18 - Belajar Bersama
Reira panas dingin, untuk pertama kali dalam hidup ada yang menggenggam tangannya! Walau kenyataan berkata lain, ia diseret. Tapi tolong jangan hancurkan bayangan indah dalam otak gadis itu. Semua hal yang berhubungan dengan sang malaikat memang bisa membuatnya gila.
Mulutnya tidak berhenti menyunggingkan senyum, mood-nya benar-benar baik. Ia yakin, pelajaran akan mudah dicerna oleh otak. Bahkan pelajaran logaritma sekali pun. Selama yang mengajar Ardi, ia pasti bisa!
Semoga Reira benar-benar fokus pada pelajaran, bukan pada wajah Ardi, atau pada khayalan-khayalan indah dalam kepalanya.
Akan tetapi, mood gadis itu runtuh seketika saat berdiri menatap cermin kafe. Bukan karena penampilannya kurang badai, bukan pula karena perbedaan tinggi dengan Ardi cukup jomplang terpampang nyata di cermin. Tetapi karena ia melihat penampakan!
Dua orang yang teramat dikenal sedang bersembunyi di balik tong sampah, hanya kepala mereka saja yang terlihat. Ah, kacau. Jika mereka menunjukkan diri, acara kencan--anggap saja begitu, padahal aslinya hanya belajar--bisa gagal total. Mereka pasti akan mengganggu konsentrasi.
Reira membuang napas kasar, lantas berjalan menuju ke tempat di mana kedua temannya berada. Kekhilafan Ardi menyeretnya hanya beberapa detik saja tadi, saat mereka akan menaiki bus. Membuat si gadis mendesah kecewa, padahal ia masih ingin meletakkan tangan di genggaman Ardi yang terasa hangat.
Ardi yang berjalan di depan berhenti saat menyadari kakak kelasnya tidak ada. Ke mana dia? Tidak tersesat, kan? Tidak mungkin, kan, karena dia sendiri yang mengajak ke kedai bakso langganannya. Atau dia diculik? Entah kenapa Ardi tidak yakin ada orang yang mau menculik Reira.
Cowok itu meliarkan pandangan, hingga di satu titik di seberang jalan, di dekat tong sampah besar ia melihatnya. Sedang apa Reira di sana?
Gadis itu berjongkok, lalu tak lama kemudian berdiri kembali. Melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Dia segera menyebrang jalan, menghampiri Ardi sambil membawa dua orang yang mengekor di belakangnya.
Ah, kalau tidak salah ingat, mereka yang waktu itu di kantin. Kenapa Reira selalu bersama mereka? Apa teman gadis itu hanya kedua lelaki ini? Entah kenapa Ardi tidak terlalu suka dengan kenyataan ini.
Ah, mungkin karena dia iri. Ardi tidak punya teman gadis satu pun. Kebanyakan gadis di kelas akan menghentak-hentakkan kaki saat melihatnya lewat, mereka berteriak heboh sambil cekikikan. Membuat bulu kuduk Ardi merinding.
"Di, kenalin, ini Zidan dan ini Nazril. Mereka ikut gabung, ya, kapasitas otaknya sama kayak gue soalnya. Nilai matematika Zidan 49 dan Nazril 42." Reira memperkenalkan kedua sahabatnya sambil tersenyum jumawa, bangga membongkar aib mereka.
"Perkenalan macam apa ini?" tanya Zidan tidak habis pikir. Ia mengangkat tangan menyapa, "Yo!"
Begitu pun Nazril, ia hanya mengangguk sok cool. Dalam hati dongkol karena nilainya yang paling kecil di antara mereka semua.
Ardi mengangkat bibir sedikit, pantas saja mereka bisa berteman dekat. Ternyata satu jenis.
***
Reira memaksa Zidan dan Nazril untuk mentraktir ia dan Ardi es krim karena sudah membuntuti bagai paparazi. Kedua cowok itu pun hanya bisa pasrah demi kenyamanan kuping dari ocehan Reira.
"Mana yang belum bisa, Kak?" tanya Ardi sambil membuka buku. Tadi saat ia tanpa sengaja mengajak Reira belajar bersama, ia segera meminjam buku dari perpustakaan. Untunglah materi di buku ini sudah ia pelajari dasar-dasarnya. Jangan meremehkan kemampuan juara dua lomba matematika tingkat provinsi.
Reira nyengir, menampakkan gigi kelincinya yang terlihat imut. "Paling susah itu integral, logaritma, sama deret geometri."
"Semuanya susah," jawab Zidan dan Nazril bersamaan.
Ardi mengelus dada, bukankah ini berarti mereka harus belajar dari awal? Dari yang paling dasar.
"Kak Reira berarti sudah paham program linier, matriks, dan vektor, ya?" tanya Ardi memastikan. Prioritas utamanya memang Reira.
Reira membuka lembar daftar isi, lantas meringis. "Gue enggak yakin, tapi yang paling gue kuasai itu materi matriks. Gampang!"
"Yakin, Re?" Zidan bertanya sangsi. "Bukannya lo dapat nilai telinga monyet, ya?"
Reira menginjak kaki Zidan di bawah meja kesal, buka aibnya enggak tanggung-tanggung. "Gue dapat sembilan puluh di penjumlahan dan pengurangan, ya! Sisanya gue terlalu pusing. Perkaliannya harus mengalikan baris sama kolom. Tapi gue bahkan udah enggak ingat mana baris mana kolom.
"Apalagi invers, beuh, gak ngerti gue juga mana yang harus dijadikan baris, mana yang harus dijadikan kolom. Paling parah sih determinasi? Eh, bener enggak tuh determinasi? Yang ada rumusnya itu loh!"
Ardi meringis mendengar celotehan kakak kelasnya. Ia jadi bertanya-tanya, bagaimana Reira bisa naik kelas?
Tidak mungkin Ardi bisa mengajarkan semua materi dalam satu pertemuan, mereka pun memutuskan untuk membuat jadwal belajar bersama. Tentu saja Zidan dan Nazril pun tidak ketinggalan, membuat Reira cemberut tidak suka. Tapi memang dasar cerdas, penjelasan Ardi lebih mudah dimengerti, kedua cowok itu tidak akan melepaskan kesempatan emas ini.
Reira cukup senang karena bisa sering bertemu Ardi. Mereka menjadwalkan untuk belajar saat jam istirahat atau jam pulang, tergantung kesibukan masing-masing. Gadis itu cukup bangga karena yakin kedua sahabatnya tidak akan meminta bantuan Ardi tanpa keberadaannya. Tengsin. Jadi jam pelajaran bersama Ardi aman.
Saat kegiatan mereka diketahui oleh seluruh sekolah, tidak ada satu pun yang merasa malu. Zidan, Reira, dan Nazril bukan lah tipe orang yang peduli akan pendapat publik. Ardi mau mengajari saja mereka sudah sangat berterima kasih. Tidak ada yang namanya malu karena belajar kepada adik kelas, jika dia lebih bisa, apa salahnya?
Hasilnya cukup memuaskan, nilai mereka bertiga naik cukup signifikan. Terutama Reira yang benar-benar menyerap hampir seluruh kata yang keluar dari mulut Ardi, dan melekatkannya pada otak.
Diajari kakak kelas sudah biasa, tapi diajari adik kelas? Ini baru luar biasa.
Ardi pun merasa cukup senang karena bisa membantu, Reira cukup cerdas dalam menangkap pelajaran. Zidan bahkan lebih bagus, tapi cowok itu kurang teliti. Sementara Nazril biasa-biasa saja, tapi nilainya juga naik cukup memuaskan.
Ardi senang karena bisa berbagi ilmu, juga senang karena bisa merasakan punya teman. Zidan dan Nazril berbeda dari kebanyakan orang di masa lalunya yang hanya datang untuk memanfaatkan kecerdasan Ardi. Kedua cowok itu sering juga mengajaknya bermain bersama dan mentraktirnya makanan di kantin. Cukup untuk mengusir rasa sepi dan kesal karena keadaan di rumah yang semakin tidak karuan.
Satu hal yang pasti, Ardi jadi semakin dekat dengan Reira. Gadis itu juga berbeda dari gadis kebanyakan, terkadang jika Ardi melakukan kesalahan, dia akan tersenyum dan malah membantu Ardi. Membuat perasaan Ardi benar-benar hangat.
tbc.
Maafkan diriku yang kemarin luap apdet. 😅😅😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro