2. PINDAHAN
Hai, Mocha is backk! Aku update lagi nih, tolong ramein komen di setiap paragraf yaa 🤎
Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia ya
Btw, kalian umur berapa sekarang?
12-16 ➡️
17-24 ➡️
lebih dari 24 ➡️
Happy reading!
***
Setelah kepergian ayahnya, kondisi finansial Javas dan keluarganya semakin menurun sehingga akhirnya mereka memutuskan pindah ke sebuah rumah kontrakan tingkat dua di pinggir kota. Tingkat satu dijadikan toko sayur untuk Ibunya berjualan, sedangkan tingkat dua untuk keluarga mereka tinggal.
"Paman, Javas enggak enak nih kalau dibayarin semuanya. Paman sudah bantu bayar semua hutang Papa, bantu modalin Mama jual sayur juga," ucap Javas sungkan saat Pamannya bilang ingin membiayai kuliah Javas dan sekolah adiknya.
"Tapi, Bang, Revan pengen sekolah di tempat itu biar liburannya bisa ke Disneyland sama Universal Studio. Kan Revan pengen ketemu Minion. Jangan ditolak kek, Bang," kata Revan dengan polosnya membuat Javas melotot.
"Heh kamu nih, pikirannya seneng-seneng mulu. Nyusahin Paman tau," tegur Javas galak dengan suara pelan.
Sekretaris ayahnya tertawa. "Tidak apa-apa, Javas. Saya sudah bilang, kan? Saya hutang budi sama beliau, jadi selagi saya mampu, saya mau bantu keluarga beliau. Anggap saja saya ini keluarga kalian sendiri. Sudah sepatutnya kan, bantu keluarga."
"Tapi kalau kuliah Javas enggak usah, deh, Paman. Javas mau berusaha lewat jalur beasiswa saja," tolak Javas, masih tidak enakan.
Pria itu tersenyum hangat. "Baik kalau begitu mau kamu."
"Tapi, Javas, kamu tau Universitas ini?" tanya Paman sambil mengeluarkan brosur dari dalam tasnya dan memberikannya pada Javas. Sebuah brosur yang terdapat gambar gedung kampus cukup elite.
UNIVERSITAS HARAPAN NUSA
"Paman kebetulan ditawarkan brosur ini oleh mahasiswa di sana saat perjalanan pulang kantor. Harapan Nusa ini Universitas elite. Fasilitasnya bagus sekali. Mungkin kamu coba di kampus ini kalau mau lewat jalur beasiswa," saran Paman. Javas menerimanya dengan sedikit gemetaran.
Mata Javas berbinar-binar begitu melihat gambaran kelas dan perpustakaannya yang mewah, dan lapangan yang cukup luas untuk olahraga. Tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah... Panggung besar yang terdapat alat musik.
Sejak SMP, Javas memang sangat antusias dengan pelajaran kesenian di sekolah terutama musik. Almarhum ayah Javas yang sadar akan bakat Javas pun memperbolehkan putra kesayangannya itu mengikuti les musik di luar sekolah. Javas pun belajar memainkan berbagai alat musik seperti gitar, bass, drum dan keyboard. Vokal pun Javas juga diajarkan di sana. Bahkan sampai saat ini, Javas pun masih memiliki cita-cita tampil memainkan alat musik di depan banyak orang.
"Waaah. Paman, apa kampus ini ada UKM bandnya?" tanya Javas antusias.
"Sepertinya ada. Seingat paman mahasiswa yang menawarkan brosur tadi dari UKM band juga," jawab pria itu.
Senyum Javas mengembang. Seketika pikirannya langsung ke mana-mana. Dia jadi membayangkan betapa bahagianya dia jika bisa masuk ke Universitas Harapan Nusa ini. Mungkin saja dia pasti bisa mewujudkan cita-citanya sebagai anggota band.
Flashback 10 tahun lalu.
"Cita-cita kamu apa, Vas? Pasti jadi CEO penerus ayah kamu ya," tegur wanita rekan kerja ayah waktu Javas main ke kantor ayah sepuluh tahun lalu.
"CEO apa itu? Kedengarannya membosankan. Javas sih mau jadi drummer! Javas pengen mukul-mukul gendang!" jawab Javas membuat ayahnya tertawa, sedangkan rekan kerja ayahnya tersenyum masam.
"Waduuuhh masa ayahnya jadi direktur anaknya jadi musisi doang. Sayang banget dong," kata wanita itu dengan nada nyinyir.
Setelah dibilang begitu, Javas mengerti dan langsung menangis di kamar mandi. Ayahnya pun menghampiri.
"Javas, jangan dimasukkan ke hati ya kata-kata Tantenya tadi. Kalau kamu mau jadi musisi, tidak apa-apa. Tidak ada yang salah dengan jadi seorang drummer," tegur ayahnya.
Javas terisak sembari menyeka air matanya. "Tapi, Javas takut ngecewain Papa. Javas enggak mau Papa dikatain karena anak Papa cuma musisi."
"Papa enggak akan kecewa, Javas. Justru Papa bangga. Javas suka main drum kan?"
Javas mengangguk.
"Karena biar bagaimana pun mengerjakan sesuatu yang kita sukai, hasilnya akan lebih baik daripada mengerjakan yang tidak kita suka. Jadi selama Javas memang suka, Papa dukung itu. Papa mau Javas sukses dengan cara Javas sendiri," nasihat ayahnya.
Tanpa sadar air mata Javas menggenang setiap kali mengingat ayahnya. Walau ayahnya sudah tidak akan bisa lagi melihatnya sukses di masa depan, setidaknya Javas menepati janjinya pada ayahnya. Javas akan berusaha keras.
"Sudah dulu, ya. Saya harus balik ke kantor. Kalau ada butuh apapun, hubungi saya ya? Jangan sungkan-sungkan," pesan sekretaris ayahnya pada Javas, Revan dan Mama Javas.
"Terima kasih, Paman!" ucap mereka serentak.
"Javas, ganti baju dulu gih. Baru makan. Mama mau beresin koper terus baru pilihin sayur-sayurnya yang mau dijual," suruh ibunya yang hanya dibalas Javas dengan senyuman, "bentar lagi, Ma."
Javas melirik brosur Harapan Nusa sekali lagi saat Pamannya pergi.
BEASISWA HARAPAN NUSA HANYA UNTUK 50 MAHASISWA YANG LOLOS TEST JALUR BEASISWA
Tadinya Javas semangat, tapi melihat nominal itu Javas jadi menghela napas berat. Apakah dia bisa menjadi salah satu dari lima puluh orang itu?
***
Ketakutan yang berlebihan membuat Javas belajar semalaman penuh sampai tidak tidur. Akibatnya hari ini Javas jadi mengantuk sekali, tapi dia harus tahan karena beberapa hari lagi ujian nasional dimulai. Dia harus lulus dengan nilai bagus dan tidak boleh membuat ulah.
"Ck! Punya mata kaga sih lo? Jalan doang kaga becus! Untung kaga jatuh cilok gua!" bentak seorang siswa laki-laki saat Javas tak sengaja menabraknya di tangga.
Javas terdiam karena syok. Apa-apaan itu? Berani sekali dia? Biasanya tidak ada yang pernah membentak Javas seperti itu. Semua orang begitu menghargai Javas selama sekolah. Laki-laki ini sakit jiwa, idiot atau apa?
"Awas, berengsek! Ngalangin jalan lo ck!" Lelaki itu menabrak bahu Javas sampai Javas nyaris terhuyung dan jatuh dari tangga.
"Tunggu," cegat Javas tanpa membalikan badannya. Emosinya mulai tersulut. "Lo ada masalah apa sama gua?"
Lelaki tadi berbalik, ia berdiri menghadap Javas. "Cih, pura-pura bego, lo? Selama ini lo cuma berpura-pura jadi orang berada dari keluarga terhormat, kan? Padahal kenyataannya lo cuma sampah."
Nafas Javas tercekat. Tidak mengerti kenapa tiba-tiba orang yang sama sekali tidak ia kenapa bisa bilang begitu. "Orang terhormat?"
Lawan bicaranya terkekeh lagi. "Gebetan gua jadi ngejauhin gua karena kemakan sama kebohongan lo itu. Dia jadi suka sama penipu kayak lo. Enggak, bukan cuma gebetan gua aja tapi semua orang udah ketipu sama omong kosong lo!"
"Sial, ngomong apa ini orang? Sejak kapan gua nipu cewek? Apa dia salah orang?" batin Javas.
Tapi ketika Javas ingin melawan, tiba-tiba bel berbunyi dan beberapa guru sudah datang berjalan menghampiri mereka, sepertinya ingin masuk ke kelas.
"Sekarang lo selamat. Liat aja lo nanti berani cari gara-gara sama gua lagi," ancam lelaki itu sambil melotot sebelum masuk ke dalam kelas. Javas baru ingat lelaki tersebut adalah Ketua OSIS. Mungkin dia tidak mau sampai masuk ruang BK dan nilainya jadi jelek.
Javas pun kembali ke kelas dengan langkah gontai. Dia merasa sedikit curiga dengan pandangan orang-orang terutama murid perempuan yang biasanya menatapnya kagum, kini seolah menatapnya sinis bahkan ... Jijik. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Selama ini lo cuma berpura-pura jadi orang berada dari keluarga terhormat, kan?"
"Gebetan gua jadi ngejauhin gua karena kemakan sama kebohongan lo itu!"
Sial! Javas jadi tidak bisa fokus belajar sekarang. Tapi ketika kelas berakhir, Javas pura-pura tidur untuk mendengar suara perbincangan teman sekelasnya.
"Jadi benar, Javas itu aslinya orang enggak mampu? Jadi selama ini dia cuma pura-pura kaya?" Terdengar suara bisik-bisik samar di belakang Javas.
"Sial, padahal dulu dia sering traktir mantannya si Tarisa makanan mahal! Jangan-jangan dia pakai pinjol haha!"
"Eh, tapi ada yang bilang beneran kaya, lho. Dia cuma jatuh miskin karena ayahnya meninggal. Kasihan banget, langsung jadi gembel."
"Udah tau jatuh miskin ngapain masih di sekolah ini? Udah enggak guna juga, enggak bisa traktir kita-kita lagi, ck."
Mendengar itu, seketika jantung Javas berdegup dengan kencang. Jadi ... Semua orang sudah tahu tentang keadaan Javas yang sekarang?
Begitu pulang sekolah, Javas langsung buru-buru ke parkiran sambil menenteng ranselnya di pundak.
"Javas!"
Langkah Javas terhenti mendengar suara lembut itu. Seorang perempuan cantik dengan bando ungu menghampirinya dengan wajah khawatir. Dada Javas bergemuruh. Mengingat perempuan ini lah yang sering menghiburnya di kala sedih. Yang selalu memberinya perhatian-perhatian kecil.
"Apa? Lo juga mau bully gua, hm?" tanya Javas dingin membuat perempuan itu terdiam sejenak.
Tarisa menggeleng, ia menahan lengan Javas yang akan pergi. "Jav, tunggu! Kamu salah paham, Jav. Aku cuma enggak tega kamu diginiin sama mereka!!"
"Lepasin," perintah Javas. Rahangnya mengeras menandakan dirinya sedang menahan amarah.
"Jav, tenang dulu. Aku mau jelasin, kalau aku udah putus dari Rico. Waktu itu aku putusin kamu dan milih Rico bukan karena kamu enggak pernah kasih aku uang lagi, tapi dia yang jebak aku—"
"Gua bilang lepasin. Jangan buat gua marah!!" gretak Javas.
Tarisa terkesiap. Kedua matanya kontan tergenang air saking tidak percaya Javas yang selalu berlaku lembut padanya kini membentaknya.
Javas pun juga tak percaya dengan suaranya sendiri. Dia tidak pernah meninggikan suara pada perempuan seumur hidupnya. Papa juga melarangnya bersikap kasar pada orang lain. Tapi kali ini, Javas hilang kendali.
Tapi tanpa raut penyesalan sama sekali, Javas meninggalkan Icha sendirian begitu saja.
"Tarisaaaa!" teriakan gerombolan siswi membuat Icha yang sedang menangis di lantai koridor sekolah justru tambah jadi.
"Saa, lo diapain sama Javas?" tanya salah satu temannya. Tarisa masih sesegukan.
"Udahlah, Sa. Enggak usah ditangisin lagi. Mungkin lo yang salah ngasih tau ke Rico kalau Javas udah jatuh miskin dan akhirnya rahasia itu bocor sampai satu sekolah tau. Tapi nasi sudah jadi bubur, kan?" tanya tanya temannya yang lain.
"Bener, Sa. Ayo lah, mending cari cowo lagi yang lebih tajir."
Tarisa masih sibuk menangis. Bukan karena menyesali perbuatannya menyebar aib Javas, namun karena tidak terima dan sakit hati dibentak oleh Javas.
Sejak itu, pandangan Javas terhadap dunia berubah total. Jika dulu banyak orang yang berkata bahwa keadaan bisa merubah sifat manusia, kini Javas mengalaminya sendiri.
Keadaan memaksa Javas untuk menjadi manusia sempurna.
***
1-banyak kata buat Tarisha!
1-banyak kata buat part ini?
Terima kasih sudah membaca, semoga kalian suka ceritanya! Jangan lupa share cerita ini ke sw, instagram, tiktok dan temen-temen kamu biar aku semangat up <3
See you next part❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro