26 - Ayah
Ardi berlari dari pintu masuk kompleks hingga ke rumahnya, ia mengernyitkan kening kala melihat banyak orang berkumpul. Ada apa ini? Tumben sekali para tetangga datang, biasanya juga acuh dan sibuk bergosip sana-sini.
Firasatnya memburuk ketika sebuah bendera berwarna kuning ditempel di pagar. Ini ... siapa yang meninggal? Di rumah tidak ada yang sakit, kecuali ... tidak, tidak mungkin. Ibunya pasti baik-baik saja. Ardi tidak boleh berpikiran buruk. Tadi sebelum berangkat ibunya masih tersenyum dan mengobrol seperti biasa.
Beliau masih memberi Ardi wejangan-wejangan tentang kehidupan seperti biasa. Masih mengusap kepala Ardi penuh kasih sayang. Juga masih sempat bercanda tentang betapa jorok adik sepupunya, Nia.
Teringat telepon dari kakaknya, cowok itu segera berlari menyongsong pintu. Tadi kakaknya menangis, apa jangan-jangan benar terjadi sesuatu dengan ibu mereka?
Tidak, tidak. Ardi menggelengkan kepala, ia tidak boleh berpikiran negatif di saat seperti ini, ia harus tetap tenang dan berpikir jernih.
Bibi, paman, dan sepupu-sepunya berbaris di dekat pintu, mereka menunduk, dan sebagian mengelap air mata. Jatung Ardi semakin berdetak kencang, ia tidak siap. Sungguh tidak siap jika pikirannya menjadi kenyataan.
Ketika sampai di ruang tengah, kantong keresek di tangan meluncur bebas. Jantung Ardi mencelos, ini pasti tidak nyata! Ia memegang dada, lalu jatuh terduduk. Tidak, itu ... pasti bukan ibunya. Ya, itu pasti orang lain! Ibunya pasti masih hidup. Ibunya pasti berada di ruangan lain.
Namun, keberadaan kakaknya di samping jasad di tengah ruangan menjelaskan segalanya. Gadis itu sedang menangis tersedu-sedu ditemani oleh seorang lelaki yang tidak Ardi kenal.
Ini ... mimpi, kan?
Jasad yang terbaring kaku di tengah ruangan bukan ibunya, kan?
Tanpa sadar aliran sungai terbentuk di pipi, membawa seluruh kesedihan di hati keluar. Ardi masih tidak percaya. Tidak, ibunya tidak mungkin meninggalkan ia secepat ini! Tidak, Ardi menolak percaya!
***
"Yuhu! Kita menang lagi!" Reira berjoget ria bersama anak-anak kelas XII IPS 2 lainnya. Mereka merayakan kemenangan berturut-turut di cabang bola basket putra, voli putri, futsal putra, dan futsal putri. Sudah dapat dipastikan kelas mereka akan menjadi juara umum.
Pekan olahraga sudah berakhir. Hari senin nanti akan menjadi upacara terakhir juga di semester ini, dan hari Sabtu raport akan dibagikan.
Penampilan Reira di pekan olahraga ini benar-benar tidak mengecewakan, ia berhasil meraih dua kemenangan! Banyak anak laki-laki meledeknya sebagai cewek jadi-jadian karena saat voli dan futsal gadis itu sangat ganas. Berhasil membuat lawan-lawannya frustasi dan putus asa. Selain kekuatannya yang tidak bisa dibandingkan dengan gadis biasa, suara toanya juga benar-benar mengganggu alur pertandingan.
Penampilan paling mencolok dan banyak diingat murid adalah ketika melakukan spike dan tendangan bebas. Gadis ini benar-benar cocok berada di tim laki-laki.
"Pesta, dong, pesta!" teriak Bayu yang langsung mendapat persetujuan hampir seluruh anggota kelas.
"Setuju!"
"Mau pesta apa?" tanya Reira sambil berpikir, otaknya membayangkan pesta es krim, tapi sudah pasti ide itu ditolak oleh banyak orang.
"Barbeque?" saran Zidan sambil membayangkan daging, jagung, dan sosis bakar. Mulutnya mengeluarkan iler, bahkan suara daging panggang sudah bergema di telinga.
"Halah, ribet!" balas Diana mengibaskan tangan. "Mending serbu kantin aja sekarang, gue udah lapar, capek nih habis nendang bola!"
"Call!"
Mereka pun segera berbondong-bondong ke kantin, membuat tempat yang tadinya lumayan sepi berubah menjadi seperti pasar malam.
"Tim konsumsi pesan makanan!" teriak Nazril sambil mendudukkan diri di samping kanan Reira.
Orang-orang yang dipanggil segera mengeluarkan kertas dan mencatat pesanan teman-teman satu kelasnya. Anak-anak kelas XII IPS 2 benar-benar menguasai kantin, mereka mengubah kursi dan meja yang tadinya berjauhan menjadi sebuah lingkaran besar. Tidak peduli sedikit pun pada tatapan sinis siswa lain.
"Zril, Zi, Ardi kok enggak masuk terus, ya? Gue jadi khawatir sama dia."
Nazril memandang Reira, lantas mengangguk. "Semoga dia enggak kenapa-napa, deh."
Zidan yang duduk di sebelah kiri Reira mengusulkan, "Ke rumahnya aja kalau khawatir, Re!"
"Ayo!" ajak Reira semangat, membuat Nazril mengutuk Zidan yang segera merutuki idenya sendiri. Kenapa ia malah menyarankan hal menyeramkan seperti ini? Gadis itu pasti semakin bersemangat sekarang. Tentunya ia dan Nazril harus rela membuang waktu dan uang untuk menemani Reira, karena sudah dapat dipastikan gadis itu akan tersesat jika sendirian. Mereka pun akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah mengiyakan.
***
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan pintu membuat Ardi mengalihkan pandangan dari kaca jendela, ia bangkit dan membuka kenop pintu.
"Di, turun sebentar, yuk!" Kakaknya tersenyum walau dengan wajah sembab. Sepertinya dia habis menangis lagi, membuat Ardi khawatir. Cowok itu mengangguk, mengikuti langkah-langkah kecil kakaknya turun ke lantai satu.
Satu minggu sudah berlalu sejak kematian ibu mereka, namun luka itu masih terbuka lebar. Ardi masih sering memikirkan kebersamaan mereka, dan betapa ia menyesal lebih sering menghabiskan waktu di sekolah ketimbang menemani sang ibu di rumah. Jika bisa memutar waktu, ia pasti lebih memilih untuk terus menghabiskan waktu bersama ibu, berbagi cerita baik suka maupun duka. Namun, ia bisa apa? Tidak ada mesin waktu di dunia ini. Ardi tidak bisa mengubah masa lalu. Pilihannya hanya untuk menerima keadaan saja.
Sebuah kenyataan yang tak pernah terucap kini terkuak, ibu mereka menderita paru-paru basah. Ardi tidak mengetahuinya sama sekali. Selama ini sang ibu selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali ia bertanya. Membuat Ardi benar-benar sedih.
Mereka berhenti di ruang tamu, ada seorang pria paruh baya duduk menunggu di sana. Ardi merasa familiar dengan wajahnya, namun tidak ada satu pun ingatan yang menggambarkannya.
Ia ikut duduk ketika sang kakak sudah duduk terlebih dahulu. Kakaknya mengusap pelan punggung Ardi seolah memberi kekuatan, membuat cowok itu keheranan.
"Ardi, beliau ... ayah kita."
Ardi membeku, menatap pria paruh baya yang tersenyum kebapakan padanya. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Setelah sekian lama ... akhirnya ia bisa bertemu dengan sang ayah. Namun, kenapa beliau baru datang sekarang? Kenapa ia baru datang ketika ibunya sudah meninggal?
Luka itu semakin lebar.
Ardi selalu bertanya-tanya, kenapa ibu seolah enggan membicarakan ayah. Padahal dulu ia sangat ingin kasih sayang ayah, ingin tahu rupanya, sifatnya, dan ingin tahu bagaimana rasanya kehangatan pelukan ayah. Akan tetapi ibunya selalu menghindar, membuat Ardi berspekulasi jika ayahnya orang jahat yang menyakiti ibu.
"Halo, Nak. Boleh kah saya memelukmu?"
Ardi diam tidak menjawab. Di matanya terdapat sedikit kilatan kebencian, membuat pria paruh baya itu hanya bisa tersenyum maklum. Ia merindukan anaknya, tapi apa mereka merasakan hal yang sama? Ia tidak tahu.
"Bukankah Anda seharusnya memperkenalkan diri terlebih dahulu?" tanya Ardi yang membuat kakaknya cukup kaget, sekarang cowok itu sudah berubah. Ia tidak lagi hanya diam dan menerima semua keadaan. "Bagaimana mungkin saya akan percaya pada orang asing yang tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayah?"
Lelaki paruh baya itu sedikit tersentil kala Ardi mengucapkan kata orang asing. Ia menunduk, lalu mengambil napas dalam, siap untuk menceritakan seluruh kisah masa lalu pada kedua anaknya.
"Ini dimulai ketika kamu berusia empat tahun, Nak. Waktu itu ayah terlilit hutang, perusaahaan bangkrut, dan dengan bodohnya ayah malah mencoba menggelapkan dana. Semuanya sangat rumit. Ayah benar-benar egois. Ketika ayah ditangkap polisi dan dipenjara selama sepuluh tahun, ibumu menyerah dan pergi meninggalkan ayah tanpa sepatah kata. Ayah baru keluar satu tahun yang lalu, dan baru menemukan keberadaan kalian hari ini."
Lelaki itu menunduk ketika air mata mulai merembes dari pelupuk, ia mengutuk kebodohannya, dan merasa sangat bersalah pada istri dan anak-anaknya. Apalagi rasa bersalah itu tidak akan bisa ia hilangkan karena sang pujaan hati sudah berada di dunia yang berbeda.
"Maafkan saya, Nak. Kalian harus hidup susah karena keegoisan saya."
Kakak Ardi ikut menangis, gadis itu cukup tahu apa yang terjadi di masa lalu karena ia sudah berusia dua belas tahun. Lengannya memeluk Ardi erat, mencari kekuatan untuk diri sendiri. Ia mungkin sulit untuk memaafkan, tetapi beliau ayah mereka. Tidak bisa dipungkiri, hatinya merasa rindu.
Ia dulu sangat dekat dengan sang ayah, selalu menjadi tuan putri yang dimanja dan dikabulkan segala keinginannya. Pelukan hangat itu, senyum, tawa, dan semua kenangan di masa lalu benar-benar membuatnya ingin mengulang kembali waktu.
Ardi diam tanpa merespon. Cowok itu tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia ... tidak mengerti apa yang terjadi.
***
Reira, Zidan, dan Nazril turun dari bus sambil menatap sobekan kertas berisi alamat rumah Ardi yang mereka dapatkan susah payah dari TU. Ketiga orang itu bahkan harus membuat drama terlebih dahulu agar bisa diberikan kertas kecil ini, Reira mengatakan ingin mengembalikan jaket Ardi yang ia pinjam. Namun, cowok itu sudah tidak masuk selama seminggu.
Petugas TU sempat menatap mereka curiga, tetapi untunglah telepon dari kepala sekolah menyelamatkan mereka. Petugas tersebut segera mencatat alamat Ardi dan mengusir mereka keluar.
Reira mengelap peluh, padahal seharusnya musim hujan, kenapa akhir-akhir ini cuaca panas sekali?
Ia celingak-celinguk, ke arah mana mereka harus pergi? "Kita ke mana sekarang?"
Zidan membaca kembali alamat Ardi, lalu menunjuk arah kanan sesuai insting.
Reira menatap curiga, bertanya sembari menyipitkan mata. "Benarkah?"
"Iya! Percaya aja deh sama insting gue!"
Akhirnya mereka berjalan ke arah kanan tanpa menyadari bahkan dari bus yang mereka naiki saja sudah salah. Ketiga orang itu tersesat.
tbc.
Uwaaahh, bentar lagi tamat🥺🥺🥺
Salam, Ryn. 🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro