22. RAHASIA YANG TERBONGKAR (1)
Cukup ramaikan komen biar aku semangat nulis lanjutannya 🖤
Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia ya
***
"Di rumah lo aja ya, Na, kerja kelompoknya?"
"Iya, Na. Di rumah lo aja, kek. Rumah gue ada bokap sama nyokap. Ntar kita berisik di omelin gimana?"
"Tapi di rumah aku ada adik aku juga. Enggak apa-apa?"
"Yaelah kalo anak kecil mah selow, udah ya, Na. Di rumah lo aja? Pleaseeee."
Lagi-lagi, Janna hanya bisa pasrah karena kerja kelompok kali ini pun semua orang tetap mau mengerjakan di rumah dia. Mungkin karena rumah Janna paling mewah dan nyaman, dan Janna juga tak sungkan-sungkan memasak makanan enak setiap kali mereka datang.
"Sabar ya, Na. Habisnya di rumah aku banyak poster anime sama figur-figur gitu. Mana ada PC pula, takutnya mereka iseng lagi ngotak ngatik barang aku," ujar Erika pada Janna.
"Selalu sabar aku mah." Janna hanya bisa mengelus dada.
Kali ini kerja kelompoknya ada sepuluh orang yang ikut, dan itu artinya Janna harus masak super banyak serta enak. Karena Javas juga satu kelompok dengannya. Tentu saja Janna tidak mau mempermalukan dirinya di depan Javas.
"Udah yuk, kita ngeprint dulu abis itu sorean baru ke rumah Janna," ujar Eric, salah satu teman sekelompok Janna.
"Ayo, ayo." Yang lain mengikuti.
Janna tidak langsung ikut, dia diam-diam memperhatikan Javas yang baru bangkit dari tempat duduknya dengan lemas. Dari kemarin Janna cemas melihat Javas yang selalu lunglai dan tidak bersemangat. Apa Javas benar-benar sedang tidak enak badan?
"Javas, muka kamu pucet banget. Kayaknya kamu enggak usah ikut ke rumah aku deh," ujar Janna sambil memperhatikan wajah Javas.
"Enggak, Na. Aku kan udah bilang aku enggak apa-apa. Ayo lah, gas. Mau nge print dulu, kan?" tanya Javas membuat Janna menghela napas berat.
Javas tidak ada waktu untuk istirahat. Nilai kerja kelompok itu dibagi rata. Jika ada yang tidak ikut, pasti nilainya dikurangi. Makanya Javas tidak mau cari perkara dan tetap ikut kerja kelompok.
Sampai di rumah Janna, semua orang makan-makan dahulu sebelum mengerjakan tugas. Janna dan adiknya telah menyiapkan pizza homemade terenak buatan mereka. Kecuali Javas yang izin ke kamar mandi.
Entah kenapa tiba-tiba Javas tidak nafsu makan, bahkan ingin muntah saat mencium bau makanan.
Ketika Javas melangkah ke kamar mandi, Javas mulai sempoyongan dan tak sengaja menabrak meja hingga kotak kecil di atasnya jatuh dan berserakan kemana-mana.
Javas berjongkok untuk memungutnya, namun perhatiannya terfokus pada jepitan bunga berkilau yang mencolok di antara aksesori lainnya.
"Hei, kamu! Kau telah membuat dosa besar!" omel Javas yang masih kecil pada gadis kecil dengan jepitan bunga itu.
Bocah tersebut terdiam, memasang wajah bingung.
"Iya begitu, benar! Berhenti menangis! Kalau tidak kau akan mengotori dunia ini dengan air mata jelekmu itu!" omel Javas lagi membuat gadis itu terkejut dan tambah menangis kejar.
Javas terkejut. "Ke—Kenapa itu malah buat makin nangis ya, Pa? Padahal aku sudah suruh dia berhenti nangis. Apa jangan-jangan dia monster menangis ya?"
"Haha, kamu terlalu menyukai superhero ya, Nak. Sayangnya bukan seperti itu. Coba lihatlah lagi. Di seri superhero, apa yg dilakukan seorang pahlawan jika ada orang yang sedih?" tanya Ayahnya.
"Oh, kasih balon. Tapi kan aku enggak punya balon. Apa aku harus belikan balon untuk dia?"
"Iya, tentu. Kamu sebagai pahlawan harus membuat dia senang, kan?"
Javas mengangguk-angguk. "Tapi kata ayah aku sudah buat dia sedih. Aku jadi takut."
Ayah mengelus kepala Javas. "Walaupun kamu takut, tapi hal itu bisa buat seseorang bahagia. Ayah rasa tidak apa-apa. Coba sajalah dulu. Mungkin Javas akan mengerti."
Javas yang penurut pun langsung membelikan gadis kecil itu balon dan memberinya balon berbentuk boneka.
"Su—Sudah jangan nangis lagi. Ini balon. Kalau kamu pegang ini rasa sedih kamu akan hilang seperti balon yg melayang ini. Itu kata superhero. Jadi, berhentilah menangis," kata Javas. Gadis dengan jepitan bunga itu pun tersenyum manis.
"Ayah, lihat aku berhasil! Sudah aku duga aku hebat!" sorak Javas kegirangan.
Memori tentang masa lalu itu terulang lagi.
Apa benar... Ini punya anak yang waktu itu Javas kasih balon di taman ria kala itu?
Pipi Javas kian memerah. Jika itu benar, jadi ... Gadis yang Javas temui waktu kecil adalah Janna?
"Javas! Kamu gapapa?" Janna menghampiri Javas, sepertinya karena suara barang jatuhnya cukup keras.
"Sorry, Na. Tadi aku enggak sengaja jatuhin ini sampai berserakan semua ke mana-mana," ucap Javas sambil terus memasukan aksesoris yang sudah ia jatuhkan satu-persatu ke dalam kotak.
"Ehh? Gapapa, Jav. Santai aja. Sini aku bantu beresin." Janna buru-buru mendekati Javas.
"Enggak usah, ini udah kelar," ucap Javas sebelum membereskan semuanya dan menaruhnya kembali di atas meja.
Javas berniat melanjutkan perjalanannya menuju kamar mandi, namun tiba-tiba pandangannya kabur. Tubuhnya pun melemah hingga ia tak sengaja jatuh ke pundak Janna.
"J—Javas? Kamu kenapa?" tanya Janna getir. Ia reflek mendekap tubuh Javas kuat-kuat agar tidak jatuh.
Javas tak mampu menjawab. Matanya terpejam. Ia tak sadarkan diri. Beban tubuhnya seluruhnya kini ditumpu Janna hingga gadis itu harus memeluk dirinya lebih erat lagi.
"Javas!!" Janna berteriak panik, membuat semua orang yang semula di ruang tamu menghampiri. Javas pingsan.
***
Javas dibawa ke unit gawat darurat. Semua temannya menunggu di lobby rumah sakit, hanya Aidan yang masuk ke dalam.
"Dokter bilang dia kebanyakan minum kafein sama dehidrasi, kecapekan juga," ujar Aidan setelah keluar dari UGD menghampiri Janna dan Erika. Wajah Janna sudah bersimbah air mata. Gadis itu tidak berhenti menangis dan menyalahkan dirinya sendiri sejak tadi.
"Emang Javas ngapain bisa sampe kayak gitu? Emangnya kamu enggak merhatiin?" tanya Janna pada Aidan, namun Aidan hanya diam.
"Kenapa diem aja? Sebenernya kamu tuh temen Javas apa bukan sih?" cecar Janna.
"Enggak begitu cara gua peduli ke dia." Aidan menatap Janna lurus. "Gua sengaja biarin dia begitu karena gua pengen dia sadar akibatnya."
"Tapi ... gua pernah liat dia kerja di toko sembako di dekat rumah gua," lanjut Aidan membuat Janna terperangah.
***
Setelah diberi tahu detailnya oleh Aidan, akhirnya Janna nekat mendatangi toko sembako yang dimaksud. Ada seorang ibu-ibu yang kebetulan sedang menyapu halaman depan toko.
"Permisi, Bu." Janna memberanikan diri untuk menghampiri wanita itu.
Beliau menatap Janna heran. "Iya, ada apa ya, Neng?"
"Apa di sini ibu punya karyawan laki-laki yang namanya Javas?" tanya Janna to the point. "Anaknya yang tinggi, putih, hidungnya mancung. Masih kuliah, Bu."
"Oh, ada Neng," jawab wanita tersebut membuat nafas Janna tercekat. "Sebenarnya saya sih enggak terlalu butuh pegawai, tapi anak itu yang mohon-mohon buat kerja di sini."
Seperti baru saja disiram air dingin, sekujur tubuh Janna membeku. Kenapa dia baru tahu sekarang bahwa Javas kerja sambilan? Kenapa Javas tidak pernah bilang padanya?
Dan apa itu? Sampai memohon-mohon?
Kenapa Javas harus memohon-mohon kerja sambilan di tempat seperti ini? Bukankah Javas anak orang kaya raya?
"Anak itu unik banget minta bayaran perhari. Enggak tahu ya, untuk apa. Mungkin dia harus biayai keluarganya," jelas beliau tak henti-hentinya mengagetkan Janna.
Janna ingin bertanya lebih lanjut pada wanita itu, namun ponsel di sakunya berdering satu kali. Erika missed call.
Erika: Na, ke RS sekarang. Aku ada berita terbaru tentang Javas.
***
Siapa yang ga sabar sama part selanjutnya?
Spam komen buat next!!!
Spam komen yang banyaaaaaak banget buat aku!! Biar aku semangat dan berkembang terus buat memuaskan kaliaaann!!!
Terima kasih sudah membaca dan mendukung aku, semoga kalian suka ceritanya! Ditunggu kelanjutan kisah Javas & Janna di next episode yaa <3
See you on the next part❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro