Chapter 12
Selamat datang di chapter 12
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tolong tandai jika ada typo
Thanks
Well, happy reading
Hope you like it
❤❤❤
_____________________________________________
Right Back At it Again by A Day to Remember
______________________________________________
Love is weird
Sometimes, it doesn’t need any word to describe it
That’s enough with how the way she hug me like this
and I know she still love me
—Jayden Wilder
_____________________________________________
Musim dingin
Summertown, 18 Desember
20.30 p.m.
“Lo goblok, tolol, atau bego?” bentak Tito seraya mengusap wajahnya kasar dan berjalan mondar-mandir di depan meja dalam ruang kerja kasinoku.
Sumpah, seandainya ia bukan sahabatku dan kami baru saja baikan, pasti sudah kubungkam mulutnya dengan revolver di meja. Kurang ajar sekali mulutnya itu. Teruntuk kali ini, aku tidak akan protes karena apa yang Tito katakan memang benar. Malah, sekarang aku menunduk seperti pecundang kalah perang.
Yah, seharusnya aku yang disebut pecundang, bukan mantan tunangannya. Atau yah ... anggap saja kami memang sama-sama pantas disebut pecundang. Mungkin aku lebih parah.
“Gue ‘kan udah bilang berkali-kali jangan pakai cara kasar! Lo malah ngebunuh karakter dia di depan ... siapa lo bilang tadi? Zain Malik KW?” Aku tidak mengerti kenapa Tito yang frustasi. Bukankah aku yang seharusnya demikian?
Pria bertato itu berhenti sejenak untuk menghadap meja. Dengan kurang ajar, telunjuknya diarahkan tepat di depan wajahku dan lanjut mengomel, “Malah makin dibenci ‘kan lo? Rasain!”
“Terus gue mesti gimana?” tanyaku dengan suara menyedihkan. Aku sampai geli sendiri mendengarnya.
“Terserah lo aja!” pekik Tito dan menghakhiri makiannya dengan berjalan ke arah pintu keluar.
“Mau kemana lo, To? Gue gimana?”
“Bodo amat!” selorohnya yang tak pernah menoleh sekalipun sebelum membuka, mengelarkan tubuhnya, lalu pergi meninggalkan debuman pintu yang cukup mendengungkan telinga.
Belum juga mendapatkan ketenangan dengan merokok, setengah jam kemudian Alfred datang membawa kabar mengejutkan bahwa wanita yang baru saja kupermalukan di depan tunangannya hingga hubungan mereka bubar itu sedang bertandang ke sini.
Mulanya kepercayaan diri penuh mendekapku sehingga membuatku beryanya, “Apa dia tahu aku ada di sini? Jadi, dia mencariku?”
Bibir Alfred tanpa kumis bergetar dan aku tahu pria itu pasti menahan diri untuk tidak meledakkan tawanya. Jadi, secara sederhanya, ia menjawab, “Secara logika tidak, Boss. Dia sama sekali tidak tahu kau berada di sini atau pemilik tempat ini kalau sekarang memesan minuman pada Spencter.”
Aku menjejalkan putung rokok ke asbak, menyimpan revolver di laci meja sehingga meja itu lebih rapi ketika aku menurunkan kedua kakiku dari sana. Lalu bangkit dari kursi kerja kulit hitam dan melipat kemeja hitamku hingga siku. Sesekali menyugar rambut sebahuku, aku keluar dari ruangan menuju lantai paling atas gedung ini menggunakan lift khusus.
Musik yang menggedor-gedor gendang telinga menyambut, tetapi kuabaikan sebab kedua netraku menjelajahi setiap sudut bar yang disirami lampu temaram. Dan tidak sampai lima detik, aku menemukan Melody sedang mengacungkan gelas kosong pada Spencter. Tidak ada yang memaninya kecuali bartenderku itu.
“Hei, gelasmu bocor, Dude! Berikan aku sebotol Jack Daniel’s saja!” pinta wanita itu. Musik yang mendominasi dan nadanya yang serak membuat omongannya sedikit tidak jelas, tetapi aku dapat menerjemahkannya dengan baik melalui Spencter yang ragu mengambil sebotol Jack Daniel’s Whiskey begitu melihatku berdiri di belakang Melody.
Ketika botol pendek itu akan dioper ke Melody, aku mengambilnya dan mengode Spencer untuk meninggalkan kami. Sementara itu, wanita yang kadar alkoholnya sudah naik ke kepala ini mengerang protes dan berusaha meraih botol yang kugenggam.
“Hei! Apa masalahmu, Sir? Ini minumanku! Kau seharusnya memesannya sendiri!”
Sembari menjauhkan botol itu dari jangkauannya di meja samping, aku menjawab, “Kau sudah mabuk, ayo pulang.”
“Kenapa aku harus pulang denganmu, orang asing?” Melody berdiri dan berhasil meraih botol minuman itu lalu meneguknya dengan cepat dan langsung mual disertai batuk. “Hooekkk ... uhuk ... uhuk ... ini tidak enak sama sekali!”
“Sudah cukup, ayo kuantar pulang. Pilih mana? Kugendong atau jalan sendiri?” Tanganku terulur berniat mengambil botol itu, tetapi dengan sigap Melody menepisnya kasar.
Dengan mata setengah terpejam, ia mengangkat dagu dan bergumam, “Astaga, Sir. Kenapa aku baru sadar suara dan gaya bicaramu mirip dengannya?” Tawa menyusul setelahnya. “Hahahaha apa kau kembarannya?” Kemudian Melody menggeleng dengan cepat. “Ah, tidak ... tidak ... itu tidak mungkin. Aku pasti sudah mabuk.”
“Siapa yang kau maksud mirip denganku?” Berbekal rasa penasaran, aku mendesak Melody.
“Jayden Wilder, mantan kekasihku.” Akibat jawaban tersebut, debar jantung yang lebih cepat membuatku membiarkannya meneguk kembali minuman itu dan ia terbatuk lagi. Lalu tanpa malu-malu menukas, “Coba kulihat wajahmu sebentar.”
Wanita itu meletakkan botol di meja bar sebelum berdiri, mendongak mengulurkan tangan untuk meraih rahangku. Berikutnya, ia menggerakkan kedua tangannya supaya aku bisa menuruti kemauannya menoleh ke kanan dan kiri.
Melody menyipit. “Astaga, memang mirip,” akunya datar sambil meraba-raba wajahku yang kaku dan tegang akibat perbuatan itu. Setelahnya kembali melempar pantat ke kursi bar dan meraih serta menenggak botol minumannya.
Sementara itu aku berpikir: you know, people said, orang mabuk biasanya tanpa sadar akan menyuarakan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa hati dan pikiran Melody sekarang adalah aku. Walau jelas-jelas kami sama sekali belum putus sehingga secara teknis aku bukan mantan kekasihnya.
Aku juga tidak bisa memutuskan harus senang atau sedih karena wanita yang kembali meneguk minuman dalam botol ini belum jelas menggambarkan apa yang ia rasakan padaku. Marahkah? Sedihkah? Kecewakah? Bencikah? Atau sebaliknya?
Jadi kuputuskan memanfaatkan siatuasi ini untuk mengorek informasi apa yang ada dalam hati dan pikirannya.
“Sepertinya kau mabuk gara-gara Jayden Wilder,” tanggapku yang sudah ikut melempar pantat di kursi sebelah wanita itu.
“Ah tidak juga, aku hanya ingin mencoba mabuk saja. Kata orang, mabuk dapat melupakan beban pikiran,” balasnya yang kemudian mendekatkan mulut pada bibir botol untuk mengalirkan isinya ke tenggorokan. Dan ia kembali mual serta batuk. “Hooeekkk ... uhuk ...kenapa dengan minuman ini?” memakinya pada botol minuman itu.
“Jadi, kau sedang ingin melupakan beban pikiranmu karena Jayden Wilder?” Sembari mengawasi setiap tindak-tanduk Melody, aku terus memancingnya untuk bicara.
Kebisuan yang ia ciptakan tampak digunakan untuk berpikir. Ia menelengkan kepala beberapa derajat ke kanan untuk melihatku dan memekik, “Baiklah, kau benar, Sir. Dia adalah alasanku mabuk!”
Jantungku kembali berpacu seolah baru saja berlari cepat mengitari lapangan bola. “Kenapa?”
“Kenapa orang asing sepertimu ingin tahu?”
“Karena aku bukan orang asing. Aku Jayden Wilder.”
Melody mengudarakan tawa sambil menepuk-nepuk pahanya menggunakan tangannya yang bebas, seolah itu merupakan hal terlucu yang pernah didengarnya. “Hahaha .... Tidak mungkin! Tidak ada yang bisa menjadi Jayden Wilder selain dirinya sendiri!” Setelah mengatakan hal itu, ia kembali menyesap minumannya yang tinggal setengah.
Aku mengembuskan napas, tetapi belum mau menyerah dengan usahaku mengorek isi hati dan kepalanya. “Baiklah,” koreksiku, “bagaimana kalau seandainya, aku adalah Jayden Wilder, apa yang akan kau lakukan?”
Kalimat itu jelas memicu tawanya berhenti. “Seandainya kau adalah Jayden Wilder?” ulangnya sambil menunjukku, tetapi tatapannya yang menerawang berpaling pada botol-botol minuman keras yang berjajar di bar. “Pertama-tama, aku ingin minta maaf karena waktu itu menghilang. Sungguh, aku tidak ingin melakukannya kalau bisa.”
Akhirnya, yang kutunggu dari dulu akan kudengarkan. Namun, rupanya aku terlalu cepat senang karena jawaban setelahnya. Meski sudah mulai mabuk, rupanya kalimat Melody masih terstruktur. Yang membuatku terus lebih penasaran lagi adalah matanya yang tiba-tiba berkaca-kaca ketika melanjutkan, “Semuanya jadi kacau karena salahku sendiri. Aku selalu merutuki dalam hati kalau itu salahku. Lalu aku sangat takut harus menghadapi konsekuensi kemarahan Jayden seandainya kami bertemu lagi. Walau memang dengan sengaja aku ke negara ini untuk memenuhi permintaaan ulang tahunnya. Tapi karena sesuatu, aku tidak bisa menampakkan diriku di hadapannya.
“Aku terlalu naif. Lalu takdir membawaku bertemu dengannya. Mulanya hanya selayang pandang dan mendapati dia bersama seorang wanita. Aku hancur sekaligus lega dalam waktu bersamaan. Aku hancur karena rupanya dia sudah melupakanku. Dan aku lega karena mendapatinya baik-baik saja. Jadi, aku berpikir sudah saatnya aku membuka hati juga untuk pria lain. Sampai suatu ketika dia datang berlumuran darah karena kecelakaan.
“Izinkan aku sedikit menyombong sedikit, pria asing. Aku adalah seorang dokter volunteer yang dipaksa keadaan untuk menanganinya. Sebagian hatiku ingin menceritakan itu pada tunanganku yang juga merupakan dokter, tapi aku teralalu takut lalu berpikir sebaiknya aku menghormatinya dengan bersikap biasa, seperti tidak terjadi apa pun. Dan melimpahkan tugas itu pada rekanku seperti prosedur rumah sakit normal.
“Mendengarnya koma, aku kembali terpuruk dan menyalahkan diri sendiri. Apakah Jayden seperti itu karena aku? Dan apakah aku harus menceritakannya pada tunanganku? Lagi-lagi aku harus dihadapkan dengan dilema itu. Lalu, aku menbiarkan waktu terus berlalu dan menemukan dia sudah sadar. Itu melegakan aku sekali lagi.
“Aku memutuskan untuk tidak berurusan dengannya lagi karena beberapa faktor alasan. Tapi dia menemukanku dan prediksiku akan kemarahannya sangat tepat. Dia tidak akan menerima keadaan walau sudah berahun-tahun berlalu. Kau tahu, Sir? Jayden yang marah padaku karena menghilang, itu sangat mengerikan.”
Aku sedikit tercekat, tetapi tetap berusaha mencerna setiap kalimat yang ia ucapkan. Dan selama ia bercerita panjang, tak ada satu pun kalimat yang mengutarakan alasannya menghilang. Jadi, aku bertanya, “Kenapa kau tidak mengatakan padanya alasanmu menghilang? Mungkin dia bisa menerima alasan dan memaafkanmu.”
Air mata Melody mengalir ke pipinya. “Tidak, aku tidak bisa.”
“Kenapa?” tuntuku.
“It’s just ... you know ... complicated," ungkapnya sambil tersenyum, mengusap air matanya kasar dan mengacungkan botol whiskey untuk diminum lagi. Dan masih terbatuk.
Cara ini masih tidak berhasil, kenapa ia begitu sulitnya menjelaskan?
Aku menghembuskan napas berat. Tangan-tanganku pun kujejalkan ke saku mantel untuk kukepalkan.
“Kau tahu, aku sangat bersyukur dia bisa bangun dari koma dan hanya mengalami sedikit efek samping dari koma itu, lalu sehat kembali setelah terapi. Aku tidak bisa membayangkan dan tidak akan sanggup membayangkan seandainya dia ... dia—maafkan aku orang asing, aku malah cerita panjang lebar.”
“Tidak apa-apa, aku bisa jadi pendengar yang baik,” balasku. Dalam hatiku sedikit menghangat karena tanpa ia sadari, wanita ini sudah mengungkapkan bahwa ia berusaha menyelamatkan nyawaku dan mengkhawatirkanku. Bukankah artinya ia masih meletakkan kepedulian padaku?
“Terima kasih, kupikir menceritakan beban yang kurasakan, membaginya dengan orang lain, sedikit bisa membuatku lega.”
Aku menghela napas. “Bagaimana jika aku, em ... maksudku Jayden, minta maaf karena sudah marah padamu?”
“Untuk apa?” tanyanya polos. “Seharusnya akulah yang minta maaf, seharusnya aku tidak marah padanya atau membencinya karena sudah merusak hubunganku dengan tunanganku. Padahal aku sendiri sudah memperkirakan hal itu akan terjadi. Seharusnya aku mengerti keadaannya. Bukan malah marah dan meneriakinya mons—”
Sudah cukup, aku tidak tahan lagi. Bahkan di saat aku sudah menyakitinya sedemikian rupa, semua kalimatnya membuktikan ia masih peduli padaku, terutama perasanku. Jadi, tidak kubiarkan ia melanjutkan kalimat dengan aku yang kubungkam mulutnya dengan ciumanku.
Melody mulanya kaget, tetapi tidak melawan ketika aku meraih serta meletakkan botol minuman keras tersebut di meja lalu berdiri untuk menggendongnya ala bridal style menuju lift untuk turun ke ruang kerja kasino. Tidak lupa menutup pintu dan menguncinya, aku mendudukkanya di meja kerja.
“Astaga, aku merindukan ciuman ini. Kedengarannya mungkin konyol. Tapi aku tahu betul bagaimana rasanya berciuman dengan mantan tunanganku dan dengan ciuman rasa pahit rokok Jayden yang seperti membakarku hidup-hi—hmp.”
Sekali lagi kubungkam mulutnya dengan ciuman singkat supaya ia berhenti bicara. “Aku Jayden Wilder,” akuku.
Tadinya, tatapan Melody menembus iris cokelat gelapku, sekarang tidak lagi. Ia melihat ke arah lain sembari memegangi kepalanya. “Astaga, aku pasti sudah mabuk berat sampai berciuman dengan orang asing dan di mana ini, aku bahkan tidak tahu.”
“Kau tidak berciuman dengan orang asing, aku memang Jayden Wilder.”
“Sir, wajahmu, suaramu, bahkan ciumanmu memang mirip, tapi bukan berarti kau adalah Jayden Wilder. Aku sudah mabuk, sebaiknya aku pulang.”
Melody menyangga kedua tangannya di meja untuk berusaha turun, tetapi aku menahan kedua bahunya. Lihat ini,” titahku sembari mengacungkan tangan kiri. “Kau ingat tato ini?”
“Mungkin hanya kebetulan kau punya tato itu. Minggir, Sir. Aku mau pulang, Max pasti menungguku di rumah.”
Max? Anjing Alaskan Malmute hadiah ulang tahunnya dariku?
Kali ini aku mendongakkan wajahnya agar fokus menatap wajahku.Walaupun orang mabuk biasanya tidak bisa fokus, ia kelihatan berusaha keras memfokuskan diri.
Aku menatapnya intens sambil mengusap pipinya pelan. “Aku Jayden, Baby. Aku Jayden, Jayden Wilder, Jayden-mu,” ucapku penuh penekanan, juga setengah putus asa. Persetan dengan bahasa Inggris dan aksen! Aku mengatakannya dalam bahasa Indonesia, agar ia tahu itu memang aku, Jayden Wilder. Bukan orang asing yang baru saja ia temui di bar.
Ia meneliti setiap kalimat dalam bentuk tatapan matanya, lalu membelalak seakan baru menyadari hal tersebut. “J-Jayden ...,” panggil wanita itu yang sudah berkaca-kaca, menyertainya dengan membelai wajahku. “Beneran kamu Jayden?” Suranya bergetar ketika menjawab dengan bahasa dan aksen yang sama, menciptakan anggukanku. Air matanya pun mengalir lagi. “Maafin aku Jayden, maafin aku.” Sekarang, ia menangis tersedu-sedu.
Aku menggeleng cepat. “Harusnya aku yang minta maaf.”
“J-Jayden ...,” panggil Melody lalu memelukku erat sekali sambil menangis. “Jangan marah kayak gitu Jayden, aku takut. Aku takut banget.”
Aku membalas pelukannya, menumpahkan segala rasa yang berkecambuk membabi buta. Perasaan campur aduk yang tidak dapat digambarkan atau diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya sangat lega bisa memeluknya seperti ini. Walaupun mungkin saat sadar nanti ia akan memaki dan membenciku kembali, untuk kali ini saja, biarkan aku memeluknya. Mencurahkan semua kerinduan dan kasih sayang padanya.
Aku hanya ingin melepas beban yang selama ini bertengger di bahuku. Akan kulupakan semua yang terjadi di antara kami selama ia menghilang dan kejadian-kejadian tidak mengenakkan belakangan ini dengan menekan tombol ulang sehingga adegan hidup kami akan tersetel ulang. Aku hanya akan menikmati momen ini, merasakan kembali bagaimana ia mencintaiku.
Kau mungkin menganggapku terlaku percaya diri karena menyimpulkan Melody mencintaiku, bukan? Namun, aku tidak peduli sebab tidak perlu kata-kata cukup melalui pelukan ini, Melody sudah yang membuktikan bahwa ia masih mencintaiku seperti dulu.
Kau tahu, Berlian Melody, I’m crazy about you.
______________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang uda vote dan komen dan juga benerin typo
Kelen luar biasa
Ada yang kangen bang Jay rambut pendek?
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 27 Oktober 2019
Repost : 10 Oktiber 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro