27. KECEWA
Hai, Mochi! Aku update lagi nih, tolong ramein komen di setiap paragraf yaa 🖤
***
Keesokan harinya, Janna memanggil Javas yang jalan sendirian menuju kelas sambil mendengar lagu dengan earphone. Karena Javas tidak dengar, akhirnya Janna meneriaki Javas lalu menghampirinya.
Javas melepas earphone di salah satu telinganya, ia tatap Janna tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Wajah Janna seketika pucat. Dia takut berbicara pada Javas. Tapi dia harus minta maaf...
"J—Jav, itu ... Makasih hadiahnya udah aku terima. Aku suka jam tangannya. Bakalan aku jaga baik-baik," ucap Janna gugup.
"Iya," ucap Javas singkat lalu kembali meninggalkan Janna.
Janna menggigit bibirnya. Tuh kan, Javas pergi lagi. Dasar bodoh. Kenapa dia tidak to the point saja tadi!
"JAVAS, TUNGGU!!!" Janna memberanikan diri untuk teriak.
Langkah Javas terhenti lagi. Ia lirik Janna dengan tajam. "Apa lagi?"
"Aku ... Aku minta maaf udah bikin kecewa kamu. Aku sadar aku udah hamburin uang buat orang yang salah. Awalnya aku nraktir mereka karena aku pengen ngerasain banyak yang nganggep ulang tahun aku spesial. Ternyata mereka sama sekali enggak peduli sama aku. Jangankan ngasih kado. Mereka bahkan enggak ngucapin aku selamat ulang tahun," ucap Janna sambil menunduk. Kalau mengingat kejadian kemarin Janna jadi sedih lagi.
"Iya. Aku juga minta maaf, Na. Aku bikin kamu nangis di hari ulang tahun kamu. Padahal seharusnya itu jadi hari yang istimewa buat kamu," Javas membuat Janna terkejut.
Jadi ... Javas sudah memaafkannya?
"Aku pikir kamu bakalan lama marahnya," ucap Janna dengan suara gemetar. Mata berkaca-kaca, ia ingin menangis. Ia kira Javas akan menjauh darinya untuk selamanya.
"Aku pikir kamu bakalan benci sama aku," ucap Janna lagi sambil menghapus air matanya.
"Na, jangan nangis terus bisa ga?" tanya Javas membuat Janna berhenti menangis.
"Kayak anak bayi tau," lanjut Javas sambil menahan tawa.
"Eissh, Javas! Bisa-bisanya kamu malah ketawa di saat serius kayak gini!" Janna melotot dan reflek memukuli Javas, membuat Javas menahan tangan Janna dan tertawa terbahak-bahak. Dia senang akhirnya bisa bercanda lagi bersama Janna seperti ini.
Namun mendadak Janna berhenti dan wajahnya berubah pucat. Ia menoleh ke belakang, merasa dirinya diperhatikan diam-diam.
"Ada apa, Na? Tiba-tiba diem," tegur Javas heran melihat ekspresi Janna.
"Aku ngerasa tadi kayak ada yang perhatiin kita deh," jawab Janna.
Janna yakin dirinya tidak halusinasi. Dia melihat seorang lelaki tinggi dengan hoodie hitam, tapi sekarang hilang.
***
Di sebuah mansion yang mewah, terdapat sebuah kamar yang gelap dan berasap.
Deandra sedang membakar semua poster yang berhubungan dengan Aspire di api unggun.
Hatinya hancur berkeping-keping saat ia membakar foto terakhir yang ia punya. Fotonya bersama Javas saat di fansign.
Seketika ingatan akan masa lalu Deandra terulang lagi. Di saat ia bertemu dengan Javas untuk yang pertama kalinya.
Belasan tahun lalu, rumah Dea kebakaran. Kedua orang tuanya masih di dalam dan tidak dapat terselamatkan. Sementara Dea yang baru pulang sekolah hanya bisa menangis melihat semua tetangga mengerubungi rumahnya yang sudah dilahap api.
Tapi tiba-tiba sebuah mobil yang lewat berhenti. Lalu detik kemudian seorang pria turun dari mobil tersebut. Pria yang waktu itu dia temui di pasar malam. Ayah dari anak yang waktu itu memberikan dia balon saat dia menangis. Ayah Javas.
Pria itu bertanya-tanya pada tetangga apa yang terjadi. Sesekali ia melirik ke arah Dea yang masih menangis di pojokan. Pria itu menelepon seseorang, lalu menghampiri Dea dengan senyuman.
"Kamu anak yang waktu itu menangis di pasar malam ya?" Ayah Javas menunduk agar sejajar dengan Dea. "Masih ingat Paman?"
Dea mengangguk lemah.
"Mulai sekarang teman Paman yang akan mengurus kamu. Tapi kalau kamu mau makan, atau mau minta apapun. Kamu hubungi Paman saja. Nanti Paman akan datang," ujar Ayah Javas.
"Papaa!!" Javas yang masih kecil tiba-tiba ikut turun dari mobil. Ia memeluk Papanya dan mengajak Papanya pulang.
"Apa Javas boleh ikut bantu pemadam kebakaran? Javas pengen siram api rumah itu," ujar Javas sambil menunjuk rumah Dea yang sedang disiram air oleh pemadam kebakaran.
"Tidak boleh, Javas. Nanti ya, kalau sudah besar Javas boleh bantu orang-orang," ujar Ayah Javas sambil mengelus kepala Javas.
Melihat inisiatif Javas yang baik, diam-diam Dea jadi ingin dekat pada Javas. Namun Javas tak tertarik untuk berteman dengan Dea. Dea juga tidak pernah bertemu lagi dengan Javas maupun ayahnya. Mereka hanya berhubungan lewat telepon saja.
Tapi sejak saat itu, hidup Dea benar-benar sejahtera karena sumbangan dari Ayahnya Javas. Dea diadopsi oleh teman ayahnya Javas dan tidak pernah merasa kekurangan. Dea sekolah di SMP internasional yang sangat mahal dan kebetulan satu sekolah dengan Javas.
Dea mengagumi Javas diam-diam, tapi Javas tidak pernah menyadari keberadaan Dea. Dea pun tidak berani mengajak Javas ngobrol karena
malu.
Sifat Dea yang sangat malu dan anti sosial ini pun dianggap aneh oleh teman-temannya. Akibatnya, Dea dibully oleh semua orang. Dea yang tidak terima dan merasa harus selalu mendapatkan apa yang ia mau akhirnya meminta kursus IT pada orang tua asuhnya demi bisa mengancam siapa saja yang berani macam-macam dengannya dengan menggali informasi pribadi serta aib mereka.
Ketika lulus sekolah, Dea muak karena tidak bisa juga dekat dengan Javas. Namun Dea tidak menyerah. Ia masuk ke Universitas Harnus agar bisa satu kampus dengan Javas, bahkan nekat melakukan operasi plastik agar bisa mendekati Javas tanpa harus membuat Javas kaget atau curiga dengan dirinya.
Tapi sayang, semua usaha yang dilakukan Dea sia-sia. Setelah Dea berpura-pura menjadi fans Aspire, Javas malah dekat dengan perempuan lain.
Dan kini, Dea menyerah.
Dea kembali ke tempat tidurnya setelah membakar semua foto itu, namun tiba-tiba ponselnya berdenting. Ada pesan.
Jerry: Semua data yang lo butuhin udah gue bantu kumpulin, udah gue taro di drive.
Jerry: Jangan lupa bayaran gue.
***
Satu minggu ini semuanya berjalan dengan lancar. Mama Javas sehat, Revan sudah selesai ujian dan mereka tidak perlu lagi pusing soal tagihan apalagi kebutuhan sehari-hari. Sejak diterima di VOLTAGE, kehidupan Javas jadi lebih mudah. Javas pun merasa hoki karena bisa masuk ke VOLTAGE dengan mudahnya.
Hari ini Javas datang lebih awal. Javas berjalan lewat halaman belakang gedung VOLTAGE namun langkah Javas terhenti begitu melihat CEO nya yang sedang berbincang dengan seorang gadis di tempat sepi. Seorang gadis yang sangat ia kenal.
Tidak mungkin. Bagaimana Janna bisa ada di sini? Bagaimana Janna bisa berbicara dengan CEO nya? Dia tidak salah lihat kan?
Javas spontan bersembunyi di belakang gerbang untuk menguping pembicaraan mereka.
"Paman, terima kasih banyak ya sudah bantu Javas supaya bisa masuk ke sini. Sekarang aku lihat Javas jadi enggak kesusahan lagi," ucap Janna pada direkturnya.
"Sama-sama, Janna. Javas kerjanya bagus. Anaknya rajin. Semenjak ada dia, penjualan jadi meningkat. Tapi Paman khawatir dia suka nolak kalau ditawarin bantuan," jawab pria itu.
"Waah, syukurlah, Paman. Janna ikut senang. Memang Javas orangnya begitu sih, Paman. Dia suka enggak enakan," balas Janna.
Detak jantung Javas yang semula serasa berhenti berdetak kini berdegup tak karu-karuan. Javas tidak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Berharap semua ini hanya halusinasi.
Tapi tidak, suara Janna yang terdengar sangat serius saat berbincang dengan bosnya menyadarkannya bahwa dia tidak sedang bermimpi. Javas mendengar Janna sedang membicarakan perkembangan dirinya dengan sangat antusias. Gadis itu terlihat sangat akrab dengan direkturnya dan beberapa kali memanggil Paman.
Javas hanya bisa tertawa hambar. Merasa lucu sekaligus malu karena ternyata ia bisa masuk ke sini bukan karena usahanya sendiri, namun karena bantuan Janna. Ternyata Janna sudah tahu bahwa Javas kerja sambilan? Selama ini Janna menguntitnya tanpa sepengetahuan dirinya?
"Terima kasih ya, Paman. Besok Janna ke sini lagi," pamit Janna sambil salim kepada pria paruh baya itu.
Ia membalas Janna dengan senyum. "Sama-sama, Na. Santai saja."
"Ternyata kamu mainin aku, Na?" batin Javas geram. Kedua tangannya tak sadar mengepal keras sampai gemetaran.
Javas tak habis pikir. Entah mau ditaruh di mana harga dirinya. Padahal dia sudah susah payah selama ini menjaga image di depan wanita yang dia sayang. Tapi Janna justru menjatuhkan harga diri yang selama ini Javas pertahankan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro