Chapter 22
Hai apa kabar?
Ada yang kangen saya? Eh maksudnya Jayden dan Melody?
Kalau gitu
Selamat datang di chapter 22
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan)
Thanks
Happy reading everyone
Hoppe you like it
❤❤❤
______________________________________
Welcome to the family by Avenged Sevenfold
______________________________________________
Pria punya cara menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa wanita tahu bagaimana itu
—Jayden Wilder
______________________________________________
Jakarta, 9 Januari
10.10 WIB
“Kok tatonya masih ada? Perasaan dulu—”
“Oh, dulu aku tutupin pakai alas bedak,” potong Melody sewaktu aku mengungkapkan ketidakmengertianku tentang bagaimana bisa jari manis wanita dalam rengkuhanku ini masih memiliki tato note balok buatanku dulu. Padahal aku ingat betul pernah melihat tato itu raib digantikan cincin tunangan Melody dengan si Zain Malik KW.
“Oh,” gumamku ringkas.
Melody lantas kembali meluruskan topik yang sempat kubelokkan. “Well, aku siap dengerin cerita kamu. Kusarankan mulai dari siapa yang nembak kamu, terus gimana nasib ibu dan anaknya itu abis ada suara-suara tembakan entah dari siapa, lanjut Tito jadi nyongkel peluruh di punggungmu atau enggak, sampai gimana bisa kamu baikkan sama pak Allecio.”
Diam selama beberapa saat setelahnya menjadi pertanda aku berpikir tidak akan menceritakan tentang hal-hal yang tidak diketahui Melody secara pasti dan sedang ia tuntut jawabannya.
Aku tidak bisa mengungkapkan setelah sadar kemarin, Tito bercerita bahwa Jordan-lah yang berhasil merebut revolver dalam genggamnya ketika lengah akibat melihatku dan Melody. Ia ingin menggagalkan letusan yang akan dihasilkan moncong senjata api yang terarah di kepalaku dengan menendang tangan Jordan. Dengan prediksi pria itu bukan penembak jitu—dilihat dari caranya menggenggam revolver, pastilah mudah.
Meski gerakan Tito berhasil, rupanya pelatuk ditekan bebarengan sehingga sasaran serta kecepatan kaliber berubah tidak stabil. Dan kemenangan jarak kami yang tidak terlalu jauh menjadikan Jordan beruntung karena timah yang melesat dengan tidak cantik itu buktinya bersemayam dangkal di punggungku.
Aku secara jelas bisa membayangkan seandainya Jordan memiliki keahlian menembak. Ditambah jarak kami yang hanya terpaut tidak lebih dari tiga meter, revolver berisi kaliber ukuran 32 yang ditembakkannya pasti langsung menembus otakku dan bisa berakibat sangat fatal. Persis yang kulakukan pada rubah licik itu dan Tito yang membereskan anaknya sebelum berteriak akibat melihat induknya tewas.
Aku juga tidak bisa menceritakan bagaiamana Tito mencongkel timah yang menancap di punggungku kemudian nyaris kehilangan kesadaran saat perjalanan ke rumah sakit akibat darahku hampir terkuras habis.
Tidak juga dengan titahku pada Alfred untuk membereskan hasil aksi-aksi kami dalam ruangan itu menggunakan jasa orang-orang yang bergerak licin di bidang tersebut. Lalu menjalankan manipulasi lanjutan, seakan-akan tidak terjadi apa pun pasca seluruh pegawai Heratl selesai mendapat penyuluhan.
Alasannya selain—lagi dan lagi—terikat omerta, aku tidak ingin Melody melihat keburukanku. Pun, aku tidak siap merusak kenyamanan yang baru saja kami bentuk. Lelah rasanya selalu berperang melawan batin.
“Jayden?”
Kesadaranku terhempas akibat panggilan Melody. Ia menambahnya dengan menggoyang-goyangkan tangan kami yang saling bertautan. Sebuah isyarat supaya aku segera memuaskan rasa penasarannya.
Kubalas, “Soal siapa yang nembak aku, Tito nyongkel peluruku atau enggak, sampai siapa yang nembak-nembak di ruangan dan nasib dua cecenguk itu, biarin jadi rahasia perusahaan.”
“Kok gitu? Sekarang siapa yang pelit?” rajuknya.
Kuusapkan ibu jariku pada genggaman tangan kami. “Aku pernah bilang ‘kan? Pria punya cara ngelarin masalahnya sendiri tanpa wanita tahu gimana itu?”
“Ya. Aku inget. Sebenernya aku penasaran. Tapi ... ya udah deh, lagian kondisimu juga udah lumayan baik. Kalau diinget-inget ngeri juga. Jadi, cerita yang nyenengin aja. Contohnya hubunganmu sama papamu sekarang.”
Lalu kuputuskan mengawali ceritaku dengan lamat-lamat netraku menangkap banyak orang berbaju biru muda, bermasker, bersarung tangan medis dan penutup kepala warna senada sedang memegangiku.
Aku memang tidak bisa merasakan sentuhan-sentuhan atau cekalan-cekalan tangan mereka, akan tetapi tahu tubuhku bergetar hebat dan tak terkendali. Lalu orang-orang tersebut mengabur digantikan warna putih. Perlahan tubuhku menjadi lebih rileks dan tenang. Berikutnya tahu-tahu aku menunduk, melihat kakiku tanpa alas berpijak pada warna putih yang silau seperti cahaya yang memantul pada benda selembut sutra mengilat.
Tanganku harus menjadi payung pelindung untuk kedua netraku. Agar bisa melihat setiap detail tempat ini. Sejauh mata memandang, tidak ada langit, tanah, rumput, bebatuan, pohon, bunga, sungai, perabotan, atap atau benda lain, selain cahaya lebih menyilaukan yang tiba-tiba muncul dari depan. Kemudian meredup sehingga lebih bersahabat dengan indra pengelihatanku.
Secara perlahan, aku membuka kedua mata lebih lebar dan mendapati seseorang berdiri tidak jauh dariku. Seperti sengaja menutupi cahaya agar aku tidak silau. Ingin menilik siapa gerangan, seribu sayang wajah orang tersebut tidak dapat kuidetifikasi sebab serupa siluet akibat back light.
Banyak pertanyaan bercokol di otakku. Aku sedang ada di mana? Kondisi apa yang sedang kulalui ini? Dan siapa orang itu sehingga aku layaknya individu yang tersesat oleh ruang dan waktu?
Ketika ia memanggil namaku dengan gema suara yang sangat familier, mataku membelalak lebar dan luapan rinduku kontan tumpah ruah. Sebab sangat yakin dan tidak akan pernah lupa siapa pemilik suara tersebut kendati sudah sepuluh tahun lebih tidak mendengarnya.
Suara selembut beledu yang sangat menenangkan dan membuatku nyaman itu membentuk gema namaku kembali. Maka tak ada keraguan barang sedikit pun, kubawa kedua kaki yang menyangga tubuhku secepat yang kubisa menuju orang tersebut lalu menuburuknya dengan pelukan erat.
Lengan-lengan yang membalas pelukanku rasanya masih sama ; hangat, nyaman, dan menangkan. Seperti melindungiku dari mara bahaya yang akan datang. Aku betah dan ingin berada di posisi ini, tidak akan pernah bosan meskipun berlangsung selamanya. Sangat disayangkan, pemilik raga yang selalu sukses mengintip isi benak dan hatiku ini tidak setuju dengan berkata, “Jay, pulang ya, Nak.”
Pulang? Ke mana? Dengan melihat, mendengar, dan merasakan pelukan ini, bukankah aku sudah pulang? Maka, gelengan kepala cepat menjadi respons pertamaku. Pun dengan rengekan, “Nggak mau, aku kangen Mama. Mau sama Mama aja.”
Ini sungguh konyol. Terakhir kali mengingat fragmen hidup yang membuatku menjadi manusia dengan watak sekeras batu, dengan sikap tegas, bahkan terkadang tanpa ampun serta belas kasih akibat berbagai paparan keji dan pahit yang kuterima. Kini, malah membuatku seperti bayi yang hanya bisa merengek setiap kali berada di pelukan hangat ini.
“Mama sayang kamu. Mama juga kangen kamu, Jay. Tapi belum waktunya kamu ke sini, Nak,” balas mama.
“Terus kapan?” Aku menuntut akibat rasa frustasi yang menyusupi tubuhku dan pelukanku pun mengerat karenanya.
Tangan mama membelai kepalaku. “Akan ada waktunya. Sekarang, kamu cuma lagi mampir. Coba lihat kebelakang. They’re waiting for you up.”
Aku sedikit menjauhkan diri dari mama untuk menoleh ke belakang. Namun, belum sedetik pun waktu bergulir, cahaya sangat terang yang melapisi tempat ini bertambah kadarnya. Aku lantas menutup mata karena tidak tahan dengan kesilauannya. Berbalik ingin kembali memeluk mama, tetapi tubuhku seperti ditarik ke belakang dengan kecepatan cahaya.
Dan aku tak tahu bagaimana persisnya saat membuka mata, hal yang kulihat petama kali adalah seorang pria paruh baya dengan baju khas rumah sakit, lengkap dengan penutup kepala dan masker, sedang duduk menunduk berlatar belakang dinding putih serta menggenggam tanganku. Dapat ditarik kesimpulan bahwa aku sedang berada di rumah sakit.
Kuteliti pria itu dan berpikir: sudah berapa lama aku tidak merasakan genggaman tangan besar—walau tidak sebesar tanganku—ini? Genggaman tangan yang hangat dan terasa berat. Mungkin, sudah berpuluh-puluh tahun. Terakhir kali mengingatnya, aku masih kecil. Yakni ketika kami pergi ke dufan. Pria ini menggandengku dan Jameka.
Aku mencoba menggerakkan tangan yang digenggam. Kepala pria paruh baya dengan uban yang aku tahu sudah mewarnai sebagian rambut hitam beliau pun mendongak. Sepasang mata yang diwariskan kepadaku terbelalak. Tubuh tua itu lantas terhenyak sedikit sebelum akhirnya memanggilku.
“Jay ..., Nak ....”
Dengan panik, Allecio menekan tombol bantuan. Tidak selang lama, dokter dan perawat datang lalu meminta pria paruh baya tersebut menunggu di luar ruangan agar dokter dapat leluasa memeriksaku.
Setelah diperiksa secara lengkap, dokter mengatakan keadaanku sudah berangsur-angsur membaik pasca bius operasiku habis—karena itulah aku sadar. Masa kritisku sudah terlewati. Hanya jahitan bekas operasi di punggungku yang masih nyeri dan harus terus dipantau. Kemudian aku istirahat seharian dengan jadwal pengecekan rutin dan makan teratur.
Malam harinya sebelum jam besuk berakhir, Allecio datang lagi ke ruang ICU untuk menjengukku. Jujur saja, sebenarnya aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi beliau. Hubungan kami tidak dekat dan tidak harmonis seperti ayah dan anak dari keluarga bahagia lain. Atau seperti beliau dengan kakak perempuanku.
“Gimana keadaanmu, Nak?” tanya pria itu yang kuharap hanyalah basa-basi. Sehingga lebih mudah bagiku untuk merespons perkataan tersebut. Aneh rasanya kami berada di satu ruang yang sama dengan sikap ramah.
Kuteliti secara detail wajah yang melukiskaan kekhawatiran di sampingku. Semata-mata mencari letak kebohongan di sana, tetapi tidak ketemu. Papa memang tulus mengkhawatirkanku. Berberda dari tahun-tahun sebelum beliau mengusirku dengan wajah geram.
“Baik,” jawabku singkat dengan suara lirih karena masih sangat lemas.
Beliau menunduk sambil bergumam,“Maafin Papa ya Jay, selama ini Papa—” Kalimat tersebut sengaja dipotong sebab papa terlihat sedang menetralkan emosi kesedihan terlebih dahulu. Lalu mengubahnya ke inti pembicaraan. “Kamu tahu kenapa Papa selama ini keras sama kamu, Jay?” tanya papa.
Aku hanya diam menunggu sehingga beliau melanjutkan, “Sebenernya selama ini Papa bangga sama prestasimu. Bangga banget malah, Nak. Papa cuma nggak mau bikin kamu terlalu seneng dapet pujian terus akhirnya terlena dan lalai belajar karena udah ngerasa pinter.”
Ekspresi datarku masih tak kuubah sedikitpun di saat beliau menatapku setelah mengelap air mata yang sempat bergulir di guratan-guratan pipi tanda tergerusnya usia papa.
“Alasan Papa maksa kamu ngasih tahu guru yang kasih kamu nilai seratus soalnya pengin buktiin kalau emang kamu murni pinter, nggak nyontek atau nyuap guru. Dan papa bangga, Jay.”
Kalimat-kalimat yang mengalir tersebut masih setia kudengarkan, karena masih belum tahu ingin menggapi seperti apa.
“Dan kamu salah paham tentang mamamu. Jangan pernah kamu pikir Papa nikahin mamamu karena harta. Papa emang baru beberapa tahun nitih karir di Indonesia, tapi mamamu nerima Papa apa adanya. Selalu dukung Papa sampai sukses setelah lebih dari sepuluh tahun.
“Gamelita emang mantan Papa. Tapi Papa cinta sama mamamu, karena itu nikahin mamamu. Selama pernikahan itu, Papa nggak pernah sekali pun komunikasi sama Gamelita. Papa baru ngelakuin itu sebulan setelah mamamu meninggal. Itu pun dia yang nyari Papa duluan karena lihat berita duka keluarga kita yang diliput TV.”
“Kenapa secepet itu nikah lagi?” Pada akhirnya, aku bersuara dengan reaksi cepat.
“Biar Papa cepet move on dan bisa lanjut hidup tanpa mamamu, Nak. Ada banyak pegawai yang bergantung sama Papa. Bayangin aja kalau Papa terus-terusan berkabung, bakal jadi apa Heratl yang udah susah payah Papa bangun?
“Orang bilang move on itu butuh partner. Daripada kenalan sama wanita yang nggak jelas asal-usulnya, mending nikah sama Gamelita yang emang udah Papa kenal. Toh, kami dulunya putus karena menitih karir masing-masing tanpa ada orang ketiga. Tapi ternyata waktu dan tempat bisa ngubah seseorang. Gamelita yang dulu baik, malah jadi kayak gitu,” sesal papa.
“Dan gara-gara saya tanya hal itu, Bapak malah ngusir saya.” Kalimat-kalimat alasan yang diungkapan papa memicu semangatku untuk menyindir. Aku pun belum sudi memanggil pria itu seperti panggilanku dulu.
“Papa nggak maksud ngusir beneran Jay. Itu cuma gertakan aja. Tapi rupanya kamu nekat. Papa udah mau ngejar kamu tapi Gamelita nyegah Papa. Bilang sebaiknya Papa biarin kamu yang pengin menyendiri dan pasti balik rumah lagi.
“Berhari-hari kamu nggak pulang, Papa mulai panik. Niat telepon polisi tapi lagi-lagi Gamelita nyegah Papa soalnya pihak sekolah ngasih tahu dia kalau kamu tetep sekolah. Papa lumayan tenang karena kamu masih mikirin soal pendidikan walau tanpa Papa suruh.
“Waktu kamu pakai kartu kredit yang Papa kasih, Papa nyoba ngelacak lokasimu, Nak. Tapi sebelum sampai lokasi penggunaan, kartu itu udah kamu blokir. Terus lost contact. Kata Gamelita pengin bantu nyari kamu lewat intel kenalannya. Tapi intel itu juga gagal nyari kamu yang tiba-tiba pindah sekolah, sampai bertahun-tahun nggak ketemu.”
Aku mengingat-ingat kembali pertemuan pertamaku dengan Tito, Lih dan lainnya yang kuajak makan di restoran. Keesokan hari pasca menarik tunai kartu sakti tidak berlimit itu untuk membeli gedung terlantar di pinggir kota yang kemudian dijadikan basecamp, aku memblokirnya di bank. Agar tidak ada yang bisa melacakku.
“Kenapa nggak inisiatif lebih niat buat nyari saya?” Sebenernya ini pertanyaan naif karena nyatanya akulah yang tidak ingin dicari.
“Karena Jameka tiba-tiba pulang ke Indonesia. Ngasih tahu kalau kamu baik-baik aja, sehat dan bakal jagain kamu. Jameka juga cerita kamu dapet beasiswa di Cambridge sampai lulus. Tapi, tiap Papa minta tolong Jameka buat anter ketemu kamu, Gamelita selalu ngeyakinin Papa kalau kamu baik-baik aja dan udah dewasa.
“Jadi lebih milih pisah rumah biar mandiri, sama kayak Jameka. Dulu Papa mikir Gamelita pengertian. Tapi sejak kemarin semua keburukanya terbongkar, Papa langsung ngubah pikiran itu kalau semua sikapnya cuma siasat buat jauhin kamu dari Papa. Biar bisa monopoli semuanya.”
“Saya datang ke pesta topeng penggalan dana akhir tahun beberapa tahu lalu. Dan Bapak nggak nyapa saya.” Entah kenapa aku malah menceritakan itu. Padahal kejadiannya sudah sangat lama. Mungkin juga papa sudah lupa.
“Kapan kamu dateng? Papa nggak tahu kamu dateng, Nak,” tanya papa. Mengerutkan kening, tampak mengingat-ingat.
“Bohong.” Benar. Mungkin papa sudah pikun.
“Papa baru ketemu kamu lagi waktu pesta nikahannya pak Baldwin sama bu Amanda. Itu pun dapet laporan dari Gamelita kalau kamu bikin ulah,” terang beliau.
Hah! Sudah dapat dipastikan siapa yang licik di sini. Lagi-lagi wanita itu. Mungkin rubah licik tersebut ingin memperingatkanku sejak awal bahwa ia bisa mengendalikan papa dan aku tidak bisa berbuat macam-macam selain menyingkir.
“Dan selain nampar saya, Bapak nyuruh saya minta maaf sama bocah itu. Saking cintanya Bapak sama anak tiri dari istri Bapak itu ya?” sahutku cepat. Lagi-lagi untuk menyindir beliau. Nada yang kugunakan datar, tetapi mengandung emosi. Bila sudah mengenalku lama, siapa pun pasti bisa menyadarinya.
“Bukannya Papa mau ngebela Jordan, Jay. Papa cuma nggak pengin urusan itu jadi makin panjang. Makanya Papa nyuruh kamu minta maaf,” aku pria itu.
Kutatap manik-manik mata beliau, sekali lagi untuk mencari kebohongan yang terletak di sana. Namun, lagi-lagi aku tidak menemukannya.
“Papa nggak pengin kamu kenapa-kenapa, Jay. Dan kekhawatiran Papa beneran terbukti kemarin. Bodohnya, Papa selalu mikir positif tentang Gamelita dan bisa disetir dia,” ungkap beliau setelah kami saling hening beberapa saat.
“Maafin cara didik Papa yang nggak bener selama ini. Jadinya kamu salah paham. Ini bener-bener jadi penyesalan terbesar Papa. Jangan pernah mikir Papa benci kamu, Nak. Mana ada orang tua kandung yang benci anaknya. Sejelek-jeleknya kelakuan anak, pasti orang tua nggak akan pernah bisa benci. Sama kayak Papa ke kamu. Papa sayang kamu sama kayak Papa sayang ke Jameka.”
After all this happened?
Aku menunduk merenungi dan meresapi setiap kalimat yang papa ucapkan. Lalu mataku mulai memanas.
Demi neptunus! Aku ingin memaki-maki pria paruh baya yang duduk di sampingku dengan kata-kata luar biasa menyakitkan. Aku ingin meneriaki bagaimana perasaan sakit hatiku ketika beliau melakukan apa yang beliau sebut dengan cara mendidik. Aku ingin berteriak marah atas ketidakadilan yang kudapat. Aku ingin ....
Sejujurnya, dalam lubuh hatiku yang paling dalam, aku hanya ingin mendapat pelukan hangat dan kasih seorang ayah dari pria itu bagaimanapun kondisiku. Yang justru diberikan Benigno Davidde, bukan papa.
Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya soal haru biru hatiku. Namun, tidak ada satu pun kata yang terucap selain butiran bening dari mataku yang turun satu per satu, lalu menyerbu bagai bendungan puluhan tahun yang bobol. Dan papa akhirnya mendekapku dengan tangis yang sama.
Aku tidak peduli lagi soal harga diri. Biarkan saja aku menangis dalam pelukan papa seperti bayi disertai rasa syukur karena malaikat pencabut nyawa belum memilih rohku untuk dibawa pergi.
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang uda vote, komen dan benerin typo
Kelen jempolan pokoknya
Bonus foto Melody-nya Bang Jay
Nah kalau ini bang Jay-nya Chacha Prima
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 27 November 2019
Repost : 7 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro