18. SUAMI ISTRI?
Cukup ramaikan komen biar aku semangat nulis lanjutannya 🖤
Kalau habis baca part ini Jangan lupa SS + upload ke SG, tag @javas.sadega dan @bentangbelia ya
***
"Acara ultah Abi sama Ai nanti malam abis sholat isya, Jav. Eh, bukan acara besar, sih. Makan-makan biasa maksudnya. Cuma ada potong kue sama tiup lilin aja."
Javas ikut senang dan gemas saat dengar suara excited Janna di telepon, tapi juga sedikit deg-degan takut tidak bisa datang, mengingat malam ini dia harus part time di restoran Om Bambang.
"Abi sama Ai pasti senang banget. Mereka memang udah lama pengen banget mampir ke kafe kucing, kan?" respon Javas.
"Iyaaa! Aku jadi nggak sabar, deh. Enggak kebayang mereka senengnya kayak apa! Kami tunggu, ya! Ai pasti seneng banget kalau kamu datang."
"Aku usahain ya, Na."
"Eh ... Bentar, Jav." Suara Janna melemah. "Aku lupa, nanti malam kamu harus part time ya?"
Javas meneguk ludah. Kan, dia jadi mengecewakan Janna.
"Iya, Na. Tapi aku bisa usahain bilang ke Om Bambang—"
"Jangan maksain diri, Jav. Inget, kamu butuh uang buat Bunda dan Revan. Itu lebih penting. Prioritasin dulu keluarga kamu."
Javas memutus sambungannya dan menghela napas berat. Mencari uang memang penting, tapi bagaimana dengan adik-adik Janna?
Belum ada beberapa detik, ponsel Javas berbunyi lagi. Kali ini dari Om Bambang. Sepertinya dia benar-benar dibutuhkan nanti malam...
***
Janna dan adik-adiknya sudah sampai di cat cafe pukul tujuh malam. Cewek itu tampak cantik dengan sebagian rambut yang diikat dengan scrunchie sutra. Begitu juga dengan Syakila, Abi dan Ai yang juga berpakaian rapi.
"Kajan! Lihat sini!! Ih, cakep banget!" suruh Syakila yang melihat Janna sedang memeluk bunga yang dia beli sendiri.
"Eh, apa?"
"Madep sini! Mau aku foto!"
"Ih, enggak, ah! Aku lagi jelek!"
"Mana ada jelek, itu cantik banget! Sumpah nggak boong, sinian bentar! Aku nggak boong deh, kalau jelek apus aja serius."
Janna menghela napas. "Okay..."
Ckrek!
"Lihat, cantik banget, kan?" Syakila menunjukan hasil fotonya di ponsel pada kakak tersayangnya itu. "Udah cantik, tinggal aku send ke Kak Jav—"
"HEEEEH CAKIL! JANGAN ANEH-ANEH!!" Janna langsung merebut ponsel Syakila.
"Ih! Kajan! Mau bikin Kak Jav klepek-klepek nggak, sih?!"
"GAK!!"
"Mang Ampac ke mana?" tanya Abi tiba-tiba, membuat Janna dan Syakila berhenti berdebat.
"Heee, tumben Abi nyariin. Tapi sayang banget, kayaknya hari ini dia sibuk kerja, ngga bisa datang," jawab Janna.
Abi dan Ai saling tatap, wajah mereka berubah sedih.
"Jangan sedih, masih ada Kakak sama Kak Cakil kok," hibur Janna sambil mencubit pipi keduanya.
"Kakak ke kamar mandi dulu deh, mau retouch makeup. Cakil tungguin Abi sama Ai di sini ya." izin Janna.
"Gih, Kak. Nanti Kak Javas keburu datang. Nyariin Kajan ntar," ledek Syakila sengaja membuat Janna salting campur kesal.
"Ish, dibilang dia enggak akan datang!"
"Kak Janna tuh retouch mulu, padahal udah cantik. Apa kabar aku yang burik gini?" gumam Syakila setelah Janna pergi.
Kakak perempuannya itu self esteemnya memang super rendah, dan Syakila tahu betul sebabnya kenapa. Salah satu faktornya karena orang tua mereka jarang sekali memberi perhatian lebih pada Janna sejak kecil.
Tapi jujur, sekarang sudah ada peningkatan dibanding sebelum bertemu Javas. Semenjak ada Javas, Janna memang jadi sedikit lebih percaya diri.
Ngomong-ngomong, sampai sekarang Javas tidak datang juga. Sepertinya hari ini mereka akan merayakan ulang tahun berempat saja.
"Bii, Aii, mau foto enggak? Sini Kak Cakil fotoin!" seru Syakila.
"Mauuu!" sahut Abi dan Ai antusias.
"Ayook! Cepet gaya, gaya! Tunjukin kue ulang tahunnya, dong. Satu ... Dua ..."
Ckrek!
"Hahahah! Ya ampunn, lucu banget!"
"Kak Cakil, poyoyo na boyeh Ai matan, nda?"
"Eeh enggak boleh! Itu plastik! Mainan! Makan kuenya aja!"
"Aduhhh, ada apa nih ribut-ribut?" Tiba-tiba suara wanita membuat Syakila, Abi dan Ai menoleh. Ada tiga ibu-ibu sosialita yang baru datang dan memperhatikan mereka dengan sinis.
Ini bukan pertama kalinya Syakila melihat ibu-ibu ini. Sepertinya mereka tetangga dari gang sebelah?
"Lagi ulang tahun kayaknya, Bu," ucap salah satu ibu-ibu berambut panjang yang mengenakan banyak perhiasan pada temannya.
"Kenapa ya, Bu? Apa kami mengganggu?" tanya Syakila seraya menatap mereka tajam.
"Ya enggak, sih. Cuma kami kasihan aja setiap ngelihat kalian sama Ibu kalian, berempatan terus. Emangnya enggak kesepian kalian, ayahnya enggak pernah ikut?" tanya ibu-ibu yang lain dengan nada meledek.
Syakila mengerenyit. Ibu? Maksudnya Kak Janna? Mereka pikir Kak Janna ibu mereka?
"Ayah kalian mana? Ah, apa jangan-jangan kalian enggak punya ayah, ya? Kalian enggak diakui? Atau kalian itu anak hasil hubungan haram?" tanyanya lagi membuat Syakila tertegun.
"Kayaknya iya deh, Say. Ibu mereka kelihatannya masih muda banget. Kayaknya sih janda, atau enggak ini anak-anaknya hasil hamil di luar nikah." Yang lain ikut mengompori.
Tanpa sadar Syakila mengepalkan tangannya kuat-kuat. Keterlaluan. Mereka benar-benar sudah kurang ajar. Kalau sekali lagi mereka berbicara, lihat saja. Siap-siap Syakila akan tinggal melayangkan bogem mentah ini ...
"Maaf, Ibu sedang apa ya?" Janna yang baru kembali dari toilet menatap ketiganya dengan bingung sekaligus curiga, karena Syakila kelihatan sangat marah. Abi dan Ai pun terlihat sangat sedih.
"Aaah, ini dia Ibunya." Ibu-ibu yang berambut panjang tadi menyapa Janna dengan senyum mengintimidasi. "Enggak kok, kami cuma khawatir kenapa setiap ngumpul ayah mereka nggak pernah ikut. Bahkan kami juga enggak pernah lihat loh, ayah mereka pulang ke rumah."
"Khawatir?"
Kata-kata itu membuat dada Janna sesak bukan main hingga rasanya ingin menangis. Janna memang sudah biasa dirundung, tapi ini adalah pertama kalinya Janna difitnah kejam terang-terangan di depan umum seperti itu.
"Memangnya suami Ibu ke mana? Atau jangan-jangan ibu ini enggak punya suami, ya?" tuduh mereka.
"Saya suaminya. Ada masalah?" Javas tiba-tiba datang menyela pembicaraan.
Janna dan adik-adiknya terbelalak tak percaya. Apa itu barusan ... Suaminya? Katanya?
Javas mengeraskan rahang seiring menatap tajam para wanita tersebut hingga mereka semua membeku di tempat. Aura Javas begitu dingin dan mengancam, membuat Janna ikut kaget karena dia tidak pernah melihat Javas semarah ini sebelumnya.
"Sekarang urus diri Anda masing-masing. Jangan usik keluarga saya," peringat Javas membuat ibu-ibu tersebut minta maaf dan kembali ke meja mereka dengan wajah tak percaya. Mungkin karena syok setelah tahu bahwa Janna sudah punya suami yang begitu tampan, tinggi dan berwibawa.
Sementara Janna deg-degan luar biasa. Masih tidak menyangka Javas betulan datang dan menyelamatkannya.
Awalnya Javas memang ragu meninggalkan part time job nya, namun Javas rela izin dulu karena kasihan dengan adik-adik Janna. Dia sudah tahu hal ini akan terjadi.
"Jav, kok kamu malah datang? Kan harusnya kamu part time malam ini," tanya Janna serak, matanya masih tergenang air.
"Part time masih bisa besok. Tapi ulang tahun adik kamu tahun ini cuma sekali, ngga bisa diulang lagi," ucap Javas membuat air mata Janna yang sejak tadi ditahan mengalir juga.
"Eh? Na, kok masih sedih, sih? Jangan nangis!" larang Javas panik.
Janna menyeka air matanya sendiri. "Enggak, aku cuma terharu. Aku senang banget kamu datang."
Javas menghela napas. "Sebentar."
Cowok itu lalu bergegas ke kasir, membuat Janna bingung dia mau apa.
"Mbak, minta tissue satu ya, buat istri saya," pinta Javas membuat Janna terkesiap. Jantungnya seketika berdegup kencang.
Demi apapun, Javas baru saja menyebutnya sebagai 'Istri'.
Debaran jantung Janna semakin tak beraturan kala Javas kembali melangkah ke arahnya. Kalau dilihat-lihat, hari ini cowok itu sangat tampan dan dewasa dalam balutan kaos hitam panjang yang dilipat sebatas siku hingga tangan kekarnya terlihat jelas, rambutnya pun tertata dengan rapi. Javas memang cocok menjadi ayah dari anak-anaknya di masa depan.
Sebegitu kagumnya Janna dengan Javas sampai-sampai tak sadar bahwa saat ini Javas tengah menyodorkan tissue kepadanya.
"Eii, ini tisunya. Kok bengong?" tanya Javas bingung.
Cewek itu langsung mengambilnya cepat-cepat, takut ketahuan bahwa dirinya salting. "M—Makasih, Jav."
"Udah, nggak usah nangis lagi. Kita kan mau senang-senang hari ini. Duduk lagi, gih," hibur Javas. Rasanya ia ingin mengusap rambut Janna agar sahabatnya itu lebih tenang, namun Javas harus menahannya.
Janna mengangguk-angguk. "Iya."
"Tunggu sebentar, aku ke motor dulu. Enggak sampai lima menit," bisik Javas membuat Janna bingung.
Javas keluar sebentar, lalu kembali lagi dengan membawa sekotak kado berukuran sedang untuk Abi dan Ai. Abi dibelikan hot wheels, sedangkan Ai diberikan boneka princess Elsa. Harganya tidak murah, ratusan ribu, tapi Javas tidak masalah karena tahu Abi dan Ai akan sangat senang. Orang tua mereka jarang pulang dan membelikan mereka hadiah. Jadi, hanya Javas yang bisa melakukannya.
Abi langsung jingkrak-jingkrak kegirangan saat melihat isinya. "Hoyeee! Maacih Mang Ampac—"
"Sssstt!" Javas meletakan telunjuk di bibirnya lalu berbisik-bisik. "Ayaah. Bukan Mang Ampac."
"E—Eh! I—Iya, Ayah!"
Javas tersenyum. "Good boy, good boy."
"Semuanya panggil Bang Javas hari ini 'Ayah', dan panggil Kak Janna 'Bunda', oke? Hari ini biar kami yang jadi orang tua kalian," bisik Javas pada adik-adik Janna.
"Ciyap, Yah!"
Mereka semua kemudian merayakan ulang tahun Abi dan Ai bersama. Meniup lilin, memotong kue serta berdoa bareng-bareng. Janna tak dapat membendung rasa senangnya. Meski kedua orang tuanya tidak ada, tapi ia tak merasa hampa karena ada Javas di sisinya.
Tak lama makanan datang. Javas dan Syakila memesan nasi goreng, Janna memesan ramen, sedangkan Abi dan Ai memesan burger mini.
"Selamat makaaan!" seru kelimanya dengan gembira setelah berdoa.
Semua makan dengan lahap, kecuali Janna yang menyesal telah memesan ramen. Dia tidak bisa menggunakan sumpit untuk makan ramen.
Janna malu. Sampai-sampai Janna merasa ibu-ibu yang tadi memperhatikan Janna dengan sinis. Pasti Janna disangka kampungan.
"Bun, Bun. Suttt," panggil Javas membuat Janna bingung.
Sebentar. Siapa yang dia panggil 'Bun?'
Javas menyodorkan sendok pada Janna. "Mam dulu, Bun. Mau ayah suapin?"
Janna terbelalak. Ini serius ...
"Ih! Apaan si—" Kalimat Janna terpotong saat menyadari mereka sedang berpura-pura menjadi pasangan suami istri di depan ibu-ibu yang tadi menghina adiknya.
"Ng—Nggak usah, B—Bunda bisa makan sendiri, Yah," kata Janna tanpa berani menatap Javas, malu.
Pipi Javas kontan memerah. Gila. Jantungnya serasa mau meledak sekarang dan tidak tahu karena Janna memanggilnya 'ayah' atau karena Janna terlihat sangat imut saat sedang blushing seperti itu.
"Kenapa, Yah? Kok gemeteran? M—Mau Bunda suapin?" Janna mencoba usil saat melihat Javas gantian blushing, tangannya bahkan sampai tremor saat memegang sendok.
"H—Hah?"
Sial! Tadi Janna yang dibuat Javas salting, sekarang Javas sendiri yang ketar-ketir!
"Yah." Janna tambah usil, dia duduk di samping Javas dan menatap Javas lekat, membuat Javas tambah panas dingin. "Serius, nih? Nggak mau Bunda suapin?"
Pranggg!!
"B—Bentar, a—aku harus ke toilet," izin Javas sebelum berlari terbirit-birit ke luar ruangan. Dia harus cuci muka karena pipinya merah padam seperti kepiting sekarang.
"Ayaah, mau ke manaa?!" seru adik-adik Janna yang lain.
***
"Javas, makasih ya udah nolong aku tadi," ucap Janna setelah keluar dari restoran kafe bersama adik-adiknya.
"Sama-samaaa. Sekarang beliin pocky," tagih Javas.
"Kamu emang cuma baik kalau ada maunya," cibir Janna sambil mencubit pinggang Javas.
"Aw! Aw! Aw! Galak banget sih! Kamu macan, ya?"
Dari kejauhan, Dea yang memperhatikan Javas dan Janna diam-diam tersulut emosi.
Siapa wanita yang mengganggu kedekatannya dengan Javas ini? Akan Dea cari tahu dan hancurkan secepatnya.
***
1-banyak kata buat part ini???
1-banyak kata buat Javas dan Janna???
1-banyak kata buat Dea???
Spam komen buat next!!!
Spam komen yang banyaaaaaak banget buat aku!! Biar aku semangat dan berkembang terus buat memuaskan kaliaaann!!!
Terima kasih sudah membaca dan mendukung aku, semoga kalian suka ceritanya! Ditunggu kelanjutan kisah Javas & Janna di next episode yaa <3
See you on the next part❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro