28. AWAL DARI KEHANCURAN
Hai, Mochi! Aku update lagi nih, tolong ramein komen di setiap paragraf yaa 🖤
***
Seminggu berlalu, Janna merasa Javas berubah jadi dingin. Cowok itu selalu menghindari Janna setiap kali Janna ingin mengajaknya bicara. Ia selalu berkata bahwa dirinya sedang sibuk. Padahal Janna tahu Javas sudah tidak sibuk semenjak bekerja di VOLTAGE.
Karena penasaran, maka hari ini Janna meminta ke Javas meluangkan waktu sebentar saja untuk berbicara di belakang fakultas. Janna sedikit takut saat berhadapan dengan Javas. Lelaki itu benar-benar berubah jadi dingin, seperti Javas yang pertama kali ia temui dulu. Apa Janna sudah melakukan kesalahan sampai Javas berubah seperti ini?
"Mau ngomong apa?" Lelaki berkemeja putih itu berdiri menghadap Janna dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya.
"Kenapa kamu diemin aku terus? Aku ada salah sama kamu?" Janna bertanya dengan hati-hati, belum siap mendengar jawaban Javas.
Tapi Javas hanya menghela napas sambil memalingkan wajahnya tak acuh. Malas menjawab Janna.
"Kamu bilang kamu sekarang sibuk. Tapi sikap kamu juga berubah ke aku. Tadinya kamu enggak dingin kayak gini, tapi tiba-tiba kamu jadi beda," ujar Janna sembari menatap Javas tajam.
"Apa aku ada salah sama kamu, Jav? Kamu masih marah karena aku jajanin teman sekelas waktu itu? Bukannya waktu itu kita udah baik—"
"Aku bukan marah gara-gara itu, Janna," sela Javas.
Janna diam saja, ia biarkan Javas giliran bicara.
"Padahal aku udah seneng waktu itu aku keterima di kerjaan sebagus itu," ujar Javas membuat Janna terbelalak.
"Aku kira aku diterima kerja di situ karena perjuangan aku. Tapi ternyata karena koneksi. Haha." Kini giliran Javas yang menatap Janna dengan tajam. "Sekarang aku sadar, memang yang kaya makin kaya. Yang miskin makin miskin."
Seketika Janna membeku di tempatnya. Jadi ... Javas sudah tahu bahwa ia membantunya lewat orang dalam?
"Javas, aku bisa jelasin. Aku emang bantu kamu masuk ke VOLTAGE, tapi maksud aku bukan gitu—"
"AKU BUKAN PENJILAT!!" sentak Javas.
Lidah Janna kelu. Sudah tidak bisa berkata apa-apalagi karena cara dia memang salah. Dia sudah melukai harga diri Javas. Seharusnya dari awal dia tidak usah ikut campur.
"Aku enggak butuh bantuan kamu, Na." Javas terkekeh kosong, wajahnya terlihat sangat kecewa. Janna bisa melihat mata Javas berkaca-kaca. "Aku enggak butuh bantuan orang kaya yang enggak pernah ngerasain susah."
Janna tertunduk. Tiba-tiba ingatan saat Janna masih SD terbesit di benaknya. Di saat Janna dijauhi oleh Tiara karena kesombongannya.
Dan sekarang, semua itu kembali terjadi padanya.
***
Keesokan harinya saat Javas baru saja keluar dari parkiran motor, ia menerima banyak pesan masuk dari Aidan maupun anak-anak Aspire.
Biru: Bang, lu gapapa kan? @Javas
Caraka: Jangan ada yang ngejudge Javas dulu, gua yakin dia punya alasan dibalik semua ini
Kajev: Halah, palingan cuma berita miring. Emang kalo orang mau sukses mah ada aja cobaannya
Semesta: @Javas lo beneran gapapa kan, Ja?
Alis Javas bertaut. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak. Tangannya gemetar saat scrolling chat grup ke atas.
Caraka membagikan sebuah tautan thread twitter yang cukup panjang.
IDENTITAS ASLI RAJAVAS SADEGA DRUMMER ASPIRE: Aslinya kuli bangunan dan jadi cleaning service di restoran. Tidak mau ketahuan miskin?
Dunia Javas seolah berhenti berputar saat itu juga. Tidak. Ini tidak boleh terjadi lagi. Kenapa identitasnya bisa ketahuan?
Kedua tangan Javas semakin tremor saat membuka kolom komentar. Ia genggam ponselnya erat-erat agar tidak menjatuhkannya. Semua komentar mengerikan yang tidak pernah ingin dia lihat. Javas seolah terperangkap dalam mimpi buruk yang nyata.
@fansjavas123 kecewa banget, ternyata semuanya cuma palsu. padahal semua orang udah ngira dia perfect, ternyata cuma pencitraan :)
@starberryshortcake hah?? jadi ibunya tukang sayur yang sering emak gue beli? syok abis!
@chocomelon jadi yang dia bilang bapaknya CEO itu bohong juga kah? :)
@pancakepieee segitunya banget sampe pas kerja harus pake kacamata dan masker. miskin mah miskin aja cuy
@ekyrezki udah gue duga, dia cuma belagak kaya di kampus ini. aslinya kere 👎🏻 pantesan setiap disuruh traktir temen sekelas ada aje alasannya
Belum sempat Javas menutup thread itu, Javas mendengar bisik-bisik mahasiswa lain di belakangnya.
"Tuh dia orangnya, masih berani dia munculin diri di kampus ini?" tanya salah satu mahasiswa pada temannya.
"Iya, dih. Gak ada malu-malunya. Udah ketahuan juga identitas aslinya," sahut temannya.
"Itu lah makanya kita jangan menilai seseorang dari penampilan. Gak semua seindah warna aslinya."
"Nyesel gue pernah idolain dia!"
Javas membeku. Ini ... Rasanya seperti kejadian beberapa tahun lalu di saat Javas dibully di sekolah.
Ingatan-ingatan buruk tentang masa lalunya terulang. Trauma itu kembali lagi.
"Jadi benar, Javas itu aslinya orang enggak mampu? Jadi selama ini dia cuma pura-pura kaya?"
"Sial, padahal dulu dia sering traktir mantannya si Tarisa makanan mahal! Jangan-jangan dia pakai pinjol haha!"
"Eh, tapi ada yang bilang beneran kaya, lho. Dia cuma jatuh miskin karena ayahnya meninggal. Kasihan banget, langsung jadi gembel."
"Udah tau jatuh miskin ngapain masih di sekolah ini? Udah enggak guna juga, enggak bisa traktir kita-kita lagi, ck."
Sudah hancur. Hidup Javas sudah hancur.
"Javas!!"
Tiba-tiba suara lembut yang tak asing terdengar di belakang Javas. Seorang gadis berambut panjang yang tak lain adalah Janna. Gadis itu menghampiri Javas dengan wajah panik.
"Jav, kamu enggak apa-apa kan—"
Dulu, saat melihat wajah Janna, Javas merasa tenang dan damai. Javas mengira Janna adalah orang yang tulus. Orang yang dapat membuatnya sembuh dari traumanya.
Tapi sekarang di mata Javas, Janna tidak ada bedanya dengan Tarisa. Javas muak. Semua orang di sekitarnya hanya bisa merendahkan dirinya. Semuanya sama saja.
"Nggak usah mendekat kalau cuma mau ikut ngehina!" bentak Javas sebelum berjalan cepat meninggalkan Janna.
Lutut Janna melemas. Perempuan itu akhirnya terduduk di pinggir lapangan. Berharap Javas kembali menghampirinya namun laki-laki itu malah semakin menjauh. Sekarang, Javas benar-benar sudah membencinya.
***
"Nak? Kamu kenapa basah-basahan kayak gitu? Kamu enggak pakai jas hujan?"
Ibu Javas khawatir saat melihat putra sulungnya pulang dalam keadaan basah kuyup. Javas memang tidak pakai jas hujan saat pulang tadi. Jangankan pakai jas hujan, Javas saja tak sengaja meninggalkan buku-bukunya di kampus. Javas terlalu kalut untuk berpikir jernih.
Tapi seperti biasa Javas menyembunyikan kesedihannya. Ia hanya tersenyum getir sambil berucap, "Iya, Ma. Javas lupa."
Setelah itu, Javas masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Javas memandang ke arah jendela dengan tatapan kosong.
Ponsel Javas berdenting berulang kali. Janna meneleponnya, Aidan yang biasanya hanya balas sepatah dua kata kini mengespam chatnya. Anak-anak Aspire mencarinya. Mereka semua khawatir pada Javas, namun Javas sudah mati rasa. Tidak ada yang bisa dipertahankan lagi. Tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi. Semuanya sudah hancur.
Rasanya ... Javas ingin ikut Papa saja.
"Javas!"
Tiba-tiba suara Ibunya terdengar lagi. Beliau mengetuk pintu berkali-kali.
Javas terpaksa membuka pintunya dengan malas. Ia bahkan tak menyahut ketika melihat Ibunya di depan pintu.
"Ada Om Ferry, Kakaknya Papa datang," ujar Ibunya. "Beliau mau ngomong sama kamu."
***
Javas duduk berdua dengan Ferry di belakang rumah. Pria tua itu melihat ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.
Ferry adalah anak laki-laki paling tua dari keluarga papanya Javas, Keluarga Sadega. Dia tinggal di Amerika sehingga Javas jarang sekali bertemu dengannya. Maka dari itu Javas sedikit heran dengan kedatangan Ferry sekarang.
"Apa yang mau Om bicarakan sama Javas?" tanya Javas.
"Kenapa kamu percaya sekali sama Antonio?" Ferry justru bertanya balik, membuat Javas bingung. Kenapa tiba-tiba Ferry menyebut nama Paman Antonio?
"Kenapa Om nanya kayak gitu?" tanya Javas lagi.
"Gini, Javas." Ferry menghela napas sambil mengusap-usap lututnya sendiri. "Sebagai kakak dari almarhum ayah kamu, tentunya Om gak bisa tenang dan beberapa kali selidiki kasus kematian adik Om sendiri. Om merasa ada yang janggal dari kasus kematian ayah kamu. Dan Om yakin, ini semua ada hubungannya sama Antonio."
"Maksud Om?"
"Om yakin, Antonio itu ... Pembunuh Papa kamu, Vas." Ferry menatap Javas tajam. "Dia yang bikin Papa kamu meninggal. Dia dendam sama Papa kamu, makanya dia ngelakuin itu."
Javas mendengus tajam, tak habis pikir dengan kata-kata Ferry barusan. "Kenapa Om bisa bikin kesimpulan kayak gitu?"
"Kenapa juga kamu sepercaya itu sama Antonio?" Ferry membalikan pertanyaan Javas.
"Paman Antonio itu baik sama keluarga kami. Beliau selalu membantu di saat Javas sama Mama dan adik Javas sedang susah. Mana mungkin Paman yang ngelakuin itu? Beliau sendiri yang bilang, beliau mau bantu kami karena hutang budi sama Papa. Lagipula Javas tau Papa kayak gimana, Papa itu orang yang baik. Papa dicintai sama semua orang. Enggak mungkin ada yang dendam sama Papa," tepis Javas panjang lebar.
Javas sangat tahu Paman seperti apa. Beliau sampai datang waktu Mama tiba-tiba pingsan dan membawa Mama ke rumah sakit. Jika beliau tidak datang saat itu, mungkin saja Mama sudah tiada. Tentu saja Javas tidak terima ada yang menghina Paman yang begitu berjasa padanya.
"Coba kamu pikir, Antonio itu cuma sekretaris Papa kamu. Dia kan orang susah. Tapi kenapa sekarang dia bisa jadi direktur utama perusahaan Papa mu? Kenapa sekarang dia bisa jadi kaya semenjak Papa mu meninggal? Apa kamu enggak curiga?" Ferry berusaha meyakinkan Javas.
"Kekayaan dia luar biasa, Javas. Buktinya dia bisa sampai bantu lunasi hutang ayahmu yang banyak itu. Dapat uang dari mana lagi dia, selain menggelapkan uang ayahmu?" tanya Ferry membuat Javas terbungkam.
Haruskah Javas percaya pada orang ini?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro