Sekitar pukul tujuh pagi, papa datang bersama Jameka. Ini semacam menjadi kebiasaan rutin mereka brlakangan ini.
Kurasa, keisengan papa juga semakin rutin.
“Kelihatannya kamu lagi seneng, Jay,” tanya papa yang mengoles nutella pada selembar roti gandum free egg pilihan Jameka karena seorang vegetarian, sesekali sambil melirikku dan menyunggingkan senyum.
Tadi kakak perempuanku menawarkan diri membantu papa. Sayang seribu sayang tidak diizinkan lantaran beliau ingin melakukan ini untuk menebus masa kecil kami dulu yang kurang waktu bersama beliau karena sibuk. Jadinya, Jameka duduk di sofa sembari bermain ponsel. Namun, bisa kupastikan telinganya disetel maksimal untuk mendengar perkataan papa.
“Pasti gara-gara Melody,” tebak papa. Tidak meleset sama sekali.
Tarian jemari lentik Jameka di atas layar ponsel pun berhenti untuk menaikkan alis. Sangat kentara sedang menyimak.
“Perasaan Papa aja,” balasku yang berupaya menetralkan wajah. Sayangnya gagal. Bibirku terus membentuk sebuah garis cekung.
Bagaimana tidak? Tidurku nyenyak akibat memeluk Melody semalaman.Selalu begitu. Dari dulu. Yah ... sebelum biang kerok datang mengacau.
“Ceritain Papa, Jay. Lagi seneng masa diumpetin sendiri? Papa juga pengin ditulari rasa seneng kamu,” pinta papa yang hanya kujawab dengan cengiran. Sehingga beliau makin memiliki asumsi berlebihan. “Jangan-jangan lamaran kamu diterima Melody?”
“Pa, jangan ngarang bebas,” balasku tanpa menghentikan sendokku yang penuh lauk hambar khas sarapan rumah sakit masuk ke mulutku. Well, aku juga akan minta dibuatkan roti selai nutella oleh papa setelah memberikannya pada Jameka.
“Bukan ya? Wah sayang sekali kalau gitu, Nak. Kamu ini, jangan lelet-lelet, Jay. Masa mau pacaran lama-lama? Jame juga, nih. Kapan cari suami?”
Hampir saja aku menyemburkan makananku—tampaknya Jameka juga. Beruntungnya, suara ketukan pintu menyelamatkan kami sehingga tidak perlu menjawab pertanyaan papa yang kian menggelikan itu.
Brian muncul dengan senyum kebapak-bapakannya. Ia menyapa papa dan Jameka dengan obrolan ringan seputar kabarnya, kabar istrinya, sampai kabar pekerjaannya. Minus kabar ikan piranha tetangganya yang siap dikasih pakan.
Dan ketika roti bersama susu kedelai sudah mendarat cantik di lambung Jameka, kakak perempuanku bersama papa pun pamit berangkat kerja. Tinggallah aku dan Brian.
“Dengerin gue, Jay! Gue mau ngomong serius sama lo sebagai kakak Melody,” ucap Brian setelah aku menyelesaikan sarapanku plus roti olesan nutella maha karya papa. Juga sebotol air mineral.
Senyuman miring menjadi jawabanku atas perkataan Brian sebab merasa lucu dengan pria itu yang bisa serius seperti ini. Mengingat dulu biasanya kami selalu bercanda.
“Bener sih lo tuh sohib gue—”
“Ngaku-ngaku aja lo, Bri,” sahutku cepat.
“Serius bego!” Brian kemudian duduk di kursi sebelah ranjang yang tadinya diduduki papa.
“Sebelum ngomong ke intinya, gue mau dikit cerita.”
“Go a head. Lumayan pengantar tidur,” jawabku asal lantaran merebahkan diri dan menutup mata. Syukurlah Brian tidak mencoba untuk mengobrak-abrik posisiku.
Ia melanjutkan, “Waktu lulus wisuda dokter muda, gue kaget adik gue bawa cowok dan itu bukan lo. Namanya Umar. Dia kagak cerita udah putus sama lo yang ternyata udah bertahun-tahun. Padahal keluarga kami nyangkanya dia masih sama lo. Tapi gue sadar sih, dia berubah banget sejak masuk kelas aksel, Jay. Sampai gue nggak berani jailin dia.”
“Oh ya?” Tidak kusangka. “Berubah gimana?”
“Lebih rajin belajar tapi jadi pendiem. Ngomong-ngomong lo udah tahu belom kalau adek gue mau nikah sama Umar?” Mataku kembali terbuka, merasa Brian bukan sedang bertanya, melainkan mengetesku. Jadi, aku mengangguk sambil bergumam dengan wajah datar, seolah tak peduli. Padahal jantungku gedebak-gedebuk lantaran menebak-nebak arah inti pembicaraan pria ini.
“Sejak itu, Mel yang udah pendiem tambah hari tambah parah pendiemnya. Introver gitulah. Ngomong ama tindakannya jadi diatur banget. Kejahilan gue ditanggepi dengan dewasa. Padahal lo pasti tahu sendiri gimana sebelnya dia kalau gue jahilin.
“Dan gue marah sama kalian berdua yang tiba-tiba tidur bareng semalem! Padahal jelas-jelas bentar lagi Mel mau nikah sama Umar. Kenapa malah kayak gitu?” Pria itu menghentikan kalimatnya untuk mengembuskan napas. Baru melanjutkan, “Sampai dia ngomong kalau mau batalin acara nikahnya barusan. Gimana gue nggak kaget?”
Brian memang berbicara dengan nada rendah, tetapi aku tahu ia sedang menahan gejolak dalam hatinya tentang Melody. Tampak jelas pada wajahnya.
“Oh. Cerita alasannya nggak?”
Bagaimana kira-kira kalau aku mengatakan penyebab Melody membatalkan pernikahannya gara-gara aku? Apakah Brian benar-benar akan menjadikanku umpan piranha di akuarium tetangganya?
“Gue kira lo udah tahu, makanya berani tidur ama adek gue. Walaupun Mel bilang udah kagak cocok aja sama Umar. Alasan klise bin basi. Tapi, manusia bahlul mana yang bakalan percaya? Alasannya jelas lo-lah, Jay.”
Aku kontan waspada. Apakah Brian baru saja membaca pikiranku lalu menudingku? Dasar dukun!
“Masa?” tanyaku memastikan.
Brian sontak mencibir. “Ck, seribu persen gue yakin dia pengin balikan ama lo. Romannya sih gitu.”
Dasar Brian cenayang! Haha.
Tanpa bisa kusangkal-sangkal, kedua sudut bibirku tertarik ke atas membentuk senyum lebar. Tanda kebahagiaan menyusupi tubuhku.
“Tapi, gue tadi bilang sama Mel kalau dia harus ngomong sama bokap-nyokap dulu. Baru deh entar keluarga kami rencananya ketemu keluarga Umar dulu, Jay.”
Senyumku sontak padam. Brian ini memang jelmaan srigala. Satu detik kalimatnya membuatku melambung tinggi, pada detik yang lain ia membanting harapanku. Apa pula tujuan dua keluarga mereka bertemu? Berunding agar pernikahan mereka tidak dibatalkan? Lalu bagaimana denganku yang sudah sangat berharap ada perkembangan dengan Melody ke arah lebih serius seperti harapan papa? Disingkirkan?
Ingin menanyakan hal tersebut, tetapi aku tidak siap dengan jawaban yang akan kuterima.
Tanpa sadar aku meneguk ludah dengan susah payah sebab tiba-tiba saja tenggorokanku kering dan kantukku yang sempat hinggap sudah hilang sama sekali.
Sialan si Brian.
“Oh,” gumamku dengan nada menyedihkan.
“Jadi, maksud gue gini, Jay.” Kupikir, itulah inti pembicaraan, rupanya belum. Aku pun memperhatikan Brian yang mulai berbicara dengan raut dan nada lebih serius. Dan itu menjadikanku kian berdebar oleh rasa antisipasi.
“Kita ini ‘kan orang Indonesia ya? Adab ketimurannya masih kental. Jadi, bisa nggak? Lo ngebiarin adik gue dulu sampai diskusi antar dua keluarga kami rampung?”
Sialan si Brian. Apa maksud ia mengatakan itu? Tidakkah ia berpihak padaku sebagai sahabat walau lama tak jumpa dan komunikasi? Apakah posisiku sudah digeser oleh Zain Malik KW?
Di saat aku berpikir keras tentang kemungkinan-kemungkinan buruk mengenai hubunganku dengan Melody, jelmaan srigala ini malah mengendurkan wajah seriusnya lalu mengudarakan tawa sampai-sampai memegangi perut. Seolah-olah aku ini kambing congek yang hanya bisa mengembek ketika ia menyodorkan harapan kosong bersama adiknya padaku.
“Hahaha ... muka lo emang datar, Jay. Tapi lihat lo langsung kicep begini jadi bikin gue ngakak.” Brian menghapus sudut matanya yang berair dan melanjutkan, “Tenang, Bro. Nggak usah takut adek gue bakal nikah ama si Umar. Diskusi keluarga itu cuma buat sopan santun aja. Dulu ngerencanain nikah Mel ‘kan kami diskusi. Masa mau batalin nikah langsung lepas tangan? Nggak bisa gitu dong. Entar nama bokap gue tercoreng.”
Sialan betul si Brian ini! Tetangganya yang mana yang memelihara piranha? Biar kugulung jelmaan srigala satu ini untuk dijadikan pakannya.
Untuk waktu yang singkat, tawa Brian mereda dengan dehaman. “Okelah, kejadian tadi bakalan gue rahasiain dari bokap, nyokap. ‘Kan berabe urusannya kalau mereka tahu.”
“Kagak usah, Bri. Biarin tahu biar gue dikawinin ama adek lo detik ini juga!”
“Kampret lo, Jay!” Brian menendang dipan besi rangkaian ranjangku sampai membuat kursinya mundur. “Jujur, udah lo apain aja adek gue semaleman?”
“Konsumsi pribadilah. Ngapain gue bagi-bagi ke lo? Kayak kagak pernah gitu aja ama bini lo.”
Jawabanku, jelas membuat jelmaan srigala ini kian bersungut, “Heh! Itu adek gue ya! Gue berhak tahulah! Somplak-somplak gini, gue abang yang bertanggung jawab ama adeknya! Kalau sampai lo nyoblos dia duluan, seriusan gue jadiin lo pakan piranha tetangga gue! Soalnya dia nggak ngaku abis gue sidang tadi.”
Kuletakkan bantalku di sebelah wajahku. “Lo ngomong sama bantal aja, Bri. Gue ngantuk.”
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo
Kelen luar biasa guys
Btw, kelen setuju nggak kalau sopan santun di Indonesia itu kayak yang diomongin Brian?
Tolong kasih komen di sini ya 😘
Thanks
Bonus foto bang Jay
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 4 Desember 2019
Repost : 13 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro