31. MENYERAH
Cukup ramaikan komen biar aku semangat nulis lanjutannya 🖤
Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia ya
***
Tiga bulan berlalu, Javas dan keluarganya tinggal di rumah nenek di sebuah desa di Jawa Barat. Walau rumahnya sederhana seperti gubuk, namun pemandangan di desa ini begitu indah. Letaknya di atas perbukitan yang tinggi. Udaranya sejuk dan berembun, tak ada polusi seperti di kota. Pepohonan tinggi nan rindang serta sungai dengan air jernih di seluruh penjuru desa membuat tempat ini sangat indah.
Namun sayangnya, sampai sekarang keluarga Javas belum bisa melihat indahnya itu semua. Kejadian yang menimpa mereka beberapa bulan lalu membuat mereka seolah terpuruk ke dasar jurang. Terutama Ibu Javas.
Sejak mendengar bahwa Paman adalah pembunuh almarhum Papa, ibu Javas selalu mengurung diri di kamar. Beliau tidak pernah mau makan, bahkan ingin mati saja karena sudah tidak kuat dengan semua musibah yang menimpa keluarganya.
Dan yang bisa Javas lakukan adalah memasak untuk ibunya menu yang berbeda, berharap dengan salah satu makanan tersebut ada yang ibunya suka. Seperti yang sekarang ini Javas lakukan.
"Ma, makan dulu, ya? Javas bikin rolade sama sup jagung. Ini dibantu Nenek sih, enak banget sampai Javas nambah dua kali," bujuk Javas sambil duduk di pinggir kasur ibunya, tangannya memegang mangkuk berisi sup yang asapnya masih mengebul.
Tidak ada jawaban. Ibunya malah menatap tembok dengan tatapan kosong. Padahal wangi kaldunya benar-benar menggugah selera.
"Javas bantu suapin? Mau?" Javas menatap ibunya lekat.
Ibunya lagi-lagi tidak menjawab.
"Ya udah, Javas taruh di sini ya, Ma. Makanannya. Javas balik harus udah dimakan ya, Ma." Javas menaruh mangkuknya di atas nakas, lalu keluar dari kamar ibunya.
Javas menghela napas frustrasi. Sejujurnya dia sudah tidak tahan lagi dengan hidupnya yang semakin lama semakin menderita. Kalau dulu Javas harus part time jadi tukang bangunan atau kerja di restoran, kini Javas membantu nenek kerja di sawah. Menanam padi, memetik buah-buahan dan membajak sawah. Tidak ada bedanya. Justru lebih parah. Tidak ada peluang sama sekali untuk menggapai impiannya.
"Javas, boleh bantu nenek nyiram tanaman?" Suara neneknya membuyarkan lamunan Javas. Lelaki itu spontan menghampiri nenek di dapur.
"Iya, Nek?"
"Tolong siram tanaman di kebun ya, Nak. Sekalian cuciin buah ini. Ini baru nenek petik tadi," mohon wanita tua yang rambutnya dicepol itu sambil menyerahkan kantong kresek berisi buah-buahan.
"Baik, Nek," ujar Javas sambil tersenyum datar. Ya, ini sudah pekerjaan sehari-hari Javas. Walau Javas muak dan sering kali ingin muntah, Javas tetap melakukannya. Karena Javas juga kasihan dengan nenek yang sudah membantu mengurus dia dan adiknya selama ibunya depresi.
"Abang! Revan ikut! Mau sekalian mancing juga!" Revan yang habis keluar dari kamar menyusul Javas sambil membawa joran pancing.
Javas tersenyum. "Ayo, Dek."
Sebelum membawa kresek itu, Javas menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku, memperlihatkan tangannya yang berurat karena terlalu banyak bekerja. Dengan susah payah, ia bersama Revan beranjak ke atas bukit menuju kebun stroberi yang pohon-pohonnya lebat dan sangat sejuk.
"Bang, abis nyiram tanaman Revan mancing di sungai ya," ujar Revan sembari menuang air dari teko ke tanaman.
"Ya udah, tapi Abang gak bisa temenin ya. Abang mau langsung pulang," jawab Javas.
"Iya, Bang."
Setelah dua puluh menitan, Javas pun pamit pulang duluan pada Revan. Namun langkahnya berhenti di atas tebing. Sejenak, Javas memperhatikan pemandangan kota dari atas sini.
Dada Javas bergemuruh. Ia teringat semua rasa lelahnya saat di kota. Teringat rasa bahagianya juga saat di kota. Teringat semua kenangan di kampus Harapan Nusa, teringat saat nge band bersama teman-teman ASPIRE, teringat makan bareng Aidan, teringat Janna.
Bagaimana keadaan Janna sekarang? Apa gadis itu baik-baik saja? Apa gadis itu sudah lulus kuliah ditemani orang tuanya seperti apa yang ia impikan dulu?
Tiba-tiba Javas merasa berengsek. Terakhir kali bertemu, Javas tidak mengizinkan gadis itu menemuinya. Mereka jadi asing sebelum Javas sempat mengucapkan selamat tinggal.
Semua kenangan manisnya bersama Janna yang begitu berharga tidak akan bisa terulang lagi. Sekarang Janna Almahira hanyalah kenangan.
Tanpa sadar, Javas sudah memandang kota dari atas tebing ini selama berjam-jam.
Javas tak tahan lagi. Dadanya sangat sesak sampai air matanya tak bisa keluar. Rasanya sudah tidak ada gunanya lagi bertahan hidup. Semuanya gagal.
***
Revan pulang ke rumah seusai memancing di sungai. Anak laki-laki itu berniat memamerkan hasil pancingannya pada orang rumah, tapi entah kenapa suasana rumah terasa sunyi. Sepertinya Nenek sedang ke pasar. Revan lalu mencari abangnya ke kamarnya, namun tidak ada. Apa Javas belum pulang?
Revan pun memutuskan untuk nonton TV saja di sofa ruang tamu yang hampir jebol itu. Tapi setelah dua jam berlalu, Abangnya belum pulang juga. Firasat Revan jadi tidak enak.
"Loh? Kenapa Abang belum pulang ya? Perasaan tadi katanya udah duluan ke rumah." Revan bermonolog sendiri.
Mendadak ibunya keluar dari kamar dengan rambut yang masih berantakan. "Apa kamu bilang?"
Revan terperangah. Tak menyangka ibunya yang semula diam kini sudah mau membuka mulut. Spontan ia tersenyum lebar. "Waah, Mama akhirnya ajak aku bicara juga. Aku kira Mama bakalan begitu terus—"
"KEMANA KAKAK KAMU?!! KENAPA KAMU GAK JAGA DIA BAIK?!!" Ibunya tiba-tiba berteriak, membuat Revan bergidik kaget.
"A—Aku gak tau, Abang tadi bilang mau pulang duluan. Udah dua jam kayaknya deh—"
"HAH? DUA JAM? KAMU GA BOLEH BIARIN DIA SENDIRIAN!!" pekik ibunya. Revan masih mematung, tidak mengerti mengapa ibunya begitu panik.
"CEPAT, CEPAT!! BAWA IBU BIASANYA
DIA LEWAT MANA!!" suruh ibunya sambil mendorong Revan.
***
Javas merasa hampa. Bahkan saat melihat ke bawah jurang dari atas tebing yang sangat tinggi ini, dia tak merasa takut sama sekali.
Satu langkah lagi dia akan terjun ke bawah. Tapi tiba-tiba ia mendengar suara yang sudah lama sekali tidak didengarnya di belakangnya. Suara Mama.
"SIAPA YANG IZININ KAMU MENDAHULUI MAMA?!!" Wajah wanita itu bersimbah air mata. Beliau datang bersama adiknya Revan.
"Ngapain kalian ada di sini?" tanya Javas datar.
Revan berteriak keras. "ABANG MAU NGAPAIN?! ABANG MAU NINGGALIN KAMI JUGA KAYAK PAPA? KENAPA ABANG EGOIS?!!"
Javas kembali menoleh ke bawah. Kedua tangannya mengepal kuat sampai gemetaran. Perkataan Revan barusan tak berpengaruh apa-apa baginya.
"KENAPA ABANG GA LANGSUNG PULANG?! ABANG TAU, MAMA BARU AJA BISA AKU AJAK NGOMONG, TERNYATA SEMUA KARNA KAKAK MAU NINGGALIN KAMI!!" teriak Revan lagi, kali ini suaranya sangat keras sampai menggema.
Emosi Javas tersulut. Ia tak tahan lagi. "DIAM!! KAMU ITU CUMA ADIK! KAMU GAK TAU APA YANG ABANG RASAIN SELAMA INI!!"
Mendengar itu, Ibunya langsung mengambil batu kerikil dan melempari punggung Javas. Membuat Javas terpaksa menoleh ke belakang.
"DIAM KAMU ANAK DURHAKA! KALIAN JUSTRU YG GAK TAU APA APA TENTANG SEMUANYA!!" teriak Ibunya sambil menangis.
"KALIAN GATAU PERASAAN IBU SAAT KITA TIBA-TIBA JATUH MISKIN. KALIAN YANG KURANG AJAR GAK TAU APAPUN SOAL PENGORBANAN MAMA!! MAMA BISA AJA NINGGALIN KALIAN ATAU CARI KEHIDUPAN MAMA YANG BARU, TAPI KALIAN TETAP ANAK YANG MAMA DAN PAPA KALIAN SAYANGI. TAPI INI BALASAN KALIAN? KAMU JAVAS MAU MENDAHULUI MAMA. KAMU TAU SUDAH BERAPA KALI MAMA MAU MENCOBA BUNUH DIRI. RIBUAN RATUSAN PERDETIK MAMA INGIN SEKALI MATI AGAR MAMA BERTEMU PAPA KALIAN. TAPI APA YANG AKAN TERJADI PADA KALIAN KALAU MAMA TIADA. KENAPA KALIAN SANGAT EGOIS? KENAPA KALIAN TIDAK PERNAH MENGHARGAI MAMA SAMA SEPERTI PAPA KALIAN YANG MATI TANPA PEMBERITAHUAN?!!" Air mata ibunya semakin deras.
"KALAU KAMU MAU MATI, AYO KITA MATI SAMA SAMA!!" pekik Ibunya sambil menggenggam tangan Revan, menariknya untuk ikut bunuh diri.
"JANGAN, MA!!" Revan ketakutan, ia berusaha memberontak. Javas yang melihatnya jadi panik. Seketika ia langsung mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidup.
"AYO!!! KITA MATI SAMA-SAMA!!" Ibunya gantian mendorong Javas.
"M—Ma, udah Ma. Jangan kayak gini." Javas keringat dingin, sekarang jadi dia yang harus menahan ibunya supaya tidak nekat.
"KENAPA KAMU MALAH NOLAK SEKARANG?!! BUKANNYA TADI KAMU PENGEN LOMPAT, HAH??!! AYO KITA—"
BUGH!!
Tiba-tiba nenek datang dan memukuli mereka semua dari belakang, terutama anak perempuannya itu. "SIAPA YANG MENYURUH KALIAN MATI?!!"
"KALIAN SEMUA INI MEMANG BODOH-BODOH YA!! INI LAH ALASAN KENAPA NENEK SURUH KALIAN TINGGAL DI DESA SAJA DARI AWAL!!!" Nenek marah-marah, membuat Ibu Javas dan yang lainnya terdiam.
***
Kejadian kemarin membuat Nenek mengingat sesuatu. Ada yang ingin Nenek sampaikan pada keluarganya Javas tapi mereka malah sedang pergi ke ladang untuk menanam. Hanya adik Javas, Revan yang baru pulang dari sekolah.
"Revan!"
Revan menaruh tasnya di sofa, lalu segera menghampiri Nenek yang memanggilnya dari dalam kamar.
"Iya, Nek?" Revan melongo ke dalam pintu kamar Nenek yang remang-remang itu. Kamar nenek kecil, tapi terlihat agak luas karena hanya ada tempat tidur futon, lemari baju dan beberapa box.
"Revan, tolong bantu Nenek cari barang. Nenek baru ingat pernah dikasih satu barang penting waktu itu," ujar wanita tua itu sembari mengeluarkan barang-barang dari salah satu boxnya.
Revan mengerenyit. "Barang apa, Nek?"
"Nenek lupa, kalau enggak salah kayak kotak gitu. Kotak warna coklat. Ada di kamar nenek," ujar Nenek.
"Kotak, ya ..." Revan duduk lesehan di samping nenek, kemudian ia membantu nenek mencari kotak yang dimaksud nenek di box lainnya. Tak lama ia menemukan kotak kayu dan menunjukannya pada Nenek. "Ini bukan, Nek?"
"Nah, iya itu. Benar." Nenek menyentuh kotak itu. Ia bingung cara membukanya. "Tapi Nenek enggak tahu ini apa. Enggak bisa dibuka."
"Oh ini kayaknya harus pakai kata sandi, Nek." Revan menunjuk kata sandi yang ada di antara penutup kotak.
Setelah Revan berusaha mengotak-ngatiknya dengan cara yang pernah ia pelajari, akhirnya kotak tersebut berhasil terbuka.
Ketika dibuka, isinya ada sebuah kamera, foto-foto dan surat yang sudah menguning.
Setelah membaca surat tersebut, Revan berteriak sangat kencang. Ia bahkan menjatuhkan kertas tersebut ke lantai. Membuat Nenek terkejut. "Revan, kenapa kamu teriak?"
"Papa, Nek ... Ini semua dari Papa ..." tangis Revan histeris.
Nenek tidak bisa berkata apa-apa saat Revan menunjukan isi kotak itu padanya. Ia hanya mampu memeluk Revan dan menenangkannya.
***
Surat dan video yang terekam di kamera tersebut cukup membuat keluarga Javas syok. Mereka sempat depresi berat dan harus menenangkan diri selama setahun.
Setelah itu, barulah Javas memberanikan diri untuk pergi ke lapas tempat Dea ditahan.
Melihat jepitan bunga yang Dea pakai, Javas akhirnya ingat bahwa gadis ini adalah gadis kecil yang pernah ia temui di taman Ria.
Javas sempat mengira Janna adalah pemilik jepitan itu, namun ternyata bukan. Jepitan tersebut memang sedang tren pada saat itu dan bukan hanya Janna yang memilikinya.
"Jadi ... Apa yang mau kamu sampaikan ke aku?" Dea ketakutan saat duduk di hadapan Javas. Ia menunduk tanpa menatap Javas sama sekali. Penampilan Dea yang dulunya cantik dan sangat terawat kini berantakan seperti orang gila.
"Enggak banyak. Aku cuma mau nunjukin sesuatu yang aku temuin," ujar Javas sambil menaruh surat peninggalan ayahnya beserta sebuah foto di meja. Foto almarhum ayah Javas yang tengah berfoto bersama seorang pria yang asing bagi Dea.
"Silakan dibaca," suruh Javas.
Dea buru-buru mengambil surat tersebut lalu membacanya. Jantung Dea berdegup sangat kencang karena mengingat ini adalah tulisan almarhum ayah Javas. Pria yang pernah menyelamatkan hidup Dea dari musibah yang merenggut nyawa orang tuanya kala itu.
Maaf kalau terlambat, Antonio.
Kening Dea berkerut. Apakah pria yang di foto ini namanya Antonio? Lalu apa hubungannya dengan Dea?
Karena penasaran, Dea pun membacanya lagi.
Karena hidupku tidak akan lama lagi, apa kamu bisa menggantikan diriku buat menemani Dea? Kudengar orang tua asuhnya sudah punya usaha di luar negeri dan cepat atau lambat mereka akan meninggalkan Dea di sini. Dea pasti akan kesusahan dan kesepian. Aku harap kamu mau merawat dia untukku. Dea anak yang sangat baik, dia hanya sedikit manja dan butuh perhatian lebih.
Dan untuk Dea, Paman Antonio sangat cocok sama kamu karna kalian mirip. Kalian pasti bisa saling mengerti satu sama lain. Saya harap kalian bisa bersama.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro