Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21

Selamat datang di chapter 21

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Well, happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________________

Naughty girl by Beyonce (Metal cover)

_____________________________________________

Something happened for a reason

—Lih Gasani
______________________________________________

Jakarta, 7 Januari
13.29 WIB

Aku sudah menyiapkan diri untuk dimarahi, dicaci maki, dituntut, dilempar dari mobil, dijadikan sarden kaleng atau diperlakukan buruk lainnya ketika akan menjelaskan pada pak Allecio tentang kronologi penembakan Jayden—yang bahkan tak kuketahui pasti siapa pelakunya sebab Tito pun bungkam. Hanya berperan sebagai sopir tuli, walau sedari tadi pria paruh baya yang duduk di kursi tengah bersamaku selalu meliriknya.

“Maaf, Pak. Saya bingung harus ngapain buat nyegah Jayden tadi. Gara-gara itu, Jayden jadi ketembak. Semua gara-gara saya. Kalau Bapak mau marah atau bahkan nuntut saya, saya akan terima. Saya nggak akan kabur,” terangku dalam pelafalan lirih, dengan mata panas dan kepala pusing yang selalu setia menemaniku sejak di Heratl beberapa jam lalu. Selain akibat terlalu sering menangis, juga belum tidur mendapat yang berkualitas sejak kemarin. Aku bahkan melupakan makan malam dan sarapan, yang ajaibnya tidak membuatku lapar atau haus sama sekali.

Tadi sebelum ke rumah pak Allecio, Tito sempat memintaku mencuci wajah dan tanganku yang dipenuhi darah kering Jayden. Agar lebih segar dan tidak telalu acak-adut. Jangan lupakan suit Lih yang membalut tubuhku sehingga lebih hangat. Dan abaikan saja bau keringatku.

Aku tak ingin menangis lagi. Bisa-bisa pak Allecio menyangka aku mencari simpati dengan senjata air mata. Seperti kebanyakan wanita yang kepepet ketika telah terbukti bersalah.

Pria yang rambutnya sebagian sudah memutih itu mengepalkan tangan lalu menghela napas berat. Ada banyak semburat rasa lelah yang tergambar jelas di wajah beliau. “Marah atau balas dendam bukan tindakan tepat, Nak. Marah nggak akan ngelarin masalah. Kalau pun tahu siapa pelakunya, balas dendam justru bakal munculin masalah baru. Kita anggap aja ini sebagai musibah. Jangan nyalahin diri sendiri kayak gini. Yang penting sekarang kita harus perbanyak doa dan berusaha yang terbaik buat Jay,” ungkap pria berdarah Italia tersebut dengan nada lemah.

Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah lupa bahwa penyebab masalah Jayden dari dulu sampai sekarang adalah aku.

Sebenarnya, aku tidak pernah  menyangka pak Allecio akan menyikapi hal ini sedemikian bijakknya. Sudah kukatakan, aku mempersiapkan diri untuk respons terburuk yang akan diberikan beliau. Mengira pria itu akan marah dengan suguhan wajah seperti pertama dan terakhir kali aku bertemu beliau yang menampar pipi Jayden di pesta pernikahan Daddy dengan Mommy manda.

Kami tiba di rumah sakit lebih cepat berkat Tito yang andal membawa SUV hitam ini menyelinap di antara kendaraan jalan raya yang padat. Maka, tanpa ingin mengulur-ngulur waktu, selagi Tito memarkir kendaraan, aku mengantar pak Allecio untuk melakukan donor darah.

Sebenarnya sangat berisiko hanya membawa satu orang pendonor. Belum tentu darah orang tersebut boleh didonorkan walau golongannya cocok apabila tidak memenuhi syarat-syarat sebagai pendonor. Seperti misalnya kondisi pendonor tidak dalam keadaan baik, sedang mengidap penyakit tertentu dan lain sebagainya. Namun, beliaulah satu-satunya harapaku, harapan kami yang menyayangi Jayden. Beruntungnya, tes-tes yang dijalani pak Allecio sebagai calon pendonor semuanya lolos. Dan akhirnya Jayden akan mendapat transfusi dari orang yang sangatlah tepat.

Aku yang sedari tadi lontang-lantung, pontang-panting mengurusi banyak hal keperluan Jayddn akhirnya berhenti. Berdiri sambil menggigiti kuku menunggu pak Allecio keluar dari ruang dokter yang merawat Jayden. Bersama Tito, Lih, dan satu lagi pria asing yang dikenal dengan nama Alfred.

“Mel, lo nggak mau istirahat dulu gitu?” tanya Tito yang mendapat anggukan dari Lih dan Alfred.

Tanpa mengalihkan perhatian dari ruang dokter dan tanpa menghentikan kegiatan gigiku yang beradu dengan kuku, kubalas, “Enggak, sampai gue bener-bener tahu keadaan Jayden baik-baik aja. Kan semuanya salah gue.”

Tito tidak terima dengan untaian kata yang menyusun kalimat terakhirku. “Kalau lo ngerasa bersalah, apa kabar gue yang lengah sampai kecolongan gitu? Dan bikin Boss dalam kondisi kayak sekarang?”

“Udah ..., udah ..., jangan saling nyalahin diri sendiri. Something happened for a reasen. Boss pasti nggak bakalan mikir ini salah kita dan nggak pengin kita nyalahin diri sendiri juga,” lerai Lih. Dalam kasus umum, kami pasti akan takjub sebab pria sependiam dirinya sampai mengeluarkan kata-kata bijak. Dan itu sangat ampuh membuatku dan Tito terdiam.

“Gue beli kopi dulu,” izin Tito yang diikuti Lih. Maka tinggalah aku dan Alfred bersama orang-orang di kordior rumah sakit yang melakukan kegiatannya masing-masing.

Untuk mengalihkan rasa sakit di kepalaku yang berpotensi membuatku ambruk kapan saja— supaya tetap memiliki kesadaran utuh juga, aku meminta Alfred menceritakan segalanya tentang Jayden. Korelasinya dengan tekanan fisik mau pun mental yang kurasakan adalah topik tentang Jayden tidak pernah membuatku bosan untuk dibahas. Sedikit-banyak dapat membuat semangatku berkobar. Kalau sudah begitu, rasa-rasanya energiku bertambah. Jadilah kami mengobrol menggunakan bahasa Inggris.

He always loves you. Membicarakamu selalu membuat tatapan matanya melembut dan menghangat, walau mulutnya tidak singkron. Karena terus mengumpat marah. Tapi aku tahu dan yakin, he still loves you. Buktinya beberapa waktu lalu saat keluar dari rumah sakit pasca kecelakaan, Boss yang membawamu ke penthouse-nya jadi kacau sampai berniat bunuh diri karena sadar telah menyakitimu. Dan berpikir tidak memiliki kesempatan untuk meminta maaf, juga takut kau akan membencinya,” cerita Alfred dengan aksen Inggris yang kental. “Cinta memang sering kali membuat seseorang tidak berpikir logis,” imbuhnya.

Jikalau pria berkebangsaan Inggris ini sedang mejalankan peran sebagai pendongeng andal semata-mata untuk menenangkanku, aku tidak peduli dan tetap memercayainya.

Melalui apa yang ia ceritakan tentang perasaan bersalah Jayden dan sikap tidak logisnya yang ingin bunuh diri, aku merasa semakin bersalah. Pasalnya, bukan pria itu yang menyakiti aku, melainkan akulah yang menyakitinya sedemikian rupa dan menempatkannya pada situasi serta kondisi seperti ini. Insiden penthouse merupakan hasil panen dari kesalahan yang kupupuk dari dulu karena telah menyakitinya.

Walau bersahabat dengan kakak laki-lakiku, tetapi Jayden tidak pernah memintaku untuk masuk ke dalam kehidupan dan dunianya. Akulah yang tidak sengaja menyeretnya lalu seakan-akan membungnya hanya karena tidak memiliki kekuatan melawan nenek sihir beserta algojo-algojonya sehingga merasa tidak punya pilihan tersisa selain pergi. Demi keselamatan Jayden.

Gelombang panas yang sudah menyelimuti kedua indra pengelihatanku sedari tadi kini harus ditemani produksi genangan air di pelupuknya yang sudah siap tumpah kapan saja. Aku yakin hanya dibutuhkan satu kali paparan jejas kecil bin seringan bulu, maka semuanya akan berhamburan.

Begitulah hebatnya Jayden. Hal yang menyangkut tentang pria itu selalu mampu membuatku yang berusaha mati-matian untuk tidak menitikkan air mata, malah selalu berhasil membolnya. Dan tampaknya Alfred menyadarinya.

No, no, no. You shouldn’t cry! Dia akan membunuhku jika tahu ceritaku ini membuatmu menangis,” usik pria itu sambil menggeleng dan menggerakan tangan.

Aku menelengkan kepala lalu melepas kukuku dari gigi, hanya untuk menggigit bibir bawah supaya tidak menangis akibat perkataan Alfred yang kutafsirkan sebagai kepedulian Jayden—tidak peduli seberapa besar luka yang kutorehkan padanya. Hal tersebut membuatku merasa masih dicintai sekaligus merasa buruk.

Di waktu yang sama, pintu ruangan dokter terbuka dan pak Allecio keluar dengan raut wajah yang persis sebelum masuk—berkerut tanpa senyum. Sehingga membuat hatiku waswas. Aku dan Alfred pun segera menghampiri beliau.

“Gimana, Pak?” tanyaku tak sabaran.

Pak Allecio melepas napas berat dan memejamkan netra sejenak. Lalu mengusap wajah menggunakan kedua telapak tangan. Tampak lelah, barulah menjelaskan, “Puji syukur operasinya lancar sesuai X-Ray. Meski sempat kejang bentar, tapi nggak ada komplikasi. Udah diuji neurology atau uji macem-macem. Kata dokter, Jay bakal dipindah ke ruang ICU biar kondisinya bisa dipantau secara detail.”

Gantian aku yang melepas karbon dioksida dalam jumlah besar ke udara dan mengusap wajah menggunakan kedua telapak tangan. Bersyukur. Kupanjatkan doa, thanks God. You didn’t take hin from me and from everyone who love him.

Beban sebanyak satu ton seperti terangkat setengah dari pundakku. Perlahan-lahan aku berjongkok di lantai rumah sakit yang dikelilingi bau obat-obatan menyengat, suara samar percakapan orang-orang, roda-roda brangkar atau tabung oksigen yang didorong petugas medis. Sebab tidak bisa lagi membendung butiran-butiran bening hasil produksi kelenjar air mataku. Aku sudah berusaha semampuku untuk Jayden. Setidaknya masa kritis pria itu sudah mulai diatasi walau masih harus dalam pengawasan.

Kurasakan seseorang ikut berjongkok di depanku lalu memegangi serta menepuk-nepuk kedua pundakku. Melalui suaranya, itu merupakan pak Allecio.

“Makasih, Nak. Kamu sudah mau repot-repot dateng ke rumah saya buat ngasih tahu kondisi Jay. Kelihatannya kamu capek banget. Kamu bisa istirahat sekarang. Perlu saya teleponkan papamu biar kamu dijemput?” tawar pria itu.

Aku hanya bisa membalas dengan punggung naik-turun dan isakan demi isakan yang membuatku tergugu. Aku tidak bisa bicara dengan dorongan fisik ataupun mental.

Kalau boleh jujur, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Keinginanku di sini menemani setiap langkah penanganan Jayden begitu besar. Berbanding terbalik dengan remuknya tubuhku, kepalaku yang benar-benar bertambah berat dan hatiku yang haru biru.

“Ayo bangun dulu, kita duduk di situ selagi saya nelepon papamu,” kata pak Allecio. Dan lagi-lagi, aku harus dibantu seseorang untuk bangun. Namun, kali ini, aku tidak kuat lagi. Kesadaranku benar-benar sudah di ujung tanduk. Sedetik kemudian, kegelapan menguasaiku dan mengambil alih semua kesadaranku.

Jakarta, 9 Januari
10.07 WIB

Bunyi pendigin udara dan detak jarum jam dinding menarikku dari kegelapan, lalu menuntuku menuju sesuatu yang terang-bendengar bernama kesadaran. Aku mengenyit lanjut berkedip beberapa kali dengan intensitas pelan untuk mengadaptasikan kedua netraku. Setelah pencahayaan tersebut akrab dengan pengelihatanku, barulah aku melihat bidang pandang lurus di hadapanku berupa langit-langit putih.

Rupanya, aku sedang di ruang rawat inap rumah sakit.

Secara otomatis, helaan napas keluar melalui hidung dan mulutku. Kala menyisir pandangan ke setiap sudut, kedua bola mataku mendelik sebab melihat seorang pria berpaikaian pasien—lengkap dengan selang infus dan tiang penyangganya yang bersanding di sampingnya—sedang duduk di kursi dekat ranjang rumah sakitku. Buku tebal yang semula dibacanya kini ditutup dan diletakkan nakas karena melihatku.

“Jayden? Gimana bisa kamu di sini?” tanyaku heran sembari berusaha duduk, tetapi kepalaku yang pening belum bisa diajak kompromi.

“Tiduran aja nggak apa-apa, Mel.” Jayden menarik kursinya supaya lebih dekat denganku. “Aku ke sini biar romantis kayak orang-orang.”

“Ha?” tanyaku setengah berbisik. Tidak mengerti maksud perkataannya. Kuhiraukan saja sebab sedang mempekerjakan indra pengelihatanku untuk menelusuri setiap inci tubuhnya. “Kamu nggak apa-apa? Kok udah jenguk ke sini?”

“Menurutmu?” Jayden berbalik tanya. Telunjuknya diarahkan pada keningku dan mendorongnya pelan, tetapi dengan tenaga yang tidak bisa kulawan. “Oon, oon, oon, Oneng oon!” ledeknya.

“Ih! Apa sih?” Aku berusaha menepis tangan besar pira itu. Namun, gerakanku seperti tanpa niat dan usaha, jadinya sia-sia. “Kamu baik-baik aja ‘kan Jayden?”

“Pipiku nyeri.”

“Pipi? Kirain punggungmu yang nyeri soalnya abis dioperasi,” komentarku sembari berusaha duduk dan mengintip punggungnya. Dilihat dari betapa gagah pria itu, aku menebak berat badannya pastilah naik ketimbang saat koma dulu.

“Itu udah pasti. Tapi pipiku juga sakit,” katanya yang lantas menunjuk pipi kirinya.

“Coba sini kulihat.”

Aku meminta Jayden mendekatkan wajahnya untuk melihat kondisi pada rasa sakit yang dimaksud.

“Harusnya diperiksa pakai hidung sama bibirmu, Mel.”

“Ih! Dasar tukang pengambil kesempatan dalam kesempitan!” hardikku. Mendorong wajah Jayden supaya menjauh. Ia hanya cengar-cengir. “Well, udah berapa lama aku tidur? Kok di luar udah malem?”

“Cuma dua hari kok. Belum seratus tahun kayak putri tidur.”

“Jayden ih!” Aku melayangkan sebuah pukulan pelan yang kusasarkan pada lengannya. Ah, aku baru sadar kalau kebiasaanku bersama Jayddn muncul kembali. Entah kenapa mataku malah berkaca-kaca.

Tangan pria itu kini hinggap di puncak kepalaku lalu mengusap-uspanya. “Maaf, udah bikin kamu khawatir, Mel. I’m fine.

“Harusnya aku yang minta maaf. Gara-gara aku, kamu jadi celaka. Dari dulu, Jayden. Maaf juga aku nggak bilang kenapa dulu tiba-tiba ngilang, padahal hubungin kita baik-baik aja. Sekarang kamu udah tahu alasannya. Tapi bukan berarti kamu bisa—” Aku terpaksa berhenti sebab tahu-tahu satu isakanku menyela kalimatku. “Seenaknya balas dendam kayak gitu. Salahin aku aja yang—”

“Sssttt,” potong Jayden sambil membawa kepalaku mendekati dada bidangnya menggunakan tangan yang tidak dipasangi infus. Barulah tangan satunya mengusap punggungku. “Baru bangun kok kamu bisa secerewet sih, Mel?”

“Jayden nyebelin!” Aku balas melingkarkan seluruh lenganku pada pria itu, tetapi tidak erat sebab teringat luka tembaknya.

“Kamu suka aja loh.”

“Siapa bilang?” kelitku.

“Aku. Barusan kamu denger sendiri.”

“Nyebelin kuadrat!” Aku merengek mirip balita. Selalu seperti ini kalau sedang bersama Jayden. Aku bisa menjadi diri sendiri tanpa susah-susah mengatur tutur kata dan tingkah laku sesusai umurku.

Jayden membalas perkataanku dengan kecupan di puncak kepalaku. Dan aku merasakan rongga dadaku seolah disulut percikan api kecil yang tidak berbahaya. Fungsinya  menghangatkan. Dibarengi irama jantung yang bertalu-talu konstan. Aku sudah mirip remaja tanggung yang sedang jatuh cinta.

Lama kami dalam posisi seperti ini. Aku menyukainya. Meski banyak sekali pertanyaan dalam benakku yang mengantre ingin dipuaskan oleh jawaban Jayden, tetapi untuk saat ini, aku sengaja membiarkan rasa penasaranku kalah oleh keegoisanku.

Bertahun-tahun kami tidak saling jumpa. Sekalinya bertemu dalam keadaan kacau. Terakhir kali bicara dua hari lalu dalam keadaan genting dan emosional. Lalu tiba-tiba aku merasakan jarak-jarak yang terbentuk di antara kami melebur begitu saja.

“Aku mau nginep sini,” bisik Jayden yang kurasakan meletakkan dagunya di puncak kepalaku.

Ngomong-ngomong, rambutku tidak bau ‘kan? Mengingat, seturunnya dari pesawat dua hari lalu, aku belum keramas hingga jatuh pingsan dan tertidur karena kelelahan.

Ah, jangankan keramas, mandi pun aku tidak sempat.

“Enggak. Kamu balik aja ke kamarmu,” balasku sambil berusaha melepaskan diri. Mendadak tidak percaya diri. Tangisku sudah berhenti.

Jayden mengurai pelukannya. “Pelit.”

“Bukannya gitu, Jayden. Ini ‘kan bukan penginapan yang bisa nginep-nginep sesuka hati. Oh ya, bukannya kamu harusnya di ruang ICU? ‘Kan di sana nggak boleh keluar.”

“Enggak, udah di kamar rawat inap biasa dari tadi pagi kok.”

“Kok dibolehin keluar?” tanyaku heran.

Jayden tersenyum miring. “Aku kabur setelah dikontrol dokter sama suster dan jam besuk habis.”

“Dasar!”

Well, tadi keluargamu ke sini, tapi mereka udah pulang. Mereka juga gantian jenguk aku.” Pria itu berkata pelan sambil menunduk. Aku melihat pipinya bersemu merah. Kelihatan kalau tersipu malu.

“Oh ya?”

“Iya. Ekhm ... papaku yang ngasih tahu Daddy-mu,” bisiknya sambil menelingkupkan kepala di lengan yang terlipat di tepi ranjang. Mendengar ia sudah mau menyebut pak Allecio, kelihatannya hubungan mereka membaik.

Ah, aku bahagia karenanya.

“Kayaknya kamu udah baikan sama papamu.” Kudaratkan tangan di sela-sela rambutnya dan mengusapnya.

Yeah ... is that so,” gumamnya. Suaranya berdegung sebab terhalangi lengan-lengannya.

Please tell me what was happened among you. I’m super curious.” Aku yakin apabila bercermin, mataku pasti berkilat-kilat bahagia.

Pria itu mendongak mentapaku tanpa memindahkan kepalanya yang bertumpu di lipatan lengan. “Kalau kamu ngizinin aku nginep sini.”

Baru saja mulutku terbuka hendak melayangkan segala bentuk penolakan, tetapi Jayden terburu mendahului. “Or, you will get nothing on me. Silakan dipilih.”

Dasar manipulatif ulung! Tukang memanfaatkan rasa penasaranku demi memenuhi keinginannya!

“Emang kamu tahan sama rambutku yang bau? Aku belum mandi dari dua hari lalu dan pastinya belum keramas.”

Jayden mengangkat kedua bahunya seringan bulu. Kelihatan sekali memainkan perannya sebagai pria cuek. “Kayak lupa gimana kondisi badanmu waktu aku nyuri ciuman pertamu di Paris. Kan berarti sama aja.”

“Jayden!”Aku memekik dan mendaratkan pukulan di lengannya. “Berarti aku bau dong?”

Aku mengendus lengan-lenganku yang ternyata tidak bau seperti yang kukira. Malah wangi.

Jayden tertawa. “Bercanda, Mel. Perawat udah bantu mandi pakai warslap. Samalah kayak aku.”

“Ish! Bikin kaget aja!”

“Jadi gimana? Boleh nginep nggak?”

Aku menghela napas dan mewanti-wanti. “Ya udah. Tapi kamu harus janji bakalan cerita detail!”

Deal.”

Jayden duduk tegak. Diraih dan didorongnya tiang infus sehingga posisinya berada di sebelah ranjang. Ia mengunci roda-rodanya supaya tidak bisa berpindah-pindah. Sementara aku menggeser tubuh, menyisakan tempat bagi Jayden.

Secara perlahan dan hati-hati, pria itu naik lalu merebahkan diri dengan posisi miring sama sepertiku sebab ranjang ini sempit. Aku jadi mengingat kasur tunggal di kamar basecamp Jayden. Ehe.

Pria itu lantas memelukku dari belakang, dengan tangan kami yang sama-sama terpasang infus dan bertato note balok saling bertauatan. Ditengah debar jantungku, kemudian  Jayden mulai bercerita.

______________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah baca, vote komen, dan benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto Mel

Bonus foto bang Jay juga

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Post : 19 November 2019
Repost : 4 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro