3. MULAI DARI AWAL
Hai, Mocha is backk! Hari ini aku double update yaa 🤎
Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia yaa! Happy reading <3
***
Ujian nasional dimulai besok, dan itu artinya Javas harus belajar semalaman penuh. Sejujurnya baru jam sebelas malam saja Javas sudah mengantuk, namun ia teringat caci maki teman-temannya di sekolah kala itu.
"Sial, padahal dulu dia sering traktir mantannya si Tarisa makanan mahal! Jangan-jangan dia pakai pinjol haha!"
"Dia jatuh miskin karena ayahnya meninggal. Kasihan banget, langsung jadi gembel."
"Udah tau jatuh miskin ngapain masih di sekolah ini? Udah enggak guna juga, enggak bisa traktir kita-kita lagi, ck."
"Bangun, pecundang. Sedikit lagi, dikit lagi bisa," batin Javas pada dirinya sendiri.
Javas mencuci muka dan berusaha kembali fokus. Namun setengah jam kemudian pandangannya mulai kabur, kepalanya pun seolah akan meledak.
"Papa! Javas mau sepeda roda dua boleh enggak?!!" Pinta Javas kecil saat itu.
"Boleh, tapi dengan satu syarat," jawab Papanya.
"Javas harus bisa naik sepeda roda empat dulu, baru belajar yang roda dua. Kalau sudah seimbang, baru Papa belikan yang roda dua,"
"Kenapa harus belajar roda empat dulu, Pa?"
"Papa ingin kamu tahu kalau ingin sesuatu, kamu harus berjuang terlebih dahulu. Karena tidak semua hal bisa kamu dapatkan tanpa kerja keras," ujar Papanya sambil mengusap rambut Javas.
Lagi-lagi Javas tersentak dan mendapati dirinya ketiduran di meja. Mungkin ucapan ayahnya di mimpi barusan lah yang membangunkannya.
"Kalau ingin sesuatu, kamu harus berjuang terlebih dahulu. Karena tidak semua hal bisa kamu dapatkan tanpa kerja keras."
Javas sangat menginginkan lolos seleksi beasiswa, dan itu artinya Javas harus berjuang keras untuk itu.
Lelaki itu menghela napas berat, lalu beranjak ke dapur untuk menyeduh kopi dengan kafein tinggi agar tetap terjaga sampai subuh. Tapi nyatanya itu bukan ide yang bagus, karena kondisi tubuhnya tiba-tiba berubah janggal. Asam lambungnya naik dan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.
"Bang!!" teriak Revan yang baru saja keluar kamar mandi sontak menahan Javas yang akan jatuh ke lantai.
Padahal sepertinya tadi dia sedang belajar, kenapa tiba-tiba Javas di depan pintu kamar mandi? Apa dia sedang halusinasi?
"Jam berapa sekarang?" tanya Javas lemas, tidak mengerti kenapa adiknya sudah bangun jam segini. Bukankah ini masih tengah malam?
"Jam enam pagi, Bang," jawab Revan membuat Javas nyaris menampar pipinya sendiri. Ini gawat. Saking kecapekannya belajar, Javas sampai tidak sadar kalau sekarang sudah pagi.
"Ini Abang kenapa lemes begini?" tanya Revan panik, ia lalu berteriak lagi, "Mamaaa! Ini Abang—"
Javas membungkam mulut Revan dengan telapak tangan. "Jangan bilang Mama. Abang enggak apa-apa. Cuma kecapekan. Nanti Abang tidur di kelas, gampang."
Revan menatap Javas khawatir. "Bener, Bang?"
"Bener."
Selama satu minggu Javas menjalani hari-harinya yang seperti neraka. Tidak ada istirahat, tidak ada main, dan hanya fokus belajar. Namun pada akhirnya, semua jerih payah Javas terbayarkan setelah ia lulus dengan nilai bagus dan menerima e-mail yang membuat keluarganya bangga.
Selamat, Javas Sadega.
Anda dinyatakan LOLOS seleksi jalur beasiswa Universitas Harapan Nusa
***
Pagi ini Javas belanja ke pasar untuk membeli perlengkapan kuliah, mengingat besok sudah mulai OSPEK. Di tengah jalan, Javas melihat dua laki-laki sebayanya yang berpakaian seperti rocker; hoodie hitam, ripped jeans, dan yang satu menenteng gitar di tangannya. Sepertinya mereka musisi?
"Semesta! Lo beli gitar lagi?" tanya temannya.
Lelaki yang dipanggil Semesta itu menyahut. "Iya, gitar gue yang kemarin udah rusak."
"Gue juga mau beli, nih. Kan sub vokal juga harus pake gitar. Berapaan ya harganya yang bagus?"
"Yang bagus sih sekitar sembilan jutaan, Gar."
"Murah amat!"
"Buseet segitu murah? Orkay mah beda."
Mendengar percakapan mereka, Javas jadi kepikiran.
"Bener juga, kalau mau ngeband kan harus pakai alat musik. Gimana nanti gue kalau enggak ada alat musik?" batin Javas. Mau tidak mau dia harus modal demi menggapai cita-citanya. Tapi minta bantuan siapa? Masa Paman lagi?
Namun Javas teringat kata-kata Papa di mimpinya semalam.
"Kalau kamu ingin sesuatu, perjuangkan. Tidak ada semua hal bisa kamu dapatkan tanpa usaha."
"Apa gua kerja sambilan aja, ya?" pikir Javas.
***
"Javas Sadega .... Selamat, kamu diterima. Kamu sudah boleh kerja di kafe ini mulai besok."
Javas langsung memanjatkan syukur mendengar kata-kata manajer kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Padahal Javas baru sekali melamar kerja, namun ia langsung diterima karena usianya yang masih muda.
"Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha keras," ucap Javas sambil tersenyum simpul.
Javas kemudian keluar kafe dengan topi dan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Poninya yang tadinya dibelah pinggir, kini sengaja ditata menutupi kening dan separuh matanya.
"Semoga dengan begini ... Enggak akan ada teman SMA yang kenal gue dan berani menghina gue lagi," batin Javas. "Saatnya memulai hidup baru."
***
Seminggu kemudian.
"Bang, Mama batuk darah tadi pagi. Revan telepon Paman suruh bawa ke dokter enggak apa-apa kan, Bang?"
Javas seketika panik mendengar suara adiknya di telepon. "Jangan!!"
"Kenapa, Bang? Revan takut Mama batuknya makin parah."
"Jangan hubungin Paman terus, Abang enggak enak, dek. Kita udah terlalu banyak ngerepotin beliau." Javas menghela napas berat. "Biar Abang yang bayarin pengobatan Mama. Nanti Abang beliin mama obat, ya. Sekarang tuntun mama istirahat dulu aja. Rebusin mama telur dua biji."
"Iya, Bang."
Javas gigit bibir setelah sambungannya dimatikan, panik bukan main. Seharusnya dia sadar kalau keluarganya sedang susah, dan itu artinya dia lah yang harus bantu menghidupi keluarga.
Dia tidak boleh mengandalkan sekretaris ayahnya lagi. Ayahnya selalu berpesan pada Javas untuk tidak bergantung pada orang lain.
Usai kerja sambilan, di dapur restoran Javas mencatat pengeluaran dan pemasukan.
"Gaji jadi waiter ternyata cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari aja. Buat dana darurat buat nabung, sama buat ngeband masih kurang. Gua kerja apalagi ya?" batin Javas sambil melihat ke arah jendela luar restoran.
Dan kedua matanya pun terkunci pada kafe kecil yang terpajang banner di depannya.
LIVE MUSIC SETIAP 19:00
We're hiring! Telah dibuka lowongan cafe singer untuk tampil setiap malam.
"Lumayan juga, sekalian buat latihan ngeband dan nyari fame juga. Kalau nama gua dikenal kan pasti lebih bagus," batin Javas.
***
07:00
Setelah tak kunjung di chat oleh kakaknya, revan menghampiri ibunya. Menyuruh ibunya untuk istirahat dulu karna wajah beliau pucat.
Ibunya berkata tidak apa apa. Beliau hanya menyuruh Revan untuk memasak air panas untuknya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba kurir sayuran datang untuk memberikan stok sayuran.
Setelah menandatangani, mendadak Ibu Javas batuk-batuk membuat dan kurir sayuran bertanya, "Apa Ibu baik-baik saja? Ibu kurang sehat?"
Ibu Javas hanya menggeleng kan kepalanya sejenak, namun detik kemudian ia batuk-batuk hingga keluar darah kental dari mulutnya sebelum akhirnya tumbang.
Revan yang baru saja selesai memasak air panas untuk ibunya sontak keluar saat mendengar kurir sayuran berteriak-teriak memanggil orang.
"Mama!!" Revan berlari keluar dan melihat apa yg terjadi. Dia melihat ibunya jatuh tak sadarkan diri. Setelah itu Revan menangis. Ia kembali mengingat wajah ayahnya yg sama seperti ibunya saat ini. Pucat dan dingin.
Revan hanya bisa menangis, hingga akhirnya kerumunan tetangga datang mengerumuni mereka.
"Kasihan sekali ya mereka."
"Cepat panggilkan ambulan!"
Di tengah-tengah kegaduhan itu, tiba-tiba seorang pria paruh baya yang tak lain adalah Paman Antonio datang. Beliau datang terengah-engah karna melihat kerumunan dari jauh.
"Ada apa ini? Apa yg terjadi disini?" tanya Paman panik.
Sang kurir menjelaskan, "Saat saya datang Ibu ini memang wajahnya sangat pucat, dia tidak mendengar dengan jelas ucapan saya. Lalu tiba tiba dia batuk- batuk dan mengeluarkan darah."
"Kami sudah memanggil ambulan. Sepertinya akan datang beberapa menit lagi," jawab tetangga sekitar.
Paman menghampiri Revan yang tak berhenti menangis. Ia elus kepala anak itu dengan lembut. "Tenang, Revan. Semuanya akan baik-baik saja."
Revan menantap paman dengan samar-samar, matanya di penuhi air mata.
"Sepertinya tidak bisa untuk menunggu ambulan lebih lama lagi. Tolong bantu saya untuk membawa ibu ini ke mobil saya," pinta Paman pada orang-orang itu, menyuruh semua orang membantunya membawa ibu Javas ke mobilnya untuk segera rumah sakit terdekat.
Para tetangga pun membantu si Paman dan mencoba menenangkan Revan yang masih menangis.
Di dalam perjalanan, Revan hanya memeluk ibunya yang pucat dan dingin. Dan wajah paman yang berkeringat.
Setibanya di rumah sakit, Paman bertanya ke Revan kenapa tidak memberitahunya bahwa ibunya sakit. Revan berpikir tidak bagus jika mengadukan kakaknya bahwa tidak boleh meminta bantuan terlalu banyak ke paman.
Akhirnya Revan menjawab, "Aku enggak tau ibu tiba tiba sakit. Selama ini ibu terlihat baik-baik saja. Mungkin salahiu. Aku tidak menjaga ibu dengan benar."
"Tolong jangan berkata seperti itu. Paman sudah bilang jika terjadi apa apa bilang saja. Kalian sudah paman anggap seperti keluarga sendiri." Paman Antonio berkata begitu sambil mengeluh kepala Revan.
Revan menjawab, "Iya, maafkan aku Paman, lain kali aku akan bilang jika terjadi sesuatu."
***
HP Javas berbunyi berkali-kali. Javas sedang sibuk mengantar banyak makanan ke meja costumer.
Manajer pun memanggil Javas bahwa hpnya terus menerus berdering di lokernya dan disuruh istirahat sebentar oleh manajer.
Javas tertegun begitu melihat 20x missed call dari Paman. Bertanya tanya apa yg terjadi, Javas langsung menelepon kembali Paman.
Setelah itu javas melepas apronnya dengan cepat dan berlari keluar. Ia menunjukkan kepalanya dengan berkata harus kerumah sakit.
Jantung javas seperti mau berhenti jika tidak berlari dengan cepat. Takut terjadi sesuatu yg buruk. Apa dia harus kehilangan ibunya juga setelah ayahnya?
Javas melihat aplikasi ojol Namun uang javas tidak cukup kalo harus memanggil ojol. Javas yang panik pun hanya bisa berlari. Padahal jarak restoran dia kerja ke rumah sakit sangat jauh. Seketika jantung javas berdetak sangat cepat. Javas nyaris kehilangan napasnya karna panik.
"Kenapa kenapa masih gua enggak bisa melakukan sesuatu dengan benar. Kenapaa?!" batin Javas frustrasi.
Namun selang beberapa menit, ia mendapat pesan dari Paman Antonio lagi.
Paman Antonio: Paman sudah transfer saldo untuk ojek online. Pakai lah itu buat naik taksi. Datanglah secepatnya. Jangan pikirkan apa apa
Sebenarnya Javas tidak ingin naik taksi, tapi Javas sadar dirinya memang belum bisa berbuat apa apa. Akhirnya javas menggunakan ojek online untuk secepatnya datang ke rumah sakit untuk segera menemui ibunya.
Sampai di rumah sakit, Javas kembali berlari. Kali ini detak jantungnya mulai berdetak lebih cepat lagi. Dia tidak ingin mendengar hal yang membuatnya takut.
Dari luar jendela kamar pasien, Javas melihat ibunya sudah siuman dan duduk sedang menggenggam tangan adiknya Revan.
Ibu Javas revan dan Paman Antonio melihat Javas lewat jendela. Ibunya tersenyum dengan getir, dan Javas mengigit bibirnya untuk tidak menangis.
"Ah, itu dia datang juga, akan kubelikan makanan untuk kalian ya," ujar Paman Antonio seraya bangkit dari duduknya.
Ibu Javas mencegahnya. "Tidak perlu melakukan itu, Paman Nio."
"Iya enggak apa-apa paman aku saja nanti yg beli makanan. Pasti paman banyak kerjaan kan," ucap Revan namun detik berikutnya terdengar suara perut Revan yang berbunyi. Wajah Revan kontan memerah karna malu.
Paman tertawa. "Ahahaha, tidak apa apa. Lagi pula Paman juga lapar kok. Sebaiknya kalian berbicara dulu dengan Javas."
Javas akhirnya berlari masuk ke dalam, lalu Paman tepuk bahu Javas dengan lembut. "Sudah paman bilang tidak apa-apa, kan."
"Tapi Paman mau kemana? Javas belum berterima kasih pada Paman," ujar Javas.
Paman tersenyum. "Kalian berbicara saja dulu. Paman keluar sebentar."
Karena Paman bilang begitu, Javas pun menghampiri Ibu dan adiknya. Ibunya masih memasang wajah senyum masam seakan masih tidak terjadi sesuatu yang buruk.
Javas terdiam sejenak, lalu Revan buru-buru berkata, "Bang, Revan enggak hubungin Paman. Tapi Paman yang datang sendiri."
Ibunya menyela, "Ya ampun kalian kenapa? Udah jangan pasang wajah seperti itu. Mama enggal kenapa-napa, kok. Liat Mama sudah bisa. melihat kalian lagi kan?"
Javas mencoba mengeluarkan suaranya, tapi suaranya tidak mau keluar. Dia mempererat kepalan kedua tangannya, lalu berkata, "Syukurlah, Javas kira Javas enggak bisa ketemu Mama lagi. Maafin Javas, Ma."
Mendengar suara Javas yg kecil seperti itu membuat ibunya menarik tangan Javas dengan lembut. Ia tepuk tangan Javas dengan lembut. "Kamu ini bicara apa. Mama enggak akan kemana- mana sampai bisa melihat cicit Mama."
Revan mengangguk. "Benar, Bang. Jangan ngomong yang aneh aneh dong," kata Revan dengan suara mulai bergetar.
Javas masih menundukkan kepala. Sementara Ibunya menyuruh mereka mendekat dan memeluk kedua putranya dengan penuh kasih sayang.
"Maaf, Ma. Javas masih saja belum berguna. Maaf Javas masih belum bisa apa-apa," sesal Javas dalam hati.
***
Di sisi lain, Paman Antonio sedang memasukkan koin untuk membeli kopi kaleng dan beberapa minuman lainnya. Seseorang datang dari belakang. Sepertinya itu adalah dokter kenalan beliau.
"Ini hasil tes dari beliau dari hasil tersebut tidak menandakan sesuatu yg berbahaya. Ibu ini hanya terlalu stress dan kurang tidur. Saya akan segera memberinya obat," ujar dokter tersebut.
"Melegakan karna tidak terjadi sesuatu yang besar. Katakan padanya bahwa dia masih harus 2x datang ke rumah sakit ini untuk check up, jika dia tidak mau, katakan saja kau hanya menjalani tugas. Kau hanya perlu meneleponnya untuk datang kesini lagi," pesan Paman Antonio pada pria dengan jas putih itu.
"Baik, Pak," ucap sang dokter seraya membungkuk sopan.
Keesokan paginya, Javas merasa beralah karena seharusnya dia pulang pas tau adiknya kabari seperti itu. Seharusnya dia yang menggantikan ibunya jualan sayuran. Tapi lagi-lagi dia malah merepotkan Paman.
Javas ingin bertemu dengan Paman Antonio untuk berterima kasih, namun Paman minta maaf karena harus kerja di luar kota dulu. Beliau bahkan sudah menunda waktunya buat menolong ibunya Javas.
Akhirnya Javas hanya berterima kasih lewat telepon dan memikirkan harus beli barang apa untuk membalas kebaikan Paman.
***
Malam ini adalah kali pertama Javas tampil di panggung, namun Javas justru mengenakan pakaian seadanya karena baju branded yang masih tersisa sedang dicuci.
Meski begitu, Javas berusaha tetap percaya diri walau sedikit pesimis melihat yang datang ke kafe ini sangat sedikit. Sepertinya hanya enam orang.
"Selamat malam semuanya," ucap Javas di mikrofon, namun tidak ada yang menyahut.
Rata-rata yang datang ke sini Bapak-Bapak. Mereka sibuk mengobrol sendiri. Kalau begini caranya sih, boro-boro namanya dikenal!
Javas berdeham lagi, tapi tetap saja tidak ada respon. Maka akhirnya Javas pun pasrah dan mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu.
"Terima kasih, dan selamat malam," ucap Javas di mikrofon dan diabaikan untuk kedua kalinya. Dia malu sendiri karena merasa bodoh menyanyi sendiri tanpa diperhatikan oleh siapapun.
Javas turun dari panggung, mengembalikan gitarnya pada Pak manajer sambil menunggu pria itu mengeluarkan uang dari dompetnya.
Senyum Javas mengembang perlahan. Tidak apa-apalah tidak ada yang nonton, yang penting Javas tetap dapat uang, kan?
"Ini bayaran kamu," ujar sang manajer sembari memberikan uang lima ribu rupiah, membuat senyuman Javas luntur seketika.
***
Sabar, jangan bosen dulu 🙏🏻
Terima kasih sudah membaca dan mendukung aku, semoga kalian suka ceritanya! Ditunggu kelanjutan kisah Javas & Janna di next episode yaa <3
See u next part ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro