Chapter 16
Selamat datang di chapter 16
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tong tandai jika ada typo
Thanks
Oh ya a lot of information in this chapter, semoga apa yang saya tulis bisa bermanfaat dan menambah wawasan umum bagi yang belum pernah membacanya
Well, selamat membaca
Semoga suka
❤❤❤
______________________________________________
Balas dendam by Dasa murka
______________________________________________
Aku setuju dengan hukum fisika yang mengatakan: aksi sama dengan reaksi
Jika seseorang berani mengusikku
Maka aku akan membawa neraka padanya
cukup simpel, bukan?
—Jayden Wilder
______________________________________________
Musim dingin
Summertown, 27 Desember
22.10 p.m.
Jameka sudah kupastikan terbang ke Belanda dan mendarat dengan selamat serta tidak bisa keluar dari negara itu untuk sementara waktu dengan bantuan beberapa orang. Kakakku tentu saja mengamuk sambil menangis sejadi-jadinya dan juga memohon. Namun, aku tidak peduli.
Selama berjam-jam duduk tenang di jet pribadi, aku menyusun beraneka ragam rencana dengan berbagai macam prediksi bagaimana risiko yang akan kutanggung, pihak yang terlibat mau pun tidak apabila nantinya menjalankan rencana A, B, C atau yang lain. Dan tentu saja semua risiko harus bisa kuminimalisir semaksimal mungkin.
Tiba di The Black Casino and Pub, Alfred kuminta mengumpulkan Tito, Spencter, Liam, Dahlia dan beberapa orang klan Davidde yang bisa diandalkan dalam situasi ini untuk berkumpul di ruanganku dan membahas rencana.
“Aku ingin tahu kenapa aku dideportase ke Indonesia. Itu yang pertama. Jadi, untuk sementara, kesampingkan dulu urusan klan Donzalo milik bedebah Caves itu. Tapi tetap tidak boleh mengendorkan pengawasan,” ungkapku sambil memandang wajah-wajah yang ada di hadapanku.
Mereka mengangguk tanda memahami.
“Seperti biasa, untuk menggali informasi, Dahlia ahlinya. Jadi, aku minta tolong padamu untuk mengurus masalah ini. Laporkan pada Alfred secepatnya dan Alfred akan melaporkannya padaku. Kau boleh memilih partner-mu sendiri, Dahlia” imbuhku.
“Baik, Boss,” jawab wanita itu, patuh.
“To, hubungi Lih untuk mempersiapkan teman-teman basecamp di Jakarta. Nanti kita akan adakan diskusi dengan kode-kode kita,” titahku pada Tito. Meski sering menggunakan bahasa Indonesia gaul dalam percakapan sehari-hari, tetapi untuk urusan diskusi penting seperti ini, kami menggunakan bahasa Inggris untuk menghormati teman-teman klan Davidde yang tidak paham bahasa kami.
“Baik, Boss.”
Ngomong-ngomong, aku tidak jadi melaksanakan keinginan menembak masa depan pria bertato banyak itu lantaran bagaimanapun juga, tampa Tito, aku tidak akan mengetahui alasan sebenarnya Melody menghilang beberapa tahun lalu. Atau permasalahan maha besar yang kupredisksi menjadi penyokongnya—mengingat aku sampai dideportase juga. Sebaliknya, aku berterima kasih padanya karena sudah menceritakan bagaimana keadaanku pasca menyerah dengan Melody dan memutuskan cuti pada kakakku.
Kutatap Liam dan Spencter. “Liam, Spencter. Tolong gantikan aku mengecek setiap kasino selama aku pergi ke indonesia nanti. Kalau permasalahan deportaseku sudah diurus dan beres.”
“Baik, Boss,” jawab mereka kompak.
Kuakhiri diakusi ini supaya mereka bisa segera mengerjakan job description masing-masing. Dan dalam kurun waktu hampir seminggu, akhirnya kami menemukan sedikit titik terang.
Berdasarkan info yang didapatkan dari Dahlia, Alfred menyampaikan, “Wanita yang Boss sebut-sebut itu memiliki hubungan khusus dengan orang-orang penting di yardies.”
Aku mengembuskan asap rokok ke udara. Dengan tatapan menerawang, salah satu sudut bibirku tertarik ke atas membentuk smirk smile.
“Gue kira ulah keluarga la cosa nostra Inggris lainnya, ternyata malah yardies,” tanggap Tito sambil menggeleng dan menyudutkan rokoknya di asbak. “Ckckck, parah. Bahaya banget tuh nenek sihir. Dibiarin lama-lama malah mengundang pukulan.”
“Alfred, apa saja informasi yang kita dapat dan bisa kita gunakan untuk menyerangnya?” tanyaku, dengan otak mulai kembali bekerja menyusun rencana-rencana.
“Kusarankan kita bermain cantik, Boss. Tidak perlu melibatkan yardies lain. Cukup fokus pada wanita itu dari bukti-bukti yang kita dapat. Dan dia akan hancur sendiri karena tidak ada yang akan membelanya, termasuk suami dan putra kesayangannya yang kurasa tidak tahu-menahu soal ini,” papar Alfred sambil mengutak-atik tablet di sofa. Sesekali melihatku.
Sebagai informasi, yardies memiliki lahan bisnis lebih dulu dari mafia Italia di Britania Raya. Walau pada dasarnya letak Jamaica cukup jauh dari negara ini dibandingkan Italia, orang-orang yardies bermigrasi dengan waktu relatif cepat lalu membentuk geng-geng perusuh. Barulah imigran Italia—khususnya cabang la cosa nostra—masuk dan mulai menapaki wilayah-wilayah perjanjian bisnis yang disepakati pada rapat kepala-kepala keluarga.
Pada abad ke-18, yardies tidak mencoba menyusupi ranah hukum sehingga polisi tidak mengganggap mereka sebagai orang-orang berbahaya. Hanya melakukan kejahatan-kejahatan ilegal seperti penjualan senjata api dan narkoba.
Seiring berjalannya waktu dan karena lebih dulu menjajaki tanah Britania Raya, yardies pun memiliki wilayah bisnis lebih luas sehingga lebih banyak jumlah keluarga yang menetap. Dan banyaknya persaingan bisnis membuat mereka mencoba berbagai macam bisnis lain. Tidak hanya penjualan senjata api dan narkoba, tetapi juga prostitusi, perjuadian dan pemasok minuman keras.
La cosa nostra sendiri juga hanya beroperasi di Amerika pada abad ke-19 sebelum menganakcabangkan ke Britania Raya. Dan seperti halnya yardies, selain tindakan-tindakan ilegal, cosa nostra juga pernah mengambil peran dalam korupsi dewan perwakilan rakyat ataupun campur tangan pengaturan kemenangan sepak bola, pacuan kuda, dan lain sebagainya.
Sehingga dari sindikat-sindikat tersebut harus menggunakan pazzo[13] untuk polisi, hakim, dewan perwakilan rakyat dan wartawan guna menutupi kejahatan-kejahatan mereka. Jadi, akan terlalu berisiko seandainya aku mengusik salah satu keluarga yardies.
“Aku sepemikiran denganmu, Alfred. Kalau bisa, tidak perlu mengusik yardies. Tapi, bagimana dengan deportase itu sendiri? Apa bisa beres tanpa menyentuh yardies sedangkan merekalah yang membuatku dideportase?”
“Iya, benar juga, Boss.”
Aku, Alfred, dan Tito terdiam cukup lama. Seperti sedang larut dalam pikiran masing-masing. Lalu sebuah bola lampu tiba-tiba menyala terang di atas kepalaku, mirip di film-film kartun, pertanda sebuah ide datang. “Aku akan bernegosiasi dengan mereka.”
Kulihat Tito kembali mengambil rokok dan menyalakannya sambil menengok tablet Alfred. “Sejauh ini kita belum cukup dapet informasi tentang kelompok yardies yang bersangkutan, Boss. Jadi, istilahnya kita belum dapet alat yang bisa kita pakai buat negosiasi. Kita harus punya seenggaknya satu kelemahan mereka yang cukup kuat biar mereka nggak ada pilihan lain selain setuju sama negosiasi kita, atau kelemahan itu bisa hancurin mereka sendiri,” komentar pria bertato itu.
Ah, aku tahu ini pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan rencanaku terhadap wanita itu. Namun, kuharap itu sepadan dengan akibat yang akan diterimanya nanti.
“Kalau urusan wanita itu sendiri informasi yang kita dapatkan cukup, Boss. Penggelapan dana perusahaan untuk membalas jasa yardies. Jalan-jalan ke Eropa dengan salah orang yardies yang terlibat dan dialibikan sebagai perjalanan bisnis pencarian bahan baku impor perabot Heralt.
“Kudengar Heralt hampir bangkrut gara-gara pengadaan bahan baku impor itu karena bahan baku di Indonesia agak sulit dan lama. Sedangkan pengadaan barang untuk permintaan konsumen pastinya membutuhkan waktu cepat,” papar Alfred yang mendapat anggukan dari Tito.
Bodoh sekali. Harusnya mereka bisa memanfaatkan bahan limbah pabrik lain yang masih berguna untuk berkreasi—walau dibutuhkan waktu agak lama untuk menghasilkan suatu perbotan dibandingkan dengan mengimpor bahan baku. Bukannya mengeruk kekayaan alam yang terus berkurang dan menghasilkan pemanasan global.
Ke mana saja Jameka selama ini? Sebagai salah satu akuntan divisi keuangan pusat Heratl di Jakarta, apakah ia tidak curiga sama sekali dengan dana pengadaan bahan baku perusahaan yang terus-menerus membengkak? Atau ia juga dijaga orang-orang yardies supaya tutup mulut seperti yang dilakukannya selama ini?
Tidak kusangka urusannya bisa menjadi rumit seperti ini.
“Kalau bisa menambah informasi soal wanita licik itu, kenapa tidak? Semakin banyak kecacatan yang kita dapat, semakin kita bisa menjatuhkan karakternya dengan mudah. Tapi kuanggap itu bukan skala prioritas sekarang. Aku ingin informasi soal yardies yang terlibat dengan petugas imigrasi lebih diprioritaskan. Jadi, aku bisa pulang ke Indonesia.” Aku kembali berbicara lalu meneguk air mineral dalam gelas kaca, dengan jari-jemari yang terselip rokok.
“Sepertinya Dahlia dan partner-nya membutuhkan bantuan Liam dan yang lain, Boss.” Alfred memberi pendapat.
“Gue bantuin,” usul Tito.
“Jangan, To. Orang-orang imigrasi udah pada kenal lo gara-gara keseringan bantuin gue. Bisa-bisa mereka ikutan deportase lo,” jawabku logis.
Dan empat hari berikutnya, Dahlia, Liam, serta partner mereka melapor pada Alfred dan Alfred menyampaikannya padaku. “Kebetulan nama keluarga yardies mereka Tarone. Mereka punya bisnis prostitusi dan penyelundupan minuman keras.”
Aku memijit pangkal hidung dengan jempol dan telunjutku, sesekali menyedot rokok sambil berpikir negosiasi apa yang dapat kutawarkan pada klan Torone, dan mereka tidak dapat menolak.
“Dari mana mereka mendapat wanita untuk prostitusi?” tanyaku, tanpa menghentikan kegiatanku.
“Ada yang sukarela karena memang tidak memiliki bakat atau pekerjaan selain mengandalkan tampang serta tubuh. Tidak jarang juga turis yang kehabisan dana sewaktu liburan dan tidak bisa kembali ke negara asal mereka. Ada juga yang sedang mencari peruntungan pekerjaan kemari, tapi nasib mereka tidak beruntung,” jelas Alfred, “ada juga yang diperjual-belikan dari hasil penculikan. Banyak di antara mereka yang masih di bawah umur. Mereka membawanya dari pelabuhan dan menggunakan pazzo untuk petugas yang ada di sana.”
“Gimana kalau kita masok minuman keras The Black Casino and Pub dari mereka dan jadi pelanggan tetap?” timpal Tito yang sedari tadi juga merokok di sofa seberang Alfred duduk.
Keningku berkerut samar dan kugaruk pelipisku menggunakan kelingking yang jari-jari lainnya terselip rokok. “Itu tawaran yang biasa aja, To. Toh kalau kita nggak masok minuman keras dari mereka, mereka juga udah dapet pelanggan tetap dari sebelum-sebelum kita.”
Tito mengernyit. “Iya juga ya.”
Kami diam, lagi-lagi mencapai situasi yang mengharuskan untuk berpikir keras. Kali ini Tito yang lebih dulu memiliki ide. “Kita pasok orang-orang prostitusi. Entar gue yang cariin cewek-ceweknya. Atau kita bisa pakai pazzo buat bantu bikin kartu identitas penduduk pekerjanya. Bhat imigran-imigran ilegal.”
Mungkin aku bisa menyetujui ide ide ini jikalau tidak sedang mengorelasikan natara penyampaian Alfred dengan sikapku terhadap Melody beberapa hari lalu. Jadi, aku menolak, “Nggak, gue nggak mau ngedukung hal-hal yang berbau kemanusiaan kayak gitu.”
I’m not a mosnter or a terrible beast.
“Tapi entar gue nyarinya tanpa pemaksaan, biar mereka yang datengin kita, Boss.”
“Enggak, To. Gue cuma mau bisnis soal barang, kecuali narkoba. Selain risikonya gedhe, ngerusak orang juga. Dari dulu gue udah tekankan peraturan ini di basecamp Jakarata juga. Kalau anak-anak nggak bisa nurut sama gue soal satu ini, mending out dari basecamp. Silakan cari duit sendiri dan gue anggap nggak pernah kenal.
“Di mana-mana narkoba itu yang untung cuma bandarnya. Dan risiko jadi bandar itu gedhe banget. Apalagi ini skala gedhe, To. Antar negara. Harus pakai pazzo ke banyak pihak walau hasil yang kita dapet fantastis. Jadi, mending usulan pertama lo tadi soal miras. Kalau bisa, kita juga nyaingin jadi pemasok miras dari sumber mereka, biar Torone keusik dan bales ngusik, terus bisa kita ngajak kerja sama.”
Wajah Tito menjadi lebih rileks dibandingkan tadi. “Kita harus cari info lagi soal dari mana miras mereka dipasok, gitu?”
“Atau bisa pakai pazzo buat ambil petugas-petugas yang jagain mereka. Jadi mereka ngerasa terancam,” terangku.
“Tapi kayaknya gue lebih sreg usulan lo yang jadi pemasok deh, Boss.”
Aku mengangguk lalu berlaih ke Alfred yang sejak tadi diam memperhatikan kamir. Ia memang belum bisa berbahasa Indonesia, tetapi sekarang sudah cukup memahami setiap obrolanku dengan Tito. Jadi, aku pun bertanya, “Bagaiamana menurutmu, Alfred?”
“Aku setuju. Biar kutarik kesimpulan sedikit. Jadi, menjadi pemasok miras itu hanya untuk memancing yardies, bukan? Lalu kita manfaatkan situasi itu?” tanyanya, memastikan apa yang dipahaminya dari hasil percakapanku dan Tito agar tidak salah tafsir.
“Benar. Syaratnya kita harus bisa lebih melampaui mereka. Jadi, ketika mereka mulai terusik dan membalas mengusik, aku akan memberikan tawaran semua pasokan mirasku dengan tambahan perlindungan juga. Pastinya siapa yang bisa menolak tawaran dengan keuntungan berlapis seperti itu kalau hanya ditukar dengan kebebasanku dari deportase? Aku rasa aku yang berkorban cukup banyak. Selain itu, pastinya keluarga Torone akan berbalik mendukung keluarga kita.”
_______________
[13] Uang tutup mulut: Italia
Jakarta, 7 Januari
10.00 WIB
Dan setelah melalui proses panjang tersebut, akhirnya aku mengantongi kebebasan deportaseku. Bersama Alfred, Tito, beberapa anggota klan Davidde dan Carlos Fayard—anggota klan Torone yang terlibat dengan wanita itu—serta beberapa anak buah yang mengikutinya, kami terbang ke Indonesia pada awal tahun.
Tidak hanya itu, menurut cerita Fayard, wanita itu ingin mendirikan kantor lini Heratl di Inggris supaya bisa ia gunakan sendiri. Sayang sekali, pria itu hanya menipunya dengan memanfaatkan uang dari Heralt.
Meski sedikit mengganjal, tetapi setidaknya informasi itu bisa menambah amunisiku untuk menghabisi wanita itu. Masalah Heralt, akan kupikirkan setelahnya.
Dasar rubah licik! Tenang saja, aku tidak akan membunuhnya. Aku hanya akan menyiksanya sampai ia memohon sendiri padaku untuk mati. Dengan membunuh karakternya di hadapan orang-orang yang ia anggap penting. Karena memecahkan kepalanya dengan luncuran kaliber-kaliber tembaga kuat berkecepatan angin yang dihasilkan revolver berperedam atau menikam jantungnya dengan jedgkomando kesayangku yang akan membuatnya mati seketika itu tidak seru, kalau tanpa merasakan penderitaan dulu, bukan?
Well, setelah berkali-kali penerbangan terhambat karena cuaca buruk, akhirnya kami tiba di bandara Soekarno Hatta. Lih dan teman-teman basecamp sudah stand by untuk memjemput kami. Kuperkenalkan mereka dengan Fayard bersama anak buahnya singkat waktu sebelum akhirnya meluncur ke hotel terdekat agar para yardies itu bisa istirahat.
Bagaimanapun mereka adalah tamu penting, jadi harus kujamu dengan sungguh-sungguh. Lalu, aku pun kembali ke basecamp untuk diskusi lanjutan.
Suara tangan Lih yang ia tautkan serta kepalanya yang dimiringkan ke kanan dan ke kiri seperti melakukan pemanasan terdengar gemerutuk serampungnya penjelasanku.
“Gue udah nunggu ini lama banget, Njir!” desisnya dengan suara dalam.
Well yeah, ini akan menambah semangatku.
“Silent but deadly. Gunakan cara semulus mungkin,” desisku lalu beralih menatap Alfred. “Tolong buat janji temu dengan wanita itu melalui sekretarisnya. Katakan kita ingin mengajukan proposal kerjasama.”
“Baik, Boss.”
Kini aku beralih menatap anak basecamp lain. “Tugas lo, giring ‘paket khusus’ ke Heratl. Bikin mereka percaya pakai video rubah licik itu sama Fayard yang udah disiapin Alfred.”
“Siap, Boss,” katanya.
Setelah semua persiapan lengkap janji temu yang diusulkan Alfred disetujui keesokan harinya dan ‘paket khusus’ mulai dijemput, kami siap menyebar dengan arah tujuan yang sama yaitu gedung Heratl Company.
Selagi menunggu kabar dari Lih yang menyamar sebagai mekanik untuk membajak CCTV dan menunggu hasil penggiringan ‘paket khusus’ menuju gedung ini yang dilakukan oleh salah beberapa klan Davidde lain, aku menunggu di mobil bersama Tito, Alfred, Fayard dan seorang anak buahnya.
Untuk beberapa waktu yang tidak singkat, Lih memberi kabar melalui handsfree Alfred. “Kata Lih, CCTV sudah aman, Boss. Tinggal menunggu Boss, dan paket khusus yang on the way ke sini.”
Aku dan Alfred yang sudah mengenakan setelan kerja plus suit pun segera turun mobil menuju resepsionis seolah-olah seorang tamu perusahaan tadi. Fayard dan anak buahnya akan menyusul menjadi saksi yang tidak bisa terelakkan.
Sebenarnya, wanita yang berprofesi sebagai receptionis mengeryitkan kedua alis saat melihatku denganku. Seperti sedang berusaha mengingat-ingat sesuatu—mungkin wajahku yang tidak asing sebagai anak pemilik gedung ini, tetapi ia tidak menemukan jawaban. Jadi, ia membiarkanku naik ke lantai sepuluh untuk dibawa ke sekretaris rubah licik itu. Sesuai prosedur perusahaan apabila ada tamu, maka sang Sekretaris akan menyampaikan pada rubag licik itu soal keadatanganku tanpa curiga.
Pintu yang diketuk sekretaris mendapat sahutan dari dalam. Wanita licik itu mempersilakanku masuk. Setelah menggumamkan terima kasih, Alfred membukakan pintu untukku dan ketika pemilik ruangan tengah mendongak, aku masuk. Ia membelalak melihatku.
“J-Jay?” panggilnya gelagapan. Kekagetan belum meninggalkan wajah wanita itu.
“Hello mama, miss me, huh?”
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang uda vote dan komen, dan benerin typo
Kelen luar biasa
Semoga temen-temen nggak pusing baca ini ya 😭
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 6 November 2019
Repost : 16 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro