Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. PRASANGKA BURUK

Hai, Mochi! Aku update lagi nih, tolong ramein komen di setiap paragraf yaa 🖤

***

Hari ini, Javas mengantar ibunya ke rumah sakit untuk check up. Sejak kejadian ibunya pingsan beberapa bulan yang lalu itu, kondisi beliau jadi sering drop hingga Javas harus rutin membawa ibunya ke rumah sakit.

Setelah check up, dokter memberikan resep obat yang harus ditebus oleh Javas. Lelaki itu dan ibunya pun menunggu di ruang tunggu.

"Jadi berita itu benar? Yang bunuh suami kamu itu sahabatnya sendiri? Yang bahkan baik banget sama keluarga kamu?"

"I—Iya ... Aku juga ... Nggak p—percaya..."

"Kalau enggak mau cerita jangan dilanjutin. Enggak apa-apa, kok."

Javas tertegun saat tak sengaja mendengar pembicaraan dua orang di belakangnya.

Ia tahu tidak sopan menguping pembicaraan orang, tapi mendengar wanita menangis sesegukan di belakangnya itu membuat Javas terusik.

"Pelakunya sengaja berbaik hati padaku supaya aku dan keluargaku enggak curiga. Padahal dia yang membunuh suamiku. Dan uang yang dia sering sumbangkan pada keluargaku sekarang adalah hasil menggelapkan uang suamiku." Wanita itu tersedu-sedu.

Deg. Dada Javas serasa dipukul dengan sangat kencang mendengarnya. Seketika pikirannya tertuju pada Paman Antonio. Ia teringat kata-kata Om Ferry kemarin.

"Coba kamu pikir, Antonio itu cuma sekretaris Papa kamu. Dia kan orang susah. Tapi kenapa sekarang dia bisa jadi direktur utama perusahaan Papa mu? Kenapa sekarang dia bisa jadi kaya semenjak Papa mu meninggal? Apa kamu enggak curiga?"

"Kekayaan dia luar biasa, Javas. Buktinya dia bisa sampai bantu lunasi hutang ayahmu yang banyak itu. Dapat uang dari mana lagi dia, selain menggelapkan uang ayahmu?"

Tenggorokan Javas tercekat. Tiba-tiba dia takut sekali kalau perkataan Om Ferry ternyata benar.

"Ma, Javas ke toilet dulu ya? Mumpung masih lama dipanggilnya. Mama tunggu di sini aja dulu," kata Javas pada ibunya.

Ibunya mengangguk. "Iya, Vas."

Javas bermaksud menuju toilet untuk cuci muka dan menenangkan diri. Namun langkahnya terhenti ketika tak sengaja melihat seseorang yang familiar di depan UGD.

Spontan Javas bersembunyi di balik tembok. Itu Paman Antonio sedang berbincang bersama seorang dokter yang tak lain adalah dokter yang menangani Mama Javas.

Jantung Javas berdegup kencang. Tampaknya mereka akrab sekali. Apa mereka saling kenal?

"Pastikan selalu berikan dia pengobatan terbaik. Jangan sampai beliau sakit parah. Kasihan anak-anaknya," pesan Paman Antonio seraya menatap sang dokter dengan wajah iba.

Pria berjas putih di depannya itu mengangguk. "Siap, Pak Antonio. Saya akan selalu melakukan yang terbaik."

Debaran jantung Javas semakin cepat. Ia semakin tidak tenang karena sepertinya Paman Antonio membicarakan ibunya. Sebegitu perhatiannya kah Paman Antonio dengan ibunya sampai berpesan pada dokter diam-diam?

Seketika percakapan wanita di ruang tunggu tadi terbesit di benak Javas.

"Pelakunya sengaja berbaik hati padaku supaya aku dan keluargaku enggak curiga."

"Padahal dia yang membunuh suamiku. Dan uang yang dia sering sumbangkan pada keluargaku sekarang adalah hasil menggelapkan uang suamiku."

Javas menelan ludahnya kasar. Tubuhnya gemetar ketakutan. Tidak mungkin, kan? Yang dikatakan Om Ferry saat itu benar? Kalau Paman Antonio yang membunuh Papa?

***

Keesokan harinya, Javas mengintai mobil Paman Antonio dari belakang. Tak terduga, mobil Hyundai keluaran terbaru itu berhenti di depan parkiran rektorat kampus Universitas Harapan Nusa.

Javas ikut menghentikan motornya saat Paman sudah masuk ke dalam gedung rektor, lalu mengekori pria paruh baya itu diam-diam.

Dada Javas kembali bergemuruh saat melihat Paman Antonio masuk ke dalam ruang rektor. Ini sangat aneh. Untuk apa Paman Antonio ke rektor kampus Javas? Javas ingin mengintip, namun itu terlalu beresiko.

"Apa dia jangan-jangan kenal sama ketua rektor? Tapi ke sini pas hari minggu, buat apa?" pikir Javas semakin curiga.

Tapi tiba-tiba Javas teringat saat pertama kali bertemu Paman Antonio di minimarket saat pendaftaran. Saat itu Paman mengajaknya ngobrol lalu memberinya es krim cair...

Benar juga, kenapa dia baru sadar kalau Paman Antonio mencurigakan sekali?

Mendadak Paman Antonio keluar dari ruang rektor, membuat Javas terkejut tak menyangka beliau keluar dari sana secepat ini.

Paman Antonio melirik ke sekeliling, curiga karena merasa ada yang mengikuti dirinya. Untung saja Javas sudah sembunyi duluan di belakang tembok.

Demi apapun, ini aneh. Javas tidak boleh tinggal diam. Dia harus cari tahu lebih banyak lagi kebenarannya.

***

Satu minggu sudah Javas menghabiskan waktu hanya demi mengintai Paman Antonio ke mana pun beliau pergi.

Memang buang-buang waktu dan bensin sampai Javas ditegur oleh ibunya, tapi mau bagaimana lagi? Hidup Javas tidak tenang semenjak melihat gerak-gerik Paman yang mencurigakan.

Namun sayangnya, sudah seminggu ini juga Javas tidak menemukan hal mencurigakan lagi tentang Paman. Beliau hanya bolak balik kantor, lalu terkadang pergi jalan-jalan bersama keluarganya.

Sampai akhirnya suatu hari, Javas mengikuti Paman Antonio ke makam Papa. Hal ini membuat Javas bimbang dengan kecurigaannya di awal.

Kalau memang Paman Antonio membunuh Papanya, untuk apa Paman Antonio melayat ke makam beliau?

Apalagi sekarang Javas melihat Paman duduk di samping makam ayahnya. Menaruh bunga di sana dan menangis. Javas jadi merasa bersalah karena sudah menuduh Paman sebagai Pembunuh ayahnya.

"Ternyata gua cuma berprasangka buruk," batin Javas iba saat melihat Paman yang sedang menyeka air matanya saat mengelus batu nisan ayahnya. Setahu Javas, hubungan mereka memang sangat dekat sejak dulu.

Mungkin semuanya hanya salah paham. Mungkin Paman Antonio ke kampus dan ke dokter kemarin karena memang punya banyak koneksi. Beliau orang bisnis, wajar kalau relasinya di mana-mana.

Jahat sekali kalau Javas berpikir yang tidak-tidak tentang Paman. Padahal kalau Paman tidak menolong keluarganya Javas sejak awal, mungkin saja dia dan keluarganya bisa saja sudah mati...

***

Keesokan harinya, tidak ada angin tidak ada hujan Paman tiba-tiba menyuruh Javas datang ke kantornya.

Javas yang hari ini terlihat cool dengan jaket jins hitam, kaos putih dan celana denim itu dipersilahkan duduk di ruangan CEO.

"Bagaimana keadaan Mama kamu, Javas? Adikmu bilang ibumu masih sering drop," ujar Paman Antonio yang duduk di seberang sofa Javas.

"Alhamdulillah, sekarang sudah lebih baik, Paman. Dokter yang nanganin Mama baik dan selalu kasih obat yang ampuh setengah harga. Padahal aslinya mahal banget," jawab Javas.

Paman Antonio tersenyum. "Syukurlah kalau begitu. Paman ikut senang mendengarnya."

"Ah iya, sebentar." Paman tiba-tiba menginterupsi ketika Javas baru saja ingin membuka pembicaraan lagi. Ia beranjak dari kursi dan melangkah ke arah kulkas. Mengambil sesuatu dari sana untuk diserahkan ke Javas. "Ini kesukaan kamu. Makan."

Javas menatap es krim yang diberikan Paman Antonio. Ini adalah ketiga kalinya Paman Antonio memberi Javas es krim.

"Waah, sudah jam segini." Paman Antonio kaget saat melihat jam tangan.

"Paman tinggal dulu sebentar, ya," ucap Paman sebelum meninggalkan ruang CEO dan meninggalkan Javas sendirian di sana.

Ketika membuka bungkus es krim tersebut, Javas terbelalak karena lagi-lagi es krim tersebut tidak beku dan dingin seperti es krim biasanya melainkan cair. Ini benar-benar mencurigakan.

Kenapa semua es krim yang Paman beri selalu cair? Tidak ada alasan cair karena mencair di luar. Jelas-jelas Javas melihat Paman mengambilnya dari dalam kulkas. Mana mungkin cair?

"Apa sih maksudnya? Masa iya kebetulan cuma tiga kali," gumam Javas tak mengerti. Ia menatap es krim tersebut bingung. Ini juga sudah tidak bisa dimakan, lalu Javas harus apakan es krimnya?

Ketika Javas menelisik ruangan CEO untuk mencari tempat sampah, pandangannya tiba-tiba tertuju pada selembar kertas dengan tulisan tangan panjang di atas meja Paman.

Javas menelan ludah. Tiba-tiba ia jadi penasaran kertas apa itu.

Ketika Javas mendekat dan mulai membacanya, seketika jantung Javas seolah berhenti berdetak sejenak.

Kertas itu ... Adalah surat permintaan maaf Paman pada almarhum ayahnya karena telah mengkhianati dan mengakhiri hidupnya.

Tangan Javas bergetar hebat, namun tubuhnya terasa mati rasa saking tak percayanya. Ternyata dugaannya benar.

Paman Antonio adalah pembunuh ayahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro