Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 23

Selamat datang di chapter 23

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (biasanya gentayangan)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________________

A secret place by Megadeath

______________________________________________

Setiap orang berhak mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya selagi masih hidup

Jayden Wilder
______________________________________________

Jakarta, 7 Januari
22.00 WIB

Isak tangis kami belum usai. Berderet-deret kalimat yang menjelali benakku dan ingin kuungkapkan terpaksa kutelan kembali sebab baik mental mau pun fisikku belum mampu mengeluarkanya.

Papa yang sudah tenang lebih dulu menepuk-nepuk pundakku. Namun, segala bentuk komunikasi kami tanpa bahasa verbal tersebut diinterupsi oleh kedatangan dokter dan perawat. Selain untuk mengecek kondisiku, mereka juga mengingatkan papa bahwa jam besuk sudah habis. Aku harus istirahat kembali dengan perasaan dan pikiran tenang. Jadi, beliau terpaksa pulang, tetapi berkata besok akan ke sini lagi.

Pagi harinya, perawat memindahkanku ke ruang rawat inap biasa pasca pengecekan rutin dan mendapat hasil kondisiku lebih baik dari kemarin. Beberapa peralatan medis yang menempel pada tubuhku dilepas. Menyisakan infus untuk antibiotik yang harus disuntikkan melalui selangnya secara rutin sampai dua minggu ke depan.

“Semoga lekas sembuh,” ucap dokter yang diamini perawat. Senyum menyertai langkah mereka meninggalkan ruanganku.

Sedetik pintu tertutup, pada detik yang lain ketukan pintu terdengar teratur. Kupikir itu papa. Rupanya bukan.

“Boss ....”

Dengkusan berat secara praktis kukeluarkan begitu mendengar namaku dipanggil. Kau pasti sudah dapat menebak suara siapa itu. Ya. Kau benar. Itu suara si Playboy cap kadal buntung yang ironisnya adalah sahabat terbaikku.

Dengan senyum merekah, Tito berjalan sambil membuka lengannya lebar-lebar lalu duduk di tepi ranjang dan mendekatkan diri, bermaksud memelukku. Sayangnya, ia harus menelan kekecewaan sebab aku tak sudi memeluknya, sehingga ia hanya bermesraan dengan udara.

“Mau ngapain lo? Jijik,” kataku datar.

Tito menarik garis bibirnya membentuk cengiran. “Kangen dimarahin sama lo, Boss ....”

Mataku menyipit ngeri. “Sinting lo?” hardikku yang justru membuat pria bertato banyak itu memperpanjang garis senyumnya.

“Kalau omongan lo udah gini, berarti udah sembuh nih.” Tanpa menghilangkan tatapan gelinya, ia mengambil kursi samping ranjang dan mendudukinya. “Jangan sakit, Boss. Kalau lo sakit, entar yang nyakitin gue siapa?” tanya pria itu dengan wajah dimelas-melaskan. Seolah kesedihan dan ledekannya menyesap ke setiap pori-piri dan telah melukainya sedemikian rupa.

Walau tahu sebenarnya kami saling peduli dan menjaga satu sama lain, aku yakin Tito gengsi mengungkapkannya sehingga lebih memilih membalutnya dengan kalimat candaan.

“To, kalau lo dateng cuma buat ngoceh nggak guna mending keluar! Bising kuping gue!” desisku. Sama seperti Tito, aku pun gengsi mengkapkan bentuk terima kasih pada seorang sahabat yang sudah kuanggap keluarga ini.

Sorry, harga diri harus dijunjung tinggi-tinggi dalam hal ini. Khususnya untuk Tito.

Pria itu tidak mematuhi perintahku dan hanya menanggapinya dengan kekehan mirip kuda. Kemudian terdengarlah suara pintu diketuk lagi. Kupersilakan si Pengetuk masuk. Alfred dan Lih pun bergabung dengan Tito di sebelah kasur rumah sakit yang kubaringi. Kedua pria yang baru tiba itu lebih memilih berdiri daripada duduk di sofa seberang.

Sekadar informasi, kata Tito kemarin saat mengantarku ke rumah sakit, ia, Lih dan Alfred serta beberapa anak basecamp akan menjagaku secara bergantian. Sama seperti saat aku kecelakaan dulu. Kuminta pria itu menyampaikan titahku pada mereka untuk mengenakan baju manusia normal pada umumnya. Bukan ala bad boy bin anak punk yang merupakan pakaian normal mereka.

Aku jelas membayangkan bagaiamana orang-orang di rumah sakit akan menatap penampilan yang kata sekebanyak orang urakan.

“Bagaimana keadaanmu, Boss?” tanya Alfred dengan logat Inggris-nya yang kental. Sedangkan Lih mengangguk. Mungkin berpikir pertanyaannya sudah diwakili sehingga hanya ikut menyimak. Sikap seorang pendiam sejati dan lebih suka mengamati plus membaca situasi. Barulah ia akan berbicara atau bertindak jika memang perlu menanggapi atau beraksi.

“Baik,” balasku ringkas. Kemudian bertanya, “Bagaimana kondisi The Black Casino and Pub dan kantin gratis kita?”

“Ya elah si Boss. Istirahat dulu emangnya kenapa sih? Ngurusin bisnis mulu! Fokus sembuh dulu dong!” sahut si Playboy cap kadal buntung. Tanpa permisi, ia mengambil lalu menggigit sebuah apel yang tadi disiapkan rumah sakit sebagai kelengkapan sarapanku.

Alfred pun setuju dengan Tito. “Benar kata Tito, Boss. Sebaiknya Boss istirahat dulu. Untuk bisnis, biar kami yang mengurusnya. Spencer dan Liam bisa diandalkan di sana. Aku juga tidak lepas tangan dan memantau semuanya dari sini,” usul pria dewasa tersebut.

Helaan napasku berembus begitu saja. Anggukanku pertanda menyetujui gagasan Alfred. Namun, bukan berarti aku akan menghentikan pertanyaanku tentang bisnis sampai di sini. “Bagaimana bisa aku fokus pemulihan kalau belum tahu laporan tentang perjanjian kita dengan Fayard dan semua laporan bisnis kita?”

“Aku dan Tito sudah membereskannya sebelum rombongan Fayard kembali ke Inggris. Dan sejauh ini, The Black Casino and Pub, juga kantin gratis kita semuanya aman terkendali,” jawab Alfred lugas.

Tito mengunyah sambil mengangguk. Dan jawaban tersebut memuaskanku. Namun, tentu masih ada hal lain yang sempat tertunda yang perlu kujalankan.

“Berhubung aku sudah masa penyembuhan, jadi tolong katakan pada Dahlia untuk melanjutkan penyelidikan soal anak buah bedebah Cavez Donzalo yang pernah merusuh di kantin gratis kita. Kupikir sudah cukup lama kita memberi mereka libur karena urusan pribadiku ini.”

Kudapati Alfred sedikit bergumam dan menggaruk alis menggunakan jari kelingking. Aku membacanya sebagai keraguan. “Ada apa? Ada kendala?” Nada pertanyaanku mungkin datar, tetapi aku yakin Alfred mengerti jika itu mengandung emosi.

“Sebenarnya, banyak orang kita yang diberi tugas menyebar untuk memperketat penjagaan selama Boss tidak ada. Jadi, kita sedikit punya masalah jumlah orang untuk membantu Dahlia.”

Aku berpikir sebentar, lalu mengungcapkan, “Jangan sampai ada yang tahu kalau aku dirawat di sini. Orang-orang kita yang tidak terlibat langsung dengan rencana kemarin atau klan-klan lain harus tetap punya pikiran kalau aku hanya pergi ke Jakarta untuk urusan bisnis. Jadi, tarik orang-orang kita yang menjaga Jameka. Suruh mereka kembali ke Inggris untuk membantu menjaga wilayah-wilayah kita sampai kita kembali.”

Tito sontak menyemburkan kunyahan apel dalam mulutnya. Buru-buru, ia mengelap mulut menggunakan punggung tangan lalu menghadapku. “Bentar, Boss. Gue mau minta maaf sebelumnya. Ini kepepet banget. Soal kondisi lo ini. Sebenernya kemarin gue sapa-sapaan ama bokap lo yang lagi telepon Yang Mulia Ratu Jameka—”

“Ck.” Decakan yang kuhasilkan memotong perkataan pria itu. Pun, menjadi sebuah pertanda aku bisa menebak arah pembicaraan Tito. Namun, dengan senang hati ia tetap melanjutkan penjelasannya, meski dengan nada rendah.

“Kakak lo maki-maki gue lewat HP bokap lo dan minta dilepasin dari kondo. Kan nggak enak ama bokap lo yang ngelihatin gue terus. Jadi ... ya ...  terpaksa gue telepon orang-orang kita yang di Belanda buat nyabut deportasenya Yang Mulia Ratu. Jadi, abis mastiin kakak lo naik pesawat ke sini, orang-orang kita langsung gue suruh balik ke Inggris.”

“Ck.” Decakan kembali kuhasilkan.

“Tenang, bokap lo kagak cerita penyebab lo masuk rumah sakit kok. Gue juga kagak cerita sama orang-orang kita soal kondisi lo.”

“Bagusnya gitu. Biar kondisi gue yang lemah nggak dimanfaatin orang,” jawabku.

Alfred pun pamit keluar ruangan untuk menegaskan perintah yang baru saja kuberikan. Yakni membagi tugas orang-orang kami yang dari Belanda untuk menyebar ke beberapa wilayah. Sementara masih tidak tahu malunya Tito mengunyah apel sarapanku, Lih yang sedari tadi diam memperhatikan kami akhirnya membuka suara. “Boss, kenapa gue nggak diajak ke Inggris?”

Ternyata Lih iri. Aku dapat melihat wajah sedihnya seperti anak TK yang tidak kebagian kue ulang tahun.

“Kalau lo ikut, siapa yang ngurusin anak-anak basecamp? Bukannya gue pilih kasih, Lih. Gue mercayain basecamp ke lo, soalnya lo yang paling jago handle mereka dibandingin Tito yang kerjaannya nanem benih mulu,” terangku yang dijawab anggukan oleh Lih, pertanda paham.

Tito nyengir kuda sambil mengunyah. Setelah menelan apel tersebut, ia menggosip, “Boss, lo tahu kagak kemarin Lih romantis banget ama cewek?”

“Jangan ngaco deh, To. Gue cuma jalanin tugas berdasarkan rasa kemanusiaan. Mana berani gue romantis-romantisan sama dia,” usik Lih setelah decakannya muncul, “risikonya gede.”

Dengan seringai jahilnya, Tito semakin bersemangat. “Ceweknya dituntun, dipinjemin suit biar nggak kedinginan. So sweet banget.” Mulut pria itu monyong-monyong sambil merem-merem, menjijikkan.

Lih sontak berwajah takut dan menghadapku. “Sumpah, Boss. Gue cuma ngelakuin apa yang harus gue lakuin ke Mel. Masa gue harus biarin dia kedinginan? Nanti kalau dia kenapa-kenapa, gue juga yang disalahin ‘kan? Jadi gue minjemin dia suit. Gue nuntun dia soalnya lihat dia kayak orang yang bisa pingsan kapan aja, tapi ngotot mau mastiin lo, Boss.”

Hm. Akhirnya aku tahu kalau Tito memang sengaja menggodaku. Pridiksiku untuk balas dendam supaya aku panas karena mengatainya tukang tanam benih tadi.

“To ...,” panggilku pelan, santai. Tito terhenyak lalu buru-buru turun dari ranjang rumah sakit dan berlari menuju pintu keluar di saat sebuah pisang sarapanku kulambungkan tepat mengenai kepalanya. Buah itu memantul dan secara tangkas bisa ia tangkap dengan apik.

“Ampun, Boss. Gue bercanda elaaah .... Serius amat hidup lo,” mohonnya sembari mengusap kepala bekas lembaran pisang sarapanku kemudian keluar kamar inap ini.

Pintu resmi ditutup. Lih, buru-buru berdeham. “Ekhm, Boss ... gue pergi dulu—”

“Duduk.”

“Ampun, Boss. Gue beneran cuma nolongin—”

“Makasih. Di mana dia sekarang?” potongku cepat sebelum Lih merasa nyawanya terangcam olehku yang  terbakar api cemburu.

Ya. Aku memang cemburu. Namun, tidak adil rasanya sebelum mengetahui duduk perkara sudah menghajar Lih lebih dulu. Lagipula, dengan adanya infus yang menancap di lenganku, sangat susah untuk melayangkan tinju menggunakan tangan satu. Dan lagi, kalau memang benar Melody hampir pingsan dan kedinginan, sudah sepatutnya aku berterima kasih pada Lih yang menolongnya. Lebih baik Melody memakai suit Lih dan dituntunnya, daripada sakit.

Kulihat reaksi Lih yang membelalak, tetapi dengan cepat menjawab, “Kata bokap lo, Mel kemarin pingsan, Boss. Sekarang dia lagi dirawat di kamar sebelah.”

“Pingsan?”

Pria itu lantas menceritakan padaku secara detail tentang kondisi Melody hingga tiba-tiba pintu kamar inapku dibuka. Kami menoleh secara serempak ke arah sumber sepatu lancip yang beradu dengan lantai, beriringan dengan suara pantofel.

Papa dan Jameka datang. Lih pun pamit dan menyapa serta memberi hormat pada mereka secara sopan sebelum keluar.

Kuamati pria paruh baya bersetelan kerja yang menenteng plastik putih berlogo minimarket. Sedangkan Jameka buru-buru mengambur ke pelukanku. Aku tidak sempat menghindari.

“Jay, lo nggak apa-apa?”

“Apaan sih?” balasku sembari berusaha melepas pelukanya.

Sayang seribu sayang, Jameka masih betah menempel seperti lintah. “Selama perjalanan dari bandara ke sini, papa ngasih tahu geu secara detail. Kok bisa sih lo kena pentalan jeruji ban sepeda yang meletus di pinggir jalan?”

Ini pasti akal-akalan papa. Diam-diam aku berterima kasih pada beliau.

“Ck! Berisik lo! Minggir! Gerah!”

Well, lo masih punya utang cerita soal nasib istri sama anak tiri papa, sebelum gue minta diceritain Tito si Kadal Sawah,” bisik Jameka.

“Serah.”

“Gimana keadaanmu pagi ini, Jay?” tanya papa.

Kubalas singkat. “Baik.”

Saat Jameka menjauh, beliau yang duduk di kursi mengeluarkan lalu mengulurkan jus jeruk kemasan kotak kesukaanku yang baru saja ditanjapkan sedotan. Terpaksa, aku menerimanya.

“Nih, Papa bawa jus kesukaanmu. Dulu ‘kan kamu suka banget sama jus kotak ini. Semoga seleramu masih sama, nggak berubah.”

“Makasih. Nggak perlu repot-repot.” Dengan ragu aku meminumnya. Walau beberapa tahun ini minuman kesukaanku berubah jadi sejenis minuman beralkohol, tetapi rasa jus ini menurutku tetap tidak tertandingi.

Kemudian, pertanyaan papa setelah ini membuatku hamoir tersedak. “Jadi, kamu bakal ngasih kesempatan Papa buat jadi Papa yang baik ‘kan, Jay?”

Serius? Papa menyuapku dengan jus kotak kesukaan demi mendapat persetujuanku untuk menjadi papa yang baik?

“Tanya Jameka,” jawabku asal tanpa melihat papa dan kakakku.

Bisa kudengar Jameka kontan protes, “Heh! Kurang aja banget lo manggil nama gue doang nggak pakai embel-embel kak, Bambang! Kalau nggak lagi sakit kayak gini, udah gue bejek jadi timun lo!” Hidung kakakku lucu, kembang kempis mirip banteng matador yang mau menyeruduk orang. Walau beberapa detik berikutnya ia sudah bersikap normal.
“Tapi gue seneng lo udah lumayan sehat, Jay ....”

Detik berikutnya, ia menghambur ke pelukanku lagi. Aku yang tidak siap pun harus menyemburkan jus jeruk yang ada dalam mulutku dan mengenai baju mahal Jameka. Sehingga membuatnya tidak jadi melo drama dan bertambah marah.

“Heh, Bambang! Kurang ajar banget sih lo? Baru juga gue baikin dikit, udah lo sembur!” pekiknya yang kini sudah berdiri sambil mengagumi hasil karyaku.

Papa pun mengulurkan tisu kering untuk kami berdua untuk membersihkan sisa-sisa jus yang meluber ke mana-mana.

Mau tidak mau, aku pun mengudarakan tawaku. Sumpah, muka Jameka yang sedang ngamuk dan tidak berdaya seperti itu adalah yang terbaik! Kulirik papa juga tertawa. Beliau bahkan sampai memegangi perut.

“Iyuh, jijik banget kena kuman dari mulut lo, Bambang! Gue ganti baju ajalah! Pa, aku pulang dulu ya,” pamit Jameka lagi, lalu pergi meninggalkan kami. Yah, aku pun menjadi awkward kembali seperti tadi malam.

Namun, lega sebab papa tidak membiarkan kecanggungan ini lebih lama. “Udah lama Papa nggak lihat kalian berantem,” papar beliau yang masih terkekeh.

Aku berdehem untuk mentralkan wajah. “Bapak selalu sibuk waktu kami masih kecil,” kataku dengan wajah datar kembali.

Mendengarku berkata demikian, beliau menghembuskan napas berat lalu mengeluarkannya. “Makanya itu, tolong kasih Papa kesempatan lagi ya, Jay?”

“Hm,” jawabku singkat. Sebenarnya juga sudah lelah perang batin dengan papa.

Kulihat beliau tersenyum. “Makasih, Jay.”

“Ya.”

“Kenapa ngomongnya formal gitu, Nak?”

Karena aku sempat tidak mengenal papa bertahun-tahun lalu. Kami bagaikan orang asing yang terjebak dalam satu ruang.

“Nggak,” jawabku singkat, pura-pura sibuk menekuri jus jerukku.

Melalui ekor mataku, papa menaikkan kedua alis. “Nah gitu ‘kan enak. Panggil Papa, Jay. Jangan Bapak. Kesannya, kamu lagi ngomong sama orang tua yang baru aja kamu temui.”

Ingin sekali kubenarkan perkataan itu. Namun, aku memilih mengangguk.

“Oh ya, setelah sembuh total, kamu bakalan ngelamar dan nikahin anaknya Pak Baldwin ‘kan?”

Hampir saja jus dalam mulutku mengalami kejadian serupa terhadap pakaian Jameka. Beruntungnya kali ini aku bisa menahannya. Namun, tidak seberuntung itu, aku malah tersedak.

“Uhuk ... uhuk ....”

“Hati-hati, Jay. Pelan-pelan aja minum jusnya.”

Papa menepuk punggungku, sementara aku menepuk dadaku. “Kok Papa bisa ngomong kayak gitu?”

“Loh, bukannya kalian udah pacaran bertahun-tahun ya? Udah kenal seluk-beluk satu sama lain ‘kan? Lagian itu juga anaknya temen papa. Jadi, buat lama-lama, Jay? Papa ngerestui kalian kok.”

Kenapa papa jadi macam ibu-ibu yang kebelet menimang cucu? Padahal hubunganku dengan Melody tidak sesederhana kelihatannya.

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen dan benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto Melody

Nih fotonya bang Jay

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Post : 20 November 2019
Repost : 9 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro