Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 - PHP dan Move On

Seorang guru pernah berkata, UAS itu bukan waktunya belajar, tapi harus menenangkan otak agar bisa mengingat kembali. Belajar seharusnya rutin dilakukan di hari-hari biasa. Reira hanya setuju dengan kata menenangkan otak. Biasanya otak akan tenang kalau dibawa refreshing, semacam melihat hamparan biru air laut atau hamparan hijau pepohonan di pegunungan.

Ia ingin main! Ingin liburan!

Tapi mana bisa begitu jika nyonya besar sudah membuat wahyu, harus belajar dan belajar, kalau enggak nanti uang jajan dikurangi. Memang dasar emak kejam. Kenapa Reira harus belajar kalau ujung-ujungnya soal yang keluar jarang sekali sehati dengan yang dipelajari? Mending juga main voli, badan sehat kulit gosong. Daripada belajar, otak korsleting mana bisa dipakai.

"Kalian belajar gak?" tanya Reira pada Zidan dan Nazril yang sedang sibuk mengaduk tas mencari pulpen. Memang pada gak niat datang ke sekolah. Tidak ketemu, Nazril menyerah dan berujung merebut tas Reira, membuka resleting, dan mencari tempat pensil. Setelahnya mengambil dua tanpa rasa bersalah. Anggap satu lagi adalah cadangan jika tintanya habis.

"Ngapain belajar? Gue udah pintar dari dalam kandungan."

Reira memutar bola mata malas, "Ya, ya, juara tiga di kelas memang selalu sombong. Padahal peringkat tiga dari bawah. Balikin pulpen gue, dasar gak modal! Udah berapa yang lo curi, hah?" Gadis itu ingin merebut kembali benda gaib dari tangan Nazril.

Kenapa pulpen disebut benda gaib? Karena benda itu bisa hilang hanya dalam tiga puluh detik jika tidak dijaga baik-baik.

"Gue enggak nyuri, emang ada apa pencuri yang terang-terangan di siang bolong?" Nazril menjauhkan tangan dari jangkauan Reira. Terberkatilah tubuh tingginya, gadis pendek itu tidak bisa menggapainya.

"Ada, namanya jambret. Balikin pulpen gue, Kampret!" Tidak kehilangan akal, Reira naik ke atas kursi koridor dan melompat-lompat. Bukannya pulpen kembali, ia malah terjatuh menimpa tubuh Nazril. Membuat mereka jadi sorotan.

"Re, minggir, Re. Berat." Zidan diam tidak bergerak, wajahnya menunjukkan penderitaan yang teramat sangat. Seolah seluruh beban dunia ada di pundaknya.

Alih-alih bangkit Reira malah menduduki perut Nazril dan meninju dadanya. Membuat cowok itu terbatuk parah, kekuatan Reira jauh di atas gadis normal. Semoga organ dalamnya aman.

"Balikin pulpen gue!"

Nazril tersenyum di sela batuknya, lantas melempar tempat pensil Reira pada Zidan yang sudah stand by, siap untuk nyolong juga. Biar belangsak, kalau soal alat tulis Reira masih lengkap. Semua berkat nyonya besar yang selalu mengomel jika melihat tas Reira hanya berisi satu buku dan satu pensil. Hal ini dimanfaatkan kedua sahabatnya supaya tidak perlu lagi membeli pulpen, nyolong saja. Lebih enak.

"Ih, dasar kalian pasangan homo kampret!" Reira meninju lengan Nazril untuk terakhir kalinya, lalu berlari mengejar Zidan yang sudah kabur ke area jurusan IPA berada.

Mereka kejar-kejaran di koridor, untungnya UAS akan dimulai tiga puluh menit lagi, jadi mereka masih bebas bermain-main.

Reira tidak menyadari mata seorang Ardi Nugraha memerhatikannya intens. Entah kenapa hati cowok itu tidak senang dengan kenyataan kakak kelasnya begitu dekat dengan kedua sahabatnya. Terutama tadi saat gadis itu duduk di atas perut Nazril.

Rasanya tidak pantas seorang gadis melakukan itu, terutama di area sekolah. Ardi mengepalkan tangan, lantas kembali menuruni anak tangga. Tadinya ia ingin meminta nomor Reira dan menyapanya. Ia tidak masuk sekolah beberapa hari, kondisi ibunya semakin parah.

Ardi kira gadis itu akan mencari keberadaannya, tapi rasanya tidak mungkin. Kenyataan terpampang jelas di hadapannya. Dia punya dunianya sendiri yang tidak bisa Ardi masuki.

***

"Anjir, gila! Kenapa yang gue hapalin pada enggak ada?" Diana berdecak kesal, ia mengurut kening yang terasa pening. Padahal sudah belajar sampai kurang tidur satu minggu ini, tapi soal ujian yang keluar benar-benar membuat otak serasa terbakar. Yang ia pelajari hanya muncul di beberapa soal. Sisanya ... parah.

Zidan tertawa keras, ia menunjuk Diana tepat di muka. "Makanya gak usah belajar dari seminggu sebelumnya, ngabisin energi aja."

"Hih, gue bukan orang bodoh macam lo yang bangga karena SKS, ya!" Gadis itu melotot tajam, lantas menjauh, bergabung dengan teman-teman se-geng-nya.

"Tadi lo yang nomor lima jawabannya apa? A atau C?" tanya gadis itu yang masih bisa Zidan dengar.

Lelaki itu mendengkus, apa serunya membahas soal yang sudah lewat? Mending move on. Kerjakan lalu lupakan. Ia lantas menghampiri Reira yang sedang tersenyum lebar di meja barisan depan. "Ngapain lo senyum kayak orang bego gitu?"

"Hah? Duh virus jauh-jauh sana, jangan rusak mood gue!" balas gadis itu sembari menggerakkan tangan mengusir.

"Zril, ada bocah songong di sini!" lapor Zidan pada Nazril yang baru datang. Cowok itu berada di kelas yang berbeda karena nomor absennya cukup awal.

"Kenapa lagi sama bocah satu ini?" Nazril mengacak rambut Reira kuat, membuat berantakan macam orang habis berantem.

"Ini lagi bakteri datang, emang cocok kalian itu kalau bersama. Bisa bikin orang sakit. Dan lo Nazril, mau gue sembelih, hah? Lo kira rambut gue ini apa, hah? Siniin kepala lo! Mau gue acak-acak juga" Reira ngamuk. Padahal tadi dia sedang senang karena beberapa materi yang ia pelajari keluar. Bisa-bisanya kedua cecunguk ini menghancurkan kesenangannya.

Tidak ada yang namanya belajar dari jauh-jauh hari dalam kamus Reira. Ia lebih senang SKS. Bukan Sistem kebut semalam, tapi sistem kebut sejam sebelum ulangan. Jadi Reira cukup bangga bisa menjawab sebagian besar soal dengan lancar, walau kebenarannya belum bisa dipastikan. Karena sesungguhnya kebenaran jawaban ujian hanya milik guru-guru tercinta.

Nazril kabur keluar kelas, Reira mengejarnya sekuat tenaga, gadis itu bahkan tidak peduli pada penampilannya yang sekarang mirip orang gila. Zidan mengekor di belakang sambil mengompori kedua sahabatnya.

Akhir destinasi kejar-kejaran Reira dan Nazril tentu saja kantin. Ketiga sahabat itu segera mengantre untuk membeli makan. Ulangan itu bisa menguras energi untuk otak, jadi mereka harus mengisi amunisi dulu.

"Gurunya PHP! Katanya soal bakal yang udah dibahas, mirip tahun kemarin, kenyataannya jauuuuh banget!" Seorang gadis dengan rambut dikucir dua di depan Reira mengeluh.

Temannya tertawa kecil, lantas berujar, "Sudahlah, lupakan. Mari move on ke pelajaran selanjutnya."

"Bener tuh, ngapain nginget yang udah-udah, lupain aja! Ulangan itu untuk dikerjakan lalu dilupakan." Zidan nimbrung dengan ocehan tidak bermutunya.

Kedua gadis itu segera berbalik, mata mereka seketika membola. Kak Zidan Oktavian! Cowok incaran sebagian besar gadis di sekolah berbicara dengan mereka! Kedua gadis itu hampir jingkrak-jingkrak kegirangan jika tidak ingat untuk menjaga image.

Selain Zidan, mereka juga melihat Nazril dan Reira, kedua cowok itu berdiri mengapit sahabat perempuan satu-satunya macam bodyguard. Mereka memang tidak berbaris seperti kebanyakan orang. Karena mereka bertiga adalah satu, intinya Reira yang akan memesan semua, sehingga bisa jajan lebih cepat.

"Hai, siapa nama kalian? Gue Zidan Oktavian dari kelas XII IPS 2." Seperti biasa, cowok itu tidak akan pernah melewatkan kesempatan untuk tebar pesona.

Gadis yang berdiri tepat di depan Reira menjawab bersemangat, "Halo, Kak, gue Kia dan dia Hani. Kami dari kelas X IPA 1."

Mendengar kata X IPA 1, pikiran Reira terbang pada sang malaikat yang sudah hilang kabar selama beberapa hari. Dia sungguh merindukannya. Ke mana cowok itu? Apa dia kena diare? Soalnya waktu itu kabur seperti orang kebelet BAB.

"Nyariin siapa, Re?" tanya Nazril penasaran saat gadis itu celingak-celinguk, menatap hampir setiap sudut kantin.

"Nyari Ardi, dia udah beberapa hari enggak masuk. Dia enggak kenapa-napa kan, ya?"

Zidan mengernyit, menatap dua gadis yang baru dikenalnya. Mereka dari kelas yang sama dengan Ardi, kan? Ia menatap kedua gadis itu sambil tersenyum manis. "Ardi Nugraha hari ini masuk?"

Kia dan Hani saling menatap, lalu mengalihkan pandangan pada Zidan, terakhir pada Reira. Gadis yang dibenci oleh hampir seluruh anak kelas X karena sudah mencelakai Ardi. Kenapa gadis itu mencari pangeran di kelas mereka? Pangeran es yang sampai sekarang belum pernah ada seorang pun berhasil mencairkan hatinya. Padahal hampir seluruh gadis di kelas menaruh mata pada cowok itu.

"Kenapa memangnya, Kak?" tanya Kia agak enggan menjawab. Seganteng-gantengnya Zidan, cowok itu sudah terkenal play boy. Beda sama pangeran mereka yang selalu menarik untuk dicairkan hatinya. Lagipula Zidan sebentar lagi akan lulus, pengaruhnya pasti langsung mati.

Zidan mengernyitkan dahi, harus kah ia mengatakan cowok itu gebetan sahabatnya? Ah, sebaiknya tidak usah. Reira tidak pernah menunjukkannya di depan publik walau tidak menyembunyikannya juga. Masalahnya bukan di Reira, gadis itu tidak akan peduli seluruh sekolah mengetahui perasaannya, tapi lain cerita dengan Ardi. Zidan rasa cowok itu tidak akan merasa terlalu nyaman.

Nazril yang ikut celingukan segera merangkul Reira saat menangkap sosok Ardi di ambang pintu kantin. "Tuh, Re, gebetan lo baru datang."

Ucapan ringan Nazril membuat bukan hanya Reira yang menatap Ardi, tetapi Zidan dan kedua gadis tadi juga.

Kia dan Hani terkejut. Apa katanya tadi? Gebetan? Mereka saling beradu pandang, lalu menatap benci pada Reira. Tidak! Mereka tidak akan mengizinkan gadis itu mendekati pangeran es dari kelas X IPA 1.

Berita ini harus segera disebarkan ke angkatan kelas X. Reira tidak boleh mendekati Ardi!

tbc.

Duh, kulupa lagi, maafin emaknya Reira yang udah tua ini wkwkwk

Di Chapter sebelumnya ada Arilla Ariana dari IPS Naik Takhta karya saturasisenja dan Ziva dari Drama Queen Life karya naviegirl. Kalau kepo sama mereka bisa langsung baca aja, yaaaa. Di bom vote sama komen juga boleh, loh. :))

Sekian, Ryn. 🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro