4. JAVAS & JANNA
Annyeong, Mocha is back! 🫶🏼
Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia ya
Happy reading!
***
"Ini bayaran kamu," ujar manajer kafe tersebut sembari memberikan uang lima ribu rupiah.
"Hah?! Segini doang? Mending gue ngamen di angkot kalau kayak gini mah!" teriak Javas syok dalam hati. Javas sadar memang yang datang barusan sedikit sekali, tapi kalau segini sih tidak manusiawi namanya!
"Lah, kok dilihatin doang? Kamu mau duit apa enggak?!" hardik pria itu. "Miskin kok belagu."
"Tahan, Javas, tahan. Jangan bogem dia, jangan ya," larang Javas pada dirinya sendiri.
***
Satu minggu kemudian.
"Tumben, Vas, senyam senyum gitu pulang-pulang. Habis ketemu pacar ya?" tebak Ibu Javas ketika memperhatikan putra sulungnya yang cengengesan begitu sampai rumah.
"Eng—Enggak kok, Ma!" tepis Javas dengan mulut penuh pocky yang dimakannya. "Javas enggak ada pacar!"
"Oalaah. Kalau ada jangan lupa kenalin ke Mama ya. Hihi," ledek wanita paruh baya itu sembari mengelap tangannya di wastafel, beliau baru saja selesai cuci piring.
"Haha iya pasti, Ma. Tapi sekarang Javas belum kepikiran soal pacar. Javas kan mau fokus kuliah sambil nge band dulu. Tadi tuh Javas senang gara-gara dapat bayaran manggung. Enggak banyak sih, tapi lebih besar dari yang kemarin-kemarin, lumayan buat kita makan," jelas Javas sambil mengunyah pockynya.
"Serius kamu, Nak? Alhamdulillah kalau gitu. Sekarang kamu makan, gih. Mama udah bikin telur ceplok kesukaan kamu," suruh Ibunya membuat bibir Javas tertarik ke atas, memaksakan senyum.
Sebenarnya Javas tidak begitu suka dengan telur ceplok. Tapi bahan makanan yang paling murah saat ini hanya telur, dan Javas tidak ingin menambah beban pikiran ibunya.
"Makasih, Ma. Bentar ya, Javas ganti baju dulu." Javas buru-buru masuk ke kamarnya yang sederhana itu sambil menghitung uang yang didapatkannya hari ini.
Semakin lama kerja di kafe itu Javas akhirnya sadar orang orang disitu rata-rata menyukai musik genre Pop. Kesadaran Javas soal itulah yang membuat kafe itu menjadi semakin ramai.
"Ternyata memang enggak sia-sia dulu les musik. Memang ternyata benar kata Papa. Asalkan kita melakukan hal yang kita suka, pasti dengan sendirinya kita bisa mencari jalan keluarnya," batin Javas.
Namun tidak sampai lima menit, tiba-tiba adiknya Revan masuk ke kamar dengan wajah sedih.
"Abang ... Minggu depan Revan ada study tour ke disneyland sama sekolah Revan, tapi Revan enggak berani naik wahana kora-kora. Revan takut dikatain," adu Revan.
"Terus?"
"Bisa temenin Revan ke pasar malam sekarang nggak, Bang? Revan mau latihan dulu," tanya Revan.
Walau agak menyesakkan dada, tapi Javas tetap tersenyum. "Ayo."
Tadinya, tujuan Javas part time hanya untuk menghasilkan uang demi cita-citanya sendiri. Namun sejak kejadian kemarin, Javas jadi takut kehilangan keluarganya dan dia sudah tidak mau berpikir lagi untuk menabung.
Dia tidak masalah jika uangnya habis untuk keluarga, asal mereka semua sehat dan bahagia.
***
Sepasang kakak beradik itu sampai di pasar malam sekitar jam delapan malam. Javas habis hampir seratus ribu, tapi tidak apa-apalah, masih ada tiga ratus lagi. Yang penting Revan senang.
"Yang mana sih wahananya? Yang segede gaban itu?" tanya Javas sambil menunjuk kapal besar yang dinaikkan lalu dijatuhkan lagi dari ketinggian.
"Iya, Bang. Yang itu," jawab Revan sambil merinding. Belum naik saja dia sudah ketar-ketir.
"Dah, kan? Abang ke bawah dulu. Bye!"
"Abang curang!! Tadi katanya mau ditemenin? Revan bilangin Mama nih!"
"Kan udah ditemenin tadi."
"Emang abang bilang mau temenin dua kali tadi? Wlee." Javas menjulurkan lidah, membuat Revan tambah kesal. "Udah kamu coba sendiri. Katanya mau latihan? Kalau bareng Abang terus pas sekolah kamu tetap takut lho, terus diledekin teman-teman. Mau?"
Revan menggeleng. "Eng—Enggak sih, Bang ..."
"Ya udah abang ke bawah. Mau beli minuman dulu," ucap Javas sambil menepuk-nepuk bahu Revan.
Adiknya itu akhirnya pasrah karena memikirkan kata-kata Javas tadi. Javas benar. Lebih baik dia coba sendiri daripada nanti diejek teman-temannya. Melihat Revan yang mau berusaha, Javas mengacungkan jempol dari kejauhan.
Javas beli mixue dan pocky, tentu saja—untuk dia dan Revan. Ketika menunggu, Javas mengintip jam di ponselnya. Ternyata schedule part-timenya sudah terlewat.
"Kayaknya emang enggak bisa kerja ya hari ini. Lama juga ternyata ke tempat ginian. Dulu pas masih ada ayah kayaknya ke tempat ginian sebentar banget. Pas sekarang kesini nyatanya lama juga," keluh Javas dalam hati. Ia jadi teringat masa kecilnya lagi.
Sambil bawa minum, Javas bermaksud kembali menghampiri adiknya namun ia malah menabrak anak kecil yang ukurannya hanya selutut dia.
"Maaf!"
"Huweee!! Ec klim Abi jatoh, huweee!" tangis anak laki-laki gembul dengan kostum panda itu membuat Javas terkejut.
"Eh, j—jangan nangis! Kakak minta maaf, ya? Kakak gantiin yang baru es krimnya," janji Javas panik, ia sampai berlutut di depan anak kecil itu agar berhenti menangis.
"ABI!!!"
Suara perempuan yang lembut terdengar. Javas menengadah, lalu mendapati seorang gadis berambut panjang yang tengah berlari ke arah mereka dengan wajah tak kalah panik.
"Ya ampun, maafin adikku ya!" ucap perempuan tersebut sambil membungkuk pada Javas berkali-kali.
Javas sedikit bingung. Padahal dirinya yang menabrak, kenapa malah cewek ini yang minta maaf?
"Kak Janna, tadi Ai lihat yang nablak bukan Abi tapi akak itu." Seorang gadis kecil berkostum kucing tiba-tiba muncul dan menegur kakak perempuannya ini. Sepertinya ini adiknya juga. Mereka kembar.
Perempuan yang dipanggil Janna itu tampak salah tingkah. "T—Tapi tadi Kakak lihat Abi juga enggak lihat jalan!!"
"Enggak. Adik kamu bener. Tadi emang aku yang nabrak, kok," ucap Javas membuat Janna bertambah malu.
Javas melihat pipi perempuan itu merah, dia terlihat sangat tidak enakan.
"Enggak apa-apa, sekalian aku ganti es krimnya. Kan aku yang jatuhin," ucap Javas lagi menenangkan Janna. Sebetulnya Javas kesal karena harus keluar uang lagi. Terlebih dia jadi harus belikan untuk kakaknya dan adik yang satunya juga. Tapi Javas ingat kata-kata Papa. Beliau berpesan padanya agar selalu baik pada orang lain.
Janna mencegah lagi. "T—Tapi—"
"Tapi apa?"
"Kak Janna? Mana uangnya? Kita mau beli es krim juga, tahu! Dari tadi kita cariin juga." Tiba-tiba suara anak lain di belakangnya membuat Javas melotot. Kali ini ada cewek sudah besar, kelihatan seperti SMA.
Javas menelan ludah. Jangan bilang ... Ini adiknya juga? Perasaan banyak amat adiknya. Apa perempuan ini punya pabrik anak-anak seperti di anime horror Promised Neverland?
"RIP duit. Langsung ludes dah, alamat kagak jadi nabung lagi," batin Javas miris.
***
Pada akhirnya, Javas membelikan mereka es krim super mahal yang pernah ayahnya belikan dulu. Adik-adik Janna terlihat sangat menikmati es krimnya sambil duduk di depan kedai.
"Untung aja ngga ngelakuin kesalahan fatal, walau uang gua habis ngga ada sisa sih. Tapi Papa pasti bangga sama gua," batin Javas sambil menyedot minumannya sendiri.
Janna yang tertangkap basah sedang memperhatikan Javas diam-diam langsung buang muka. Javas tahu itu, dan Javas abaikan saja. Namun perempuan itu bersuara lagi hingga Javas harus menatap dia.
"Umm ..."
"Iya?"
"M—Makasih, ya, udah traktir aku dan adik-adik aku," ucap Janna malu-malu.
Javas hanya membalasnya dengan senyuman hangat. Yang entah kenapa membuat gadis itu memalingkan wajah lagi. Tangannya meremas kain roknya dengan gugup.
"Kayaknya adik-adiknya udah kelar makan. Gua harus buru-buru bikin mereka pulang dah. Semoga aja gua ngga akan berurusan lagi deh sama ini cewek. Bikin susah aja," batin Javas.
Javas menganggap pertemuan biasa seperti itu tidak akan terjadi lagi. Padahal itu adalah awal dirinya dan perempuan itu akan terus bertemu setiap hari.
***
Spam komen buat next part !!
Spam komen buat akuuuuuu biar aku selalu semangat!!!
Terima kasih sudah membaca dan mendukung aku, semoga kalian suka ceritanya! Ditunggu kelanjutan kisah Javas & Janna di next episode yaa <3
See you on the next part❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro