Chapter 15
Selamat datang di chapter 15
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Well, selamat membaca
Semoga suka
❤❤❤
______________________________________________
Sound of silent by Disturbed
______________________________________________
How do you look at someone you love and tell yourself it’s time to walk away?
—the Vow
______________________________________________
Musim dingin
Summertown, 19 Desember
13.03 p.m.
Rasanya dadaku bergemuruh saat wanita itu mengabaikan pertanyaanku dan lebih memilih membantu pecundang—yang baru saja kuhajar hingga babak belur, berdiri. Orang-orang yang mengelilingi kami termasuk petugas parkir mulai bubar. Mungkin mereka merasa situasi yang semula bersitegang ini sudah cukup kondusif. Beruntungnya tidak ada yang memanggil petugas keamanan rumah sakit sehingga kami tidak perlu melalui proses sidang memalukan yang kadang berujung rumit.
“Kamu nggak apa-apa?” Sekali lagi Melody bertanya pada pecundang itu yang sudah berhasil berdiri dengan tertatih-tatih.
Namun, apa hasil yang didapatkan wanita itu?
“Hah! Bagus banget. Kamu juga datang sama dia!” Pecundang itu menepis tangannya secara kasar.
Aku yang masih berdiri memperhatikan drama mereka, juga berusaha meredakan emosi. Serta bertanya-tanya: apakah aku salah lagi di sini? Kenapa kosmik selalu menempatkanku pada situasi serbasalah? Yang selalu berujung pada pembelaan Melody terhadap pria yang berkali-kali menghina dan tak pantas bersanding dengannya?
Hanya akulah yang pantas bersanding dengan Melody. Salahkah memiki pemikiran seperti itu?
“Aku nggak—”
“Berapa tahun aku berusaha bikin kamu move on dari dia? Kamu nerima lamaranku, aku pikir kamu udah move on.” Lagi-lagi saat wanita itu berusaha menjelaskan, si Pecundang memotong pembicaraannya. Sehingga tidak ada yang bisa diluruskan oleh Melody.
Sebenarnya ini topik yang cukup menarik. Ada sengatan kecil yang mengejutkanku dan menghantarkan kebahagiaan kecil pasaku. Hei, rupanya aku tidak mudah dilupakan Melody. Getting more interesting, right?
Aku pun kembali mendengar Melody memekik, “Emang udah! Aku udah move on dari dia!”
Kejutan menyenangkan yang baru saja kudapatkan kini sudah ludes ditelan kalimat itu. Kalau perkataan tersebut ditujukan untuk membuatku sakit hati, Melody sudah sangat berhasil melakukannya.
Namun, bagaimana dengan momen kala ia mabuk, juga jumper-ku yang masih disimpan dan dibawanya ke sini? Bukankah artinya Melody belum bisa mengatasi pemberantasan perasaannya padaku secara menyeluruh? Artinya ia belum 100% move on dan aku masih memiliki kesempatan untuk membuatnya kembali padaku, bukan?
Pria pecundang itu, kembali protes, “Terus apa ini? Kenyataannya nggak kayak gitu! Sex before married, kita sama-sama tahu aku nggak bisa ngelakuin itu. Tapi kamu nggak bisa tahan sampai tiga bulan lagi dan—”
“Udah aku bilang, nggak kayak gitu kejadiannya,” potong Melody.
Namun, Zain Malik KW masih setia dengan ketidakpedulian. “I’m done. No, we’re done. Nggak ada perlu dijelasin lagi.” Dengan wajah mai lebam sana-sini disertai gelengan pelan, pria itu beranjak pergi dari kami, meninggalkan tatapan kecewa dan sakit hati yang luar biasa besar sekaligus jijik padaku serta Melody.
Sementara Melody berdiri, melihat punggung si Pecundang itu sambil berucap, “Ta-tapi kamu beneran salah paham, Honey. It just ....” Ia menghentikan kalimatnya untuk bersuara lebih pelan. “Just ....” Lagi-lagi, Melody berhenti, seperti sedang mencari kepingan-kepingan kalimat yang tepat, tetapi tidak menemukannya. Wajah kacau itu lantas menunduk dengan alis berkerut samar.
“Mel,” panggilku agar ia sadar aku masih di sini.
Melody mengangakat kepala untuk menatapku. “Thanks, you had been screwed up everything.” Ia mengatakan hal itu dengan tangan membuka lebar dan nada putus asa. “Again,” imbuhnya.
Alisku mengerut. “Aku belain kamu dari pecundang yang ngata-ngatain kamu. Kok kamu malah nyalahin aku?”
Tujuanku memang merusak hubungannya dengan bedebah itu. Aku hanya tidak memperhitungkan pria seperti Zain Malik KW yang kelihatan tidak memiliki kecacatan tingkah laku harus mengatakan sesuatu yang tidak pantas pada Melody. Walau rasanya semua perlakuan serta ucapanku selama ini selalu mengarahkan pikiran pria itu atau pria mana pun ke arah sana.
Namun, tetap saja itu tidak ada dalam rencananku. Aku hanya ingin mereka bubar lalu membuat Melody jatuh cinta padaku lagi, seperti dulu. Telah mencapai momen ini, harus kuakui bahwa Tito benar. Aku salah mengambil langkah yang malah membuat Melody membenciku lantaran membunuh karakternya di mata si Pecundang.
“Aku udah bilang itu bukan urusanmu! Dan aku nggak butuh kamu bela! Sejak kamu muncul lagi di hidupku, semuanya jadi makin kacau!” balas Melody dengan nada bicara yang ikut meninggi sambil mendongak, menatap tajam mataku dan dengan telunjuk yang diacung-acungkan ke mukaku.
Aku tak terima. “Terus gimana sama hidupku yang udah kamu hancurin? Aku sibuk lontang-lantung nyari kabarmu. Aku bolak-balik berurusan sama petugas imigrasi buat balik ke Indonesia, biar bisa ketemu kamu. Tapi selalu gagal dan berakhir di sel tahanan semalaman sampai Tito bawa uang jaminan buat bebasin aku!
“Setelah bertahun-tahun akhirnya kita ketemu. Tapi ternyata kamu udah jadi tunangan orang lain. Dan sampai sekarang, kamu nggak ngasih tahu alasan kenapa kamu ngilang. Bikin aku berasumsi kamu ninggalin aku gara-gara bedabah tadi. Wajar nggak kira-kira kalau aku marah dan pengin ngerusak hubungan kalian?” Aku menekan setiap kata dengan nada tinggi.
Ia bergeming. Selama berdetik-detik waktu yang kami habiskan di tengah parkir dan hujan salju yang tipis, tetapi selalu tidak lupa membawa hawa dinginnya yang mengelilingili kami, ia tetap bungkam. Menambah kadar ketidakpercayaanku pada situasi yang—entahlah—menggelikan ini.
“Sorry, udah ganggu dan hancurin hidup kamu. Aku rasa nggak perlu nyimpan ini lagi. I give up on you, Mel,” ucapku penuh penekanan tetapi putus asa sambil mengambil selembar Melody’s Magic Card yang sudah kucorat-coret belakangnya membentuk sebuah permohonan paling masuk akal yang pernah kutulis dengan menendang jauh-jauh seluruh keegoisanku.
Whatever your logical reason at the day you left, I’m understand. Let’s forget it and start our new life together
—Coretan belakang Melody’s Magic Card
Benda yang selalu kubawa kemana pun aku menginap itu, akhirnya kupulangkan pada pemiliknya tanpa berharap dikabulkan.
Aku menyerah.
Selesai. Tamat. Aku menyerah karena sudah lelah. Satu yang kupelajari dari ini semua. Cinta itu tidak bisa dipaksakan. Ibarat menggenggam pasir, jika terlalu kencang maka akan jatuh. Jika terlalu lemah, maka tidak bisa diraih.
Kata orang, memotong rambut bisa membuang sial dan bepergian ke suatu tempat atau pindah bisa mengubur suatu kenangan menyakitkan. Maka, kuputuskan untuk memotong rambut gondrongku lalu berencana bepergian di tempat tenang untuk menyendiri—walau dasarnya aku tidak boleh sendirian, sehingga ada dua orang klan Davidde yang akan mengawalku nanti.
Ha! Tanpa sadar aku malah selalu mengikuti apa kata orang.
“Alfred, tolong siapkan tiket pesawat ke Trento secepatnya. Aku ingin cuti,” perintahku pada Alfred yang sedang mengutak-atik laptop di meja seberang tempat aku duduk. Pasca aku kembali dari acara potong rambut dan ke kasino.
Dan seperti biasa, pria itu menyanggupi. “Baik, Boss.”
Pandanganku pun berpindah pada Spencter, Liam, dan Dahlia. “Tetap selidiki tujuan bedebah Caves itu memata-matai keluarga kita, dan tetap laporkan setiap perkembangannya padaku, walau aku sedang tidak di sini.”
“Baik, Boss,” jawab mereka kompak dan kuperbolehkan pergi dari ruangan ini.
Belum sempat dari ketiga orang itu menutup pintu, Tito menerobos masuk. “Boss, cuti ya cuti aja. Kagak usah mikirin semua bisnis keluarga kita. Biar gue sama Alfred yang ngurus. Tenangin aja pikiran lo yang kusut itu,” ceramahnya seolah-olah sesepuh yang sudah kenyang makan garam kehidupan sampai terlalu asin. Saking asinnya sampai pahit. Dan pahitnya menjalar ke wajahnya. Cuih!
“Gue nggak percaya ama lo. Kerjaan lo nanem benih doang,” balasku jujur.
“Ya elah itu ‘kan kalau ada yang ngajak. Emangnya lo yang gagal nananina mulu sama si Mel?” Melihatku berwajah datar di antara asap rokok, Tito melanjutkan, “Eh maaf ... maaf.”
Lemparan revolver dariku pun sukses mendarat di lengannya. Benda itu jatuh di dekat kakinya. Sambil mengusap lengan bekas lemparan itu, Tito memungkut senjata api tersebut lalu meletakkannya di meja rendah depan sofa dan melimbungkan diri di seberang Alfred duduk.
“Aduh ..., ampun, Boss. Gue cuma bercanda. Serius amat sih hidup lo! Bay the way lo cakep deh potong rambut gitu, Mel pasti bakalan suka— eehh maaf, keceplosan. Ini mulut emang suka gerak sendiri gitu! Nggak ada kampas remnya!”
“To! Lo makin lama makin kurang ya ama gue! Lain kali revolver itu bukan cuman gue lemparin! Tapi gue tembakin ke masa depan lo!” geramku.
Dan apa kau akan percaya kalau kutakan ia masih bisa cengengesan?
“Ehehehe ..., jangan dong, Boss. Gue pakai apa kalau itu ilang? Cewek-cewek pasti pada nangis dong.”
“Godverdomme! Lo mau pakai rayuan maut kek, gombalan basi kek, atau yang lain, juga bodo amat!” umpatku lalu beranjak dari kursi kerja dan pergi. Bisa-bisa aku darah tinggi kalau melanjutkan obrolan dengan playboy cap kadal buntung satu ini.
Muaim dingin
Dolomiti, 21 Desember
16, 06 p.m.
Keseokan paginya, menggunakan jet pribadi dengan identitas dan manipulasi waktu agar tidak diketahui siapa pun, aku terbang dari bandara Heathrow menuju Milan, dan menaiki jeep yang akan membawa kami ke Italy Utara, Provinsi Trento. Ke tempat pegunungan Dolomiti berada.
Kudengar, pegunungan itu menyuguhkan pemandangan cantik yang puncaknya tertutup salju bulan Desember. Jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota, sehingga cocok untuk meluruskan pikiran dan perasaanku yang kusut.
Aku dan dua orang klan Davidde lain menyewa sebuah penginapan kecil seukuran karavan dengan fasilitas lengkap ; kasur tunggal, kabinet, sink, dan kamar mandi lengkap dengan toilet duduk. Dindingnya terbuat dari kombinasi kaca dan sedikit bagian dari kayu berkerangka besi. Jadi, dari kamar aku bisa melihat salju turun di luar tanpa takut kedinginan karena penginapan ini didesain tetap hangat. Letaknya pun di antara penginapan dua orang yang bertugas mengawalku.
Walaupun saat malam suasananya mencekam bagi sebagian orang, aku justru senang dengan suasana itu. Lebih sunyi dan tenang, lebih bisa fokus menenangkan diri. Refresh hati dan pikiran.
Sebenarnya kegiatanku di sini cukup menenangkan. Bersama dua orang tersebut, aku menuruni lembah yang terdapat di lereng gunung berwarna hijau karena tidak tertutup salju, lalu memancing ikan di danaunya, dan memasak hasil tangkapan kami dengan peralatan seadanya karena jauh dari penginapan. Kemudian baru kembali menjelang petang.
Malam harinya kadang kami membuat api unggun dari dahan yang kami kumpulkan. Kadang aku juga memotret bunga-bunga liar yang tetap tumbuh di tanah dan rumput hijau yang tidak tertutup salju. Hingga suatu kala ada sekelebat pikiran kalau suatu saat nanti aku ingin membali ke tempat ini lagi bersama wanita itu.
Sialan! Padahal tujuanku ke sini untuk melupakannya, kenapa malah punya pemikiran seperti itu?
Dan demi Neptunus! Tampaknya semua orang memang berbakat tidak mengizinkanku berselimut ketenangan sedikitpun. Beberapa hari kemudian, saat salju tidak turun dan cuacanya agak bersahabat, Jameka datang ke tempat persemayamanku dengan bersidekap tangan serta raut wajah yang tidak dapat dibaca. Ada campuran antara sedih dan bingung juga kemarahan yang berusaha ia tahan.
Sebenarnya ada apa?
“Gue udah dengar semuanya dari Tito alasan lo bisa liburan ke sini.”
Itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan padaku bahkan ketika kakinya masih belum masuk ke penginapan.
Kurang ajar si Tito! Ingatkan aku untuk menembak masa depannya begitu ketemu!
Apakah si Kadal Buntung itu juga menceritakan tentang keluarga Davidde—di luar bisnis—padahal sudah terikat omerta? Kuharap tidak. Sebab hukum omerta tetap akan dijalankan bagi orang yang melanggar, bagaimanapun kedudukan orang tersebut.
“Halo juga,” balasku datar sambil mempersilakan wanita dengan balutan mantel bulu modis dan feminin itu masuk.
Jameka melepas dan meletakkan mantel tebalnya di gantungan dekat pintu, juga melepas mitten kulit putih serta parka cokelat terangnya, lalu duduk di sofa kecil tanpa lengan. Sedangkan aku mengambilkan teh herbal hangat yang disediakan penginapan ini untuknya.
“What’s up?” tanyaku, ikut duduk di sebelahnya kemudian menyesap teh herbal yang sama.
Jameka tampak mengatur napas berkali-kali. Mulutnya terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tidak jadi. Terus berulang sekitar lima kali.
“Apaan?” tanyaku gemas bin penasaran. Pasalnya, untuk ukuran manusia yang tidak senang dengan medan alam kendati terfasilitasi lengkap, Jameka menerjang kenyataan itu. Ia pasti memiliki alasan kuat serta masuk akal untuk menyusulku ke pengunungan Dilomity.
Apakah ia merasa kasihan pada adiknya yang merana akibat cintanya yang tidak terbalaskan ini? Apakah ia sedang berperan sebagai kakak yang sangat peduli? Aku tidak tahu, dan tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan atau dikatakan Jameka padaku. Kuharap itu sesuatu yang baik, meski aku mampu menyembunyikan jantungku yang gedebag-gedebug dalam balutan ketenangan sikap serta raut wajah datarku dengan baik.
“Jay,” panggilnya bersuara serak. Sepertinya pita suara Jameka sangat kesulitan membentuk kata tersebut yang sangat jarang dilontarkannya jika bukan untuk sesuatu yang serius.
Aku diam, menunggunya bicara. Ini jelas perkara serius. Sangat serius, sampai ia harus meletakkan mug teh herbal yang masih utuh di meja dengan tangan gemetar.
“Gue mau cerita sesuatu. Tapi, lo mesti janji dulu nggak bakalan marah,” pintanya.
“Apa dulu? Baru bisa mutusin marah atau enggak,” jawabku diplomatis.
Sekali lagi Jameka memejamkan mata dan mengatur napas, berikutnya menceritakan semua alasan mendetail kenapa Melody tiba-tiba menghilang pasca keberangkatanku ke Inggris dan sikap antisipasi yang tidak ingin berdekatan atau berlama-lama bersamaku belakangan ini. Sampai bagian bagaimana ia bersikeras melupakanku dengan menerima perasaan Zain Malik KW serta ingin kembali pada pria yang jelas telah menghina serta mencampakkannya karena ulahku itu.
“Tapi sumpah gue kagak tahu soal deportasi lo ke Indonesia yang nggak pernah bisa nembus sampai sana pakai cara gimana pun,” akhiri Jameka dalam penjelasannya. Ia menangis. Hal langka yang kutemui. Namun, simpatiku sama sekali tidak berada di sana.
Tubuhku menegang, kedua alisku bertautan, jatungku berdebar kencang. Dan dengan napas menderu, aku berdiri lalu membanting mug dalam genggamanku sebab emosi sudah menguasaiku.
“Berengsek!”
“Jay,” panggil Jameka, menahan lenganku sewaktu aku terburu ke arah pintu keluar. Mengabaikan pecahan-pecahan mug di ubin kayu. “Please ... Jay. Jangan Jay lo mau ngaoain Jay?”
Aku menyentak tangan kakak perempuanku dan menggedor pintu penginapan di sebelah kiri penginapanku. Dan ketika dibukakan, aku memerintah, “Siapkan penerbangan tercepat ke Summertown untuk kita! Dan satu lagi penerbangan ke Belanda untuk kakakku. ”
Jameka yang sudah mengikutiku pun merengek. “Jay, gue mohon tenangin emosi lo, Jay. Please ... jangan lakuin itu.”
“Gue pulangin lo ke Belanda sampai urusan gue kelar! Jangan coba-coba halangin niat gue. Ngerti lo?” titahku penuh penekanan.
“Jay, jangan Jay. Gue minta maaf, Jay. Please ... please ....”
Justru aku yang minta kak, karena sudah terlanjut sakit hati.
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang uda vote dan komen dan benerin typo
Maaf ya teman-teman, alasan Melody menghilang nggak bakalan saya tulis di work Jayden, karena itu sudah ada di buku pertama berjudul Bad Boy in the Mask.
Untuk yang penasaran dan ingin pesan, langsung saja isi format di bawah ini :
Order
Kode atau Judul Buku: Bad Boy in the Mask
Jumlah:
Nama Penerima:
Alamat penerima:
Kode Pos:
No Telp:
Kirim ke : 081333602659
Atau teman-teman bisa langsung check out di Shophee.
Caranya cukup klik link ini dan isilah kelengkapannya : https://shopee.co.id/product/102676236/7161499252/
Thanks
Bonus photo Jayden masih gondrong
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 18 September 2019
Repost : 15 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro