5. ES KRIM CAIR
Haihaiii, Mocha is back! <3
Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia ya
Happy reading!
***
Pagi itu, gedung rektorat Universitas elite Harapan Nusa sangat ramai. Javas bersama calon mahasiswa lainnya menunggu antrian giliran pendaftaran kuliah, ada juga sekretaris ayahnya Javas yang baru saja keluar dari ruangan rektorat. Mereka semua mengenakan barang branded super mahal dan terbaru terkecuali Javas. Lelaki itu hanya mengenakan sisa-sisa baju dan sepatu lamanya yang masih disimpan ketika dia masih kaya.
"Eh, eh. Liat deh, itu cowo ganteng banget!"
"Bener, woi! Dia jurusan apa ya kira-kira? Huwaaa semoga satu jurusan sama gue deh!"
"Gila, bening banget kayak aktor korea! Mirip Cha Eun Woo nggak sih?"
Mendengar suara berisik itu, Javas melirik ke asal suara yang ternyata berasal dari sekelompok cewek-cewek yang sedang memperhatikannya dari bawah tangga. Mereka pun salah tingkah kala Javas menoleh.
Nyatanya, walaupun Javas tidak mengenakan barang keluaran terbaru pun, ia tetap dipuji karena fisiknya yang tampan dan tinggi.
Setelah mengambil nomor dan formulir, Javas pun melangkah ke arah loket pendaftaran khusus beasiswa di ruangan berbeda. Hanya ada 10 orang anak beasiswa yang datang. Javas pikir ia bisa bernapas lega, namun kenyataannya anak-anak itu tetap mengenakan barang branded.
Javas yang tadinya sudah percaya diri mendadak ciut lagi karena mereka semua sekarang tengah memakan jajanan fast food yang mahal sambil menunggu giliran dan membicarakan harta mereka. Hanya Javas yang bawa roti murahan dari warung. Javas panas dingin. Bagaimana kalau dia tiba-tiba ketahuan miskin dan jadi bahan bullyan lagi?
Suasana ini membuat Javas canggung dan terintimidasi, apalagi saat mendadak ada seorang lelaki berwajah dingin dengan kemeja biru duduk di hadapannya sembari menikmati pepper lunch box beserta kopi premium. Javas tambah canggung.
Bagaimana kalau orang itu tahu makanan Javas harganya cuma dua ribu sedangkan yang dia makan ratusan ribu? Rasanya Javas ingin buru-buru menghilang saja dari sini.
"Tuan Aidan, apakah sudah selesai?" Tiba-tiba pria paruh baya dengan baju formal datang menghampiri cowok berambut coklat itu.
Lelaki yang dipanggil Aidan itu lalu menyelesaikan makannya dan bangkit sambil tersenyum ramah pada Javas, seolah pamit kepadanya.
Javas kaget. Ia balas senyuman lelaki itu dengan sungkan. Kalau dipikir-pikir, dari tadi hanya lelaki itu yang ramah dan tidak mengusik Javas. Sepertinya dia orang baik.
***
Seusai antrian pendaftaran yang cukup lama dan membuat gerah, Javas mampir ke lawson sebentar untuk beli air mineral. Namun ketika ia baru beli dan hendak balik ke parkiran, langkahnya dihentikan oleh seorang pria berpakaian formal yang juga habis belanja di sini.
Mata Javas berbinar. Tunggu. Itu kan, Paman Antonio?
"Eh, Javas! Kamu di sini juga?" tegur pria itu sambil tersenyum antusias, tak menyangka bertemu dengan Javas di sini. "Duduk dulu, duduk!"
Mereka lalu duduk di mini bar minimarket; tepat di depan dinding kaca transparan yang mengarah langsung ke gedung Universitas Harapan Nusa yang megah dan mewah. Untuk sepersekian detik, Javas masih tidak menyangka berhasil masuk ke dalam Universitas sekeren itu.
"Ini, Paman beli es krim potong. Dimakan ya," ujar Paman Antonio seraya mengeluarkan es krim dari kantong plastik minimarket.
"Eh, enggak usah—"
"Jangan ditolak. Ini Paman memang belikan buat kamu. Tadinya Paman mau ke rumah," sergahnya.
"Oh? Baik kalau begitu. Terima kasih, Paman." Javas terkekeh, dan ia mulai memakan es krimnya.
"Ini kamu habis dari mana?" tanya sekertaris ayahnya itu.
"Baru selesai pendaftaran nih, Paman. Javas keterima di Universitas Harnus yang Paman rekomendasiin waktu itu ke Javas," jawab Javas dengan antusias, matanya berbinar-binar.
"Oh ya? Waaah, selamat ya, Javas. Kamu hebat. Memang benar-benar turunan ayahmu," puji Paman Antonio.
"Hahaha Paman bisaan, nih. Javas biasa aja, kok."
"Tapi serius, Universitas Harnus itu kampus elite, kan? Tidak mudah masuk ke sana kecuali anak-anak yang benar-benar jenius dan berprestasi. Kamu salah satunya. Kamu harus bangga dengan diri kamu sendiri, Vas. Ini semua berkat kerja keras kamu."
Javas tersenyum mendengar perkataan Paman Antonio barusan. Kalau dipikir-pikir, beliau benar juga. Javas memang sudah belajar dengan sangat keras. Seharusnya Javas lebih apresiasi dirinya sendiri.
"Kamu pantas mendapatkan hasil jerih payah kamu, Nak," ucap pria itu sambil menepuk-nepuk pundak Javas. "Tapi kalau nanti kamu butuh sesuatu, kasih tau Paman saja."
"Makasih Paman, tawarannya. Tapi Javas pasti mau usaha dulu sebelum minta bantuan Paman. Javas enggak mau nyusahin Paman," jawab Javas.
Beliau tersenyum. Karena Javas bilang begitu, maka beliau memberikan satu es krim lagi pada Javas seraya berkata "ya sudah kalau memang begitu. Ini Paman ada es krim potong lagi. Kasih adik kamu, ya."
Es krimnya sudah agak meleleh karena terkena matahari, tapi Javas tidak enak kalau tidak menerimanya, maka tetap ia ambil saja. "Ah, iya. Terima kasih, Paman."
"Sama-sama Javas. Kalau begitu Paman pulang dulu, ya," pamit Paman Antonio sembari bangkit dari tempat duduknya.
"Iya Paman, hati-hati di jalan!"
Senyum Javas mengembang saat menatap punggung Paman Antonio yang semakin menjauh. Dalam hatinya, dia bersyukur karena selalu mendapat pertolongan di titik terendahnya sekali pun.
***
Revan yang mengeluh kepanasan habis pulang sekolah langsung kegirangan begitu menemukan es krim di kulkas. Ini pasti punya Abangnya. Tapi karena Revan terlanjur ngiler, dia jadi tidak izin dulu.
"Yaah, kok es krimnya cair banget? Abang sengaja ya?" omel Revan saat membuka bungkusnya.
"Itu dibeliin paman. Mungkin tadi gara-gara paman di jalan kelamaan terus kena panas," sahut Javas sambil menyimpan helmnya di dalam lemari ruang tamu. Dia sendiri juga baru pulang dari kampus. "Emang cairnya semana? Padahal udah agak lama Abang taruh di kulkas."
"Kan bisa Abang minta yg baru. Padahal gigi Revan sensitifnya engga separah itu kok," keluh Revan.
Javas berjalan mendekati Revan yang masih berdiri di depan kulkas. "Coba sini abang lihat."
Kedua mata Javas membelalak begitu melihat es krimnya sama sekali tidak berbentuk. Aneh juga. Masa sampai segini hancurnya, sih?
"Ya udah lah dimakan aja. Kalau enggak mau Abang yang makan nih," ancam Javas seraya merebut es krimnya dari Revan.
Adiknya itu melotot, dia rebut lagi es krimnya dari Javas. "Eeh jangan dong, Bang."
Javas terkekeh. "Makanya, buruan dimakan."
***
Ketika Javas baru bersiap-siap akan tidur, entah kenapa dia masih kepikiran es krim tadi. Waktu pertama kali Javas terima juga sudah cair.
"Bener juga, sih. Kenapa dikasihnya yang harus cair banget, ya? Sebenernya apa yang ada di pikiran Paman sampai ngasih es krim kayak gini?" batin Javas sambil menatap langit-langit kamarnya.
Atau mungkin cuma kebetulan saja?
***
Spam komen buat next!!!
Spam komen buat akuuuuuu yang banyaaakkkkk biar aku semangat dan berkembang terus buat memuaskan kaliaaann!!!
Terima kasih sudah membaca dan mendukung aku, semoga kalian suka ceritanya! Ditunggu kelanjutan kisah Javas & Janna di next episode yaa <3
See you on the next part❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro