Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

Welcome to Chapter 10

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Well, happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________

I don't love you by Cemical Romance

______________________________________

Tidak perlu berusaha mati,
kalau saatnya tiba,
pasti akan mati sendiri

—Alfred Grisham
______________________________________

Musim dingin
Summertown, 16 Desember
13.08 p.m.

Walau malu-malu muncul di musim dingin, matahari yang redup telah melewati tengah hari dan aku masih meringkuk di karpet. Pikiran-pikiran buruk mengenai Melody yang akan membenciku akibat apa yang telah kulakukan padanya, menyerangku tanpa ampun. Kupikir, mentalku sudah tidak bisa menerima banyak tekanan lebih dari ini.

Teringat akan beberapa botol minuman keras di penthouse ini dan beberapa laci rahasia di dapur yang menyimpan beberapa senjata api ilegal, aku mengurai lipatan-lipatan tanganku di lutut lalu berusaha bangkit.

Sepertinya alkohol dan bunuh diri memang rencana terbaik. Aku akan minum sampai mabuk, mungkin over dosis, lalu tidak akan terasa apabila aku menembak kepalaku hingga mati. Itu akan membuat proses kematianku hanya dalam hitungan detik sehingga tidak akan merasakan sakitnya meregang nyawa. Dengan begitu, rasa sakit yang membanjiri seluruh hati dan tubuhku juga menghilang. Jadi, aku tidak perlu melihat Melody yang menangis, ketakutan atau membenciku lagi. Aku sugguh tidak sanggup.

Membuarkan turtle neck-ku di lantai, kedua kaki yang menyangga tubuhku berpindah ke dapur. Seperti halnya ruang kerjaku di semua kasino dan penthouse-ku di beberapa daerah, penthouse ini juga dilengkapi dengan lemari kaca ramping setinggi dua meter sebagai tempat penyimpanan segala jenis minuman keras.

Aku membuka pintu lemari itu dan meraih botol vodka pertamaku. Sedetik berhasil menanggalkan tutupnya, aku sontak meneguk cairan yang pahit dan terasa membakar tenggorokan tersebut sambil duduk di bawah patri. Bedkali-kali aku mengernyit karena meneguknya dengan cepat sampai habis dan mulai menyukai efek yang ditimbulkannya.

Dengan menyangga kepala yang berat, aku berdiri untuk kembali ke lemari alkohol yang berjarak dua meter dari tempatku duduk. Berhubung efek minuman ini sudah benar-benar menyerangku, jalanku menjadi tak beraturan. Beberapa kali aku nyaris jatuh kalau tidak berpegangan pada pinggiran pantri marmer. Namun, pada akhirnya bisa tiba di lemari.

Tanganku membuka pintunya dan meraih botol sekenanya. Tidak peduli jenis minuman apa itu, aku berusaha membuka botol tersebut dengan susah payah. Dan butuh waktu lebih banyak untuk melakukannya. Namun, kukatakan pada diri sendiri bahwa penantian botol yang terbuka akan sebanding dengan rasa minuman keras tersebut.

Teringat dengan tujuanku yang lain, aku berjalan ke patri dan menekan-nekan kabinetnya untuk membuka laci-laci rahasia tempat penyimpanan senjata. Dikarenakan sulit, aku marah, memukul-mukul dan menendang-nendang kabinet itu hingga tanganku berdarah akibat terkena gesekan berulang-ulang.

Lucunya di saat seperti ini aku mengingat beberapa senjata yang kuselipkan di bawah meja kayu berlapis kaca anti peluru di ruang makanku. Kali ini aku cukup senang karena mendapatkan apa yang kuinginkan.

Revolver tanpa peredam tersebut sudah kutempelkan di pelipisku. Saat kutekan, ternyata tidak terjadi ledakan seperti yang kuharapkan. Aku menekannya terus-menerus dan benda tersebut tetap rajin diam, tidak meluncurkan kaliber. Beberapa detik setelah mengumpat-umpat, baru kusadari kalau revolver itu kosong.

“Bloody hell!” umpatku sekali lagi yang kemudian meletakkan revolver itu di patri marmer. Dengan tubuh oleng dan kepala semakin berat, kuteguk minumanku sekali lagi hingga tandas lalu kembali membuang botolnya sembarangan untuk mencari kaliber-kaliber di kabinet.

Karena mabuk, tanganku tidak bisa diperintah sesuai keinginan otak. Jadi, aku mencarinya dengan gemetar seperti orang gila yang ketakutan. Untuk beberapa waktu yang tidak singkat, kaliner itu baru ketemu. Dan segera memasukkan peluru-peluru tersebut dalam revolver.

Benda itu kini sudah benar-benar siap menembak. Jadi, sekali lagi kutempelkan revolver pada pelipis kananku. Namun, saat akan metekan pelatuknya, entah datang dari mana dan sejak kapan, Tito lebih dulu menendang revolver yang kugenggam hingga jatuh ke lantai.

“Boss, mau ngapain lo?” tanya pria itu sambil berteriak dan memelotot, juga memegangi tubuh bagian kananku yang bertelanjang dada.

Alfred pun rupanya juga ada di sana, ikut memegangi tubuh bagian kiriku ketika aku ingin memungut revolver itu di lantai. Sejenak, ada perasaan menyesal sebab membiarkan mereka memikiki sidik jari semua penthouse-ku untuk kepentingan penjagaanku. Dan sekarang, mereka merusak rencana apik yang sudah kususun.

“Sial! Ngapain kalian datang? Lepasin!” teriakku sembari memberontak. Namun, percuma. Kekuatan dua orang pria jelas lebih unggul dibandingkan dengan seorang pria yang mabuk pula. Jadi, usahaku jelas tidak membuahkan hasil.

“Lo mabuk, Boss!” Tito berusaha menyadarkan apa yang akan kulakukan.

Dan tentu saja aku mengelak. “Kagak! Gue masih sadar! Jadi, minggir!” Aku masih mencoba meronta untuk berupaya meraih revolver.

“Gue tanya sekali lagi mau ngapain lo nempelin revolver ke kepala lo sendiri?” Tito tampaknya meyakinkan diri sendiri dan berharap jika apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan yang prediksinya. Mungkin ia juga berharap aku hanya sedang bercanda.

“Bukan urusan lo, To! Minggir!”

“Boss, jangan gegabah,” cegah Alfred.

Dan aku mendengar Tito kembali memekik, “Urusan lo juga urusan gue! Apa lagi kalau lagi mabuk! Lo mau bunuh diri?”

“Iya! Jadi, minggir kalian!” balasku, tak kalah memekik.

“Gue baru tahu lo pendek akal, Boss!” Lagi-lagi Tito mengeluarkan suara keras. Aku pun mencoba menulikan pendengaran dan masih berusaha memberontak.

“Minggir! Gue pengin mati aja!” “Minggir, sialan!” rontaku.

Rupanya, pemberontakan dan omonganku bisa membuat amarah Tito memuncak. Ia mendorong Alfred hingga cengkraman tangan mereka yang menahan tubuhku terlepas. Aku pun terjerambab ke lantai dapur yang penuh pecahan kaca botol minuman keras dan tidak sengaja menendang revolver yang berada di bawah kakiku. Kini benda itu semakin jauh dari jangkaukanku.

Mengabaikan telapak tanganku yang berdarah akibat terkena serpihan-serpihan kaca, aku mulai merangkak untuk mengambil revolver tersebut. Namun, Tito dengan cekatan menendang benda itu lebih jauh.

“Sadar, Boss!” maki pria berkulit sawo matang tersebut sambil membalikkan badanku yang masih merangkak. Tangan-tanganku pun refleks menahan tubuh dan lagi-lagi serpihan kaca itu memperburuk luka sebelumnya.

“Minggir lo!” Aku mencoba mendorong Tito, tetapi tidak bisa. Padahal dalam kasus biasa, aku yang selalu menang dalam situasi ini—menang melawan siapa pun. Namun, entah kenapa rasanya aku begitu lemah. Tekat kuatlah yang malah membuatku terus berjuang untuk mati.

“Minggir gue bilang!” Sekali lagi aku meneriaki Tito yang masih berusaha menahanku. Mungkin karena kekolotanku, ia akhirnya mengepalkan tinju dan mengarahkannya tepat ke pipi kiriku.

“Sadar gue bilang! Lo udah gila ya?”

“Iya, gue emang udah gila!” Aku balas meneriakinya dan berusaha berontak lagi, masih berusaha mengambil revolver, tetapi Alfred malah mengambil benda itu.

“Gue kagak kenal lo!” geram Tito. “Boss yang gue kenal nggak kayak gini, bangsat! Sadar lo!” Sambil terus memaki, ia melayangkan pukulan demi pukulan ke wajahku. Dan rasanya aku tidak mampu melawan karena pusing yang kian menyerang akibat pukulan-pukulan tersebut.

“Kenapa lo diam aja? Lawan gue!” Tito menjambak rambut gondrongku untuk mendongakkannya. Namun,  aku bergeming.

Dan Alfred pun ikut berteriak, “Tito, apa yang kau lakukan? Sudah, cukup, hentikan! Boss bisa mati!”

Akan tetapi, sepertinya Tito memang belum puas menghajarku sebelum aku sadar dan membalas perlakuannya. Tertanda dari ia yang melepas jambakannya untuk mendorong Alfred. Kemudian melayangkan tinju-tinjunya ke awajahku lagi.

Darah segar sudah bercucuran di hidung, pelipis dan bibirku. Dan aku masih bergeming. Sama sekali tidak melawan atau minimal balas meneriakinya. Satu sentakan dan tinjuan keras menghantam pipi kiriku hingga aku jatuh terlentang dan serpihan-serpihan kaca menyakiti kulit punggungku yang bertato sayap malaikat, berulah Tito berhenti dan bangkit berdiri. Tatapannya begitu tajam, terselip begitu banyak semburat kemarahan.

“Hahaha ....” Aku malah tertawa keras seperti orang gila dan sinting—mungkin aku memang sudah gila dan sinting. Melihat Tito yang melihatku dengan ngeri.

Alfred ikut bangkit, menepuk-nepuk tangannya supaya serpihan kacanya rontok. Sewaktu kedua tangan consigliere itu hendak menolongku, kutepis secara kasar tanpa mengalihkan tatapanku pada Tito yang ngos-ngosan dan masih melayangkan tatapan nyalang padaku.

“Ngapain lo berhenti? Harusnya lo hajar gue sampe mati, To.” Aku mengkonfrontasi Tito dengan senyum cemerlang, menatap geli pada wajah pria itu yang seakan tidak percaya itu adalah aku.

Jangankan Tito. Aku sendiri pun, tidak pernah menyangka bisa seperti ini. Pasti alkohol mengambil peran besar dalam hal ini. Atau kejadian tadi ya?

Tito memelotot sambil menunjuk-nunjukku. “Belom sadar juga lo, bangsat? Kelakuan lo itu kayak sampah tahu nggak? Gara-gara cewek doang! Udah mau bunuh diri! Banci!”

“Berengsek! Gue bukan playboy kayak lo yang tiap jam main sama beda cewek! Kena HIV baru tahu rasa lo!” Aku membalas omongannya dengan tangan mengepal erat, siap menghajarnya kendatipum masih terlentang di lantai.

“Gue ini cuma mau nolongin lo, goblok!”

“Gue nggak butuh bantuan lo!”

Tito terhenyak. “Asshole! Ya udah! Jangan panggil gue lagi kalau ada apa-apa!” teriaknya sebelum pergi dan membanting pintu depan hingga menimbulkan debuman kencang.

“Dasar anjing! Nggak tahu terima kasih lo sama gue, To? Gue yang kasih lo makan dan lo malah gigit majikan lo sendiri!” makiku. Tentu saja percuma. Tito, sahabatku—mungkin ia sudah tidak menganggapnya begitu, sudah pergi.

Sementara itu, laki-laki yang berumur akhir tiga puluhan bernama Alfred tetap gigih menolongku berdiri. “Kau tidak apa-apa, Boss?”

“Tidak usah berlagak peduli padaku!” Aku membalasnya dengan bahasa dan aksen yang sama. Bukan dengan teriakan, melainkan dengan nada penuh penekanan. Aku juga menolak uluran tangannya dan bangkit sendiri meski badan rasanya bisa ambruk kapan saja.

Alfred pergi entah ke mana. Kupikir aku ditinggal sendirian sehingga misi bunuh diriku bisa terlaksana. Namun, ketika mencari revolver, aku tidak menemukannya di mana pun. Dalam waktu bersamaan, Alfred datang membawa kotak first aid, handuk, dan baskom berisi es batu. “Sebaiknya, hentikan saja acara bunuh diri, Boss. Tidak ada gunanya. Tidak perlu berusaha mati, kalau saatnya tiba, Boss pasti akan mati sendiri. Sekarang ayo ke sofa, aku akan mengobati luka-lukamu dulu.”

“Lihat siapa yang bicara,” ejekku, entah kenapa malah menuruti kata Alfred yang membimbingku duduk di sofa dekat meja makan yang menghadap dinding kaca anti peluru penthouse ini. Sehingga kami bisa melihat saju melayang-layang di udara sebelum akhirnya jatuh ke tanah.

Setelah duduk, Alfred pergi lagi dan kembali membawa segelas obat pereda mabuk. Ia menyuruhku meminumnya sampai habis lalu mengobati luka-luka di sekujur tubuhku. Mulai dari luka serpihan kaca di kedua tangan, punggung, dan juga memar di seluruh wajah.

“Begini, aku tidak akan menghajar untuk menyadarkan apa yang akan dan sudah kau lakukan, Boss,” ucapnya di saat situasi kami sudah tenang, tidak setegang tadi. “Tapi, coba tolong pikirkan lagi. Kalau kau bermaksud mati dengan cara seperti itu, bagaimana dengan keluargamu? Kakak perempuanmu, misalnya, yang sedang berada di sini. Dan lagi, bagaimana dengan klan Davidde kita?” tambahnya, berwajah tenang, tetapi dengan tingkat keseriusan tinggi.

Mungkin, karena aku diam saja, ia mungkin mengira aku sedang mencerna perkataannya sehingga melanjutkan, “Dengan kami? Apa kau lupa kalau kau pemimpinnya? Itu berarti kau jugalah yang memberi kami makan. Banyak orang yang bergantung padamu. Lalu kau seenaknya bunuh diri karena alasan itu. Ingat, Boss. Klan Davidde baru saja kehilangan pemimpin beberapa tahun lalu. Kalau kau mati, siapa yang akan menggantikannya? Belum ada penerus yang cocok. Jadi, kami harus bagaimana?”

Aku bergeming, sama sekali tidak memikirkan bagian ini.

“Kami senantiasa melindingimu dari para mafia lain karena respect padamu, karena keloyalitasan kami yang juga akibat dari keloyalitasanmu pada kami. Karena kesadaran kami sendiri. Tapi kenapa Boss malah ingin mati hanya gara-gara seorang wanita?” Alfred berpidato panjang lebar padaku yang hanya menatap sembarang arah dengan tatapan menerawang—mencoba mencerna apa yang ia maksudkan sambil menempelkan handuk dingin di pipiku.

“Kalau kau menginginkannya, kerjarlah lagi.”

“Dia akan menikah, Alfred.” Entah kenapa aku malah menjawab pertanyaanya. Sejujurnya mengatakan hal itu membuat hatiku kembali diserang rasa nyeri. “Tiga bulan lagi,” lanjutku lirih.

“Lalu kenapa? Kau tidak percaya diri untuk merebutnya? Kalau dia sudah menikah sekalipun, kau juga bisa memporak-porandakan rumah tangganya. Apa susahnya?”

“Dia mungkin sudah membenciku.” Ha! Aku baru sadar suaraku sangat menyedihkan.

Alfred kini berdiri dan mengubah posisinya menghadapku. Lalu memasukkan tangan-tangannya ke saku celana. “Kau bisa membuatnya mencintaimu lagi.”

“Bagaimana kalau aku gagal?”

“Sungguh? Kau ragu? Aku tidak percaya ini. Kau menembak kaki Cavez Donzalo dan anak buahnya tanpa ragu, tapi sekarang kau meragukan cara membuat wanita manis itu mencintaimu lagi? Kau pasti bercanda, Boss,” ejeknya.

Tatapanku yang semula masih menerawang, segera beralih menembus iris cokelat gelap Alfred. “Dengar Alfred! Jangan pernah kau sebut dia manis kalau matamu masih ingin bisa melihat! Dan cukup ceramahmu itu! Aku tahu kau lebih tua dariku, tapi ini sungguh memuakkan!” Telingaku sudah berdengung mandengar ceramahnya yang ngawur itu.

Bukannya berhenti Alfred malah semakin memperpanjang khotbahnya. “Dengar, Boss. Kalau kau gagal, kau bisa move on. Masih banyak wanita di luar sana, tidak hanya dia.”

Aku berdecak dan mendengkus kesal. “Kau pikir bagaimana aku berusaha move on selama beberapa tahun ini?”

Alfred tersenyum, “Tidak, Boss. Tubuhmu memang berusaha move on, tapi hatimu tidak. Percuma saja pikiran kita move on kalau hati kita sendiri tidak ingin move on, itu tidak akan berhasil. Kau harus percaya padaku karena aku juga sedang berusaha melupakan mantan instriku sama sepertimu, Boss. Apa lagi aku sudah memiliki seorang putra berumur dua tahun.”

Kurang ajar si Alfred ini. Ia pikir ia ahli percintaan? Jika iya, harusnya si Kampret ini tidak usah jadi consigliere mafia. Jadi dukun cinta saja.

“Pikirkan dan renungkan baik-baik ucapanku, Boss. Aku akan memanggil maid untuk mengurus semua kekacauan di sini.” Alfred mengatakannya sambil melihat sekeliling yang berantakan karena ulahku. “Oh ya, lebih baik Boss simpan saja kaliber dalam revolver ini untuk hal yang lebih berguna. Misalnya, untuk tunangannya.” Ia diam sebentar, lalu melanjutkan, “Kalau kau ingin mengambil jalan pintas seperti yang biasanya orang-orang seperti kita lakukan.”

Alfred mengeluarkan revolver yang rupanya diamankannya itu untuk diulurkan padaku. Dan satu lagi bungkusan kecil kemudian berucap, “Oh ya, tadinya aku dan Tito ke sini mau memberikan obat yang harus kau minum dari dokter Meggy Force. Ini dia obatnya. Sebaiknya kau konsultasi padanya lagi sebelum meminumnya karena baru saja minun minuman keras. Permisi.” Ia pun pergi meninggalkanku yang masih bergeming, merenungkan kalimat khotbahnya.

Sial! Cerdas juga si Alfred! Kenapa aku tidak berpikir ke arah sana?

Aku pun meletakkan setumpuk obat di meja rendah hadapanku untuk meneliti revolver yang masih kugenggam diselingi smirk smile.

______________________________________

Thank for reading this chapter

Makasih juga yang uda vote dan komen, dan benerin typo

Kelen luar biasa

Well, bonus foto abang Jay yamg saya jadiin cover

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Post : 23 Oktober 2019
Repost : 7 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro