20. TOUCH
Cukup ramaikan komen biar aku semangat nulis lanjutannya 🖤
Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia ya
***
"JANNA, BUKA PINTUNYA!!" Javas menggedor-gedor pintu kamar Janna namun tak ada jawaban. Shakila yang berdiri di belakang Javas pun ikutan panik setelah Javas memberitahu dia tentang berita viral itu.
"JANNA!!"
Tiba-tiba terdengar gumaman kecil dari dalam sana. "Pintunya enggak dikunci."
Javas malu mendengarnya. Tapi juga lega setelah sedari tadi lupa cara bernapas. Ternyata Janna masih bisa berbicara. Walau setelah masuk ke dalam kamar Janna yang seperti istana kerajaan itu, Janna meringkuk di kasur sembari menutupi wajahnya dengan bantal. Tidak mau melihat Javas.
"Na, kamu enggak kenapa-napa, kan?" tanya Javas khawatir melihat Janna menyembunyikan wajah di bantal sambil terisak. Sudah Javas duga Janna pasti sangat hancur.
"Na." Javas berdiri di samping tempat tidur Janna. "Kamu enggak usah khawatir nama kamu jelek. Aku udah klarifikasi dan netizen udah enggak salah paham lagi. Aku minta maaf ya, Na? Gara-gara temenan sama aku kamu malah dapat masalah kaya gini."
"Ini bukan salah kamu, Jav," isak Janna.
"Ya udah kalau gitu jangan nangis terus, ya? Sekarang netizen udah pada belain kamu di twitter. Gak akan ada yang berani belain kamu lagi. Jangan panik lagi." Javas berusaha menenangkan Janna.
"Tapi tetap aja, Javas..."
"Tetap aja apa?" Javas mengerenyit.
"Tetap aja ada foto aku yang aib di situ. Mereka foto muka aku diam-diam pas lagi beli sayur, aku ... Aku bener-bener lagi jelek banget. Sekarang semua orang tahu muka aku yang jelek enggak pakai makeup," tangis Janna.
Bagi kebanyakan orang memang sepele, namun bagi Janna yang kepercayaan dirinya rendah dan sering dibully dulu, hal itu sangat memalukan. Janna takut dinilai orang-orang.
"Janna ..."
Janna tersentak ketika merasa Javas mendekatinya.
"J—Jangan dibuka!" Janna memeluk bantalnya agar Javas tidak bisa membukanya. "Makeup aku luntur! Jangan lihat aku!!"
"Aku enggak mau buka bantal kamu. Lagian siapa sih yang bilang jelek? Ada yang bilang kamu jelek?" Javas kehabisan kata-kata untuk meyakinkan Janna bahwa dirinya tidak seburuk itu.
Lagipula semua foto yang dipublikasi itu menurut Javas tidak ada yang jelek. Semuanya cantik. Tapi tentu saja Javas tidak punya nyali untuk mengatakannya.
"Ya udah, kalau gitu nanti aku suruh mereka semua takedown," kata Javas.
"Bener?" tanya Janna.
"Iya, bener." Javas mengangguk.
"Javas ..." panggil Janna sesegukan.
"Iya, Janna?"
Janna tiba-tiba mengulurkan tangan tanpa melihat Javas sama sekali.
Kedua mata Javas melebar. Jantungnya berdebar kencang. Ini pertama kalinya dia disuruh menggenggam tangan Janna.
Dengan ragu-ragu, Javas pun menaruh tangannya di atas tangan Janna dan menggenggamnya erat.
Janna tertegun. Ini pertama kalinya Janna merasakan tangan Javas. Hangat. Kontras dengan tangan Janna yang sedingin es. Tangan Javas begitu kekar, dengan urat-urat yang jelas di punggungnya, menandakan Javas memang orang yang sangat pekerja keras.
"B—Bukan tangan kamu, Jav. Tisu. Tolong ambilin," ujar Janna malu membuat Javas terbelalak. Pipi Javas langsung merah padam.
"Astaga," batin Javas ikut malu bukan main, tapi tetap mengambilkan tisu seperti yang Janna suruh.
***
"Bolak balik toilet mulu. Diare lo, Jav?" ledek Caraka ketika melihat Javas keluar dari kamar mandi studio Aspire untuk yang ketiga kalinya.
"Kaga, abis cuci muka gua. Ngantuk banget banyak tugas," jawab Javas sambil pura-pura mengucek mata.
"Kirain mules mulu gara-gara gugup abis ketemu gebetan. Hahaha." Tenggara ikut mengejek.
"Diem lo, Gar. Gue sumpel Pocky nih lama-lama," balas Javas malu. Tenggara benar sih, tapi kurang tepat. Bukan itu masalahnya.
Semesta yang baru saja selesai gitaran dan meletakannya di samping sofa ikut nimbrung. "Tadi Janna gimana? Baik-baik aja kan dia?"
Mendengar itu, Javas langsung mematung di tempat. Seketika adegan dirinya menyentuh tangan Janna tadi siang kembali terbayang-bayang.
Sial! Padahal sedari tadi dia bolak-balik cuci muka di toilet karena takut diejek mukanya merah karena ingat hal memalukan itu!
"A—Aman-aman aja kok dia hehe. Gue cabut dulu ya." Sebelum yang lain curiga, Javas buru-buru menyambar kunci motor dari atas meja dan berlari keluar studio secepat kilat.
"WOI!! KUNCI MOTOR GUA KAMPRETT!!" Kini giliran Reiji yang jadi korban keteledoran Javas.
***
Sepertinya sebentar lagi helm Javas bisa jebol karena dia terus menggetok kepalanya yang tak bisa berhenti memikirkan hal memalukan di rumah Janna.
"Mikir apa sih? Cewe cuma buang-buang waktu lo, Vas," omel Javas pada dirinya sendiri sepanjang jalan.
Javas berusaha tenang begitu sampai rumah dan memarkir motornya. Dia bermaksud langsung tidur hari ini, tapi suara bentakan yang lantang dari dalam rumah justru membuat Javas kembali panik.
"KALAU TIDAK BISA BAYAR KALIAN KELUAR DARI SINI!! APA SUSAHNYA?!"
Tanpa sempat buka sepatu, Javas langsung masuk ke rumah untuk cari tahu. Tapi siapapun pemilik suara itu, Javas yakin Ibu dan adiknya pasti dalam masalah.
Benar saja, ada dua orang lelaki paruh baya dengan jaket kulit yang membentak-bentak ibunya di ruang tamu. Revan tidak ada. Tampaknya Revan sudah tidur.
"Tolong berikan saya waktu sampai bulan depan, Pak. Saya janji—"
"Saya gak butuh janji!! Saya butuhnya bukti!! Mana bukti kalian mau lunasi hutang rumah ini?!!"
"Saya akan bayar secepatnya, Pak." sambar Javas membuat semua orang yang ada di sana menoleh. Javas masuk ke ruang tamu, menghadap kedua lelaki itu sambil menunduk. "Bulan ini saya akan lunasi tagihan kontrakan ini. Tolong berikan kami kesempatan sekali lagi."
Kedua lelaki itu terdiam, mungkin sedikit terkejut dengan kehadiran Javas.
"Kalau saya melanggar janji, Bapak boleh mengusir kami secara paksa dari sini," ujar Javas lagi.
"Oke. Kami tunggu sampai akhir bulan. Kalau sampai tidak sesuai janji, kalian lihat sendiri apa yang akan kami lakukan," ancam salah satu dari mereka.
Javas mengangguk. Ia bangkit perlahan dan memperhatikan para suruhan pemilik rumah kontrakan itu yang mulai meninggalkan rumah.
Begitu mereka pergi, Javas mengunci pintu dan menghampiri ibunya yang sedang menghapus air mata. Beliau tidak bisa berhenti menangis.
"Ma, Mama kenapa enggak bilang kalau belum bayar kontrakan?" tanya Javas.
"Maaf, Javas," ujar Ibunya lirih. Beliau menatap lantai, tidak sanggup melihat putranya. "Sebenarnya ini salah Mama. Uang yang kamu kasih bulan kemarin buat bayar rumah Mama pakai untuk beli keperluan mendadak."
Javas tertegun. "Kenapa Mama enggak bilang kalau uangnya kurang?"
"Mama enggak tega sama kamu. Kamu udah manggung terus sampai sakit sakit. Mama enggak mungkin ngandelin uang dari kamu lagi," tangis Ibunya.
Alih-alih marah, hati Javas justru hancur melihat ibunya menangis dan menderita seperti ini.
Ibu Javas adalah wanita yang positif, mandiri, dan murah senyum. Itu mungkin karena beliau terbiasa hidup dalam kecukupan sejak menikah dengan ayahnya Javas. Dan ketika melihat Ibunya tiba-tiba dalam terperosok dalam kesulitan separah ini, Javas tidak tega. Beliau pasti sangat terpuruk. Sampai-sampai Javas jarang sekali melihat ibunya tersenyum lagi.
Perlahan Javas memeluk ibunya erat. Ia juga tak kuasa menahan tangis. Ia berharap suatu saat ia akan mengubah nasib keluarganya. Ia akan membuat keluarganya bangga dan melihat senyuman ibunya lagi.
Semua orang mengharapkan Javas. Hanya Javas yang bisa melakukannya.
"Enggak apa-apa. Lain kali kalau kurang bilang ya, Ma. Nanti Javas usahain. Mama tenang aja ya," janji Javas pada Ibunya.
Ibunya mengangguk saja. Tapi Javas tahu beliau sangat tidak enakan pada Javas. Javas juga tahu beliau pasti ingin sekali mengandalkan Paman lagi, namun Javas tidak mengizinkannya.
Ya, sampai kapanpun Javas memang tidak akan membiarkan itu terjadi. Javas tidak ingin hutang budi pada siapapun.
Sudah cukup Javas membuat hidup Janna kacau karenanya hari ini. Javas tidak ingin menyusahkan orang lain lagi.
***
Javas kembali ke kamarnya dengan langkah gontai begitu selesai menenangkan sang ibu.
Kegiatan Javas sudah sangat padat. Kuliah, latihan band, perform dan kerja sambilan saja sudah sangat menyita waktu sampai Javas kurang tidur. Dan jika Javas mencari kerja lagi, itu artinya dia harus merelakan jam tidurnya.
Tapi jika Javas tidak mau merelakan jam tidurnya, itu artinya Javas tidak akan punya tempat tinggal. Javas dan keluarganya akan benar-benar jadi gelandangan.
Jadi, mau tidak mau, Javas memutuskan untuk menambah pekerjaan saja. Apapun resikonya, itu lebih baik daripada harus jadi gelandangan atau hutang budi pada Paman.
Dan satu lagi, hanya Javas satu-satunya harapan keluarga. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan selain Javas.
Javas harus melakukan yang terbaik.
"Setengah hari gua udah buat kerja di restoran sampai malam, berarti gua cari harus kerja yang dimulainya dini hari setelah pulang dari restoran. Tapi apa?" Javas bertanya-tanya sendiri di saat ia hendak tidur. Ia menerawang jauh menatap langit-langit kamar yang sudah hampir rapuh itu.
Sebelum ayahnya meninggal, Javas selalu pulang cepat dan langsung main game, gitaran, atau tidur setelah pulang sekolah. Javas tidak pernah memperhatikan orang-orang yang sedang bekerja di luar sana apalagi saat tengah malam. Tapi sekarang, dia harus melakukannya.
Javas menyibak vetrase jendela. Langit sudah sangat gelap namun lampu gedung-gedung yang menyala terlihat menerangi jalan. Dari atas sini, Javas bisa melihat mobil traktor dan orang-orang dengan rompi serta safety helmet yang tengah melakukan pembangunan gedung-gedung baru.
"Apa gue jadi tukang bangunan aja?" batin Javas.
***
Siapa yang ga sabar sama part selanjutnya?
Spam komen buat next!!!
Spam komen yang banyaaaaaak banget buat aku!! Biar aku semangat dan berkembang terus buat memuaskan kaliaaann!!!
Terima kasih sudah membaca dan mendukung aku, semoga kalian suka ceritanya! Ditunggu kelanjutan kisah Javas & Janna di next episode yaa <3
See you on the next part❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro