8 - Cokelat
Jam istirahat menjadi pilihan Reira untuk mencari sang pujaan hati. Ia ingin mengungkapkan perasaannya lagi, kebetulan Rendra membawakan satu kotak cokelat sebagai oleh-oleh. Cokelat yang sangat ia sukai. Namun kali ini harus dikorbankan demi mendapatkan hati sang malaikat.
Selama jam pelajaran, matanya tidak lepas dari kotak cokelat itu. Hatinya menjeritkan kata jangan, sayang sekali karena harganya cukup mahal. Akan tetapi ... Reira sudah membulatkan hati, ia tidak akan mundur.
Gadis bersurai hitam itu segera keluar dari kelas, menggenggam kotak cokelatnya erat, takut jatuh. Cokelat itu sangat penting. Kalau misal Ardi tidak menerima cintanya, akan ia ambil kembali dan makan.
Reira tidak ingin membayangkan bagaimana rasanya ditolak, terlebih jika cinta tidak diterima tapi coklatnya diembat. Enak saja. Dia pikir Reira apa? Orang yang mau menyumbang cokelat?
Ia melewati koridor dengan sangat hati-hati, takut ada yang menabrak dan membuat cokelat itu jatuh. Banyak orang yang menyapanya, membuat langkah gadis itu semakin lambat.
"Hei, Re! Mau ke mana?" tanya seorang cowok yang sedang berkumpul di depan kelas.
Reira menjawab ceria, "Ke bawah, kenapa? Mau ikut?"
Cowok itu tertawa, lantas menjawab, "Enggak ah, lo mau ke toilet, kan? Buat benerin softek biar enggak tembus lagi."
Seketika Reira meradang, "Kampret! Masih inget aja!"
Cowok itu tertawa keras dan ia meninggalkannya sambil menggerutu. Menyesal menjawab sapaannya.
"Hai, Re!" Kali ini seorang gadis berkacamata dengan rambut hitam sepinggang yang menyapa, teman sebangku Reira saat kelas X.
"Hai, Ki. Ke mana aja? Kok gue jarang lihat?" Reira kembali berhenti dan bercipika-cipiki. Cukup rindu juga dengan teman perempuannya yang paling kalem se-sekolah.
"Biasa, kalau gak ke perpus ya baca buku di kelas," jawab Kiki sambil tersenyum malu-malu. Kegiatannya memang tidak banyak berubah sejak dulu.
Reira mengangguk paham. "Pantas saja. Kalau gitu gue duluan, ya!"
Reira lanjut melangkah, tapi ....
"Yo, Re! Bawa apaan, tuh? Minta dong!"
"Reeee!!!! Sampein salam gue buat Zidan!"
"Reira, udah gak bocor?"
"Re, nanti pulang sekolah ke kedai es krim bareng, yuk?"
"Re, katanya lo dihukum minggu lalu, kenapa?"
Kampret!
Reira memaki dalam hati, kenapa di saat penting seperti ini temannya bermunculan satu per satu? Tidak apa-apa kalau hanya menyapa, tapi kebanyakan dari mereka mengajak mengobrol. Mau tidak mau harus ia ladeni karena Reira bukan tipe gadis sombong yang akan mengabaikan orang lain. Terlebih karena ia suka menggosip, ada banyak hal yang bisa diobrolkan.
Gadis itu menghela napas lega saat percakapan dengan teman satu ekskulnya dulu berakhir, matanya menatap tangga berbinar-binar. Akhirnya ia bisa turun ke lantai dua.
Tepat ketika Reira sedang melangkah ke undakan tangga yang ketiga ....
Teeeeet. Teeeeet. Teeeeeet.
Bel tanda jam istirahat telah berakhir berbunyi. Reira hampir saja melemparkan kotak cokelatnya kalau tidak ingat benda itu sangat penting dan mahal. Dengan langkah gontai, ia berbalik dan berjalan menuju kelas. Ia bahkan tidak sempat makan camilan!
***
Jam istirahat kedua, Reira segera melesat keluar kelas dan berlari di koridor, ia tidak akan mengulangi kejadian tadi. Senyumnya merekah saat telah sampai di lantai dua.
Matanya celingukan, siapa tahu Ardi ada di sekitar jurusan IPS, kalau tidak, ia harus rela melangkahkan kaki ke ujung koridor tempat jurusan IPA berada.
Merasa tidak melihat malaikatnya, gadis itu lanjut menelusuri koridor. Suasananya sama seperti koridor lantai tiga, banyak yang sedang berkumpul di depan kelas dan saling bercerita. Bedanya, angkatan Reira lebih berisik.
Reira mengenal cukup banyak anak kelas X, efek suka nongkrong bersama Zidan yang hobi tebar pesona. Beberapa gadis yang ia kenal menyapa, untungnya tidak sebar-bar angkatan kelas XII yang mengajak ngobrol ngalor ngidul dulu.
Mata gadis itu jelalatan, kenapa malaikatnya belum terlihat juga? Apa dia tidak suka bermain di luar kelas? Terpaksa ia melangkahkan kaki ke pintu kelas X IPA 1.
"Permisi," sapanya pada seorang gadis berambut hitam sebahu yang sedang berdiri di pintu kelas.
"Iya?" balas gadis itu jutek.
Reira mengembuskan napas, menyuruh diri sendiri untuk tidak terbawa emosi. Duh ini bocah songong banget, masih kelas X juga, tiba-tiba jiwa senioritas Reira bangkit. Kalau tidak butuh, gadis itu pasti sudah habis ia omeli.
"Ardinya ada?" tanya Reira setelah menenangkan kembali sisi gelapnya.
"Siapa?" tanya gadis itu bersedekap, iris cokelat terangnya menyorot tajam.
"Ardi Nugraha." Reira membalas tatapan itu tak kalah tajam, berani banget dia melotot pada kakak kelas. Orientasinya pasti enggak lulus.
Sebagai kelas XII, ia tidak butuh adik kelas untuk mengangkat tangan hormat ketika bertemu, tapi jangan dijudesin juga. Cukup mereka balas dengan sopan, kalau malas senyum sambil pasang muka datar juga enggak apa-apa.
Jangan seperti gadis di depannya ini, punya wajah kok minta ditabok banget! Cantik sih, tapi sikapnya nol besar. Apa harus ia kirim lagi ke SD?
"Maksud gue, lo siapanya Ardi?"
Eh, kampret! Reira habis kesabaran. Andai bukan di sekolah, sudah dia ulek ini bocah songong.
Ia mengambil napas panjang, bersiap mengomel. Matanya ia alihkan ke sekitar, berharap emosi yang menggebu-gebu bisa segera turun.
Dia tidak tahu ya, jam istirahat sebentar lagi selesai? Ia harus kembali ke kelas. Selesai sekolah kakaknya pasti menjemput, tidak akan ada waktu lagi. Masa harus diberikan besok? Nanti keburu habis ia makan dengan alasan khilaf.
Saat iris cokelatnya menatap ke arah kiri, ia melihat Ardi baru keluar dari toilet. Tanpa memedulikan gadis tidak sopan yang mulutnya minta dicabein itu, ia segera berlari ke arah toilet.
Mata mereka bertemu.
Ia memberi senyum lebar sementara cowok itu malah berbalik badan lalu berlari sekuat tenaga. Apa dia kebelet lagi? Tidak mengerti, ia ikut berlari. Otaknya hanya fokus pada Ardi di depan, hingga cowok itu berhenti dan menatapnya ngeri.
Kenapa? Apa wajahnya sangat jelek?
Reira menatap pantulan wajahnya pada cermin besar di belakang Ardi. Masih cantik seperti biasa. Kenapa ia malah ditatap seperti orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa?
Masa bodoh. Ia segera memberikan kotak berisi cokelat kesayangannya pada Ardi. Ia tidak sadar jika lelaki di hadapannya sampai mengeluarkan keringat dingin ketakutan, trauma pada apa pun yang berhubungan dengan Reira.
Apa gadis ini akan meracuniku lagi? Kira-kira begitulah isi pikiran Ardi.
Reira memasang senyum termanis yang ia punya, lalu mengangsurkan kotak cokelat ke depan malaikatnya.
Saat ia akan berjongkok untuk meniru adegan menyatakan perasaan dari film, ia mendengar suara pintu terbuka. Lalu kejadian yang membuatnya menjadi bahan bulan-bulanan terjadi.
"Lo ngapain di toilet laki-laki? Dasar cewek mesum!"
Matilah Reira!
tbc.
Makasih buat yang udah mampir🤗🤗🤗
Maaf ya, jarang nyapa.
Jangan lupa kritik dan sarannya, ya.♥️♥️♥️
Salam, Ryn. 🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro