Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. TITIK TERENDAH

Cukup ramaikan komen biar aku semangat nulis lanjutannya 🖤

Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia ya

***

Ketika baru saja keluar dari ruang rektorat Universitas Harapan Nusa, Paman dihalau oleh Javas. Lelaki dengan hoodie hitam itu memegang kertas yang dia bawa dari kantor Paman tadi.

"Tunggu sebentar," ucap Javas seraya menatap Paman tajam. Dahi Paman mengernyit melihat ekspresi Javas yang tidak seperti biasanya. Ekspresi lelaki itu terlihat marah sekali.

"Javas? Ada yang mau kamu bicarakan pada Paman?" tanya Paman ramah.

Sudah tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Javas segera menunjukan kertas itu kepada Paman. Kertas yang menunjukan bukti bahwa Paman Antonio adalah pembunuh ayahnya.

"Saya menemukan ini di meja Anda," kata Javas dengan sedikit gemetar.

"Apa benar Anda yang melakukan ini terhadap Ayah saya? Apa benar Anda sengaja baik pada keluarga saya hanya untuk menutupi kelakuan Anda yang sebenarnya?" cecar Javas namun Paman belum menjawab.

"Saya masuk ke kampus ini bukan karena usaha saya sendiri, tapi karena Anda yang sengaja membantu saya. Begitu juga pengobatan Mama dan hutang-hutang ayah saya yang sudah ditebus ... semuanya Anda lakukan agar keluarga saya merasa hutang budi pada Anda. Benar?" Suara Javas semakin sumbang. Sejujurnya dia takut mendengar jawaban Paman.

Jauh di lubuk hatinya, Javas berharap Paman bilang bahwa kertas itu hanya fitnah dan salah paham, karena dia masih berharap Paman Antonio adalah pria baik yang ia kenal dan tidak mungkin melukainya. Tapi senyum licik yang ditunjukkan Paman sekarang ini menegaskan hal sebaliknya; bahwa dialah yang selama ini melukai Javas dan keluarganya dengan segala teror.

"Ya, itu benar. Saya yang melakukan semua itu. Saya yang membunuh Ayah kamu," akunya membuat Javas membeku di tempat seketika.

Walau Javas sudah lihat buktinya, tapi Javas masih tidak percaya. Javas masih berharap semua ini mimpi. Tapi kemudian Paman Antonio menambahkan lagi, "surat itu juga ... sengaja saya taruh di atas meja agar kamu dapat membacanya."

"Saya sudah tahu sejak lama bahwa kamu sudah curiga terhadap saya, dan saya pikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya." Paman Antonio mengatakan itu senyum liciknya.

"Lalu es krim cair yang selalu Anda berikan untuk saya dan adik saya ... Apa Anda sengaja juga?" tanya Javas parau.

Paman mendengus sinis. "Oh, ternyata kamu sadar juga, ya?"

Ya, saat pertama kali Paman memberikan es krim cair pada Javas, Paman sudah tahu bahwa Javas sedang daftar ulang di kampus ini dan kebetulan dia juga sedang berada di ruang rektor.

Setelah memastikan Javas akan ke supermarket, paman buru-buru membeli tiga es krim untuk dia, Javas dan adiknya.

Sambil memakan satu es krim, dia menunggu sampai Javas lewat. Ketika es krim milik Javas dan adiknya sudah tidak dingin lagi, barulah dia lap dengan tisu dan dia gosok, lalu ia celup ke dalam cup yang berisi air panas sampai meleleh.

Paman melakukan semua itu dengan maksud sengaja memberi kode. Sejak dulu ia hanya ingin semua orang peka terhadap dirinya, namun sayangnya tidak ada yang peka terhadap dirinya.

"Kenapa juga kamu tidak pernah minta dibelikan? Kenapa tidak ambil saja? Ternyata kamu sadar, tapi pura-pura tidak mau sadar." Paman mendecih.

"Bukan tidak mau sadar. Dari awal saya sudah curiga, cuma tidak mau negatifan aja sama Anda," jawab Javas.

Antonio tertawa meremehkan. "lya, memang itu yang salah dari kalian berdua. Kalian terlalu mirip. Sama-sama angkuh. Sampai-sampai saya lelah melihat kalian yang sombong tidak pernah mau terima bantuan orang lain. Bukan kamu saja, saya juga selalu kasih es krim cair ke ayah kamu. Lalu kamu tahu dia bilang apa?"

Javas terdiam. Tak sadar kedua tangannya mengepal kuat sampai urat-uratnya terlihat.

"Dia bilang ... Justru malah enak ya, bisa diminum aja tidak perlu capek-capek ngilu. Ternyata tidak buruk juga." Wajah Antonio terlihat sangat kesal saat mengatakannya.

"Itulah yang membuat saya membenci dia. Saya muak dengan sifat arogannya," lanjutnya dengan seringai di sudut bibirnya.

Antonio memberikan es krim cair ini bukan tanpa alasan. Dulu, Ayah Javas sering membelikan anak-anaknya es krim yang dulu viral ini dalam keadaan beku karena Javas dan adiknya suka sekali. Jika sudah mau cair, Ayah Javas sampai membela-belakan balik lagi ke supermarket demi mendapat es krim yang beku. Dan sekarang sebaliknya, Antonio malah sengaja memberikan yang cair sebagai bentuk penghinaan terhadap keluarga Javas.

"Jika kamu marah, silakan laporkan saya ke Polisi, Javas," tantang Paman Antonio. "Suara orang miskin dan rendahan seperti kamu tidak akan didengar. Mungkin dulu iya, tapi sekarang kamu sudah jatuh miskin. Dan itu semua salah kalian sendiri. Semua ini akibat sifat kamu dan ayahmu yang sombong itu. Terima konsekuensinya."

"Dan kamu tahu alasan saya bantu kamu masuk ke kampus elite ini?" tanya Paman Antonio lagi.

Javas belum merespon.

"Saya ingin kamu iri dengan teman-teman kamu yang kaya. Saya ingin kamu rasakan betapa sakitnya iri dengan orang lain dan tidak mendapatkan apapun yang kamu inginkan. Kamu harus merasakan seperti apa yang saya rasakan dulu," tandasnya.

Emosi Javas tak terbendung lagi. Padahal Paman Antonio sudah balas dendam dan seharusnya bisa hidup bahagia seperti orang lain lakukan. Namun kenapa beliau lebih memilih melampiaskan amarahnya dan menyiksa keluarga Javas? Apa beliau tidak pernah berpikir untuk tidak melakukan hal itu?

"BERENGSEK!!" Javas mencengkeram kerah kemeja Paman Antonio, tak tahan lagi memendam amarahnya.

"ANDA SUDAH MENDAPATKAN SEMUA YANG ANDA INGINKAN!! KENAPA ANDA TIDAK BISA MELAKUKAN HIDUP ANDA SENDIRI?!" teriaknya di depan muka Paman Antonio. "LUPAKAN KAMI DAN JALANI HIDUP ANDA SENDIRI. KENAPA ANDA SELALU MENGHANTUI KAMI. KENAPA HARUS ADA ANDA DI KELUARGA KAMI?! HAH?!!"

Bugh!

Paman meninju wajah Javas, membuat Javas terhuyung ke belakang.

Kesabaran Javas habis. Ia balas memukul Paman Antonio tepat di rahangnya hingga pria paruh baya itu jatuh ke lantai.

Bayangan keluarganya yang hidup kesulitan, bayangan dirinya yang harus banting tulang dan bayangan ayahnya yang dikhianati membuat Javas hilang kendali. Tanpa sadar ia terus menghajar Paman Antonio tanpa ampun. Jika tidak ada yang menghentikan mungkin pria itu bisa tewas di tempat.

Tapi kemudian Javas lengah ketika mendengar derap sepatu orang-orang yang datang menghampiri mereka, dan Paman memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bangkit.

Paman mengambil gelas beling di belakangnya, lalu melemparnya ke muka Javas.

Javas tak sempat menghindar. Serpihan beling tersebut keburu mengenai sebagian wajahnya hingga robek.

Melihat itu Paman buru-buru kabur, namun Javas segera mendekap Paman dari belakang dan melemparnya ke jendela kaca ruang rektorat.

Suara pecahan kaca sangat keras sampai-sampai penghuni kampus bertambah banyak menontoni perkelahian mereka, bahkan ada juga yang merekamnya.

"Berhenti!! Diam di situ!!" Teriakan seorang pria terdengar. Terlihat tiga orang sekuriti berlari menuju Javas dan Paman untuk melerai mereka.

Javas hanya mengusap sebagian wajahnya yang berlumur darah dengan punggung tangan. Ia sama sekali tidak merasa bersalah setelah menghajar Paman.

Sebaliknya, Javas justru sangat puas.

***

Javas memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Bekas luka di pipinya belum kering. Bercak darah di kemeja putihnya yang digulung sampai siku itu juga masih ada. Javas tidak kepikiran untuk membersihkannya.

Yang ada di otak Javas hanyalah bagaimana cara ia memberi tahu ibunya nanti tentang semua ini.

"Javas." Langkah Javas terhenti begitu namanya dipanggil.

Saat menoleh, ibunya sedang berjalan ke arahnya dengan wajah marah. Mata beliau terlihat sembab. Firasat Javas tidak enak. Bencana apa lagi yang akan terjadi setelah ini?

"Mama dihubungin sama ketua rektor kampus kamu. Beliau bilang kamu bertengkar sama Paman di kampus. Apa benar itu, Javas?" tanya ibunya membuat Javas tertegun sejenak. Tak menyangka secepat itu beritanya sudah sampai ke Mama.

"Jawab!" paksa ibunya.

Tanpa berani menatap sang ibu, Javas mengangguk pelan.

PLAK!!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Javas. Jawaban Javas barusan benar-benar membuat ibunya naik pitam. "KENAPA KAMU JAHATIN ORANG YG UDAH BAIK BANGET SAMA KITA?! KAMU GATAU YA DIA ITU SAHABAT PAPA KAMU? KITA GA BISA HIDUP TANPA BANTUAN DIA!! KENAPA BODOH BANGET SAMA KAYAK PAPA KAMU?!!"

"DIA ALASAN PAPA MENINGGAL, MA!!" sergah Javas lantang.

Seketika suasana mendadak sunyi. Ibu Javas terperangah, sejenak mengira dirinya salah dengar. "A—Apa kata kamu?"

"Paman Antonio yang bunuh Papa. Dia yang menggelapkan uang Papa, makanya dia sekarang jadi kaya dan selalu ngasih segalanya ke kita. Itu semua harta Papa, Ma," jelas Javas parau.

Ibunya masih diam. Kalimat Javas barusan bagai petir di siang bolong yang membuatnya syok berat. Bagaimana mungkin Antonio yang selama ini ia percaya melakukan semua itu pada keluarganya?

"Awalnya Javas juga enggak nyangka. Tapi Om Ferry yang bilang ke Javas kalau Paman Antonio punya maksud Javas. Dan setelah Javas selidiki ... " Dada Javas sesak saat mengatakan itu. "Javas nemuin berkas bukti di kantor Paman. Dan waktu Javas ketemu sama Paman di rektor, Paman ngakuin semuanya."

"Paman ngaku kalau dia yang bunuh Papa karena Papa sombong. Paman ngaku kalau selama ini dia ngebiayain kita supaya kita ngerasa hutang budi. Paman ngaku kalau Javas masuk ke Harnus bukan karena usaha Javas sendiri tapi karena orang dalam. Dan Paman ngaku kalau dia ngasih es krim cair ke kita sebagai bentuk penghinaan," lanjut Javas tak henti-hentinya mengagetkan sang ibu.

Kedua lutut Ibu Javas melemas. Ia langsung jatuh ke lantai, berteriak, dan menangis sejadi-jadinya.

"MAMA!!" Revan yang baru saja pulang sekolah langsung menghampiri ibunya. Mereka bertiga menangis tanpa henti.

***

Keesokan harinya, berita tentang pertikaian Javas dengan Paman Antonio beredar luas. Beasiswa Javas dicabut setelah membuat kekacauan yang merugikan banyak pihak. Reputasi Javas semakin buruk.

Orang-orang yang tidak tahu cerita lengkapnya dengan mudahnya mengecap Javas penipu, tidak tahu diri, abusif, bahkan psikopat.

Penggemar Javas yang awalnya selalu mendukung Javas kini malah menuntut Javas untuk hengkang dari grup ASPIRE. Teman-teman ASPIRE selalu berusaha membela Javas, namun buzzer yang dibayar oleh Paman untuk mencoreng nama Javas di sosial media semakin banyak.

Kondisi mental Javas hancur. Ia sering mengalami serangan panik dan kecemasan berlebihan. Asam lambungnya selalu naik saat memegang ponsel. Setiap ikut pelajaran pun Javas tidak pernah fokus hingga Aidan menyuruhnya pulang untuk istirahat saja.

Sementara Janna? Gadis itu hanya bisa mengkhawatirkan Javas diam-diam. Javas tidak mau lagi bicara pada Janna. Jangankan untuk menyemangati Javas, setiap Janna mendekat saja Javas selalu menghindar.

Terakhir kali Javas bertemu dengan Janna adalah saat sidang di pengadilan kasus Dea.

Ya, Javas tidak diam saja. Dia mengumpulkan bukti yang kuat untuk memenjarakan Dea agar berhenti mengganggu hidupnya.

Dea pun menjadi tersangka dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara, sedangkan Janna menjadi saksi. Pesan terakhir Javas pada Janna hanyalah tidak perlu mengkhawatirkannya lagi.

Setelah sidang selesai, Javas yang sudah tidak bisa bayar biaya kuliah pun akhirnya mengundurkan diri dari Universitas Harapan Nusa.

Masa sewaan rumah mereka juga habis. Itu membuat keluarga Javas memutuskan untuk keluar dari ruko yang disewakan Paman dan pindah ke kampung halaman Ibu ayahnya Javas.

Javas pikir itu adalah akhir dari penderitaannya, namun ternyata Javas salah. Rintangan yang Javas lalui nyatanya masih sangat panjang.

***

Beberapa minggu sebelum wisuda, Janna berada di titik terendahnya. Ia depresi. Kedua orang tua Janna cerai. Di persidangan mereka sempat cekcok pembagian hak asuh. Seharusnya hak asuh Janna dan Shakila jatuh ke ayahnya, sedangkan kedua adik kembarnya yang masih balita ikut ibunya. Tapi untungnya segera Janna hentikan. Lebih baik Janna yang rawat mereka. Toh Janna sudah biasa merawat adiknya seorang diri sejak dulu.

Sebagai hadiah, orang tuanya memberikan rumah untuk Janna. Itu biaya dia untuk membesarkan adik-adiknya. Namun ujungnya, Janna justru menjualnya dan hanya ambil jatah saja untuk adik-adiknya. Mereka pun tinggal di petakan yang sangat sempit.

Dan sekarang, harapan Janna ingin ditemani orang-orang tersayangnya di hari kelulusan pupus. Janna sendirian di hari kelulusannya. Orang tuanya tidak datang. Adik-adiknya sekolah. Dan Javas juga tidak ada.

Padahal Janna selalu ingin wisuda ditemani kedua orang tuanya. Padahal Javas sudah berjanji akan memberikannya bunga di hari kelulusannya. Namun semua itu hanya tinggal mimpi belaka yang tak akan pernah jadi kenyataan.

"Intinya ... Kalau aku lulus nanti, kamu orang pertama yg bakalan nerima bunga aku. Kalau Mama yang bakalan nerima topi sama rompi aku nanti."

"K—Kenapa aku yang pertama kamu kasih bunga?"

"Karena kamu teman terdekat aku, Na."

Mengingat itu, air mata Janna mengalir tanpa sadar. Janna tidak pernah berpikir akan kehilangan Javas rasanya akan sesakit ini. Dunia di sekitar Janna kembali hampa, kembali kosong seperti dulu. Janna seolah kehilangan bagian hidupnya.

"Mana janji kamu, Jav? Kenapa sekarang kamu malah ninggalin aku?" batin Janna sesak. Ia melangkah gontai menuju rumahnya dengan

Untungnya, seorang gadis berhasil menghadang sang pencuri dan meneriakinya sampai semua orang mengepung pencuri tersebut.

Ketika gadis itu lalu mengembalikan tasnya kepada Janna, Janna terkejut karena mengingat wajah gadis itu yang sangat familiar.

Gadis itu mirip ... Sahabatnya yang pernah meninggalkannya saat SD. Tiara.

Janna baru saja ingin bertanya, namun gadis itu langsung berbalik dengan cepat dan berlari sekencang-kencangnya menghindari Janna. Janna tidak tinggal diam, ia kejar sahabatnya itu sampai kakinya berdarah-darah. Tidak peduli dengan orang- orang yang ia tabrak. Hingga akhirnya truk gandeng yang dengan kecepatan tinggi melaju ke arah Janna.

"AWAS!!!" Janna diteriaki semua orang yang melihat. Beberapa detik lagi Janna akan ditabrak oleh truk tersebut. Namun tiba-tiba Janna didorong oleh seseorang sampai tersungkur di pinggir jalan.

"Kamu mau bundir ya?!!" tanya Tiara pada Janna. Janna syok. Tangisannya pecah saat itu juga.

Tiara pun ikut menangis. Tak menyangka dirinya dipersatukan dengan sahabatnya lagi di waktu yang tidak terduga.

***

Janna dan Tiara duduk di sebuah kafe untuk mengobrol. Keduanya memesan kopi yang sama.

"Kenapa tadi kamu bengong di jalan?" Tiara mulai membuka pembicaraan sambil menyesap kopi yang ia pesan.

"Aku patah hati," ujar Janna sambil tersenyum miris. Gadis itu belum menyentuh cangkirnya sama sekali. "Padahal aku baru aja ketemu cowok yang suka sama aku. Tapi tiba-tiba dia ninggalin aku begitu aja."

"Padahal biasanya dia yang selalu ada untuk aku di setiap aku lagi down begini. Apalagi akhir-akhir ini aku lagi ada masalah besar sama kedua orang tuaku dan enggak ada yang tenangin aku. Rasanya aku kayak benar-benar sendiri," curah Janna.

Tiara diam dan menyimak saja.

"Kamu enggak pernah berubah ya, padahal aku udah jahatin kamu dan ninggalin kamu. Tapi kamu masih aja ceritain semua yg terjadi sama kamu ke aku. Kalau gitu, mulai sekarang biarin aku bantu kamu," jawab Tiara.

Janna mengerjap-ngerjapkan matanya yang basah. "S—Serius? Kamu mau bantu aku gimana? Aku enggak enak..."

"Serius." Tiara mengangguk. "Udah enggak usah enggak enakan lagi. Anggap aja ini sebagai permintaan maaf aku karena pernah ninggalin kamu dulu."

Janna tak dapat menahan rasa harunya. Lagi-lagi ia menangis. Tak menyangka pertemuannya dengan Tiara akan berakhir bahagia seperti ini.

"Enggak apa-apa. Jangan nangis, kamu kan juga pernah nolong aku. Kali ini biarin aku yg nolong kamu," ujar Tiara sambil menepuk-nepuk bahu Janna.

"Tapi, Ra ... Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?" tanya Janna hati-hati.

"Apa?"

"Kenapa ... Kamu waktu itu ninggalin aku begitu aja tanpa sebab?"

"Itu ... Waktu kamu enggak masuk, aku dilabrak sama geng cewek pas pulang sekolah," tuturnya sendu. "Mereka bilang kamu mau temenan sama aku karena aku penjilat dan morotin uang kamu. Aku marah, dan aku hajar mereka saat itu juga. Tapi orang tua mereka laporin aku ke kantor polisi karena udah bikin mereka babak belur. Mereka ngancem kalau mereka bakalan maafin aku asal keluarga aku buat pindah dan menjauh dari kamu."

Melihat Janna yang syok berat, Tiara langsung panik. "Ehh? Na, j—jangan nangis lagi!"

"H—Habisnya selama ini aku kira kamu jahat, ternyata kamu diancam kayak gitu, seandainya waktu itu aku masuk ..." Janna menangis sambil menutup wajahnya.

"Janna, ini bukan salah kamu kok!"

Setelah momen mengharukan itu, Janna dan adik-adiknya diajak ke rumah Tiara di desa naik kereta. Ia dikenalkan pada keluarga Tiara. Mereka sangat baik pada Janna serta adik-adiknya. Setelah Janna menceritakan semua yang ia alami pada keluarga Tiara, mereka jadi iba dan memberi tempat tinggal untuk Janna dan adik-adiknya bernaung sementara.

Tidak sampai di situ, Janna pun dikenalkan pada professor di kampungnya sampai akhirnya Janna berhasil menjadi seorang guru TK. Anak-anaknya baik, suasananya pun tenang dan damai. Akhirnya Janna menemukan tempat dimana dia bisa tenang tanpa drama-drama yang membuatnya depresi.

Sambil menjadi guru, Janna kuliah lagi di Universitas Harapan Nusa jurusan bahasa inggris untuk mengejar S2. Janna sudah menemukan tujuan hidupnya. Dia akhirnya menjadi dosen di Universitas berbeda yaitu Universitas Cakrawala. Dia yang tadinya tidak terima mengurus adik dari kecil jadi suka mengajar anak-anak.

Padahal Janna bisa saja mati karena dihadapkan masalah sebesar itu. Tapi sekarang, di sinilah Janna. Di posisi yang sangat tidak ia sangka-sangka. Di saat dia ingin menyerah, Tuhan justru memberinya anugerah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro